Kepakaran itu harus juga digabungkan dengan persuasi, kemampuan menerjemahkan pengetahuan dan kesadaran menjadi sarana mobilisasi massa. Pakar harus bisa berkampanye untuk memobilisasi massa agar masyarakat luas bisa mengambil keputusan yang tepat dan kemudian bertindak tepat. Jadi pakar menyampaikan pendapatnya lewat media, masyarakat mengambil keputusan. Problem: banyak hoax, banyak money politics. Ini bukan solusi sih. Cuma mau memperumit masalah aja.
dan menurutku bukan hanya itu, diantara pakar dan masyarakat itu harus paham dulu apa itu sistem demokrasi dan bagaimana cara bekerjanya. sehingga keduanya harus berkontribusi untuk perkembangan ilmu pengetahuan serta kebijakan yang sebisa mungkin tidak menimbulkan ketimpangan diantara pakar dan masyarakat. saya ambil contoh kecil dalam dunia yg sedang krisis karena pandemi covid, dalam kasus itu jika pakar dapat mengemukakan pendapat konkrit tentang covid, alangkah baiknya seluruh publik yang terlibat disuatu negara dapat memahami inti pokok dari permasalahan yg sedang terjadi akibat dari krisis ini. mau tak mau, kebijakan publik harus dibuat sekonkrit dan efektif mungkin. salah satu cara untuk memperoleh kebijakan yang konkrit dan efektif itu dapat diperoleh melalui pandangan yg luas dari seluruh masyarakat yg terlibat, mungkin lewat sosial media atau bertemu dan membicakan apa yg hendak didahulukan dalam kebijakan yg akan diputuskan.
Jika hoax dan politik uang jadi candu buat demokrasi, seharusnya kita tahu kedua candu tersebut menjawab kebutuhan masyarakat, entah itu kebutuhan biologis (cnth. Lapar) maupun psikis (cnth. Kecemasan). Disatu sisi ranah pakar memiliki sifat spesialis, dimana menekankan pada satu variabel tertentu, tentu saja hal patikular macam ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan yang tidak terpenuhi dan pakar yang tidak koresponden dengan masyarakat inilah yang nantinya jadi sarang bagi hoax dan politik uang. hoax tidak dapat dimusnahkan karena masyarakat selalu membutuhkan ruang untuk berimajinasi, mengenai harus adanya faktor X yang menyebabkan keterpurukan mereka. Perlu kita ingat bahwa semua orang bisa tahu ketika mereka lapar, tapi tidak semua orang tahu kalo mereka cemas. Solusinya, pakar harus koresponden dengan kebutuhan masyarakat dan memahami faktor reaktif dari setiap pilihan, melalui pendidikan dan ruang diskusi harus ditanamkan sifat berpikir kritis dalam masyarakat.
Saya sendiri menentang "matinya kepakaran" yang absurd tersebut. Jika hanya dengan belajar dari wikipedia atau menonton youtube semua orang akan menjadi dokter, psikolog, filsuf dan para ahli lainnya, tidak perlu lagi ada yang namanya universitas, pusat penelitian, peer-review jurnal ilmiah, dll. Tetapi nyatanya lembaga2 itu masih ada, yang berarti bahwa matinya kepakaran itu omong kosong. Dunia masih butuh para pakar dan lembaga2 tempat kepakaran dibentuk. Saya juga setuju banget sama Bang Martin soal metodologi. Itu bukan sesuatu yang dapat dipelajari secara otodidak begitu saja dari internet dan youtube. Butuh bimbingan serta diskusi panjang dengan teman sejawat, senior, dan tutor. Mungkin ada yang bisa secara otodidak, tetapi jumlahnya adalah minoritas. Mayoritas orang butuh kepakaran beserta lembaga2nya sebagai referensi terpercaya. Saya tidak setuju kalau ada yang bilang kepakaran berarti matinya demokrasi. Justru kepakaran menjadi penyeimbang bagi demokrasi agar tak jadi anarki mayoritas. Mengutip Yuval Noah Harari, demokrasi itu soal kebijakan yang sesuai dengan hasrat orang banyak. Namun yang namanya hasrat itu kadang irasional. Adalah fungsi lembaga2 kepakaran untuk menyadarkan orang banyak itu dari kekeliruan dan menunjukkan pengetahuan yang benar. Meski demikian, baik demokrasi dan kepakaran memiliki otonomi masing2. Demokrasi jangan sampai jadi keblinger memaksakan orang untuk percaya hal2 yang takhyul dan tak ilmiah (cth: bumi datar, covid itu hoax, vaksin bikin idiot). Begitu juga kepakaran cukuplah menyediakan rekomendasi bagi pembuat kebijakan tanpa tendensi untuk menjadi elitis. Jangan seperti Dawkins yang mengusulkan bahwa suara ilmuwan dihitung dua sedang orang biasa cukup satu. Seolah-olah dunia hanya milik para ilmuwan saja. Saya kira posisi Harari sama seperti Bang Martin. Tidak memihak Nichols dan juga tidak memihak Ranciere. Tetapi berdialektika di antara kedua kutub tadi untuk menciptakan satu sintesis baru yang melampaui.
Kayaknya matinya kepakaran ini diperparah oleh media massa seperti TV yang mewawancarai seseorang yang tidak kapabel kayak fenomena gempa bumi tapi yang diwawancarai artis sinetron.
@@andreaciptapratama319 Ya, saya juga setuju. Sekadar menambahkan kalau wawancara selebriti terkait bencana dll juga dapat menciptakan imej positif bagi seleb tersebut serta mendongkrak rating acara. Secara bisnis sih oke, tapi secara keilmuan sih no.
Kalau saya menganggap bahwa dalam hal dimana orang tersbut pakar, maka harusnya suaranya lebih tinggi bung. Tetapi, masyarakat banyak boleh menolak. Asal saja, pakar tersebut harus mengkontraskan dan membuat mudah ilmu yang dipakarinya sehingga memudahkan masyarakat dalam hal literasi dan akhirnya mereka legowo untuk memilih. Karena begitu mereka paham, maka bodohlah kalau mereka menolak.
Buku Matinya Kepakaran - Tom Nichols sebetulnya memotret realita yg terjadi hari ini. Maraknya hoax, teori konspirasi, pseudosains dsb disebabkan karena orang2 awam merasa suaranya sama seperti pakar yg udah belajar bertahun2.. Mereka hanya berargumen tanpa dasar bukti empiris dan basis metodologi yg runut. Gw sepakat dgn Nichols bahwa skrg kecenderungannya sedang ke arah sana. Dan tugas kita semua dan yg merasa pakar beneran adalah membumikan literasi2 sains bermutu agar bisa dipahami oleh awam.
Benar sekali kaka. Ternyata bukan hanya produk makanan yang berlabel instant, namun cara berpikir juga. banyak orang sampai pada kesimpulan tanpa proses dan cara. akibatnya, pengetahuannya kurang mengakar dan cepat menguap. salam dari NTT.
Jadi teringat satu hadist tentang topik ini, "Apabila sebuah urusan/pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bersiaplah menghadapi hari kiamat" (HR. Bukhari).
" kepakaran tidak akan pernah mati" (antonius rudi, 2022) mungkin setiap orang yang bisa mengakses sumber informasi dari apa saja termasuk internet, tapi tidak semua orang bisa secara efektif menggunakan informasi yang didapatkan dari sumber itu sendiri.
Mungkin inilah gunanya pendidikan yang baik. Saya yakin pendidikan yang baik akan menghasilkan pakar-pakar yang dapat saling menghargai otoritas keilmuan di luar bidangnya. Setiap orang pada dasarnya pakar di bidangnya masing-masing tapi awam di luar bidangnya. Dengan adanya sikap saling menghargai kepakaran di luar bidang keahliannya, seharusnya tidak ada konflik kepentingan republikan dan demokrasi.
Terima kasih mas Martin...akhirnya saya ketemu langsung pengarang buku Sejarah Estetika ...senang bisa belajar lebih banyak di channel ini. Membuka cakrawala berpikir dan meluaskan wawasan pengetahuan. 🙏❤️
Justru di zaman serba digital dan teknologi yg serba pesat ini, eksistensi kepakaran sgt dibutuhkan untuk menciptakan terobosan" baru yg lbh terarah dan simulatif (dinamis / scalaable sebagai jawaban secara profesional dan proporsional sesuai konteks tuntunan kondisi yg ada).. Era kita hidup dalam cermin digital saat ini selain positifnya memberi banyak kemudahan pun tak terlepas dr hal" yg negatif.tanpa batas.. Saya sendiri tetap percaya akan demokrasi akan menghantarkan pd kehidupan yg lbh baik walaupun sisi negatifnya penyamarataan namun hal tersebut dapat ditepis dgn peran pro aktif para ahli untuk lebih merepresentasikan kehidupan yg semestinya.. Memang secara kuantitatif antara Ahli dan Awam terhitung sama, tp dr segi kualitatif peranan Ahli dapat berbanding 1001 atau bahkan lebih dgn 1 awam jika peranannya dilakukan secara pro aktif.. Masalahnya, selain para ahli tidak diberi keluasan pengaruhnya dlm politik (dibatasi dlm UU) pun upaya pemerintah dlm mencerdaskan bangsa di sektor pendidikan dan penelitian dukungannya masih minim dan selain bangsa Indonesia sendiri masih menganggap sains dan teknologi sesuatu yg bukanlah prioritas utama.. Mungkin seiring waktu ke depan sainstek akan mulai disadari bagian prioritas utama.. Di lain hal jika kita kembali pd sistem sebelum demokrasi sama halnya terjadi kemunduran (dr keterbukaan menjadi serba tertutup).. Olehnya Demokrasi tetap di pertahankan dan seiring pemahaman dan kedewasaan berfikir masyarakat semakin tumbuh dimana pengetahuan yg luas dan mudah di peroleh secara digital teknologi bukan berarti secara pengetahuan dan ilmu pun dengan serta Merta langsung mendalam tentunya butuh proses yg lama sehingga kedalaman keilmuan seseorang tsb mencapai pada tahapan Ahli atau sangat Ahli yg ditunjang dan seiring dgn pesatnya pula pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.. Sampai saat ini pendidikan dan karakter bangsa Indonesia masih belum dewasa baik dlm menyikapi segala perbedaan maupun masalah yg ada.. Dan mungkin seiring waktu dan perubahan ke depan akan lbh berpandangan dan berfikir maju dimana bangsa yg besar adalah bangsa yg menghormati ilmu pengetahuan plus teknologi, namun tidak melupakan identitas kearifan lokalnya yg mampu ditumbuhkan secara paralel..
tapi nih, tanpa pemberontakan kaum awam, KMRT Lord Roy Suryo pasti masih dianggap "pakar telematika", enak bener idupnya ngga susah2 berburu video Ariel, dkk. Malah dikasi nonton tros cuma dimintai testimony by feeling
Di kalangan praktisi teknologi informasi ("telematika"), nama Roy Suryo sangat jarang (atau tidak pernah) disebut-sebut ketika membahas topik-topik terkait teknologi. Roy Suryo lebih cocok disebut penggemar daripada pakar. Kalaupun disebut pakar, kepakarannya lebih ke arah gambar atau video (yang lebih cocok dengan latar belakang pendidikannya).
Pakar itu bukan hanya AHLI tapi juga harus pakai NURANI. Kalau memang NEGARA dalam keadaan DARURAT haruslah jelas DEFINISINYA, bukan asal bacod yg membuat RAKYAT RESAH, dan disaat TIDAK TERBUKTI akan ditertawakan RAKYAT. Pakar macam REFLY HARUN, SAID DIDU, ROY SURYO, AMIEN RAIS itu dasarnya SAKIT HATI saja bukan benar2 memperjuangkan RAKYAT, BANGSA dan NKRI. MEREKA MEMELIHARA PEMBENCI dan KEBENCIAN hanya demi EKSISTENSI DIRI di dunia MEDIA SOSIAL dan MAINSTREAM. Ada lagi pakar macam EEP yg analisanya sudah tidak sehat karena menafikan REALITAS, saat kliennya kalah karena SALAH STRATEGI yg diolah dari data yg diajukan EEP, maka KEBENCIAN saja yg terlihat dari dia. KEPAKARAAN TAKKAN MATI SELAMA DIA REALISTIS DAN RASIONALIS, maka ucapan dan pemikirannya akan dipercaya dan dihormati masyarakat. Contohnya banyak, seperti ADE ARMANDO, GURU GHEMBUL, QODARI, HASAN NASBI, BAMBANG PACUL, ET, SRI MULYANI, BASUKI MENTRI PUPR, IGNASIUS JONAN, DAHLAN ISKAN, SOBARY, AHMAD SAHAL, JOKOWI, masih banyak lagi.
Dilema ini mencerminkan ketegangan antara dua konsep kunci dalam demokrasi: kompetensi (keahlian) dan representasi (kesetaraan). Tom Nichols dan Jacques Rancière mewakili dua ujung spektrum dari perdebatan ini. Di satu sisi, Nichols mengkhawatirkan ketidakmampuan publik dalam mengambil keputusan yang benar tanpa panduan ahli, sementara Rancière menekankan kesetaraan politik dan potensi partisipasi semua orang tanpa hambatan hierarkis. Dilema ini menunjukkan bahwa ada batasan dalam kedua pendekatan jika diterapkan secara ekstrem. Nichols menyadari bahwa mengabaikan keahlian dapat menimbulkan risiko besar, tetapi di sisi lain, dia tidak mengesampingkan perlunya representasi demokratis. Demikian pula, Rancière memperjuangkan kesetaraan, tetapi mungkin menyadari bahwa kompetensi juga dibutuhkan dalam pengambilan keputusan yang tepat. Sebuah solusi potensial adalah menemukan keseimbangan antara keduanya.
yang membedakan antara pakar yang benar2 pakar dengan seseorang yang memperoleh suatu pengetahuan dari internet, wikipedia, youtube dsbadalah "Metodelogi"
Jika semua suara awam di angggap sebuah kebenaran harus di dengar dan di penuhi maka hancurlah semua maka itu perlu suara awam itu di musyawarahkan dan di wakiili oleh pakar
Seharusnya metodologi dijadikan mata pelajaran utama sejak pendididikan dasar(sebelum matematika, sejarah, IPA, IPS) sehingga generasi yang baru banyak yang paham metodologi tapi kurang informasi🤭 cari infonya di internet ajaa.. Sehingga terwujud representasi yang mendekati kompetensi.
kalau dimulai dari dasar saya pikir akan menjadi rumit karena anak di pendidikan dasar belum mampu menelaah hal serumit ini Saya pikir di smp atau di sma
@Reda Purwakanda sbnarnya etika dari orang tua itu sama arti dengan sosial kan? Cuma mereka(anak-anak) blom menyadari bahwa yang orang tua mereka ajarkan adalah pengetahuan sosial berbentuk etika.
khusus untuk Indonesia, menurut saya memilih kompetensi di atas representasi, alasannya kecerdasan rakyat Indonesia masih di bawah rata2. Intinya sistem pemerintahan kita serahkan kepada orang2 akademisi, tetapi dengan syarat kelompok militer harus NETRAL..
Ketika saya ingin tahu sesuatu saya cari di internet, paling enak di RUclips karena diceritakan bahkan kadang disertai video atau tulisan rujukan. Misal saya ingin belajar filsafat saya tidak tau buku apa yg harus saya baca dulu. Sekarang saya cukup cari tau di RUclips dan bertaut dengan channel ini, banyak channel lain tapi saya abaikan karena ngomong nggak jelas, bahkan nggak ada gambar orangnya. Setelah itu saya browsing tentang pembicaranya, saya tanya teman yg dulu kuliah filsafat ...siapa Martin Suryajaya dll. Baru saya putuskan subscribe. Kebanyakan orang memang menelan mentah mentah apa yg di sampaikan di internet....tapi itu dulu saat ini orang juga paham kok tentang pentingnya mencari berita yang sebenarnya, yang masih sering terjadi sekarang misal adanya bencana alam disana sini...relatif tidak pengaruh pada lingkungan WAG saya karena selalu ditampik oleh anggota lain bahwa itu hoax. Tapi disatu sisi media internet terutama RUclips adalah panggung nya para pakar untuk menyampaikan ilmu dan pendapat. Para pakar bisa membuat channel yang semua orang akan mengakui channel nya sebagai rujukan dan terpercaya (dalam lingkup ilmu tertentu aliran tertentu).
Ulasannya Mas Martin keren.... Saya Sekedar berpendapat, bahwa kepakaran lebih pada proses pembimbingan pikiran, bukan pada dominasi hak berpikir. Boleh jadi domain para pakar ada pada pemikiran, tapi pikiran biarkan saja menjadi domain siapa pun yang konsern.... 🙏🙏🙏
Penyebabnya adalah tujuan kolektif / ideologi hanya bisa di deklarsikan secara abstrak dan berlebihan / over, sehingga tidak bisa diukur, contoh cita2 bangsa / bersama adalah masyarakat makmur, jadi ketika reprsentasi berjalan dan bertindak ukuran berhasil atau gagalnya jadi bias karena setiap orang bisa menafsirkan secara subjektif, beda kalo cita2 bersama adalah pertumbuhan 5%, disitulah masing2 bisa menerima kenyataan bahwa representasi yg dimaksud bsa divonis adalah salah / gagal, kompeten/berhasil
fenomena dewa kipas membuktikan bahwa pakar sudah mati. Orang indonesia lebih percaya pada sensasi daripada percaya perkataan dari pakar catur yang sudah grandmaster. Saya juga termasuk yang ikut arusnya. semoga saya bisa memperbaiki pola pikir saya. Memang benar kata orang tua zaman dahulu "Apapun yang cepat, itu akan membawa kehancuran, alon-alon kelakon, hati-hati asal selamat"
video ini relate banget om dengan kondisi sekarang, masyarakat pada sok tau mengenai vaksin yang jenisnya macam macam katanya bisa membuat begini begitu seolah-olah mereka pernah ikut pendidikan kesehatan atau faham mengenai ilmu kesehatan, kedokteran, dll .. apalagi di grup keluarga saya sampe jengkel liatnya pada sotau banget
Itulah kenapa target kampanye adalah dasar dari piramida, menang dalam jumlah, gampang untuk dibodohi tanpa merasa mereka dibodohi.. jaman digital gini makin gampang bikin propaganda macem itu,kekuatan confirmation bias
Kebodohan memang hak berdemokrasi. Namun kewajiban akan mencerdaskan kehidupan bangsa harus ditingkatkan juga. Terutama tentang politik, masyarakat harus diberikan pendidikan politik. Agar tidak salah tafsir, mana yang kejam diantara pelaku politik atau sistem politiknya
Sepakat Pak Martin. Namun dalam realitasnya, standart kepakaran menjadi institusi yang membelenggu. Contoh, gelar akademik menjadi penentu formal kepakaran, sehingga menolak standart lainnya.
Terima kasih atas penjelasan Anda, Bung Martin. Saya ingin bertanya satu hal yang barangkali bisa menjadi bahan diskusi kita semua di RUclips ini: Dengan perkembangan kesadaran tentang civil society, bukankah demokrasi modern juga menjamin ruang bagi aspirasi kepakaran, baik melalui asosiasi profesi, NGO, think tank, dan sebagainya, dalam setiap penentuan kebijakan publik? Wilayah-wilayah itu dapat menjadi penarik batas dari mereka yang asbun dan bodoh tanpa mengurangi hak demokratis mereka.
Saya jadi ingat ketika peradaban Yunani akhirnya runtuh ketika sophisme dan relativisme kebenaran lebih merasuk ke pemikiran masyarakat yunani ketimbang kedewasaan dalam berdemokrasi.
Salam hangat Kaka Martin, from Papua. Saya jadi belajar tentunya tidak harus berpatokan juga dengan metodelogis pembelajaran turun temurun yang sampai sekarang dengan pertanyaan knp masih digunakan meskipun faktanya ada juga yang tidak Logis ( pemikiran yang berdasarkan Kepercayaan ) dan saya sudah telan semua metode ini ketika menginjak bangku sekolah 🙏🏼😂 tentunya. Saya suka anda berfilosofi🔥 sehat selalu
Diantata gagasan representatif dan gagasan kompetensi, sebagai jalan tengahnya adalah apa kita sebut selama ini sebagai demokrasi. Yang memungkinkan keduanya bertemu dan dapat hidup berdampingan. Sebagai metode penegakan hak-hak antara keduanya kemudian kita sebut sebagai hukum dan konstitusi yang melandasi cara untuk "melayani kepentingan bersama" secara adil dan sejahtera. Keduanya bertemu pada sumbu yang sama "Demokrasi."
saya usul selanjutnya untuk mengetengahkan gagasan demokrasi. karena menurit saya inilah yang kemudian menjadi pertanyaan selanjutnya secara mendasar. Yaitu, demokrasi seperti apakah?, dan bagaimanakah? yang kemudian secara ideal dapat menjadi jalan keluarnya. Seperti, persoalan-persoalan terkait mengenai kebijakan, peneggakan hukum, akuntabilitas, transparansi, fasilitas publik, keterbukaan layanan informasi, dsb. Yang semuanya itu bisa menjadi capaian dalam kerangka pikir dan gagasan res-publika yakni, "melayani kepentingan bersama" hal ini memerlukan integritas leadership. Yakni menyoal kepemimpinan di arena kancah kekuasaan politik.
Secara umum sangat penting untuk terus meningkatkan kecerdasan masyarakat (salah satu tujuan bernegara) agar proses representasi yg dihasilkan menjadi lebih baik dan dapat membaca upaya distorsi dlm proses representasi. Penting juga kemudahan dalam mengakses informasi dengan seminimal mungkin terjadinya asimetrical informasi. Pada akhirnya proses representasi juga akan membentuk oligarki yg diharapkan menjadi oligarki yg memiliki kompetensi dan punya dignity
di era internet ini kl menurut sy yg disebut pakar itu msh ada bahkan buanyak meski bukan dlm konteks akademis keilmuan. misalnya, pakar2 kedengkian, pakar hoax, pakar gorengan isu, pakar fitnah, pakar provokasi, dsb, contohnya spt si roki ge-er dkk. 😁🤣
pada realita menjalankan kehidupan tidak selalu stuck di satu jalan, mungkin ada hal yang bisa kita selesaikan sendiri tanpa seorang pakar, tapi ada juga membutuhkan pakar,. menurut saya tinggal bagaimana kita bisa berfikir apakah suatu masalah cukup dengan tanpa pakar, atau harus mendangar pakar. sebelum kesiitu kembali lagi pada apakah pakar dapat memberikan sebuah kepercayaan dimana pada zaman seperti skrng bnyk sekali pakar abal" yang mengeluarkan hasil prediksi atau apapun itu dalam sebuah kajian akademis tapi di pengaruhi oleh kepentingan dalam kata lain penlitiannya tidak murni banyak di pengaruhi oleh katakan saja elit politik "di tunggangi". mnurut saya ada maslah kepercayaan disini, namun kepakaran tidak boleh mati.
Republikanisme itu lebih menitik beratkan kompetensi diatas representasi. Sebaliknya Demokrasi yang dikedepankan adalah representasi jauh diatas kompetensi. Dengan kata lain Demokrasi menganggap bahwa kebodohan adalah hak setiap pelakunya. Hanya saja yang jadi masalah dengan mengedepankan kompetensi lebih diatas dari representasi maka republikanisme hampir tidak ada bedanya dengan totalitarianisme. Ini menjadi ketegangan yang tak pernah selesai.
Menurutku haruslah ada kesetaraan mendapatkan pendidikan bermutu. Pemahaman akan sains harus ditanamkan sejak dini agar tidak terlalu melenceng dengan kenyataan. Nyatanya hierarki ekonomi lah yg menciptakan hierarki pendidikan.
Dan menurutku bukan hanya itu, diantara pakar dan masyarakat itu harus paham dulu apa itu sistem demokrasi dan bagaimana cara bekerjanya. Sehingga keduanya harus berkontribusi untuk perkembangan ilmu pengetahuan serta kebijakan yang sebisa mungkin tidak menimbulkan ketimpangan diantara pakar dan masyarakat. Saya ambil contoh kecil dalam dunia yg sedang krisis karena pandemi covid, dalam kasus itu jika pakar dapat mengemukakan pendapat konkrit tentang covid, alangkah baiknya seluruh publik yang terlibat disuatu negara dapat memahami inti pokok dari permasalahan yg sedang terjadi akibat dari krisis ini. Mau tak mau, kebijakan publik harus dibuat sekonkrit dan efektif mungkin. salah satu cara untuk memperoleh kebijakan yang konkrit dan efektif itu dapat diperoleh melalui kesetaraan pandangan yg luas dari seluruh masyarakat yg terlibat, mungkin lewat sosial media atau bertemu dan membicakan apa yg hendak didahulukan dalam kebijakan yg akan diputuskan.
Salah satu jalan keluar untuk menengahi perdebatan radikal antara Nicols dan Ranciere dilevel ranah pendidikan ialah dgn membangun edukasi berbasis pedagogi konsientisasi. Sebab, semua konflik/isu sosial berakar dari pendidikan yg carut-marut antara pedagogi indoktriner dgn pedagogi liberal. Jadi, pedagogi konsientisasi lah jawabannya. (Ingat: Pedagogi yg outputnya dpt menjadikan semua orang menjadi pakar utk dirinya sendiri sekaligus menjadi setara lantaran masing2 orang itu unik).
Para pakar ditantang untuk lebih demokratis, untuk lebih bisa menjelaskan ilmunya pada massa rakyat yg dianggap nonpakar. Sementara massa rakyat ditantang untuk menguji kepakaran para pakar, agar para pakar itu lebih membumi, karena jangan-jangan cuma ngaku pakar tapi ternyata disertasinya plagiat.
Setelah kelar nonton video ini, sa kmbali tonton lg video Martin yg sblumnya yaitu Pendidikan yang Membebaskan. Lalu sa jd brtanya2 bhw apaka kepakaran itu mrupakn hasil dr kultur pendidikan yg mengutamakn linieritas keilmuan semata? Kmudian brkaitan dg mudahnya stiap org mmperoleh informasi dan pngetahuan dewasa ini, yg mana dr hal trsebut mmbuka ksmpatan bg stiap org utk belajar ttg apapun, yg ada justru trjd bnyk kekacauan dan bias di sana-sini alih2 mngarah pd tumbuhnya kultur pndidikan sprti masa renaisans. Apaka hal ini krn tidak diiringi dg mmbangun nalar kritis sbb sistem trus mndesak khidupan utk brgerak cepat, trgesa-gesa, dan serba rutin?
Bukankah antara kompetensi dan representasi yang disebutkan tadi adalah dua hal yang sama-sama dimiliki oleh setiap warga negara? Maka seharusnya itu bukanlah sesuatu yang trade-of. Karena yang direpresentasikan itu hanya kepentingan politik bersama sementara kompetensi itu bagaimanapun akan tetap melekat di tiap-tiap individu. Dan tidak akan pernah bisa terwakilkan sekalipun oleh seorang "viewer" yang disebutkan itu.
Menurut saya batas antara representasi dan kompetensi ialah tetap jatuh kepada "Konstitusi" sebagai tolok ukur terakhir dalam negara Demokrasi!!! Karena bagi saya baik Kompetensi dan Kepakaran misalnya, tetap berlandaskan kepada representasi!!! Contoh dalam dunia kepakaran, walaupun menggunakan metodelogi apapapun untuk merumuskan atau menetukan Benar dan salah tetap asalnya dari representasi seseorang/kelompok yg kemudian di kukuhkan menjadi kebenaran. Namun tidak ada representasi mutlak , karena representasi bisa juga dibantahkan dengan representasi!!! Prihal dalam Negara Demokrasi, Baik kepakaran dan representasi sendiri dibutuhkan dalm setiap perumusan kebijakan, karena ini bukan menyangkit kepentingan satu dua orang melainkan banyak orang!!! Rakyat bisah salah dan Pemerintah juga bisa lebih banyak salah!!! Oleh karenanya butuh semacam alat /instrument untuk mewadahi itu semua!!! Unsur Kepakaran seseorang tidak akan hilang dan tetap akan menjadi rujukan sampai kapanpun, karena sudah menjadi nilai universal namun duel argumentasi dan ide dlam Demokrasi juga tidak bisa dianggap remeh atau hanya sekedar kosong, walaupun datangnya dari petani, nelayan atau gelandangan sekalipun karena Demokrasi menyediakan wadah bertengkar bagi semua pikiran-pikiran rakyatnya sendiri dan itu yg membuat bangsa ini asik dan unik. Oleh karena Hukum dan Konstitusi menjadi batas / tolon ukur trakhir untuk menilai relevansi dari perdebatan kita!!! Contoh terakhir kita berdepat tentang pencemaran Lingkungan, tpi apa yg dimaksud dengan pencemaran apakah hanya karena kita membuang sampah lagsung dikatakan mencemari lingkungan??? nah inilah bukti kongkrit dimana kompetensi dan refresentasi bekerja!!! Di refresentasi bilang kalau itu mencemari lingkungan, tetapi si kompetensi bilang itu belum dikatakan men cemari lingkungan karena hal lain dan sebagainya. Tetapi hukum tidak mengenal Kompetensi jikaulau ada hukum yg mengatakan jika membuang sampah adalah pelanggaran hukum, maka dia tetap dihukum walaupun secara kompetensi yg dia ketahui itu tidak mencemari!!! Terima kasih
@Andi Pangerang tentu karena sejak lahir otak kita gak rasional, ditambah notabennya org indo dari kecil dicekokinnya hafalan2 terus. Bukannya budaya inisifiatif melakukan sesuatu dan bertanya. Banyak faktornya sih, sopan santun, budaya, agama, norma yang turun temurun dipegang.
Siip, di jaman begini apalagi di negara kita banyak orang asbun orang bicara yg didengar dilihat dari kuasanya dan power ekonominya, tradisi akademis dan intelektual kepakaran hancur.
di era internet ini kl menurut sy yg disebut pakar itu msh ada meski bukan dlm konteks akademis keilmuan. misalnya, pakar2 kedengkian, pakar hoax, pakar gorengan isu, pakar fitnah, pakar provokasi, dsb, contohnya spt si roki ge-er dkk. 😁🤣
BEBAS..! BUKAN BERARTI MEMBEBASKAN SEGALANYA.. MEMBERIKAN KEBEBASAN KEPADA JIWA²/MINDSETT YANG CENDERUNG AKAN MEMANGSA KEBEBASAN YANG LAINNYA.. (KALIBRASI KOMPAS MORAL) 👻 👿 🔱 🇲🇨 🏴☠️ 🚫 🎤 🐫💩🍻 ⛔ 💀 🌏 🚀 🐐 🐾
Makasih videonya. Tapi masih penasaran sama penjelasan sains tentang bumi datar yg meneropong kapal. Akal sehat saya belum sehat ternyata hahaha. Kalau yg lainnya saya masih bisa menjelaskan.
Lalu, apakah yang tidak pakar ini bisa menjadi seseorang yang pakar akan sesuatu bidang? Apa syarat atau pada saat apa seseorang sebenarnya bisa dikatakan pakar? Pada kesetaraan, semua rakyat bisa berargumen mengenai suatu masalah bersama dengan para pakar yang telah diakui. Kemudian terjadilah diskusi, debat, saling argumen diantara mereka. Dan pada akhirnya dapat suatu kesimpulan yang bisa sama-sama disepakati kedua pihak. Bagaimana kita dapat memandang hal ini?
Bisa saja kita sebut pakar, tetapi sebaikya bergradasi. Pakar dengan jam terbang tinggi di bidang governance tentu tdk sama dengan pakar teoritis. Kepakaran praktisi juga tdk otomatis terdokumentasikan sehingga tdk terditeksi oleh penyedia data internet. Kita bisa lihat Pak Jkw misalnya. Mungkin tdk ada dalam literasi manapun seorang presiden tidak patuh pada SOP protokol kepresidenan. Pun para akademisi tdk pernah berpikir bahwa ketiadaan GBHN di era reformasi akan membahayakan stabilitas perwujudan rencana jangka panjang (Indonesia Emas). Pasalnya sistem demokrasi tdk melarang aspirasi perubahan. Blm lagi pola pembiayaan pembangunan sudah bervariasi. Investasi yang peranannya paling dominan sangat mobile lantaran ketersedian saluran mobilitas global. Pun para pengusung slogan demokratis-demokratis ternyata juga tdk paham bahwa sistem demokrasi kita sdh tdk compatible dengan dinamika nyata. Pun tdk menyangka bahwa lembaga-lembaga dunia dilawan, spt WTO dan IMF. Begitu pula seruan lock down di masa pandemi tdk diindahkan Pak Jkw. Dan masih banyak lagi talenta, karakteristik dan gaya kepemimpinan beliau yang tdk tertangkap oleh penyedia data internet. Buktinya pada shock, bahkan menimbulkan kebencian berpkepanjangan. Yg disayangkan, para akademisi begitu PD-nya mengkritik wilayah praktisi. Ini jelas tdk imbang. Kepakaran di bidang teori digunakan untuk meng-assess lapangan kompleks yang para praktisi pun sulit menjadi pakar beneran.
nanti jika para pakar sains selalu dijadikan rujukan untuk membuat keputusan politik, apakah ada kemungkinan para pakar sains nanti akan jadi advokat/ hanya menggunakan ilmu sains sebagai pendukung keputusan pribadinya?.
berarti karena situasi hari ini sangat mudah didapatkan sehingga pakar dapat ada karena bagaiamana iya menradikalkan pikirannya, jadi apakah sekolah dapat di bubarkan
Didalm tulisan saya berjudul Manifesto Politik Berbasis Meritokrasi, saya berpendapat bahwa kepakaran dan kebebasan (kesetaraan) harus didasari oleh kebebaaan yang lebih tinggi. Apa itu kebebasan yang lebih tinggi? Definisi dari kebebasan yang lebih tinggi saya tersebut adalah bahwasanya kebebasan untuk memilih diantara semua pilihan, pilihan/opsi mempertahankan eksistensi setiap manusia (kehidupan individu) dan memberikan pilihan yang lebih luas kepada setiap individu adalah yang paling prioritas. Akan tetapi, eksistensi individu tersebut adalah yang paling tinggi. Kepakaran harus dibuat untuk mengayomi dan hanya kepada memberikan keamanan terhadap kehidupan atau eksistensi serta pilihan yang lebih banyak. A Saya bukan filsuf bung martin, tapi saya punya pemikiran yang sama yang saya bangun sejak lama.
Kepakaran akan melakukan intervensi kepada kebebasan jika didapatkan bahwa tindakan pengekspresian individu tersebut mencederai kebebasan manusia lainnya dan bahkan eksistensi manusia tersebut. Selain pada itu, kepakaran harus tidak boleh mengintervensi. Kepakaran hanya cukup mengintervensi hal hal yang secara saintifik terbukti mengancam kebebasan dan eksistensi kita semua
Menurut saya, dilema kepakaran vs representasi bisa diselesaikan dengan pendidikan yang memadai. Rakyat tetap memegang otoritas politik, namun pilihan mereka didasarkan atas kepakaran yang didapat dari pendidikan. Lalu, pendidikan seperti apa yang memadai? Siapa yang menentukan apakah suatu sistem pendidikan itu memadai atau tidak? Rakyat atau pakar? Nah, lho. Wkwkwkwkwk.
Menurut saya, demokrasi tidak seharusnya memaklumi kebodohan secara mutlak. Adanya pengetahuan bahwa kebodohan dapat ikut serta dalam demokrasi seharusnya menggambarkan bagaimana pentingnya memberikan informasi kebenaran kpd semua pihak agar mampu berpikir secara rasional dan mampu mengambil keputusan secara rasional pula. Tentunya informasi kebenaran menurut para pakar yang lepas dari kekuasaan krn kebenaranpun bisa menjadi relatif tergantung dr siapa yg memiliki kebenaran tsb. Apakah pilihan rakyat dalam demokrasi bisa salah? Menurut saya sangat bisa jika pilihannya tidak berdasarkan rasionalitas, tidak bersumber pada informasi kebenaran yg tepat, dan (dalam konteks Republik) tidak mampu menghasilkan dampak yg bermanfaat bagi kepentingan publik atau malah merugikan publik itu sendiri. Terkait hal terakhir ini, mungkin nanti diperlukan definisi publik tersendiri.. Maaf kalau kurang nyambung.. saya newbie dalam filsafat. Itupun baru dengan melihat channel ini :)
Kalau merujuk kepada cara berpikir Kennedy F John, terkait keinginannya utk mencapai bulan.Kemudian dia mengumpulkan para pakar astronot Amerika utk menyampaikan keinginannya bahwa kita (Amerika) mau ke bulan, lalu diberi kesempatan kepada para pakar utk buat semacam metode atau cara supaya Amerika mencapai bulan dan itu terwujud. Itu gimana, kan termasuk bentuk dari demokrasi juga. Cara ini juga bisa digunakan dlm demokrasi untuk pencapaian tujuan Negara. Misalnya gimana supaya kita bisa sejahtera, adil dan makmur, maka bisa di kumpul para pakar utk jelaskan caranya...Salam! .
kalo berbicara ukuran kebenaran dan kesalahan tersebut harus ada bukti baru bisa disebut benar atau salah bisa juga diukur dengan ilmu pengetahuan Undang undang maupun Kitab Agama.
Saya ingat demokrasi yg didefinisikan oleh Rocky Gerung: Kepemimpinan rakhyat melalui kepemimpinan akal. Rupanya ia mencoba untuk mencari penyelesaian antara 2 ketegangan yg dijelaskan di atas, yaitu dgn tetap menjunjung ide kesetaraan (kerakhyatan) dgn tidak membuang kepakaran. Namun kepakaran tidak dilihat sebagai kumpulan orang pandai tetapi akal sehat. Bagaimana pendapat bro?
Menurut saya keahlian ga akan mati, meskipun ada internet tetap saja mayoritas informasi yang dipercaya berasal dari ahlinya, dengan kata lain infonya disediakan oleh ahlinya.. mungkin jumlah ahlinya saja yang tidak diperlukan sebanyak dahulu.. seperti saya belajar filsafat di internet, tapi kan yang masukin apa yang saya pelajari dimasukkan oleh pak Martin.. terkait perbedaan pendapat misalnya tentang bumi datar atau bulat, terjadinya perbedaan pendapat diantara kaum awam menurut saya utama nya adalah krn mereka yang mengklaim dirinya ahli pun berbeda pendapat, tinggal kaum awam mau percaya yang mana.
Komunikator Sains adalah salah satu profesi yang bisa diperoleh dengan menempuh pendidikan di prodi ilmu komunikasi. Bagaimana cara Komunikator Sains memiliki pengetahuan tentang sains? Apakah dengan membaca buku populer? Jika iya, Apakah Komunikator Sains dikategorikan sebagai pakar ataukah sebagai awam?
Apakah materi-materi kurikulum sekolah masih berlaku? Karena di masyarakat kehidupan terus berubah artinya lu sekolah 3 tahun pas keluar sekolah materi yg dipelajari gak relevan lagi di kehidupan sosial. Tapi yg w rasain sih kek Dejavu
Kepakaran itu harus juga digabungkan dengan persuasi, kemampuan menerjemahkan pengetahuan dan kesadaran menjadi sarana mobilisasi massa. Pakar harus bisa berkampanye untuk memobilisasi massa agar masyarakat luas bisa mengambil keputusan yang tepat dan kemudian bertindak tepat.
Jadi pakar menyampaikan pendapatnya lewat media, masyarakat mengambil keputusan.
Problem: banyak hoax, banyak money politics.
Ini bukan solusi sih.
Cuma mau memperumit masalah aja.
dan menurutku bukan hanya itu, diantara pakar dan masyarakat itu harus paham dulu apa itu sistem demokrasi dan bagaimana cara bekerjanya.
sehingga keduanya harus berkontribusi untuk perkembangan ilmu pengetahuan serta kebijakan yang sebisa mungkin tidak menimbulkan ketimpangan diantara pakar dan masyarakat.
saya ambil contoh kecil dalam dunia yg sedang krisis karena pandemi covid, dalam kasus itu jika pakar dapat mengemukakan pendapat konkrit tentang covid, alangkah baiknya seluruh publik yang terlibat disuatu negara dapat memahami inti pokok dari permasalahan yg sedang terjadi akibat dari krisis ini.
mau tak mau, kebijakan publik harus dibuat sekonkrit dan efektif mungkin. salah satu cara untuk memperoleh kebijakan yang konkrit dan efektif itu dapat diperoleh melalui pandangan yg luas dari seluruh masyarakat yg terlibat, mungkin lewat sosial media atau bertemu dan membicakan apa yg hendak didahulukan dalam kebijakan yg akan diputuskan.
Wiiiihhh ada Pak Warsono.... Apa kabar Pak...
Milord
@@fristiansetiawan6291 Kabar baik. Bagaimana dengan Anda?
Jika hoax dan politik uang jadi candu buat demokrasi, seharusnya kita tahu kedua candu tersebut menjawab kebutuhan masyarakat, entah itu kebutuhan biologis (cnth. Lapar) maupun psikis (cnth. Kecemasan).
Disatu sisi ranah pakar memiliki sifat spesialis, dimana menekankan pada satu variabel tertentu, tentu saja hal patikular macam ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kebutuhan yang tidak terpenuhi dan pakar yang tidak koresponden dengan masyarakat inilah yang nantinya jadi sarang bagi hoax dan politik uang.
hoax tidak dapat dimusnahkan karena masyarakat selalu membutuhkan ruang untuk berimajinasi, mengenai harus adanya faktor X yang menyebabkan keterpurukan mereka. Perlu kita ingat bahwa semua orang bisa tahu ketika mereka lapar, tapi tidak semua orang tahu kalo mereka cemas.
Solusinya, pakar harus koresponden dengan kebutuhan masyarakat dan memahami faktor reaktif dari setiap pilihan, melalui pendidikan dan ruang diskusi harus ditanamkan sifat berpikir kritis dalam masyarakat.
Video ini Menyajikan masalah dan pertanyaan, bukan solusi, jadi seru.
Saya sendiri menentang "matinya kepakaran" yang absurd tersebut. Jika hanya dengan belajar dari wikipedia atau menonton youtube semua orang akan menjadi dokter, psikolog, filsuf dan para ahli lainnya, tidak perlu lagi ada yang namanya universitas, pusat penelitian, peer-review jurnal ilmiah, dll. Tetapi nyatanya lembaga2 itu masih ada, yang berarti bahwa matinya kepakaran itu omong kosong. Dunia masih butuh para pakar dan lembaga2 tempat kepakaran dibentuk.
Saya juga setuju banget sama Bang Martin soal metodologi. Itu bukan sesuatu yang dapat dipelajari secara otodidak begitu saja dari internet dan youtube. Butuh bimbingan serta diskusi panjang dengan teman sejawat, senior, dan tutor. Mungkin ada yang bisa secara otodidak, tetapi jumlahnya adalah minoritas. Mayoritas orang butuh kepakaran beserta lembaga2nya sebagai referensi terpercaya.
Saya tidak setuju kalau ada yang bilang kepakaran berarti matinya demokrasi. Justru kepakaran menjadi penyeimbang bagi demokrasi agar tak jadi anarki mayoritas. Mengutip Yuval Noah Harari, demokrasi itu soal kebijakan yang sesuai dengan hasrat orang banyak. Namun yang namanya hasrat itu kadang irasional. Adalah fungsi lembaga2 kepakaran untuk menyadarkan orang banyak itu dari kekeliruan dan menunjukkan pengetahuan yang benar.
Meski demikian, baik demokrasi dan kepakaran memiliki otonomi masing2. Demokrasi jangan sampai jadi keblinger memaksakan orang untuk percaya hal2 yang takhyul dan tak ilmiah (cth: bumi datar, covid itu hoax, vaksin bikin idiot). Begitu juga kepakaran cukuplah menyediakan rekomendasi bagi pembuat kebijakan tanpa tendensi untuk menjadi elitis. Jangan seperti Dawkins yang mengusulkan bahwa suara ilmuwan dihitung dua sedang orang biasa cukup satu. Seolah-olah dunia hanya milik para ilmuwan saja.
Saya kira posisi Harari sama seperti Bang Martin. Tidak memihak Nichols dan juga tidak memihak Ranciere. Tetapi berdialektika di antara kedua kutub tadi untuk menciptakan satu sintesis baru yang melampaui.
Kayaknya matinya kepakaran ini diperparah oleh media massa seperti TV yang mewawancarai seseorang yang tidak kapabel kayak fenomena gempa bumi tapi yang diwawancarai artis sinetron.
@@andreaciptapratama319 Ya, saya juga setuju. Sekadar menambahkan kalau wawancara selebriti terkait bencana dll juga dapat menciptakan imej positif bagi seleb tersebut serta mendongkrak rating acara. Secara bisnis sih oke, tapi secara keilmuan sih no.
Masook
Kalau saya menganggap bahwa dalam hal dimana orang tersbut pakar, maka harusnya suaranya lebih tinggi bung.
Tetapi, masyarakat banyak boleh menolak. Asal saja, pakar tersebut harus mengkontraskan dan membuat mudah ilmu yang dipakarinya sehingga memudahkan masyarakat dalam hal literasi dan akhirnya mereka legowo untuk memilih.
Karena begitu mereka paham, maka bodohlah kalau mereka menolak.
Buku Matinya Kepakaran - Tom Nichols sebetulnya memotret realita yg terjadi hari ini. Maraknya hoax, teori konspirasi, pseudosains dsb disebabkan karena orang2 awam merasa suaranya sama seperti pakar yg udah belajar bertahun2.. Mereka hanya berargumen tanpa dasar bukti empiris dan basis metodologi yg runut.
Gw sepakat dgn Nichols bahwa skrg kecenderungannya sedang ke arah sana. Dan tugas kita semua dan yg merasa pakar beneran adalah membumikan literasi2 sains bermutu agar bisa dipahami oleh awam.
Benar sekali kaka. Ternyata bukan hanya produk makanan yang berlabel instant, namun cara berpikir juga. banyak orang sampai pada kesimpulan tanpa proses dan cara. akibatnya, pengetahuannya kurang mengakar dan cepat menguap. salam dari NTT.
New fan from Malaysia. Keep it up👍
Jadi teringat satu hadist tentang topik ini,
"Apabila sebuah urusan/pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bersiaplah menghadapi hari kiamat" (HR. Bukhari).
" kepakaran tidak akan pernah mati" (antonius rudi, 2022)
mungkin setiap orang yang bisa mengakses sumber informasi dari apa saja termasuk internet, tapi tidak semua orang bisa secara efektif menggunakan informasi yang didapatkan dari sumber itu sendiri.
Mungkin inilah gunanya pendidikan yang baik. Saya yakin pendidikan yang baik akan menghasilkan pakar-pakar yang dapat saling menghargai otoritas keilmuan di luar bidangnya. Setiap orang pada dasarnya pakar di bidangnya masing-masing tapi awam di luar bidangnya. Dengan adanya sikap saling menghargai kepakaran di luar bidang keahliannya, seharusnya tidak ada konflik kepentingan republikan dan demokrasi.
Terima kasih mas Martin...akhirnya saya ketemu langsung pengarang buku Sejarah Estetika ...senang bisa belajar lebih banyak di channel ini. Membuka cakrawala berpikir dan meluaskan wawasan pengetahuan. 🙏❤️
setelah melihat fenomena catur yang ramai belakangan ini, saya disuguhi dengan video ini, pembahasan yang menarik...
Micnya udah bagus banget🙏👍
Justru di zaman serba digital dan teknologi yg serba pesat ini, eksistensi kepakaran sgt dibutuhkan untuk menciptakan terobosan" baru yg lbh terarah dan simulatif (dinamis / scalaable sebagai jawaban secara profesional dan proporsional sesuai konteks tuntunan kondisi yg ada).. Era kita hidup dalam cermin digital saat ini selain positifnya memberi banyak kemudahan pun tak terlepas dr hal" yg negatif.tanpa batas..
Saya sendiri tetap percaya akan demokrasi akan menghantarkan pd kehidupan yg lbh baik walaupun sisi negatifnya penyamarataan namun hal tersebut dapat ditepis dgn peran pro aktif para ahli untuk lebih merepresentasikan kehidupan yg semestinya.. Memang secara kuantitatif antara Ahli dan Awam terhitung sama, tp dr segi kualitatif peranan Ahli dapat berbanding 1001 atau bahkan lebih dgn 1 awam jika peranannya dilakukan secara pro aktif.. Masalahnya, selain para ahli tidak diberi keluasan pengaruhnya dlm politik (dibatasi dlm UU) pun upaya pemerintah dlm mencerdaskan bangsa di sektor pendidikan dan penelitian dukungannya masih minim dan selain bangsa Indonesia sendiri masih menganggap sains dan teknologi sesuatu yg bukanlah prioritas utama.. Mungkin seiring waktu ke depan sainstek akan mulai disadari bagian prioritas utama..
Di lain hal jika kita kembali pd sistem sebelum demokrasi sama halnya terjadi kemunduran (dr keterbukaan menjadi serba tertutup).. Olehnya Demokrasi tetap di pertahankan dan seiring pemahaman dan kedewasaan berfikir masyarakat semakin tumbuh dimana pengetahuan yg luas dan mudah di peroleh secara digital teknologi bukan berarti secara pengetahuan dan ilmu pun dengan serta Merta langsung mendalam tentunya butuh proses yg lama sehingga kedalaman keilmuan seseorang tsb mencapai pada tahapan Ahli atau sangat Ahli yg ditunjang dan seiring dgn pesatnya pula pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri..
Sampai saat ini pendidikan dan karakter bangsa Indonesia masih belum dewasa baik dlm menyikapi segala perbedaan maupun masalah yg ada.. Dan mungkin seiring waktu dan perubahan ke depan akan lbh berpandangan dan berfikir maju dimana bangsa yg besar adalah bangsa yg menghormati ilmu pengetahuan plus teknologi, namun tidak melupakan identitas kearifan lokalnya yg mampu ditumbuhkan secara paralel..
tapi nih, tanpa pemberontakan kaum awam, KMRT Lord Roy Suryo pasti masih dianggap "pakar telematika", enak bener idupnya ngga susah2 berburu video Ariel, dkk. Malah dikasi nonton tros cuma dimintai testimony by feeling
Di kalangan praktisi teknologi informasi ("telematika"), nama Roy Suryo sangat jarang (atau tidak pernah) disebut-sebut ketika membahas topik-topik terkait teknologi. Roy Suryo lebih cocok disebut penggemar daripada pakar. Kalaupun disebut pakar, kepakarannya lebih ke arah gambar atau video (yang lebih cocok dengan latar belakang pendidikannya).
Tema2nya semakin keren. Kapan2 berkenan kiranya om Martin bahas absurditas Camus. Sepertinya masih relevan sampai hari ini🙏
Uppp hehe
up
Up
Seorang pakar awam dari internet jika dipadu dengan bakatnya, sangat memungkinkan melebihi pakar by metodologi.
Pakar itu bukan hanya AHLI tapi juga harus pakai NURANI.
Kalau memang NEGARA dalam keadaan DARURAT haruslah jelas DEFINISINYA, bukan asal bacod yg membuat RAKYAT RESAH, dan disaat TIDAK TERBUKTI akan ditertawakan RAKYAT.
Pakar macam REFLY HARUN, SAID DIDU, ROY SURYO, AMIEN RAIS itu dasarnya SAKIT HATI saja bukan benar2 memperjuangkan RAKYAT, BANGSA dan NKRI.
MEREKA MEMELIHARA PEMBENCI dan KEBENCIAN hanya demi EKSISTENSI DIRI di dunia MEDIA SOSIAL dan MAINSTREAM.
Ada lagi pakar macam EEP yg analisanya sudah tidak sehat karena menafikan REALITAS, saat kliennya kalah karena SALAH STRATEGI yg diolah dari data yg diajukan EEP, maka KEBENCIAN saja yg terlihat dari dia.
KEPAKARAAN TAKKAN MATI SELAMA DIA REALISTIS DAN RASIONALIS, maka ucapan dan pemikirannya akan dipercaya dan dihormati masyarakat.
Contohnya banyak, seperti ADE ARMANDO, GURU GHEMBUL, QODARI, HASAN NASBI, BAMBANG PACUL, ET, SRI MULYANI, BASUKI MENTRI PUPR, IGNASIUS JONAN, DAHLAN ISKAN, SOBARY, AHMAD SAHAL, JOKOWI, masih banyak lagi.
Luar biasa kajian sangat rasional GBU
Dilema ini mencerminkan ketegangan antara dua konsep kunci dalam demokrasi: kompetensi (keahlian) dan representasi (kesetaraan). Tom Nichols dan Jacques Rancière mewakili dua ujung spektrum dari perdebatan ini. Di satu sisi, Nichols mengkhawatirkan ketidakmampuan publik dalam mengambil keputusan yang benar tanpa panduan ahli, sementara Rancière menekankan kesetaraan politik dan potensi partisipasi semua orang tanpa hambatan hierarkis.
Dilema ini menunjukkan bahwa ada batasan dalam kedua pendekatan jika diterapkan secara ekstrem. Nichols menyadari bahwa mengabaikan keahlian dapat menimbulkan risiko besar, tetapi di sisi lain, dia tidak mengesampingkan perlunya representasi demokratis. Demikian pula, Rancière memperjuangkan kesetaraan, tetapi mungkin menyadari bahwa kompetensi juga dibutuhkan dalam pengambilan keputusan yang tepat. Sebuah solusi potensial adalah menemukan keseimbangan antara keduanya.
bener bang setuju metodelogi yang sistematis krasionalitasan mendukung kewarasan dan kebermanfaatan
ikutilah apapun yang sejajar dengan perkembangan kemudahan INFORMASI
yang membedakan antara pakar yang benar2 pakar dengan seseorang yang memperoleh suatu pengetahuan dari internet, wikipedia, youtube dsbadalah "Metodelogi"
Jika semua suara awam di angggap sebuah kebenaran harus di dengar dan di penuhi maka hancurlah semua maka itu perlu suara awam itu di musyawarahkan dan di wakiili oleh pakar
Seharusnya metodologi dijadikan mata pelajaran utama sejak pendididikan dasar(sebelum matematika, sejarah, IPA, IPS) sehingga generasi yang baru banyak yang paham metodologi tapi kurang informasi🤭 cari infonya di internet ajaa.. Sehingga terwujud representasi yang mendekati kompetensi.
Setuju
Saya malah skeptis liat anak2 jaman skr yg kerjaanya sosmed sama ngegame
kalau dimulai dari dasar saya pikir akan menjadi rumit karena anak di pendidikan dasar belum mampu menelaah hal serumit ini
Saya pikir di smp atau di sma
@Reda Purwakanda sbnarnya etika dari orang tua itu sama arti dengan sosial kan? Cuma mereka(anak-anak) blom menyadari bahwa yang orang tua mereka ajarkan adalah pengetahuan sosial berbentuk etika.
Bocil nalarnya belum nyampe ke level eksak
Terima kasih.
Hadir nyimak
khusus untuk Indonesia, menurut saya memilih kompetensi di atas representasi, alasannya kecerdasan rakyat Indonesia masih di bawah rata2. Intinya sistem pemerintahan kita serahkan kepada orang2 akademisi, tetapi dengan syarat kelompok militer harus NETRAL..
Ketika saya ingin tahu sesuatu saya cari di internet, paling enak di RUclips karena diceritakan bahkan kadang disertai video atau tulisan rujukan. Misal saya ingin belajar filsafat saya tidak tau buku apa yg harus saya baca dulu. Sekarang saya cukup cari tau di RUclips dan bertaut dengan channel ini, banyak channel lain tapi saya abaikan karena ngomong nggak jelas, bahkan nggak ada gambar orangnya. Setelah itu saya browsing tentang pembicaranya, saya tanya teman yg dulu kuliah filsafat ...siapa Martin Suryajaya dll. Baru saya putuskan subscribe. Kebanyakan orang memang menelan mentah mentah apa yg di sampaikan di internet....tapi itu dulu saat ini orang juga paham kok tentang pentingnya mencari berita yang sebenarnya, yang masih sering terjadi sekarang misal adanya bencana alam disana sini...relatif tidak pengaruh pada lingkungan WAG saya karena selalu ditampik oleh anggota lain bahwa itu hoax. Tapi disatu sisi media internet terutama RUclips adalah panggung nya para pakar untuk menyampaikan ilmu dan pendapat. Para pakar bisa membuat channel yang semua orang akan mengakui channel nya sebagai rujukan dan terpercaya (dalam lingkup ilmu tertentu aliran tertentu).
Ulasannya Mas Martin keren.... Saya Sekedar berpendapat, bahwa kepakaran lebih pada proses pembimbingan pikiran, bukan pada dominasi hak berpikir. Boleh jadi domain para pakar ada pada pemikiran, tapi pikiran biarkan saja menjadi domain siapa pun yang konsern.... 🙏🙏🙏
Penyebabnya adalah tujuan kolektif / ideologi hanya bisa di deklarsikan secara abstrak dan berlebihan / over, sehingga tidak bisa diukur, contoh cita2 bangsa / bersama adalah masyarakat makmur, jadi ketika reprsentasi berjalan dan bertindak ukuran berhasil atau gagalnya jadi bias karena setiap orang bisa menafsirkan secara subjektif, beda kalo cita2 bersama adalah pertumbuhan 5%, disitulah masing2 bisa menerima kenyataan bahwa representasi yg dimaksud bsa divonis adalah salah / gagal, kompeten/berhasil
fenomena dewa kipas membuktikan bahwa pakar sudah mati. Orang indonesia lebih percaya pada sensasi daripada percaya perkataan dari pakar catur yang sudah grandmaster. Saya juga termasuk yang ikut arusnya. semoga saya bisa memperbaiki pola pikir saya. Memang benar kata orang tua zaman dahulu "Apapun yang cepat, itu akan membawa kehancuran, alon-alon kelakon, hati-hati asal selamat"
video ini relate banget om dengan kondisi sekarang, masyarakat pada sok tau mengenai vaksin yang jenisnya macam macam katanya bisa membuat begini begitu seolah-olah mereka pernah ikut pendidikan kesehatan atau faham mengenai ilmu kesehatan, kedokteran, dll .. apalagi di grup keluarga saya sampe jengkel liatnya pada sotau banget
Itulah kenapa target kampanye adalah dasar dari piramida, menang dalam jumlah, gampang untuk dibodohi tanpa merasa mereka dibodohi.. jaman digital gini makin gampang bikin propaganda macem itu,kekuatan confirmation bias
Kebodohan memang hak berdemokrasi. Namun kewajiban akan mencerdaskan kehidupan bangsa harus ditingkatkan juga. Terutama tentang politik, masyarakat harus diberikan pendidikan politik. Agar tidak salah tafsir, mana yang kejam diantara pelaku politik atau sistem politiknya
Ada kisah menarik yang sama kya gini, tentang supir pribadi seorang doktor sains..
Terimakasih pencerahaannya. Sy doakan om martin sehat selalu .amin
Sepakat Pak Martin.
Namun dalam realitasnya, standart kepakaran menjadi institusi yang membelenggu. Contoh, gelar akademik menjadi penentu formal kepakaran, sehingga menolak standart lainnya.
Terima kasih atas penjelasan Anda, Bung Martin. Saya ingin bertanya satu hal yang barangkali bisa menjadi bahan diskusi kita semua di RUclips ini: Dengan perkembangan kesadaran tentang civil society, bukankah demokrasi modern juga menjamin ruang bagi aspirasi kepakaran, baik melalui asosiasi profesi, NGO, think tank, dan sebagainya, dalam setiap penentuan kebijakan publik? Wilayah-wilayah itu dapat menjadi penarik batas dari mereka yang asbun dan bodoh tanpa mengurangi hak demokratis mereka.
Demokrasi tu baik saat ini dan akan berakhir juga.
Saya jadi ingat ketika peradaban Yunani akhirnya runtuh ketika sophisme dan relativisme kebenaran lebih merasuk ke pemikiran masyarakat yunani ketimbang kedewasaan dalam berdemokrasi.
Keren
Salam hangat Kaka Martin, from Papua. Saya jadi belajar tentunya tidak harus berpatokan juga dengan metodelogis pembelajaran turun temurun yang sampai sekarang dengan pertanyaan knp masih digunakan meskipun faktanya ada juga yang tidak Logis ( pemikiran yang berdasarkan Kepercayaan ) dan saya sudah telan semua metode ini ketika menginjak bangku sekolah 🙏🏼😂 tentunya.
Saya suka anda berfilosofi🔥 sehat selalu
Menarikkkkkk
Diantata gagasan representatif dan gagasan kompetensi, sebagai jalan tengahnya adalah apa kita sebut selama ini sebagai demokrasi. Yang memungkinkan keduanya bertemu dan dapat hidup berdampingan. Sebagai metode penegakan hak-hak antara keduanya kemudian kita sebut sebagai hukum dan konstitusi yang melandasi cara untuk "melayani kepentingan bersama" secara adil dan sejahtera. Keduanya bertemu pada sumbu yang sama "Demokrasi."
saya usul selanjutnya untuk mengetengahkan gagasan demokrasi. karena menurit saya inilah yang kemudian menjadi pertanyaan selanjutnya secara mendasar. Yaitu, demokrasi seperti apakah?, dan bagaimanakah? yang kemudian secara ideal dapat menjadi jalan keluarnya. Seperti, persoalan-persoalan terkait mengenai kebijakan, peneggakan hukum, akuntabilitas, transparansi, fasilitas publik, keterbukaan layanan informasi, dsb. Yang semuanya itu bisa menjadi capaian dalam kerangka pikir dan gagasan res-publika yakni, "melayani kepentingan bersama" hal ini memerlukan integritas leadership. Yakni menyoal kepemimpinan di arena kancah kekuasaan politik.
bagus bang Martin
Keren bang👍👍
Dupa nya mantap, harus selalu menyala. Ciri khas pak Martin 😁😀
Shure, ciamik om
Secara umum sangat penting untuk terus meningkatkan kecerdasan masyarakat (salah satu tujuan bernegara) agar proses representasi yg dihasilkan menjadi lebih baik dan dapat membaca upaya distorsi dlm proses representasi. Penting juga kemudahan dalam mengakses informasi dengan seminimal mungkin terjadinya asimetrical informasi. Pada akhirnya proses representasi juga akan membentuk oligarki yg diharapkan menjadi oligarki yg memiliki kompetensi dan punya dignity
di era internet ini kl menurut sy yg disebut pakar itu msh ada bahkan buanyak meski bukan dlm konteks akademis keilmuan. misalnya, pakar2 kedengkian, pakar hoax, pakar gorengan isu, pakar fitnah, pakar provokasi, dsb, contohnya spt si roki ge-er dkk. 😁🤣
Predikat kepakaran menjadi perenungan akan nilai kemaslahatan universal bagi kondisi obyektif fenomena natural/kodrati dinamikanya.
Ada kemajuan bang Martin mangats buat konten 👏👏
pada realita menjalankan kehidupan tidak selalu stuck di satu jalan, mungkin ada hal yang bisa kita selesaikan sendiri tanpa seorang pakar, tapi ada juga membutuhkan pakar,. menurut saya tinggal bagaimana kita bisa berfikir apakah suatu masalah cukup dengan tanpa pakar, atau harus mendangar pakar. sebelum kesiitu kembali lagi pada apakah pakar dapat memberikan sebuah kepercayaan dimana pada zaman seperti skrng bnyk sekali pakar abal" yang mengeluarkan hasil prediksi atau apapun itu dalam sebuah kajian akademis tapi di pengaruhi oleh kepentingan dalam kata lain penlitiannya tidak murni banyak di pengaruhi oleh katakan saja elit politik "di tunggangi". mnurut saya ada maslah kepercayaan disini, namun kepakaran tidak boleh mati.
Historiografi, keingetan jaman kuliah dulu.
Republikanisme itu lebih menitik beratkan kompetensi diatas representasi. Sebaliknya Demokrasi yang dikedepankan adalah representasi jauh diatas kompetensi. Dengan kata lain Demokrasi menganggap bahwa kebodohan adalah hak setiap pelakunya. Hanya saja yang jadi masalah dengan mengedepankan kompetensi lebih diatas dari representasi maka republikanisme hampir tidak ada bedanya dengan totalitarianisme. Ini menjadi ketegangan yang tak pernah selesai.
Menurutku haruslah ada kesetaraan mendapatkan pendidikan bermutu. Pemahaman akan sains harus ditanamkan sejak dini agar tidak terlalu melenceng dengan kenyataan. Nyatanya hierarki ekonomi lah yg menciptakan hierarki pendidikan.
Bedahnya enak banget dimengerti abang ini👍🏼
izin nyimak maha guru🐗
Terimakasih Bung!
Perihal kebenaran informasi
Tmbh lagi dong Bung durasinya...
Dan menurutku bukan hanya itu, diantara pakar dan masyarakat itu harus paham dulu apa itu sistem demokrasi dan bagaimana cara bekerjanya.
Sehingga keduanya harus berkontribusi untuk perkembangan ilmu pengetahuan serta kebijakan yang sebisa mungkin tidak menimbulkan ketimpangan diantara pakar dan masyarakat.
Saya ambil contoh kecil dalam dunia yg sedang krisis karena pandemi covid, dalam kasus itu jika pakar dapat mengemukakan pendapat konkrit tentang covid, alangkah baiknya seluruh publik yang terlibat disuatu negara dapat memahami inti pokok dari permasalahan yg sedang terjadi akibat dari krisis ini.
Mau tak mau, kebijakan publik harus dibuat sekonkrit dan efektif mungkin. salah satu cara untuk memperoleh kebijakan yang konkrit dan efektif itu dapat diperoleh melalui kesetaraan pandangan yg luas dari seluruh masyarakat yg terlibat, mungkin lewat sosial media atau bertemu dan membicakan apa yg hendak didahulukan dalam kebijakan yg akan diputuskan.
Salah satu jalan keluar untuk menengahi perdebatan radikal antara Nicols dan Ranciere dilevel ranah pendidikan ialah dgn membangun edukasi berbasis pedagogi konsientisasi. Sebab, semua konflik/isu sosial berakar dari pendidikan yg carut-marut antara pedagogi indoktriner dgn pedagogi liberal. Jadi, pedagogi konsientisasi lah jawabannya. (Ingat: Pedagogi yg outputnya dpt menjadikan semua orang menjadi pakar utk dirinya sendiri sekaligus menjadi setara lantaran masing2 orang itu unik).
Saya setuju.
Para pakar ditantang untuk lebih demokratis, untuk lebih bisa menjelaskan ilmunya pada massa rakyat yg dianggap nonpakar. Sementara massa rakyat ditantang untuk menguji kepakaran para pakar, agar para pakar itu lebih membumi, karena jangan-jangan cuma ngaku pakar tapi ternyata disertasinya plagiat.
Keren bang
Kok rorokonya di pegang terus bang...hhh
Setelah kelar nonton video ini, sa kmbali tonton lg video Martin yg sblumnya yaitu Pendidikan yang Membebaskan. Lalu sa jd brtanya2 bhw apaka kepakaran itu mrupakn hasil dr kultur pendidikan yg mengutamakn linieritas keilmuan semata? Kmudian brkaitan dg mudahnya stiap org mmperoleh informasi dan pngetahuan dewasa ini, yg mana dr hal trsebut mmbuka ksmpatan bg stiap org utk belajar ttg apapun, yg ada justru trjd bnyk kekacauan dan bias di sana-sini alih2 mngarah pd tumbuhnya kultur pndidikan sprti masa renaisans. Apaka hal ini krn tidak diiringi dg mmbangun nalar kritis sbb sistem trus mndesak khidupan utk brgerak cepat, trgesa-gesa, dan serba rutin?
Bukankah antara kompetensi dan representasi yang disebutkan tadi adalah dua hal yang sama-sama dimiliki oleh setiap warga negara? Maka seharusnya itu bukanlah sesuatu yang trade-of. Karena yang direpresentasikan itu hanya kepentingan politik bersama sementara kompetensi itu bagaimanapun akan tetap melekat di tiap-tiap individu. Dan tidak akan pernah bisa terwakilkan sekalipun oleh seorang "viewer" yang disebutkan itu.
Demokratisasi: representasi vs kompetensi
Teringat buku "Matinya Kepakaran"
Memang dari situ bang
Menurut saya batas antara representasi dan kompetensi ialah tetap jatuh kepada "Konstitusi" sebagai tolok ukur terakhir dalam negara Demokrasi!!! Karena bagi saya baik Kompetensi dan Kepakaran misalnya, tetap berlandaskan kepada representasi!!! Contoh dalam dunia kepakaran, walaupun menggunakan metodelogi apapapun untuk merumuskan atau menetukan Benar dan salah tetap asalnya dari representasi seseorang/kelompok yg kemudian di kukuhkan menjadi kebenaran. Namun tidak ada representasi mutlak , karena representasi bisa juga dibantahkan dengan representasi!!! Prihal dalam Negara Demokrasi, Baik kepakaran dan representasi sendiri dibutuhkan dalm setiap perumusan kebijakan, karena ini bukan menyangkit kepentingan satu dua orang melainkan banyak orang!!! Rakyat bisah salah dan Pemerintah juga bisa lebih banyak salah!!! Oleh karenanya butuh semacam alat /instrument untuk mewadahi itu semua!!! Unsur Kepakaran seseorang tidak akan hilang dan tetap akan menjadi rujukan sampai kapanpun, karena sudah menjadi nilai universal namun duel argumentasi dan ide dlam Demokrasi juga tidak bisa dianggap remeh atau hanya sekedar kosong, walaupun datangnya dari petani, nelayan atau gelandangan sekalipun karena Demokrasi menyediakan wadah bertengkar bagi semua pikiran-pikiran rakyatnya sendiri dan itu yg membuat bangsa ini asik dan unik. Oleh karena Hukum dan Konstitusi menjadi batas / tolon ukur trakhir untuk menilai relevansi dari perdebatan kita!!! Contoh terakhir kita berdepat tentang pencemaran Lingkungan, tpi apa yg dimaksud dengan pencemaran apakah hanya karena kita membuang sampah lagsung dikatakan mencemari lingkungan??? nah inilah bukti kongkrit dimana kompetensi dan refresentasi bekerja!!! Di refresentasi bilang kalau itu mencemari lingkungan, tetapi si kompetensi bilang itu belum dikatakan men cemari lingkungan karena hal lain dan sebagainya. Tetapi hukum tidak mengenal Kompetensi jikaulau ada hukum yg mengatakan jika membuang sampah adalah pelanggaran hukum, maka dia tetap dihukum walaupun secara kompetensi yg dia ketahui itu tidak mencemari!!!
Terima kasih
Percuma informasi segudang, internet liar, kalo thinking tools dan framework kita kacau, ya solusi dan kesimpulan akan suatu masalah juga salah.
@Andi Pangerang tentu karena sejak lahir otak kita gak rasional, ditambah notabennya org indo dari kecil dicekokinnya hafalan2 terus. Bukannya budaya inisifiatif melakukan sesuatu dan bertanya. Banyak faktornya sih, sopan santun, budaya, agama, norma yang turun temurun dipegang.
Siip, di jaman begini apalagi di negara kita banyak orang asbun orang bicara yg didengar dilihat dari kuasanya dan power ekonominya, tradisi akademis dan intelektual kepakaran hancur.
di era internet ini kl menurut sy yg disebut pakar itu msh ada meski bukan dlm konteks akademis keilmuan. misalnya, pakar2 kedengkian, pakar hoax, pakar gorengan isu, pakar fitnah, pakar provokasi, dsb, contohnya spt si roki ge-er dkk. 😁🤣
BEBAS..! BUKAN BERARTI MEMBEBASKAN SEGALANYA.. MEMBERIKAN KEBEBASAN KEPADA JIWA²/MINDSETT YANG CENDERUNG AKAN MEMANGSA KEBEBASAN YANG LAINNYA.. (KALIBRASI KOMPAS MORAL) 👻 👿 🔱 🇲🇨 🏴☠️ 🚫 🎤 🐫💩🍻 ⛔ 💀 🌏 🚀 🐐 🐾
Makasih videonya.
Tapi masih penasaran sama penjelasan sains tentang bumi datar yg meneropong kapal. Akal sehat saya belum sehat ternyata hahaha.
Kalau yg lainnya saya masih bisa menjelaskan.
bagaimana dengan demokrasi di atas konstusional, atau "demokrasi konstitusinal."
Lalu, apakah yang tidak pakar ini bisa menjadi seseorang yang pakar akan sesuatu bidang? Apa syarat atau pada saat apa seseorang sebenarnya bisa dikatakan pakar?
Pada kesetaraan, semua rakyat bisa berargumen mengenai suatu masalah bersama dengan para pakar yang telah diakui. Kemudian terjadilah diskusi, debat, saling argumen diantara mereka. Dan pada akhirnya dapat suatu kesimpulan yang bisa sama-sama disepakati kedua pihak. Bagaimana kita dapat memandang hal ini?
Bisa saja kita sebut pakar, tetapi sebaikya bergradasi.
Pakar dengan jam terbang tinggi di bidang governance tentu tdk sama dengan pakar teoritis. Kepakaran praktisi juga tdk otomatis terdokumentasikan sehingga tdk terditeksi oleh penyedia data internet.
Kita bisa lihat Pak Jkw misalnya.
Mungkin tdk ada dalam literasi manapun seorang presiden tidak patuh pada SOP protokol kepresidenan. Pun para akademisi tdk pernah berpikir bahwa ketiadaan GBHN di era reformasi akan membahayakan stabilitas perwujudan rencana jangka panjang (Indonesia Emas). Pasalnya sistem demokrasi tdk melarang aspirasi perubahan. Blm lagi pola pembiayaan pembangunan sudah bervariasi. Investasi yang peranannya paling dominan sangat mobile lantaran ketersedian saluran mobilitas global.
Pun para pengusung slogan demokratis-demokratis ternyata juga tdk paham bahwa sistem demokrasi kita sdh tdk compatible dengan dinamika nyata.
Pun tdk menyangka bahwa lembaga-lembaga dunia dilawan, spt WTO dan IMF. Begitu pula seruan lock down di masa pandemi tdk diindahkan Pak Jkw.
Dan masih banyak lagi talenta, karakteristik dan gaya kepemimpinan beliau yang tdk tertangkap oleh penyedia data internet. Buktinya pada shock, bahkan menimbulkan kebencian berpkepanjangan.
Yg disayangkan, para akademisi begitu PD-nya mengkritik wilayah praktisi. Ini jelas tdk imbang. Kepakaran di bidang teori digunakan untuk meng-assess lapangan kompleks yang para praktisi pun sulit menjadi pakar beneran.
Melengkapi ulasan Budiman Sudjatmiko, yang mengkritisi sebagai Matinya Kewarasan. Menarik. 👍
nanti jika para pakar sains selalu dijadikan rujukan untuk membuat keputusan politik, apakah ada kemungkinan para pakar sains nanti akan jadi advokat/ hanya menggunakan ilmu sains sebagai pendukung keputusan pribadinya?.
di tunggu di platform podcast pak
berarti karena situasi hari ini sangat mudah didapatkan sehingga pakar dapat ada karena bagaiamana iya menradikalkan pikirannya, jadi apakah sekolah dapat di bubarkan
Bang, kalau boleh saran, bahas filsafat hukum juga.
saya mengutip orang lain hanya untuk mengekspresikan diri saya dengan lebih baik.
michel de montaigne
Didalm tulisan saya berjudul Manifesto Politik Berbasis Meritokrasi, saya berpendapat bahwa kepakaran dan kebebasan (kesetaraan) harus didasari oleh kebebaaan yang lebih tinggi. Apa itu kebebasan yang lebih tinggi? Definisi dari kebebasan yang lebih tinggi saya tersebut adalah bahwasanya kebebasan untuk memilih diantara semua pilihan, pilihan/opsi mempertahankan eksistensi setiap manusia (kehidupan individu) dan memberikan pilihan yang lebih luas kepada setiap individu adalah yang paling prioritas. Akan tetapi, eksistensi individu tersebut adalah yang paling tinggi.
Kepakaran harus dibuat untuk mengayomi dan hanya kepada memberikan keamanan terhadap kehidupan atau eksistensi serta pilihan yang lebih banyak. A
Saya bukan filsuf bung martin, tapi saya punya pemikiran yang sama yang saya bangun sejak lama.
Kepakaran akan melakukan intervensi kepada kebebasan jika didapatkan bahwa tindakan pengekspresian individu tersebut mencederai kebebasan manusia lainnya dan bahkan eksistensi manusia tersebut.
Selain pada itu, kepakaran harus tidak boleh mengintervensi. Kepakaran hanya cukup mengintervensi hal hal yang secara saintifik terbukti mengancam kebebasan dan eksistensi kita semua
Mungkin jalur tengah nya adalah Meritokrasi?
Menurut saya, dilema kepakaran vs representasi bisa diselesaikan dengan pendidikan yang memadai. Rakyat tetap memegang otoritas politik, namun pilihan mereka didasarkan atas kepakaran yang didapat dari pendidikan. Lalu, pendidikan seperti apa yang memadai? Siapa yang menentukan apakah suatu sistem pendidikan itu memadai atau tidak? Rakyat atau pakar? Nah, lho. Wkwkwkwkwk.
mari kita uji kepakaran by internet vs kepakaran by university
dalam hal membuat kericuhan atau membuat perdamaian siapa yg menang
Apakh adhom mnjadi slah stu penyebab mundurnya kpakaran.
Menurut saya, demokrasi tidak seharusnya memaklumi kebodohan secara mutlak. Adanya pengetahuan bahwa kebodohan dapat ikut serta dalam demokrasi seharusnya menggambarkan bagaimana pentingnya memberikan informasi kebenaran kpd semua pihak agar mampu berpikir secara rasional dan mampu mengambil keputusan secara rasional pula. Tentunya informasi kebenaran menurut para pakar yang lepas dari kekuasaan krn kebenaranpun bisa menjadi relatif tergantung dr siapa yg memiliki kebenaran tsb.
Apakah pilihan rakyat dalam demokrasi bisa salah? Menurut saya sangat bisa jika pilihannya tidak berdasarkan rasionalitas, tidak bersumber pada informasi kebenaran yg tepat, dan (dalam konteks Republik) tidak mampu menghasilkan dampak yg bermanfaat bagi kepentingan publik atau malah merugikan publik itu sendiri. Terkait hal terakhir ini, mungkin nanti diperlukan definisi publik tersendiri..
Maaf kalau kurang nyambung.. saya newbie dalam filsafat. Itupun baru dengan melihat channel ini :)
Kalau merujuk kepada cara berpikir Kennedy F John, terkait keinginannya utk mencapai bulan.Kemudian dia mengumpulkan para pakar astronot Amerika utk menyampaikan keinginannya bahwa kita (Amerika) mau ke bulan, lalu diberi kesempatan kepada para pakar utk buat semacam metode atau cara supaya Amerika mencapai bulan dan itu terwujud. Itu gimana, kan termasuk bentuk dari demokrasi juga. Cara ini juga bisa digunakan dlm demokrasi untuk pencapaian tujuan Negara. Misalnya gimana supaya kita bisa sejahtera, adil dan makmur, maka bisa di kumpul para pakar utk jelaskan caranya...Salam!
.
kalo berbicara ukuran kebenaran dan kesalahan tersebut harus ada bukti baru bisa disebut benar atau salah bisa juga diukur dengan ilmu pengetahuan Undang undang maupun Kitab Agama.
Saya ingat demokrasi yg didefinisikan oleh Rocky Gerung: Kepemimpinan rakhyat melalui kepemimpinan akal. Rupanya ia mencoba untuk mencari penyelesaian antara 2 ketegangan yg dijelaskan di atas, yaitu dgn tetap menjunjung ide kesetaraan (kerakhyatan) dgn tidak membuang kepakaran. Namun kepakaran tidak dilihat sebagai kumpulan orang pandai tetapi akal sehat.
Bagaimana pendapat bro?
Celahnya definisi ini, RG bukan seorang psikolog jadi agak gimana gitu nanti bahasnya ke definisi akal yg bagaimana, sehat ini seperti apa, dsb
Ya mungkin pandai disertai akal sehat
KARYA BELIAU ADA VERSI PODCAST NYA NGGA YA? 🙏🏻 brgkli ad yang tau ..
Blm ad
mungkin pada saatnya, lembaga pendidikan yang tidak punya KUALIFIKASI akan "MATI"
Kalau kamu dalam posisi menguntungkan, pertahankan kondisi sekarang. Kalau kamu dirugikan, hanya 1 kata: Lawan!
Baca komennya nenek lampir
Menurut saya keahlian ga akan mati, meskipun ada internet tetap saja mayoritas informasi yang dipercaya berasal dari ahlinya, dengan kata lain infonya disediakan oleh ahlinya.. mungkin jumlah ahlinya saja yang tidak diperlukan sebanyak dahulu.. seperti saya belajar filsafat di internet, tapi kan yang masukin apa yang saya pelajari dimasukkan oleh pak Martin.. terkait perbedaan pendapat misalnya tentang bumi datar atau bulat, terjadinya perbedaan pendapat diantara kaum awam menurut saya utama nya adalah krn mereka yang mengklaim dirinya ahli pun berbeda pendapat, tinggal kaum awam mau percaya yang mana.
Komunikator Sains adalah salah satu profesi yang bisa diperoleh dengan menempuh pendidikan di prodi ilmu komunikasi. Bagaimana cara Komunikator Sains memiliki pengetahuan tentang sains? Apakah dengan membaca buku populer? Jika iya, Apakah Komunikator Sains dikategorikan sebagai pakar ataukah sebagai awam?
Nah ini video yg aku cari...
Salam sayang ya pak
Semoga sehat ,salam buat keluarga bapak dirumah
Buktinya bang martin yang bukan ahli sejarah paham sekali terkait metodologi kritik sumber.
maksudnya?
Apakah materi-materi kurikulum sekolah masih berlaku? Karena di masyarakat kehidupan terus berubah artinya lu sekolah 3 tahun pas keluar sekolah materi yg dipelajari gak relevan lagi di kehidupan sosial.
Tapi yg w rasain sih kek Dejavu