Selama gramedia masih jualan ATK, alat olahraga, kafe, jasa parkir, penjualan tas, alat pendakian, kafe, mesin kasir, fashion, kalkulator, unique merchandise, peralatan penelitian dan peralatan teknisi. Saya yakin gramedia gak akan bangkrut
Di Mesir setiap tahun ada International Book Fair. Buku fisik masih banyak diminati orang-orang. Meskipun sekarang harganya sudah mahal karena harga berdasarkan Dollar, sedangkan inflasi di Mesir sangat tinggi. Tapi strategi pemasaran dan subsidi pemerintah juga berpengaruh. Majelis keilmuan bertebaran, jadi mendorong juga industri penerbitan buku. Yang harus diciptakan adalah kondisi masyarakat yang cinta ilmu dan buku.
Tutupnya gerai toko buku lebih karena tidak adanya perbedaan cara orang dalam memutuskan membeli buku, via Toko Buku atau E-Commerce/Marketplace dan E-Commerce/Marketplace menawarkan efisiensi pada biaya untuk mendapatkan buku. Karena penjualan buku fisik tetap berjalan melalui E-Commerce/Marketplace, jadi menurut saya bukan jadi indikasi menurunnya minat baca atau menurunnya ketertarikan terhadap buku fisik.
nah ini yg gue suka, pemerintah bantu subsidi, karna memang harga buku di toko dg online sangatlah jauh, seandainya ada sedikit subsidi bisa di pindah untuk org yg membeli buku akan lebih baik, kalo dilihat sekarang subsidi pendidikan makin besar tapi untuk buku sepertinya blm
Saya termasuk orang yang masih menyukai buku fisik. Sensasi membacanya berbeda, aroma kertas yang unik dan dapat diwariskan. Bukan kemampuan membaca yang rendah, namun menemukan bacaan yang seusai passion dan akses buku yang lebih mudah dan murah untuk menjangkau pelosok negeri yang sepertinya menjadi salah satu masalah..
Iya kayaknya...lebih ke aksesnya aja. Aku pengalaman asal naruh buku2 lama yg sudah ngga kebaca di masjid deket rumah eh malah sekarang anak2 yg mampir masjid jadi rajin bgt baca. 😂 jadi mungkin lebih karena ga ada buku aja makanya males baca.
Industri buku saat ini sedang mencari formula baru untuk tetap bertahan di era digital yang semakin meninggalkan toko buku fisik. Tetapi, saya yakin industri buku tidak akan mati dalam waktu beberapa dekade ke depan, melainkan akan bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. Terima kasih atas konten yang bagus ini, pak.
betul ini. Karena saya sebagai pembaca saat ini lebih tertarik untuk transaksi atau pembelian buku secara online tanpa perlu datang ke toko fisik. Selain karena terdapat promo dan lebih mempermudah, buku yang saya cari kadang2 tidak ada di toko offline (buku import karya dari luar, macam cixin liu, fyodor atau william gibson). Menurut saya formulasi yg tepat saat ini adalah menempatkan toko di lokasi spesifik, misalnya di dalam mall. Karena saya sendiri jika selesai menonton film di bioskop biasanya akan ke toko buku di mall tsb untuk mencari buku yang menarik atau melihat diskon/promo yang sedang terpasang. Selain itu buku fisik gak akan tergantikan oleh buku digital, karena buku fisik lebih menarik untuk dikoleksi, dipajang, dan juga bisa dipake untuk pamer ke temen2 :D. Tambahan: selain itu buku fisik emang sengaja saya beli karena untuk mengurangi screen time pemakaian gadget baik dirumah, kendaraan umum, gabut gak ada kerjaan. dsb
saya lebih suka baca buku fisik daripada digital. ada rasa kepuasan tersendiri ketika baca buku fisik dan lebih cenderung mudah mengingat isi buku. btw, aku suka sama channel om indra, menambah wawasan banget. kebetulan semester ini aku belajar tentang public relation yang membahas terkait strategi-strategi yang dilakukan oleh PR dan divideo ini om indra menjelaskan strategi gimana toko buku agar tetap bisa bertahan (penjelasannya mudah dipahami). sukses selalu om. 🤩
Saat ini sudah ada alat ebook reader yang sama enaknya dibaca dengan buku fisik. 10 tahun lagi ketika teknologi dan keuangan makin maju gw yakin opini mayoritas bakal beralih ke buku digital.
Saya sangat setuju dg Bp Wien Muldian, sebenarnya minat baca kita tidak begitu rendah, buruknya diatribusi bukulah masalah sebenarnya. Sebelumnya juga dijelaskan bahwa masyarakat banyak membajak buku, ini kontradiktif dengan minat baca yg rendah. Jika akses lebih mudah dan harga lebih murah, saya yakin para pembajak buku tadi beralih membeli buku dan akhirnya industri buku pun maju, Semoga. Saya sendiripun pindah ke kindle karena harganya lebih murah dg rata2 jika dirupiahkan perbuku kurang dari 100k, jika beli buku fisik bisa 300k.
kalau pindah ke ebook, masih banyak publisher buku yang belum mau memigrasikan ke digital. karena masih takut untuk dicopy secara ilegal. jadi belum siap dengan resiko itu kak
Betul sekali ebook jauh lebih murah. Untuk mengakali harga mahal di toko/distributor, penulis sekarang banyak yang self publishing dan Open PO sblm cetak jadi bisa dikontrol biaya produksinua
Betul, bukan diminat bacanya tapi di-inovasinya. Saya kagum dengan toko buku atau penerbit yang gencar merambah platform online, bikin konten di-medsosnya atau banyak ngadain event apapun itu. Liat aja betapa banyaknya jumlah pembeli buku di tokped dan shopee dengan berbagai promo dan strategi masing2nya.
Saya percaya, kalau masyarakat gemar membaca, toko buku akan tetap eksis. Jadi toko buku sebaiknya tidak hanya fokus pada profit, tapi juga ikut membangun tempat-tempat membaca yg ada unsur hiburannya di kampung-kampung dan rumah-rumah, sekolah², kampus², dan perpustakaan² desa, agar buku membumi. Mata lebih sehat koq kalau membaca buku manual daripada buku digital/ebook.
Pemerintah dr jaman dulu, terus ngasih tau kita agar gemar membaca, even di jaman p.harto dulu perpus di pelosok desa bukunya lengkap. Namun sayangnya, kita di sistem pendidikan kita gak akrab dg yg namanya sastra dan seni. Kita gak diajari untuk menghargai mereka, melihat bahwa sebuah buku sebagai karya bernilai tinggi sekali. Bukunya dari dulu tersedia, beragam jenis dan genre tapi tidak dikenalkan secara baik kepada kita, sehingga makin kita dewasa makin kita merasa asing dg yg namanya buku. Kalo harga, buku bagus di bawah 50rb banyak, yg mahal kan buku best seller, import gitu2. Kalo asli gemar buku beli 1-2 buku per bulan gak akan bikin miskin. Budget kuota, jajan faktanya lebih tinggi dr harga buku.
Kalo masalah ngerusak mata sih saya gak setuju, karena kalo masalah ngerusak mata itu banyak faktor mulai dari gen atau kebiasaan kita yg merusak, seperti membaca ditempat gelap sambil tiduran, mau itu buku fisik atau digital pasti sama sama merusak mata.
Solusi yang diberikan pak Indra dalam konten ini mewakili salah satu keresahan saya saat datang di salah satu toko buku besar di Jogja. Saya datang ke sana tentunya saya perlu mereview, melihat-melihat isi buku apakah sesuai dengan apa yang saya butuhkan atau tidak, dan tentunya itu sedikit membuat saya cukup lama berada di sana krna masih mereview sebelum membeli, selama mereview "SAYANGNYA", kaki saya jadi pegal-pegal, karna harus duduk sambil jongkok untuk mereview bukunya karena gak disediain fasilitas kayak kursi dan lain-lain yang menambah nilai kenyamanan pelanggan. Akibatnya kalo datang lagi ke sana saya tidak begitu berlama-lama lagi seperti sebelumnya karna pengalaman yang kurang mengenakkan seperti yang sya rasakan sebelumnya. Hal yang saya rasakan bisa jadi dirasakan juga sama pelanggan lainnya. Jadi memaksimalkan beberapa fasilitas untuk kenyamanan akan menjadi nilai tambah yang baik untuk kemajuan toko buku itu sendiri. Semoga toko-toko buku di Indonesia akan terus hidup dan terus beradaptasi dan maju sehingga kemajuan literasi anak Indonesia semakin meningkat. Terima kasih Pak Indra 😇🙏
Masalahnya budaya kita gak kaya gitu kak. Bisa jadi kalo dikasih kenyamanan seperti itu, bukannya beli malah jadi baca di tempat. Karna alasan ini menurut saya sebagian toko buku ngasih aturan "membuka segel berarti membeli". Asumsi saya, dari pengalaman mereka menjalankan toko buku, karena kebiasaan konsumenlah mereka menerapkan aturan ini. Ketika segel buku dibuka, orang jadi lebih banyak membaca ditempat, bukan dengan tujuan review, tapi membaca sampai habis. Dan akhirnya tidak beli. Ya buat apalagi beli, toh semua isinya sudah diketahui. Mungkin ini gak berlaku buat kaka, tapi boleh jadi berlaku buat sebagian orang. Oleh karna itu, kondisi yang "tidak terlalu nyaman" juga dibuat agar orang bisa segera mengambil buku yang diinginkan dan closing. Lha wong dengan tidak ada bangku orang-orang dengan sabar baca buku yang udah dibuka segelnya di antara rak-rak buku. Sambil deprok di lantai, jongkok, senderan di tembok. Apalagi dikasih bangku. Ya sekalian aja dihabisin ditempat bacanya... ☺
Saya punya mimpi bikin TOKO BUKU dengan model bangunan layaknya IKEA, jadi konsumen tidak langsung dihadapkan dengan ruangan luas yg berisikan rak2 buku Tapi konsumen diberikan pengalaman layaknya room tour, berpindah dari satu ruangan ke ruangan lainnya dgn alur yg sudah dibuat Nah di setiap ruangan diberikan tema sendiri, misal ada 1 ruangan bertemakan ruang tamu, terus disitu ada rak buku dengan tipe buku yg berkaitan sm ruang tamu, misal buku tentang parenting, caranya bersosialisasi dengan orang, atau novel yg bertema keluarga Begitupun ruangan lainnya seperti dapur dengan buku2 bertema masak atau bisnis kuliner. Ataupun ada ruangan yg mirip studio youtube, nah disitu jg bisa diberi buku2 bertema tentang kreativitas, tips & trik jadi content creator, ataupun tutorial menggunakan alat2 produksi content
kalo di negara lain meskipun penjualan buku2 digital meningkat. tetapi buku2 fisik tetap laku, di eropa malahan ada toko buku2 baru sejak pandemi berakhir. memang harus cari cara untuk menarik. kemaren prof rhenald khasali ada bahas tentang gunung agung juga. di taiwan cina banyak toko2 buku yg semua bukunya dibuka dan pembaca dibiarkan baca gratis di situ dan mereka dapet uang dari kafe2 dan menyewakan toko2 digedung itu. toko bukunya sendiri lebih digunakan sebagai daya tarik wisata bukan sebagai tempat menjual buku saja. makanya toko2 mereka dibuat bagus2 megah ,besar dan unik2. sedangkan di indonesia toko buku begitu2 saja dan kurang menarik.
“People don’t want to read books any more; they prefer their tablets and laptops.” Ini adalah perkataan dari toko buku Al-Saqi Books saat menutup tokonya di London. Mereka udah disana 44 tahun. Dan 31 Desember kemarin tutup. Dan 31 Desember nanti di Indonesia, Gunung Agung akan resmi ditutup... Selain Al-Saqi, Book Depository, salah satu online bookstore terbesar, baru aja tutup 26 April 2023 kemarin. Agak sedih karena saya biasa belanja buku impor disini. Padahal mereka udah 20 tahun jualan online... Ya mungkin perkataan al-Saqi di atas ada benarnya. Mungkin besok kalo sudah gak ada lagi toko buku offline, kita baru merindukan masa-masa ke toko buku. Karena untuk saat ini, tempat-tempat itu terasa kurang menarik...
@@rusdiantoro makanya harus diubah sesuai jaman. jangan cuma jadi toko buku karena buku bisa dibeli online. tapi juga harus menyediakan yang lain. seperti dibilang diatas di luar negeri toko buku dibuat terlihat wah sangat2 instagramable. itu toko buku yang seperti hogwarts sangat terkenal untuk masuk saja bayar. mau foto2 silakan tapi ada waktu.
Saya naik kereta sering kelewat 2 stasiun gara2 asyik baca buku,rasanya begitu meresap ke jiwaku di saat menempuh perjalanan sambil membaca buku fisik ❤
Menurut saya, masa depan buku fisik akan bernasib serupa seperti halnya film, musik dan video game, yang mana kini orang lebih suka membelinya dalam bentuk digital karena buku fisik membutuhkan ruang penyimpanan yang tidak sedikit. Meskipun begitu, saya tetap menyukai membaca buku fisik karena sensasi membalikkan halaman per halaman tidak akan tergantikan.
kalo di negara lain meskipun penjualan buku2 digital meningkat. tetapi buku2 fisik tetap laku, di eropa malahan ada toko buku2 baru sejak pandemi berakhir. memang harus cari cara untuk menarik. kemaren prof rhenald khasali ada bahas tentang gunung agung juga. di taiwan cina banyak toko2 buku yg semua bukunya dibuka dan pembaca dibiarkan baca gratis di situ dan mereka dapet uang dari kafe2 dan menyewakan toko2 digedung itu. toko bukunya sendiri lebih digunakan sebagai daya tarik wisata bukan sebagai tempat menjual buku saja. makanya toko2 mereka dibuat bagus2 megah ,besar dan unik2. sedangkan di indonesia toko buku begitu2 saja dan kurang menarik.
karya hasil manusia sampai kapanpun butuh fisik, dan butuh konektivitas dengan si pembuat karya. dan ternyata vinyl yang disebut teknologi usang dan jadul sekarang kembali booming dan jauh lebih diapresiasi. Disaat orang2 boom soal musik streaming. Artinya? Karya kreatifitas manusia butuh fisik. dan penikmatnya butuh "feel" tersebut. Soal storage, itu perkara lain, jika anda enthusias membaca pasti dibelain untuk bikin storage/ bookshelf, harganya ngga semahal beli mobil baru dan luasannya ngga sebesar mobil juga jika di meter persegikan. Itu cuma perkara sampai batas mana anda merhargai karya, apakah anda suka membaca, addict dan koleksi atau cuma segitu2 aja, semua ada levelnya. Dan orang keliatan yang dirumahnya TV nya lebih besar daripada rak bukunya, akan berbada kepribadian dan ilmu dengan yang rak bukunya lebih besar daripada bidang dinding nya. GItu aja sih, ga perlu diperdebatkan. Ini cuma pilihan. Ebook itu baik dan simple tapi tidak sama seperti fisik. Denger dari spotify, apple music atau bahkan tidal yang jauh lebih hires, tidak akan se "hidup" vinyl. Persis sama seperti hasil foto analog dan digital, foto digital jauh lebih tajam dan bagus kualitasnya, tapi hasil analog jauh leibh hidup.
@@genocidegrand2057 satu yang jadi perbedaannya. buku di indonesia cenderung mahal atau mungkin income rata2 indonesia masih rendah. Indonesia buku rata2 seharga 100-200ribu untuk buku2 bagus, dimana umr 4,9jt tertinggi. Sedangakn di US 1160 dolar/bulan, disana buku seharga rata2 10-20 dolar. jelas untuk gaji minimum di amerika aja buku2 cenderung rata2 murah setara 2-3 jam kerja. Sedangkan di indonesia harga satu buku setara dgn rata2 sehari gaji umr tertinggi. Di amerika kerja 2-3 jam udah bisa beli buku bagus2 di idnoensia kerja dulu seharian baru bisa beli buku. Ini penyebab utama kenapa literasi indonesia rendah, dan banyak pembajakan. Belum soal logistik, pengiriman buku dll yang sulit, karena indonesia itu sangat luas, terlalu luas jadi tidak efisien dari segi biaya.
betul itu, selain membolak balik halaman itu ada sensasinya yg tdk tergantikan ... juga mencium bau buku, buku lama ada keunikan ttg bau bukunya ...😅 ... selain itu buku fisik, bisa dicorat-coret (utk note) atau diberi tanda utk kalimat2 yg dianggap penting ... satu lagi, buku fisik ada nilai koleksinya, ada nilai apakah itu cetakan pertama, kedua, dsb (nilai historis, nilai klasik, nilai kelangkaan di masa depan, dsb) ... pokoknya hal2 tsb tdk dpt dimiliki ebook ... mudah2an pasar buku fisik dpt bangkit kembali, seperti rekaman vinyl ... oh, collectible items ...
bagi saya yang tinggal di daerah membeli buku fisik secara online memang paling worth it, dan sepertinya toko buku sudah seharusnya memaksimalkan onlineshop nya. dan satu hal yang pasti buku fisik tetap akan punya peminatnya dan pasarnya tidak akan pernah hilang.
Saya sepakat, minat baca orang Indonesia tidak seburuk itu kok. Tapi jujur aja, skrg banyak penulis yg beralih kepada penerbit indie, dimana mereka ngga butuh distributor toko buku. Cukup dijual di marketplace, bisa laku keras. Keuntungan lebih besar, ngga kepotong royalty nya. Terutama buku anak2, banyak ilustrator dan penulis buku anak Islami, kebanyakan indie. Ini jadi catatan buat toko buku dan penerbit sih. Klo ngga berubah, ya kita ke toko buku buat rekresional aja, bukan buat beli buku.
Minat dan kebutuhan baca orang Indonesia masih lumayan kak. Paling gak buku referensi kuliah banyak yang beli. Masalahnya di pembajakan yang gila-gilaan kak. Buku referensi asli harga 90K, gimana mau bersaing sama buku bajakan yang cuma seharga 18K. Susah kak! Dan ini nyata. Buku asli cuma laku puluhan pcs, buku bajakan laku ribuan. Anggaplah saya sebagai penerbit, ya berat jalaninnya. Cash flownya gak ada. Kalo sebagai penulis, royalti yang gak seberapa, masih dipotong pajak 15%, total bulanan bisa jadi dibawah UMR. Kalo gitu ngapain nulis buku. Bikin sakit hati aja. Logisnya gitu kak... Dan penjual buku, dalam hal ini toko buku sekelas GA, pastinya gak jual buku bajakan. Saya gak tau ya penjualan real mereka bagaimana. Tapi kalo di official store salah satu marketplace, itu mereka kalah jauh kak. Ambil contoh buku Mindset yang dikasih kata pengantar prof. Renald Kasali, sama sekali gak ada yang beli. Nol penjualan. Sementara di toko lain laku ratusan.. Dan buku indie bukan berarti gak ada yang bajak kak. Tunggu aja beberapa bulan. Buku asli 75K, 3 bulan berikutnya bisa jadi ada versi 25K-nya... 😋
@@rusdiantoro Ini benar, dan saya setuju. Tp ini another issue. Dan benar buku indie masih bisa dibajak, tp setidaknya sebagai penulis kita bisa dapat royalti yang lebih besar. Malah beberapa penerbit indie sistemnya bagi hasil. Jadi, penulis, ilustrator, creator (atau apapun yg terlibat), bisa mengatur sendiri harga dan revenue yang mau dihasilkan. Itu yang jadi argumentasi kenapa penulis sekarang prefer menerbitkan buku sendiri ketimbang ke penerbit mayor.
Gramedia membuat terobosan dengan model bisnis baru, yaitu subscription dan menurut saya ini sangat menarik serta masuk akal. Di Jogja ada toko buku yang menarik yaitu The Social Agency. Koleksi bukunya semua dalam bahasa Indonesia dan banyak yang tidak ditemukan di toko buku besar, seperti di Gramedia. Mereka juga memberi diskon yang cukup besar 20-25 persen pada setiap bukunya. Satu layanan yang menurut saya sederhana tapi menarik yaitu setiap buku yang kita beli langsung dikasih sampul plastik oleh mereka. Hal kecil yang menurut saya membuat orang datang lagi...
Buku itu yg paling berharga adalah catatan kaki karena kita tahu dari mana pengarang membangun cara berpikirnya. Jadi buku tetap tidak bisa dikalahkan dgn digital
Buku digital kan juga ada catatan kakinya. Yg bikin buku fisik nggak akan bisa dikalahin buku digital adlh kemampuan buku fisik utk diakses secara acak/lompat2 dlm waktu cepat, misalnya baca bab 1, terus langsung lompat ke bab 5, terus langsung lompat ke bab 7, terus langsung balik lagi ke bab 1. Buku digital mana bisa begitu. Buku digital cuma bisa dibaca secara linier. Buku fisik ini lebih cocok buat orang2 yg tipe divergent thinker.
Sy setuju dengan pendapat bahwa buku harus menyediakan forum diskusi buku. Menurut saya selain menyediakan ruangan untuk komunitas, toko buku sepertinya bisa juga berkecimpung ke dunia online untuk diskusi atau mengadakan kegiatan secara live lewat media sosial. Acara tersebut tentunya bukan hanya promosi saja tetapi juga diskusi mengenai buku dan juga apa yang sekarang sedang mungkin trendy dkk. Maafkan sy karena saya belum menemukan acara yang demikian di medsos saya. Saya sudah sering kali membaca buku online. Menurut saya kumpulan web novel seperti wattpad menjadi alternatif baki toko buku yang tentu perlu diperhatikan kedepannya. Akan tetapi potensi aplikasi atau web sperti itu masih cenderung minim karena ada banyak hal-hal yang tidak bisa dimiliki oleh mereka seperti buku buku berkualitas dan narasi yang cenderung sudah lengkap. Toko buku masih bisa banyak berpotensi di buku terutama non-fiksi tetapi tentu masih juga ke fiksi walaupun memang alternatifnya sekarang banyak. Buku yang dihadirkan di toko buku khususnya di bagian fiksi memerlukan sisi ekslusivitas tertentu dan kualitas yang baik serta sumbernya yang beragam pula karena untuk banyaknya cerita aplikasi-aplikasi tertentu sudah bisa menghubungkan kita dengan banyak cerita.
Dari sd saya sendiri sudah minat baca buku, dikarenakan ekonomi belum mendukung sehingga terbatas hanya membaca di perpustakaan. Sekarang saat pendapatan diatas rata-rata mulai mengalokasikan untuk membeli di salah satu toko retail terbesar. Walaupun begitu menurut saya harga buku sampai saat ini masih terbilang mahal untuk dijangkau semua kalangan, perlu adanya konsep baru.
Sebagai pecinta komik jepang (manga) gue sangat senang masuk ke gramedia di kota gue dan disambut poster2 besar attack on titan dan demon slayer di area entrance. Mereka ngerti apa yang gue mau
Harga buku skrg sdh di luar akal, sementara kontennya (isi buku) gak sebagus dulu. Gak semua penulis punya kualitas baik, tapi bukunya dijual mahal banget di Indonesia. Salah satu alasan knp saya lebih memilih menahan uang dan mengalihkannya ke kebutuhan lain. Dan mencari bacaan2 secara online krn gratis dan mudah diperoleh.
Perbanyak aja sih buku novel/light novel yang diadaptasi jadi film, atau tv series, animasi, dan lain sebagainya, karena kalau penulis merasa karyanya dihargai bahkan sampai di buat film, apalagi filmnya laku, maka penulis lain juga termotivasi, jika film hasil adaptasinya sukses maka minat baca orang yang abis nonton filmnya juga bertambah, contoh negara jepang, disana industri novel/komiknya terus berjalan, karena ekosistemnya bagus dan berkesinambungan, contonya buku novel > dapet adaptasi film/komik/tv series > sukses/laku keras > orang orang penasaran sama lanjutan film/seriesnya > beli novel/komiknya, dan terus berputar, itulah kenapa minat baca disana tinggi.
agree. memang adaptasi ke film (audio visual) lebih mengena sebagai promosi karya tulis. setelah menonton film nya baru orang akan nyari buku nya untuk mencari tau lebih dalam isinya.
inovasi layanan berlangganan gramedia digital menurut saya sudah cukup oke, minimal untuk memberi preview bagi pembaca yang mau mengoleksi buku-buku pilihannya dalam bentuk cetak maupun ebook, yang mana perlu cost yg lebih besar mulai dari pembelian sampai penyimpanan. belum lagi masalah sulitnya akses terhadap buku fisik dan toko buku terutama bagi masy di kampung membuat pembelian buku adalah priviledge bagi sebagian orang. semoga ekosistem buku Indonesia semakin sehat dengan adanya inovasi-inovasi yg dimotori oleh toko2 buku & penerbit buku
Turunnya minat baca, dan kemudahan akses internet dalam mencari referensi digital , membuat buku fisik jadi mulai jarang diminati. Apalagi kemunculan teknologi AI seperti Chat GPT yang membantu orang dalam mencari referensi. Akhir nya muncul lah senjakala akhir buku fisik.
Menurut saya strategi pertama yang etis rakyat Indonesia miliki sekarang adalah sosok pemimpin yang cerdas di masa mendatang. Pemimpin yang cerdas merupakan gambaran bahwa dirinya suka membaca buku dan menyukai majelis ilmu. Oleh karena itu, jangan lupa ajak sanak saudara kalian untuk mendukung Bapak Anies Baswedan sehingga beliau secara resmi terpilih menjadi Presiden RI 2024 mendatang. Bapak Anies Baswedan ... Jaya! Jaya! Jaya!
Yang menyediakan kafe idenya keren banget 👍🏼 Salah satu alasan gue malas datang ke perpus karena gak boleh bawa makan minum, salah satu alasan gue datang ke tempat makan buat nyari tempat nyantai kadang gak terlalu peduli sama menunya yang penting bisa duduk sambil baca. Nah ini kalau ada kafe di situ keren dah bisa sambil nyantai sambil baca 🙏🏼
Alasan utama perpustakaan melarang bawa makanan dan minuman itu karena orang indonesia kebanyakan jorok semua, teledor, dan tidak mempunyai tanggung jawab tinggi, kalo diizinkan membawa minuman/makanan pasti banyak kasus buku tertumpah minuman atau buku terkena noda makanan, masih mending diluar negeri kalo bukunya ketumpahan mereka mau tanggung jawab, lah di indo saya yakin kebanyakan pada gak betanggung jawab, pasti langsung kabur kaga mau ganti kerusakan buku
yupp.. toko buku sekarang tambah sepi, kalo pun ada yang mampir lebih ke nyari alat tulis gitu², kemarin baru aja ada Bazar Buku, pada semangat sih orang², ada pentas seni, kuliner, buku², barang² unik, action vigure juga ada, rame dah pokok nya, cuman ya agak heran, ku beli buku kira² tebel nya 3 cm, udah cover bagus, kertasnya tebel, putih bersih, ee.. harganya cuma 20 ribu, ini mah jelas jual rugi sih, lumayan bisa dapet murah hehe, anak² perempuan kan suka jalan² kemana gitu yaa, nah.. di bazar juga banyak, seringnya pada nyari novel-novel, sama jajan. balik lagi.., toko buku masih banting tulang biar buku² nya kejual, beda kasus kalau orang² memang butuh modul dari buku tertentu, contoh orang² yang mau magang ke luar negeri, nah.. buku² kursus bahasa asing masih banyak yang minat, tapi yaa belinya di online, but.. upaya ngebangun tempat yang enjoy tu bagus sih, sama kayak barusan... ada mushola, ada caffe, wifi spot, jajan².. lumayan laah buat tempat nugas pulang sekolah, oiyaa sama tempatnya... dibangun deket² sama komplek sekolah aja, pasti rame, pengalaman pribadi... lebih enak baca buku fisik dari pada e-book, bawa an nya pengen buka sosmed terus soalnya, pengecualian kalau yang di baca komik-komik yaa, emang enak nya di hp kalo itu, tapi... sebagai mantan pembaca komik detektif conan, sampe sekarang masih keinget siiih seru nya 😁 sampe ku baca ulang² tuu komik, biar paham misteri nya 🤣 Mantab daah, sekarang sudah waktunya adaptasi ✨👍🏻👍🏻
Betul banget mas indra.. Kebanyakan orang jauh lebih suka nikmatin konten audio visual daripada tekstual / fisik.. Sama halnya mungkin seperti buku bergambar yg lebih disenangi anak anak dulu daripada yg semua isinya tulisan semua. 😊
Maraknya pembajakan buku menjadi salah satu penyebab runtuhnya toko buku. Segmentasi peminat buku mulai dari akademisi, penikmat seni tulisan..sharusnya ada wadah/tempat interaktif penuh keakraban yg scr tdk lsg bs menghidupi keberlangsungan hidup putaran roda operasional toko buku.
Di rumah saya punya perpus kecil sendiri,tapi saya akui anak anak saya lebih suka belajar lewat digital,hanya saja saya tetap memberi waktu untuk mereka tetap membaca buku❤ Pendapat Pak Wien saya setuju,mungkin toko buku memang harus memberikan ruang untuk membaca dengan berdampingan dengan cafe atau restoran sehingga ada pengalaman yang baru untuk menikmati buku🎉
Masalahnya ini toko buku kak, bukan perpustakaan, jadi beli buku kemungkinan besar bacanya dirumah, jarang sekali ada pembeli yg langsung baca ditokonya walaupun disediakan tempat duduk. Walaupun perpustakan sekalipun, menurut saya kurang cocok jika disediakan kafe atau tempat makan, karena menurut saya rata rata orang indonesia itu jorok, kalo baca sambil makan atau minum kemungkinan besar tuh buku bakalan kotor, dan itu gak cocok dengan segala peraturan yg ada di perpustakaan
pengalaman pribadi, benar2 baca buku "fisik" terakhir saat skripsi karena tuntutan teknis metodologi dan pembahasan. Setelah kerja, sistem kerja digital dan to the point ya gw harus ikutin. Untuk pembahasan literasi yg rendah, klo maksudnya baca novel sejenisnya, gw setuju karena dah capek di tempat kerja & sekarang lebih suka lihat & dengar dari youtube untuk tau info2 terbaru
Soal minat baca itu sebenarnya sudah tidak masalah untuk di beberapa sekolah. apa lagi jika bahan bacaannya itu mungkin hiburan seperti Novel. Dan untuk membaca sebuah buku Keilmuan itu sangat sulit di munculkan apa lagi dengan masyarakat indonesia yang suka dengan media yg lbh compact seperti video reels tiktok dari pada mencari info atau membaca ceritanya sendiri, ingin di dongengkan. Lalu mahalnya Biaya Produksi juga termasuk faktor, saya termasuk orang yg kadang membaca 4-10 chapter online novel yang di translate sebelum tidur. Dan saya pernah maraton baca Novel yang ada sebanyak 500 chapter lebih selama 1 minggu. bayangkan jika 500 chapter tersebut di transformasi menjadi buku, berapa uang yang harus saya keluarkan untuk membaca media tersebut. saya masih ingat Buku Komik yang saya baca seharga 18k saat saya membeli. saya bisa membeli 5 komik sekaligus saat itu. namun dengan uang 100 ribu mungkin sekarang saya hanya bisa membli buku komik 3-4 jilid saja.
Akhirnya ada yg sependapat, banyak yg ngomong minat baca Indonesia rendah & tiap tahun makin rendah lah, ini lah, itu lah. Tapi sebenernya, setidaknya di lingkunganku minat bacanya meningkat. Kalo ada yg tutup itu ya sesimpel kurang bisa beradapatasi aja.
akses buku yang susah = minat baca kurang, ini sangat betul pak, saya yg tinggal di ibukota provinsi yang tergolong miskin sangat merasakan hal ini, gimana mau baca toh buku" yang menarik minat untuk dibaca malah di kunci dalam lemari, di buka cuma saat" akreditasi atau tinjauan mutu sekolah. sebagai orang dengan ekonomi rendah cuma bisa melihat buku" bajakan atau gratisan di internet, bagaimana orang lain mau suka baca buku? yang senang baca saja dipersulit. perpustakaan daerah pun tak ada bedanya. selalu merasa iri dengan orang luar yang mudah mendapatkan akses buku secara gratis dan banyak jumlahnya. hal ini perlu di benahi dari negara kita pak, bagaimana negara menghadirkan buku sebagai salah satu tongak kemajuan bangsa ditengah masyarakat, ini yang dipikirkan cuma eksploitasi SDA, manusianya dipikir yang penting bisa makan, sampai kapan kita dikenal sebagai negara penghasil tenaga kerja murah?
Terimakasih Pak Indrawan. Saya sebagai owner penerbit Buku Langka Indonesia merasa tercerahkan. Feeling saya betul, ketika 2023 industri perbukuan mulai turun. Terimakasih juga solusinya. InsyaAllah siap bertransformasi.
menurutku sekolah juga harusnya memberikan kontribusi sih,supaya minat membaca itu muncul apalagi generasi sekarang, karena apa yang rasakan saat disekolah adalah minimnya literasi yang mengharuskan untuk mencari/menggunakan bukudi luar dari yang disediakan sekolah, kalo sekarang mungkin internet lebih gampang. Lalu juga minat/bakat menulis kayanya juga semakin berkurang dimana trend blog sudah menghilang. Semoga karya sastra untuk disekolah tetap ditingkatkan sehingga memunculkan minat akan literasi yang lebih luas
Bukan hanya soal minat memiliki buku, tapi juga persoalan minim nya minat membaca. yg banyak minat joget-joget di tiktok, 😅😅 sementara itu, konten edukasi di sosmed pun banyak yg bias dan ngawur atau asal buat konten aja. Shingga sangat lemah utk bisa dijadikan rujukan/referensi yg bs dipertanggungjawabkan. Namun, justru sangat disukai, sebab dismpaikan/visualisasi nya sangat menarik .
Saya setuju dengan Pak Wien bahwa minat baca masyarakat Indonesia sebetulnya masih tinggi. Oh ya, terlepas dari bertumbangannya toko buku yang notabene menjual buku-buku baru, ada fenomena lain yang cukup menarik: berkembangnya minat terhadap buku-buku bekas atau preloved. Saya tidak punya data pastinya, tetapi jika kita jalan-jalan ke marketplace atau media sosial, buku-buku bekas cukup laris. Di kalangan para pecinta buku, menjual dan/atau membeli buku bekas tidak dianggap sebagai bisnis, melainkan untuk meneruskan manfaat buku itu sendiri: hal yang kerap dilupakan oleh para penggiat di industri buku (dalam hal ini, toko buku). Fenomena lainnya adalah meningkatnya pengguna perpustakaan digital. Dari dua fenomena tersebut, saya mengambil kesimpulan bahwa minat baca masyarakat Indonesia cukup tinggi, daya belinya saja yang semakin rendah alias harga buku terlalu mahal. 😅 (Ya ampun, panjang banget komennya)
Mencerdaskan bangsa tercantum bagian semangat konstitusi, hilangnya satu lembar buku, sama dengan hilangnya seribu nilai pengetahuan, buku induknya ilmu, peradaban tinggi ada di sana sepanjang zaman, ayo, perpustakaan tidak boleh sampai punah, cerdaskan jiwa kita.
Saya lebih seneng baca buku fisik sihh, karna lebih enak aja bacanya, mata juga nggak perih, di banding baca ebook. Dan saya juga lebih senang beli buku yang original dari pada yang bajakan, karena beli buku original itu lebih berkesan dari pada beli buku bajakan
Terima kasih Pak Indrawan atas pandangannya,saya setuju dengan pandangan Pak Indrawan tentang konten audiovisual (misalnya channel RUclips) yang lebih mendominasi semenjak pandemi ,semua orang dipaksa untuk berdiam di dalam rumah.Hal ini membuat banyak orang beralih kepada konten audiovisual dalam mencari berbagai hal,sebut saja resep,ulasan berita dan bisnis,atau buku pengetahuan.Hal ini berimbas pada buku nonfiksi,karena topik yang dibahas lebih mudah dan jelas diterangkan pada konsep konten.Bisa jadi,youtube menjadi sebuah platform "toko buku" yang baru,sehingga pandangan orang membayar untuk informasi menjadi tergantikan.Saya setuju dengan konsep Pak Indrawan dan konsep sama yang diterapkan oleh Toko buku Gramedia.Toko buku juga dapat bekerja sama para pekerja perbukuan dengan mengembangkan channel youtube atau media sosialnya sebagai media interaksi kepada konsumen,seperti mengulas konten buku terlarisnya,ulasan sederhana buku baru (yang biasa ada di belakang buku),atau sebagainya.Namun,semuanya hanya ide.Aspek yang membuat toko buku tidak tergantikan adalah aksebilitasnya.Ia bak perpustakaan dan toko alat tulis yang terletak dimana-mana (mungkin bukan untuk membaca buku,melainkan fungsinya sebagai tempat komunitas buku yang bisa dijangkau dimana-mana).Jadi,saya setuju dengan konsep komunitas dan subsidi silang yang dikemukakan di video ini.Lantas,komunitas apa yang membuat orang rela pergi ke toko buku untuk menghabiskan waktu? Sementara ini sih sudah banyak dijalankan,mungkin ide baru yang terpikirkan adalah komunitas genre buku sama/favorit, komunitas belajar bareng ,dan konsep pembacaan untuk buku untuk anak-anak (daripada main gadget,bisa juga simbiosis dengan penempatan cafe/tempat duduk di sebelahnya untuk ortu mengawasi).
Sy seorang kutu Buku. Tp skrg udh berganti jd kutu E-Book. Ingat bgt dulu, listrik sering mati klau malam baca buku pake pelita. Bahkan sambil makan. Lauk apa adanya jadi lebih nikmat dg buku favorit. Skrg dg smartphone. Semua bisa d akses
Terimakasih ilmunya prof👍🏻,alangkah baiknya toko buku mencontoh seperti artland(toko perlengkapan seni), dengan konsep toko dan di toko itu pembeli bisa juga berkumpul dengan seniman lain,dengan begitu toko akan semakin hidup dan tidak monoton
Publisher buku seperti Gramedia juga harus beradaptasi terhadap perkembangan zaman, terkadang ada buku" yang tidak relevan dan baru diterbitkan saat ini
Dari belanja ke Gramedia sama orang tua sampe sekarang udah bisa sendiri ke Gramedia atau bareng temen temen hampir setiap pulang sekolah SMA udah nyaman bgt sama Gramedia.
Sejak 1990, toko buku selalu jadi "kunjungan wisata" saya, tapi sejujurnya toko GA ini lebih fokus ke Alat Tulis Kantor (ATK). Bukunya tidak selengkap toko "GM", dan juga tidak ada buku khusus / unik yang hanya ada di GA ini jadi untuk saya sejak tahun itu juga jarang sekali ke GA. Sampai sekarang juga saya masih sekali2 mengunjungi toko GM, dan meskipun ada caffee-nya tetap lebih sepi (bukan karena pandemi saja, sebelumnya juga sudah mulai sepi).
Usulan yang sangat tepat adalah dilakukan penelitian terhadap masyarakat yang benar2 menyelesaikan pembacaan suatu buku sampai selesai. Karena prilaku masyarakat lebih suka mencari konten atau info yang hanya sebagian dari buku, jadi berinvestasi untuk membeli buku yang harganya tidak sebanding dengan penghasilan masyarakat dan mereka pasti cenderung ke toko Google.. hehe.. So, yang lebih tepat apakah mengembangkan bisnis perpustakaan terlebih dahulu atau memang strategi perdagangan buku cetak yang jor2an dalam sosialisai ?
dijaman serba tekhnologi udah canggih, saya pribadi masih senang gaya hidup old school, masih senang beli buku dan koran konvensional, sedih melihat banyak toko buku dan koran konvensional harus hilang satu persatu
Saya lebih suka membaca buku yang fisik karena ada sensasi tersendiri dibandingkan dengan buku digital dan memang sudah seharusnya toko-toko buku mampu beradaptasi dengan zaman yang serba teknologi apalagi ketertarikan anak muda zaman skrng lebih suka nongkrong di kafe dan itu bisa dijadikan kolaborasi dengan toko buku
buku terkadang sangat mahal dan versi digital biasanya lebih murah, itu aja sih faktor buat saya.... ada juga faktor penyimpanan buku juga memakan ruang/space itu juga masalah... faktor penyimpanan juga bisa terkadang merusak buku fisik itu sendiri bila terlalu lembab atau kering.... belum lagi faktor hewan serangga seperti rayap juga menjadi masalah yg bisa merusak buku fisik...
Saran saja, setiap toko buku offline juga membuka toko buku online dengan buku digital. Dimana di toko buku online tersebut juga di ingatkan efek samping membaca buku digital dalam jangka panjang, sehingga kondisi yg ada tidak membunuh pasar toko buku off line dengan buku fisik nya.
Mungkin Krn tingkat ekonomi menengah kebawah terbesar di indo ini masih banyak mas Indra, jadi setiap harinya tingkat ekonomi ini hanya berfikir mencari kebutuhan perutnya tanpa berfikir utk membaca buku, terkecuali mreka benar2 perlu utk kebutuhan anak anaknya atau hal yg lainnya kali ya, jd bisa jadi itu salah satunya ditambah lagi kondisi ekonomi yg belum benar2 pulih dannnn banyak ilmu yg bisa di dapat langsung via RUclips dan medsos lainnya bisa jadi itu salah satu masalah tingkat minat baca org indo semakin mnurun... 😊🙏
Wah setuju banget sama penjelasannya om.. saya selaku ilustrator dan konten kreator buku anak juga merasakan industri ini ga sehat..kalau di video dibahas tentang penulis yang cuma dapet sebagian kecil, ilustrator apalagi..dipandang sebelah mata atau mata tertutup kali. Pendapatan ilustrator kalau kerjasama dengan penerbit besar, harganya bisa sangat minim. Pemerintah udah buat kemajuan buat meningkatkan minat baca anak lewat lomba2 dan rekrutmen, tapi honorariumnya aja bsa jauh dibawah penulis dan penterjemah. Soal pembajakan, kemarin saya smpat bhas plgiarisme..ga sedikit warga2 tiktok yang malah membela plagiatornya.
Gramedia tempat favorit aku untuk belanja keperluan sekolah kuliah apalagi zaman SD smp tempat aku cari majalah game dan majalah entertaintment lainnya
Masih setia baca buku fisik, tapi kalau ada kesempatan untuk baca buku digital mungkin akan memilih opsi tersebut dengan alasan tidak memakan tempat penyimpanan terlalu banyak
kalau ada yang bilang org di negara kita literasi & minat bacanya kurang, sebenarnya bukan minat bacanya yg kurang, tapi karena mereka gak tahu bakat & minatnya apa. Dulu saya pernah coba buat rajin baca buku, tapi karena saya gak tahu minatnya apa, jadinya malah jenuh gak dapat insight apapun, karena arah tujuannya gak terlalu jelas maunya apa. Setelah saya tahu kalau minat saya ternyata di dunia musik, saya jadi haus akan referensi musik sebanyak-banyaknya, mulai dari biografi musisi, sejarahnya, dan banyak lagi. Dan secara otomatis, hasrat untuk mencari pengetahuan lain dari berbagai sumber pun meningkat, mau itu dari buku, podcast, info dari komunitas, dsb.
Saya dulu pecinta buku, sering sekali ke toko buku seperti Gramedia dan Gunung Agung. Sekarang? Udah lupa kapan terakhir ke toko buku. Koleksi buku2 saya sudah saya hibahkan ke teman dan saudara. Secara fisik, saya cuma punya 3 buku yg saya simpan hingga kini karena itu hasil editor saya. Sama seperti kaset atau VCD, saya anggap buku sudah jadi produk masa lalu. Lebih nyaman dan praktis membaca buku digital.
Last time ke toko buku tepat 1 minggu yang lalu sama anak2 yang masih balita, banyak hal yang mereka ga tau dan mereka sangat enjoy baca2 bucu bahkan hanya lihat cover. Gimanapun vide di toko buku tu beda, jauhh banget dibanding kita cari di web atau di marketplace.
Kayaknya bila toko buku atau perpustakaan dilengkapi dengan berbagai fasilitas akan bisa menjadi tempat hiburan baru bagi generasi muda atau peminat buku. Daripada versi digital kalau saya lebih suka yang buku fisik, karena lebih enak dibaca, tidak membuat sakit mata dan lebih bersifat emosional. Disamping itu sepertinya perlu banyak lagi keteladanan dalam membaca. Contohnya Maudy Ayunda, yang sering berbagi insight buku2 yang dibacanya. Atau kalau di Kpop ada RM BTS yang gemar membaca. Jadikan membaca buku sebagai tren dan gaya hidup anak muda terutama, agar tidak selalu bermain dengan gadget sepanjang hari
sejalan dng salah satu bit standup comedy dari Pandji Pragiwaksono tentang buku... dari awal kayu keluar dari hutan kena pajak, kayu jadi bubur pulp dijual ke pabrik kertas kena pajak, kertas dijual ke percetakan kena pajak, percetakan bikin buku dari penerbit kena pajak, penerbit merilis buku kena pajak, toko yg menjual buku kena pajak, konsumen yg membeli buku kena pajak... penulis bikin buku dapet royalti kecil kena pajak juga... jadi ketertarikan utk membeli buku yg awalnya emosional & kepentingan pendidikan, kena disrupsi mindset ekonomi manusia pada umumnya... palagi daya baca nya rendah, keracunan konten digital audio visual yg berdurasi minimalis. berat, berat...
Aku lebih suka baca buku fisik soalnya kalau di hp atau alat elektronik lainnya bikin mata cepat lelah dan baca buku lebih cepat memahami isi bacaannya
faktor dari perdapata masyarakat, minim literasi, konten buku sangat berpengaruh, dijpg toko buku dimana2 mudah diakses, konten bervariasi, tp balik lagi ke pendapatan/daya beli masyarakatnya
Gramedia ayook kuat, bingung kalau nggak ada Gramedia, sudah nyaman di sana
Selama gramedia masih jualan ATK, alat olahraga, kafe, jasa parkir, penjualan tas, alat pendakian, kafe, mesin kasir, fashion, kalkulator, unique merchandise, peralatan penelitian dan peralatan teknisi. Saya yakin gramedia gak akan bangkrut
Online aja...
Cara terbaik untuk mendukung toko buku gramedia tetap kuat adalah dengan belanja di sana dan mengajak orang lain untuk belanja di sana
Gramedia Makassar baru buka , masak ya udah mau tutup.
Gramedia backingannya kuat gan harusnya aman sih kondisinys
Toko buku harus punya tempat & berkonsep dari lifestyle anak muda sekarang agar bisa jadi culture menjadi tempat "perkumpulan".
Benar. Sy setuju dengan ide ini. Seperti awal2 berdirinya Virgin yg jual CD dmana para anak2 muda bs lounge di sana sambil dengar lagu2 baru.
Setuju. Bikin spot rokoan sama kopi hehe
Top
@Mastegeng5 Working space + library + wahana bermain game papan mantep tuh, cozy banget.
yes di Tebet sudah ada bro yg konsepnya seperti itu nongrong , makan , ngopi sambil baca buku , dan ramai pengunjungnya
Di Mesir setiap tahun ada International Book Fair. Buku fisik masih banyak diminati orang-orang. Meskipun sekarang harganya sudah mahal karena harga berdasarkan Dollar, sedangkan inflasi di Mesir sangat tinggi. Tapi strategi pemasaran dan subsidi pemerintah juga berpengaruh. Majelis keilmuan bertebaran, jadi mendorong juga industri penerbitan buku. Yang harus diciptakan adalah kondisi masyarakat yang cinta ilmu dan buku.
masalahnya Indonesia ada di peringkat 60 Negara yg penduduknya malas membaca
Indo pecinta tiktok
Tutupnya gerai toko buku lebih karena tidak adanya perbedaan cara orang dalam memutuskan membeli buku, via Toko Buku atau E-Commerce/Marketplace dan E-Commerce/Marketplace menawarkan efisiensi pada biaya untuk mendapatkan buku. Karena penjualan buku fisik tetap berjalan melalui E-Commerce/Marketplace, jadi menurut saya bukan jadi indikasi menurunnya minat baca atau menurunnya ketertarikan terhadap buku fisik.
@@okisofiyanhadi4396 ehh bener... aq beli buku juga di shoope
nah ini yg gue suka, pemerintah bantu subsidi, karna memang harga buku di toko dg online sangatlah jauh, seandainya ada sedikit subsidi bisa di pindah untuk org yg membeli buku akan lebih baik, kalo dilihat sekarang subsidi pendidikan makin besar tapi untuk buku sepertinya blm
Saya termasuk orang yang masih menyukai buku fisik. Sensasi membacanya berbeda, aroma kertas yang unik dan dapat diwariskan. Bukan kemampuan membaca yang rendah, namun menemukan bacaan yang seusai passion dan akses buku yang lebih mudah dan murah untuk menjangkau pelosok negeri yang sepertinya menjadi salah satu masalah..
Iya kayaknya...lebih ke aksesnya aja. Aku pengalaman asal naruh buku2 lama yg sudah ngga kebaca di masjid deket rumah eh malah sekarang anak2 yg mampir masjid jadi rajin bgt baca. 😂 jadi mungkin lebih karena ga ada buku aja makanya males baca.
Aku juga lebih suka buku fisik. Suka banget bau aroma kertasnya yang unik.
Industri buku saat ini sedang mencari formula baru untuk tetap bertahan di era digital yang semakin meninggalkan toko buku fisik. Tetapi, saya yakin industri buku tidak akan mati dalam waktu beberapa dekade ke depan, melainkan akan bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. Terima kasih atas konten yang bagus ini, pak.
Sama-sama mas.
Santay buku tulis masih bertahan
betul ini. Karena saya sebagai pembaca saat ini lebih tertarik untuk transaksi atau pembelian buku secara online tanpa perlu datang ke toko fisik. Selain karena terdapat promo dan lebih mempermudah, buku yang saya cari kadang2 tidak ada di toko offline (buku import karya dari luar, macam cixin liu, fyodor atau william gibson).
Menurut saya formulasi yg tepat saat ini adalah menempatkan toko di lokasi spesifik, misalnya di dalam mall. Karena saya sendiri jika selesai menonton film di bioskop biasanya akan ke toko buku di mall tsb untuk mencari buku yang menarik atau melihat diskon/promo yang sedang terpasang.
Selain itu buku fisik gak akan tergantikan oleh buku digital, karena buku fisik lebih menarik untuk dikoleksi, dipajang, dan juga bisa dipake untuk pamer ke temen2 :D.
Tambahan: selain itu buku fisik emang sengaja saya beli karena untuk mengurangi screen time pemakaian gadget baik dirumah, kendaraan umum, gabut gak ada kerjaan. dsb
saya lebih suka baca buku fisik daripada digital. ada rasa kepuasan tersendiri ketika baca buku fisik dan lebih cenderung mudah mengingat isi buku. btw, aku suka sama channel om indra, menambah wawasan banget. kebetulan semester ini aku belajar tentang public relation yang membahas terkait strategi-strategi yang dilakukan oleh PR dan divideo ini om indra menjelaskan strategi gimana toko buku agar tetap bisa bertahan (penjelasannya mudah dipahami). sukses selalu om. 🤩
Buku Fisik tidak akan mati dan tetap di butuhkan dan punya daya tarik sendiri apalagi kolektor buku ya ngk betul?
Saat ini sudah ada alat ebook reader yang sama enaknya dibaca dengan buku fisik. 10 tahun lagi ketika teknologi dan keuangan makin maju gw yakin opini mayoritas bakal beralih ke buku digital.
ngerusak hutan negatifnya
@@vogel2499 ebook nggak bisa bertahan puluhan tahun.
@@vogel2499 emang ga capek bos baca ebook natap layar kena radiasi
Saya sangat setuju dg Bp Wien Muldian, sebenarnya minat baca kita tidak begitu rendah, buruknya diatribusi bukulah masalah sebenarnya. Sebelumnya juga dijelaskan bahwa masyarakat banyak membajak buku, ini kontradiktif dengan minat baca yg rendah. Jika akses lebih mudah dan harga lebih murah, saya yakin para pembajak buku tadi beralih membeli buku dan akhirnya industri buku pun maju, Semoga. Saya sendiripun pindah ke kindle karena harganya lebih murah dg rata2 jika dirupiahkan perbuku kurang dari 100k, jika beli buku fisik bisa 300k.
kalau pindah ke ebook, masih banyak publisher buku yang belum mau memigrasikan ke digital. karena masih takut untuk dicopy secara ilegal. jadi belum siap dengan resiko itu kak
Betul sekali ebook jauh lebih murah. Untuk mengakali harga mahal di toko/distributor, penulis sekarang banyak yang self publishing dan Open PO sblm cetak jadi bisa dikontrol biaya produksinua
betul, saya sangat suka buku fisk, tapi untuk beli sya tidak mampu
Betul, bukan diminat bacanya tapi di-inovasinya. Saya kagum dengan toko buku atau penerbit yang gencar merambah platform online, bikin konten di-medsosnya atau banyak ngadain event apapun itu. Liat aja betapa banyaknya jumlah pembeli buku di tokped dan shopee dengan berbagai promo dan strategi masing2nya.
Saya percaya, kalau masyarakat gemar membaca, toko buku akan tetap eksis. Jadi toko buku sebaiknya tidak hanya fokus pada profit, tapi juga ikut membangun tempat-tempat membaca yg ada unsur hiburannya di kampung-kampung dan rumah-rumah, sekolah², kampus², dan perpustakaan² desa, agar buku membumi.
Mata lebih sehat koq kalau membaca buku manual daripada buku digital/ebook.
Gawai/Laptop emang ditanam perangkat kecil yang bikin pengguna lebih betah spanneng, buku enggak
UDAH GAK RELEVAN KECUALI ADA CAMPUR TANGAN PEMERINTAH
Pemerintah dr jaman dulu, terus ngasih tau kita agar gemar membaca, even di jaman p.harto dulu perpus di pelosok desa bukunya lengkap.
Namun sayangnya, kita di sistem pendidikan kita gak akrab dg yg namanya sastra dan seni. Kita gak diajari untuk menghargai mereka, melihat bahwa sebuah buku sebagai karya bernilai tinggi sekali.
Bukunya dari dulu tersedia, beragam jenis dan genre tapi tidak dikenalkan secara baik kepada kita, sehingga makin kita dewasa makin kita merasa asing dg yg namanya buku.
Kalo harga, buku bagus di bawah 50rb banyak, yg mahal kan buku best seller, import gitu2.
Kalo asli gemar buku beli 1-2 buku per bulan gak akan bikin miskin. Budget kuota, jajan faktanya lebih tinggi dr harga buku.
@@netICEcreamkomenan di video ini cuma 700+ dari 169k viewers. Itu cuma 0,4%
Kalo masalah ngerusak mata sih saya gak setuju, karena kalo masalah ngerusak mata itu banyak faktor mulai dari gen atau kebiasaan kita yg merusak, seperti membaca ditempat gelap sambil tiduran, mau itu buku fisik atau digital pasti sama sama merusak mata.
Solusi yang diberikan pak Indra dalam konten ini mewakili salah satu keresahan saya saat datang di salah satu toko buku besar di Jogja. Saya datang ke sana tentunya saya perlu mereview, melihat-melihat isi buku apakah sesuai dengan apa yang saya butuhkan atau tidak, dan tentunya itu sedikit membuat saya cukup lama berada di sana krna masih mereview sebelum membeli, selama mereview "SAYANGNYA", kaki saya jadi pegal-pegal, karna harus duduk sambil jongkok untuk mereview bukunya karena gak disediain fasilitas kayak kursi dan lain-lain yang menambah nilai kenyamanan pelanggan. Akibatnya kalo datang lagi ke sana saya tidak begitu berlama-lama lagi seperti sebelumnya karna pengalaman yang kurang mengenakkan seperti yang sya rasakan sebelumnya. Hal yang saya rasakan bisa jadi dirasakan juga sama pelanggan lainnya. Jadi memaksimalkan beberapa fasilitas untuk kenyamanan akan menjadi nilai tambah yang baik untuk kemajuan toko buku itu sendiri. Semoga toko-toko buku di Indonesia akan terus hidup dan terus beradaptasi dan maju sehingga kemajuan literasi anak Indonesia semakin meningkat. Terima kasih Pak Indra 😇🙏
Masalahnya budaya kita gak kaya gitu kak. Bisa jadi kalo dikasih kenyamanan seperti itu, bukannya beli malah jadi baca di tempat. Karna alasan ini menurut saya sebagian toko buku ngasih aturan "membuka segel berarti membeli". Asumsi saya, dari pengalaman mereka menjalankan toko buku, karena kebiasaan konsumenlah mereka menerapkan aturan ini.
Ketika segel buku dibuka, orang jadi lebih banyak membaca ditempat, bukan dengan tujuan review, tapi membaca sampai habis. Dan akhirnya tidak beli. Ya buat apalagi beli, toh semua isinya sudah diketahui. Mungkin ini gak berlaku buat kaka, tapi boleh jadi berlaku buat sebagian orang.
Oleh karna itu, kondisi yang "tidak terlalu nyaman" juga dibuat agar orang bisa segera mengambil buku yang diinginkan dan closing. Lha wong dengan tidak ada bangku orang-orang dengan sabar baca buku yang udah dibuka segelnya di antara rak-rak buku. Sambil deprok di lantai, jongkok, senderan di tembok. Apalagi dikasih bangku. Ya sekalian aja dihabisin ditempat bacanya... ☺
@@rusdiantoro toko bvkv akik jogja udah membuktikan, saat ini tidak zamannya lagi hanya closing, perlu pendekatan baru.
Saya punya mimpi bikin TOKO BUKU dengan model bangunan layaknya IKEA, jadi konsumen tidak langsung dihadapkan dengan ruangan luas yg berisikan rak2 buku
Tapi konsumen diberikan pengalaman layaknya room tour, berpindah dari satu ruangan ke ruangan lainnya dgn alur yg sudah dibuat
Nah di setiap ruangan diberikan tema sendiri, misal ada 1 ruangan bertemakan ruang tamu, terus disitu ada rak buku dengan tipe buku yg berkaitan sm ruang tamu, misal buku tentang parenting, caranya bersosialisasi dengan orang, atau novel yg bertema keluarga
Begitupun ruangan lainnya seperti dapur dengan buku2 bertema masak atau bisnis kuliner. Ataupun ada ruangan yg mirip studio youtube, nah disitu jg bisa diberi buku2 bertema tentang kreativitas, tips & trik jadi content creator, ataupun tutorial menggunakan alat2 produksi content
Keren gan...
Ngayall 😂😂😂
Menarik idenya,, jangan menganggap remeh sebuah mimpi, karena mimpi adalah kunci, kata Nidji ..
Mantap sekali ide anda.
Mulailah dg buat konten mimpimu, agar semakin dekat menjadi kenyataan 🎉
Jujur suka banget dengan audiobook, semoga bisa berkembang seperti diluar negeri.
Ini aplikasi ya?
kalo di negara lain meskipun penjualan buku2 digital meningkat. tetapi buku2 fisik tetap laku, di eropa malahan ada toko buku2 baru sejak pandemi berakhir. memang harus cari cara untuk menarik. kemaren prof rhenald khasali ada bahas tentang gunung agung juga. di taiwan cina banyak toko2 buku yg semua bukunya dibuka dan pembaca dibiarkan baca gratis di situ dan mereka dapet uang dari kafe2 dan menyewakan toko2 digedung itu. toko bukunya sendiri lebih digunakan sebagai daya tarik wisata bukan sebagai tempat menjual buku saja. makanya toko2 mereka dibuat bagus2 megah ,besar dan unik2. sedangkan di indonesia toko buku begitu2 saja dan kurang menarik.
Konsepnya lebih ke perpustakaan sih itu
Bener gan, terkesan biasa + Parahnya lagi jarang yang suka baca buku.
“People don’t want to read books any more; they prefer their tablets and laptops.”
Ini adalah perkataan dari toko buku Al-Saqi Books saat menutup tokonya di London. Mereka udah disana 44 tahun. Dan 31 Desember kemarin tutup. Dan 31 Desember nanti di Indonesia, Gunung Agung akan resmi ditutup...
Selain Al-Saqi, Book Depository, salah satu online bookstore terbesar, baru aja tutup 26 April 2023 kemarin. Agak sedih karena saya biasa belanja buku impor disini. Padahal mereka udah 20 tahun jualan online...
Ya mungkin perkataan al-Saqi di atas ada benarnya. Mungkin besok kalo sudah gak ada lagi toko buku offline, kita baru merindukan masa-masa ke toko buku. Karena untuk saat ini, tempat-tempat itu terasa kurang menarik...
@@rusdiantoro makanya harus diubah sesuai jaman. jangan cuma jadi toko buku karena buku bisa dibeli online. tapi juga harus menyediakan yang lain. seperti dibilang diatas di luar negeri toko buku dibuat terlihat wah sangat2 instagramable. itu toko buku yang seperti hogwarts sangat terkenal untuk masuk saja bayar. mau foto2 silakan tapi ada waktu.
Saya naik kereta sering kelewat 2 stasiun gara2 asyik baca buku,rasanya begitu meresap ke jiwaku di saat menempuh perjalanan sambil membaca buku fisik ❤
Menurut saya, masa depan buku fisik akan bernasib serupa seperti halnya film, musik dan video game, yang mana kini orang lebih suka membelinya dalam bentuk digital karena buku fisik membutuhkan ruang penyimpanan yang tidak sedikit.
Meskipun begitu, saya tetap menyukai membaca buku fisik karena sensasi membalikkan halaman per halaman tidak akan tergantikan.
kalo di negara lain meskipun penjualan buku2 digital meningkat. tetapi buku2 fisik tetap laku, di eropa malahan ada toko buku2 baru sejak pandemi berakhir. memang harus cari cara untuk menarik. kemaren prof rhenald khasali ada bahas tentang gunung agung juga. di taiwan cina banyak toko2 buku yg semua bukunya dibuka dan pembaca dibiarkan baca gratis di situ dan mereka dapet uang dari kafe2 dan menyewakan toko2 digedung itu. toko bukunya sendiri lebih digunakan sebagai daya tarik wisata bukan sebagai tempat menjual buku saja. makanya toko2 mereka dibuat bagus2 megah ,besar dan unik2. sedangkan di indonesia toko buku begitu2 saja dan kurang menarik.
karya hasil manusia sampai kapanpun butuh fisik, dan butuh konektivitas dengan si pembuat karya. dan ternyata vinyl yang disebut teknologi usang dan jadul sekarang kembali booming dan jauh lebih diapresiasi. Disaat orang2 boom soal musik streaming. Artinya? Karya kreatifitas manusia butuh fisik. dan penikmatnya butuh "feel" tersebut.
Soal storage, itu perkara lain, jika anda enthusias membaca pasti dibelain untuk bikin storage/ bookshelf, harganya ngga semahal beli mobil baru dan luasannya ngga sebesar mobil juga jika di meter persegikan. Itu cuma perkara sampai batas mana anda merhargai karya, apakah anda suka membaca, addict dan koleksi atau cuma segitu2 aja, semua ada levelnya.
Dan orang keliatan yang dirumahnya TV nya lebih besar daripada rak bukunya, akan berbada kepribadian dan ilmu dengan yang rak bukunya lebih besar daripada bidang dinding nya. GItu aja sih, ga perlu diperdebatkan. Ini cuma pilihan.
Ebook itu baik dan simple tapi tidak sama seperti fisik. Denger dari spotify, apple music atau bahkan tidal yang jauh lebih hires, tidak akan se "hidup" vinyl. Persis sama seperti hasil foto analog dan digital, foto digital jauh lebih tajam dan bagus kualitasnya, tapi hasil analog jauh leibh hidup.
@@genocidegrand2057 satu yang jadi perbedaannya. buku di indonesia cenderung mahal atau mungkin income rata2 indonesia masih rendah.
Indonesia buku rata2 seharga 100-200ribu untuk buku2 bagus, dimana umr 4,9jt tertinggi. Sedangakn di US 1160 dolar/bulan, disana buku seharga rata2 10-20 dolar. jelas untuk gaji minimum di amerika aja buku2 cenderung rata2 murah setara 2-3 jam kerja. Sedangkan di indonesia harga satu buku setara dgn rata2 sehari gaji umr tertinggi.
Di amerika kerja 2-3 jam udah bisa beli buku bagus2 di idnoensia kerja dulu seharian baru bisa beli buku. Ini penyebab utama kenapa literasi indonesia rendah, dan banyak pembajakan. Belum soal logistik, pengiriman buku dll yang sulit, karena indonesia itu sangat luas, terlalu luas jadi tidak efisien dari segi biaya.
betul itu, selain membolak balik halaman itu ada sensasinya yg tdk tergantikan ... juga mencium bau buku, buku lama ada keunikan ttg bau bukunya ...😅 ... selain itu buku fisik, bisa dicorat-coret (utk note) atau diberi tanda utk kalimat2 yg dianggap penting ... satu lagi, buku fisik ada nilai koleksinya, ada nilai apakah itu cetakan pertama, kedua, dsb (nilai historis, nilai klasik, nilai kelangkaan di masa depan, dsb) ... pokoknya hal2 tsb tdk dpt dimiliki ebook ... mudah2an pasar buku fisik dpt bangkit kembali, seperti rekaman vinyl ... oh, collectible items ...
Kalo game2nya nintendo saya tetep prefer beli fisiknya, selain bisa di koleksi, bisa dijual lagi dan harganya ga turun² amat hehe
terimakasih dok. jd dpt ide model bisnis masa depan di bidang bisnis yg sdg kami geluti.
bagi saya yang tinggal di daerah membeli buku fisik secara online memang paling worth it, dan sepertinya toko buku sudah seharusnya memaksimalkan onlineshop nya. dan satu hal yang pasti buku fisik tetap akan punya peminatnya dan pasarnya tidak akan pernah hilang.
Saya sepakat, minat baca orang Indonesia tidak seburuk itu kok. Tapi jujur aja, skrg banyak penulis yg beralih kepada penerbit indie, dimana mereka ngga butuh distributor toko buku. Cukup dijual di marketplace, bisa laku keras. Keuntungan lebih besar, ngga kepotong royalty nya.
Terutama buku anak2, banyak ilustrator dan penulis buku anak Islami, kebanyakan indie. Ini jadi catatan buat toko buku dan penerbit sih. Klo ngga berubah, ya kita ke toko buku buat rekresional aja, bukan buat beli buku.
Minat dan kebutuhan baca orang Indonesia masih lumayan kak. Paling gak buku referensi kuliah banyak yang beli. Masalahnya di pembajakan yang gila-gilaan kak. Buku referensi asli harga 90K, gimana mau bersaing sama buku bajakan yang cuma seharga 18K. Susah kak! Dan ini nyata. Buku asli cuma laku puluhan pcs, buku bajakan laku ribuan.
Anggaplah saya sebagai penerbit, ya berat jalaninnya. Cash flownya gak ada. Kalo sebagai penulis, royalti yang gak seberapa, masih dipotong pajak 15%, total bulanan bisa jadi dibawah UMR. Kalo gitu ngapain nulis buku. Bikin sakit hati aja. Logisnya gitu kak...
Dan penjual buku, dalam hal ini toko buku sekelas GA, pastinya gak jual buku bajakan. Saya gak tau ya penjualan real mereka bagaimana. Tapi kalo di official store salah satu marketplace, itu mereka kalah jauh kak. Ambil contoh buku Mindset yang dikasih kata pengantar prof. Renald Kasali, sama sekali gak ada yang beli. Nol penjualan. Sementara di toko lain laku ratusan..
Dan buku indie bukan berarti gak ada yang bajak kak. Tunggu aja beberapa bulan. Buku asli 75K, 3 bulan berikutnya bisa jadi ada versi 25K-nya... 😋
@@rusdiantoro Ini benar, dan saya setuju. Tp ini another issue.
Dan benar buku indie masih bisa dibajak, tp setidaknya sebagai penulis kita bisa dapat royalti yang lebih besar. Malah beberapa penerbit indie sistemnya bagi hasil. Jadi, penulis, ilustrator, creator (atau apapun yg terlibat), bisa mengatur sendiri harga dan revenue yang mau dihasilkan. Itu yang jadi argumentasi kenapa penulis sekarang prefer menerbitkan buku sendiri ketimbang ke penerbit mayor.
Gramedia membuat terobosan dengan model bisnis baru, yaitu subscription dan menurut saya ini sangat menarik serta masuk akal.
Di Jogja ada toko buku yang menarik yaitu The Social Agency. Koleksi bukunya semua dalam bahasa Indonesia dan banyak yang tidak ditemukan di toko buku besar, seperti di Gramedia. Mereka juga memberi diskon yang cukup besar 20-25 persen pada setiap bukunya. Satu layanan yang menurut saya sederhana tapi menarik yaitu setiap buku yang kita beli langsung dikasih sampul plastik oleh mereka. Hal kecil yang menurut saya membuat orang datang lagi...
Bagus
Terkadang minat baca tetap tinggi pak, hanya saja dengan penghasilan yang minim ditambah dengan harga buku yang lumayan mahal untuk penghasilan tsb
Buku itu yg paling berharga adalah catatan kaki karena kita tahu dari mana pengarang membangun cara berpikirnya. Jadi buku tetap tidak bisa dikalahkan dgn digital
Buku digital kan juga ada catatan kakinya. Yg bikin buku fisik nggak akan bisa dikalahin buku digital adlh kemampuan buku fisik utk diakses secara acak/lompat2 dlm waktu cepat, misalnya baca bab 1, terus langsung lompat ke bab 5, terus langsung lompat ke bab 7, terus langsung balik lagi ke bab 1. Buku digital mana bisa begitu. Buku digital cuma bisa dibaca secara linier. Buku fisik ini lebih cocok buat orang2 yg tipe divergent thinker.
@@indrapratama7668 Baca buku di taman, di kereta tanpa khawatir batre habis
Sy setuju dengan pendapat bahwa buku harus menyediakan forum diskusi buku. Menurut saya selain menyediakan ruangan untuk komunitas, toko buku sepertinya bisa juga berkecimpung ke dunia online untuk diskusi atau mengadakan kegiatan secara live lewat media sosial. Acara tersebut tentunya bukan hanya promosi saja tetapi juga diskusi mengenai buku dan juga apa yang sekarang sedang mungkin trendy dkk. Maafkan sy karena saya belum menemukan acara yang demikian di medsos saya. Saya sudah sering kali membaca buku online. Menurut saya kumpulan web novel seperti wattpad menjadi alternatif baki toko buku yang tentu perlu diperhatikan kedepannya. Akan tetapi potensi aplikasi atau web sperti itu masih cenderung minim karena ada banyak hal-hal yang tidak bisa dimiliki oleh mereka seperti buku buku berkualitas dan narasi yang cenderung sudah lengkap. Toko buku masih bisa banyak berpotensi di buku terutama non-fiksi tetapi tentu masih juga ke fiksi walaupun memang alternatifnya sekarang banyak.
Buku yang dihadirkan di toko buku khususnya di bagian fiksi memerlukan sisi ekslusivitas tertentu dan kualitas yang baik serta sumbernya yang beragam pula karena untuk banyaknya cerita aplikasi-aplikasi tertentu sudah bisa menghubungkan kita dengan banyak cerita.
Dari sd saya sendiri sudah minat baca buku, dikarenakan ekonomi belum mendukung sehingga terbatas hanya membaca di perpustakaan. Sekarang saat pendapatan diatas rata-rata mulai mengalokasikan untuk membeli di salah satu toko retail terbesar. Walaupun begitu menurut saya harga buku sampai saat ini masih terbilang mahal untuk dijangkau semua kalangan, perlu adanya konsep baru.
Sebagai pecinta komik jepang (manga) gue sangat senang masuk ke gramedia di kota gue dan disambut poster2 besar attack on titan dan demon slayer di area entrance. Mereka ngerti apa yang gue mau
Harga buku skrg sdh di luar akal, sementara kontennya (isi buku) gak sebagus dulu. Gak semua penulis punya kualitas baik, tapi bukunya dijual mahal banget di Indonesia. Salah satu alasan knp saya lebih memilih menahan uang dan mengalihkannya ke kebutuhan lain. Dan mencari bacaan2 secara online krn gratis dan mudah diperoleh.
Benar sekali.
Saya gak hobi baca tpi hobi dngar org yg bacain buku atau menjelaskan isi buku tersebut.. siapa yg begitu juga
Kenangan jaman kuliah di daerah salemba tahun 2003an, nongkrong di kwitang, ke TB Wali Songo, lanjut ke TB Gunung Agung... penuh memori bgt...
Perbanyak aja sih buku novel/light novel yang diadaptasi jadi film, atau tv series, animasi, dan lain sebagainya, karena kalau penulis merasa karyanya dihargai bahkan sampai di buat film, apalagi filmnya laku, maka penulis lain juga termotivasi, jika film hasil adaptasinya sukses maka minat baca orang yang abis nonton filmnya juga bertambah, contoh negara jepang, disana industri novel/komiknya terus berjalan, karena ekosistemnya bagus dan berkesinambungan, contonya buku novel > dapet adaptasi film/komik/tv series > sukses/laku keras > orang orang penasaran sama lanjutan film/seriesnya > beli novel/komiknya, dan terus berputar, itulah kenapa minat baca disana tinggi.
agree. memang adaptasi ke film (audio visual) lebih mengena sebagai promosi karya tulis. setelah menonton film nya baru orang akan nyari buku nya untuk mencari tau lebih dalam isinya.
Saya lebih suka baca buku fisik dibanding digital. Bahkan setelah sy tinggal di pelosok sy tetap bisa menikmati membeli buku fisik lewat e commerce.
inovasi layanan berlangganan gramedia digital menurut saya sudah cukup oke, minimal untuk memberi preview bagi pembaca yang mau mengoleksi buku-buku pilihannya dalam bentuk cetak maupun ebook, yang mana perlu cost yg lebih besar mulai dari pembelian sampai penyimpanan.
belum lagi masalah sulitnya akses terhadap buku fisik dan toko buku terutama bagi masy di kampung membuat pembelian buku adalah priviledge bagi sebagian orang. semoga ekosistem buku Indonesia semakin sehat dengan adanya inovasi-inovasi yg dimotori oleh toko2 buku & penerbit buku
Turunnya minat baca, dan kemudahan akses internet dalam mencari referensi digital , membuat buku fisik jadi mulai jarang diminati.
Apalagi kemunculan teknologi AI seperti Chat GPT yang membantu orang dalam mencari referensi. Akhir nya muncul lah senjakala akhir buku fisik.
Menurut saya strategi pertama yang etis rakyat Indonesia miliki sekarang adalah sosok pemimpin yang cerdas di masa mendatang. Pemimpin yang cerdas merupakan gambaran bahwa dirinya suka membaca buku dan menyukai majelis ilmu.
Oleh karena itu, jangan lupa ajak sanak saudara kalian untuk mendukung Bapak Anies Baswedan sehingga beliau secara resmi terpilih menjadi Presiden RI 2024 mendatang.
Bapak Anies Baswedan ... Jaya! Jaya! Jaya!
Yang menyediakan kafe idenya keren banget 👍🏼
Salah satu alasan gue malas datang ke perpus karena gak boleh bawa makan minum, salah satu alasan gue datang ke tempat makan buat nyari tempat nyantai kadang gak terlalu peduli sama menunya yang penting bisa duduk sambil baca. Nah ini kalau ada kafe di situ keren dah bisa sambil nyantai sambil baca 🙏🏼
Alasan utama perpustakaan melarang bawa makanan dan minuman itu karena orang indonesia kebanyakan jorok semua, teledor, dan tidak mempunyai tanggung jawab tinggi, kalo diizinkan membawa minuman/makanan pasti banyak kasus buku tertumpah minuman atau buku terkena noda makanan, masih mending diluar negeri kalo bukunya ketumpahan mereka mau tanggung jawab, lah di indo saya yakin kebanyakan pada gak betanggung jawab, pasti langsung kabur kaga mau ganti kerusakan buku
yupp.. toko buku sekarang tambah sepi, kalo pun ada yang mampir lebih ke nyari alat tulis gitu², kemarin baru aja ada Bazar Buku, pada semangat sih orang², ada pentas seni, kuliner, buku², barang² unik, action vigure juga ada, rame dah pokok nya, cuman ya agak heran, ku beli buku kira² tebel nya 3 cm, udah cover bagus, kertasnya tebel, putih bersih, ee.. harganya cuma 20 ribu, ini mah jelas jual rugi sih, lumayan bisa dapet murah hehe, anak² perempuan kan suka jalan² kemana gitu yaa, nah.. di bazar juga banyak, seringnya pada nyari novel-novel, sama jajan. balik lagi.., toko buku masih banting tulang biar buku² nya kejual, beda kasus kalau orang² memang butuh modul dari buku tertentu, contoh orang² yang mau magang ke luar negeri, nah.. buku² kursus bahasa asing masih banyak yang minat, tapi yaa belinya di online, but.. upaya ngebangun tempat yang enjoy tu bagus sih, sama kayak barusan... ada mushola, ada caffe, wifi spot, jajan².. lumayan laah buat tempat nugas pulang sekolah, oiyaa sama tempatnya... dibangun deket² sama komplek sekolah aja, pasti rame, pengalaman pribadi... lebih enak baca buku fisik dari pada e-book, bawa an nya pengen buka sosmed terus soalnya, pengecualian kalau yang di baca komik-komik yaa, emang enak nya di hp kalo itu, tapi... sebagai mantan pembaca komik detektif conan, sampe sekarang masih keinget siiih seru nya 😁 sampe ku baca ulang² tuu komik, biar paham misteri nya 🤣 Mantab daah, sekarang sudah waktunya adaptasi ✨👍🏻👍🏻
During pandemi, penjualan bukuku malah lebih tinggi dibandingkan after pandemi.
Komentator memang paling enak. Sedih sih dengar Gunung Agung tutup semua, tapi yah saya kalau belanja buku, lebih ke Gramedia sih.
Betul banget mas indra.. Kebanyakan orang jauh lebih suka nikmatin konten audio visual daripada tekstual / fisik.. Sama halnya mungkin seperti buku bergambar yg lebih disenangi anak anak dulu daripada yg semua isinya tulisan semua. 😊
Betul emosional. Klo saya lebih suka dengar audio visual seperti ini sambil jogging pagi
Harusnya pemerintah membangun perpustakaan dan perpustakaan itu dijadikan tempat penitipan anak supaya anak anak kita mendarah daging literasinya.
Maraknya pembajakan buku menjadi salah satu penyebab runtuhnya toko buku.
Segmentasi peminat buku mulai dari akademisi, penikmat seni tulisan..sharusnya ada wadah/tempat interaktif penuh keakraban yg scr tdk lsg bs menghidupi keberlangsungan hidup putaran roda operasional toko buku.
Selama masyarakat Indonesia tidak mau meningkatkan kualitas literasinya, maka toko buku sebesar apa pun tidak bakal bisa bertahan.
Di rumah saya punya perpus kecil sendiri,tapi saya akui anak anak saya lebih suka belajar lewat digital,hanya saja saya tetap memberi waktu untuk mereka tetap membaca buku❤
Pendapat Pak Wien saya setuju,mungkin toko buku memang harus memberikan ruang untuk membaca dengan berdampingan dengan cafe atau restoran sehingga ada pengalaman yang baru untuk menikmati buku🎉
Masalahnya ini toko buku kak, bukan perpustakaan, jadi beli buku kemungkinan besar bacanya dirumah, jarang sekali ada pembeli yg langsung baca ditokonya walaupun disediakan tempat duduk.
Walaupun perpustakan sekalipun, menurut saya kurang cocok jika disediakan kafe atau tempat makan, karena menurut saya rata rata orang indonesia itu jorok, kalo baca sambil makan atau minum kemungkinan besar tuh buku bakalan kotor, dan itu gak cocok dengan segala peraturan yg ada di perpustakaan
Kita gak suka membaca, tapi lebih senang menonton youtube secara langsung
pengalaman pribadi, benar2 baca buku "fisik" terakhir saat skripsi karena tuntutan teknis metodologi dan pembahasan. Setelah kerja, sistem kerja digital dan to the point ya gw harus ikutin. Untuk pembahasan literasi yg rendah, klo maksudnya baca novel sejenisnya, gw setuju karena dah capek di tempat kerja & sekarang lebih suka lihat & dengar dari youtube untuk tau info2 terbaru
Soal minat baca itu sebenarnya sudah tidak masalah untuk di beberapa sekolah. apa lagi jika bahan bacaannya itu mungkin hiburan seperti Novel. Dan untuk membaca sebuah buku Keilmuan itu sangat sulit di munculkan apa lagi dengan masyarakat indonesia yang suka dengan media yg lbh compact seperti video reels tiktok dari pada mencari info atau membaca ceritanya sendiri, ingin di dongengkan.
Lalu mahalnya Biaya Produksi juga termasuk faktor, saya termasuk orang yg kadang membaca 4-10 chapter online novel yang di translate sebelum tidur. Dan saya pernah maraton baca Novel yang ada sebanyak 500 chapter lebih selama 1 minggu. bayangkan jika 500 chapter tersebut di transformasi menjadi buku, berapa uang yang harus saya keluarkan untuk membaca media tersebut. saya masih ingat Buku Komik yang saya baca seharga 18k saat saya membeli. saya bisa membeli 5 komik sekaligus saat itu. namun dengan uang 100 ribu mungkin sekarang saya hanya bisa membli buku komik 3-4 jilid saja.
Akhirnya ada yg sependapat, banyak yg ngomong minat baca Indonesia rendah & tiap tahun makin rendah lah, ini lah, itu lah. Tapi sebenernya, setidaknya di lingkunganku minat bacanya meningkat. Kalo ada yg tutup itu ya sesimpel kurang bisa beradapatasi aja.
Wah, mantap Patjar Merah
Terakhir saya mendatangi Patjar Merah di Area Kota Lama Semarang
akses buku yang susah = minat baca kurang, ini sangat betul pak, saya yg tinggal di ibukota provinsi yang tergolong miskin sangat merasakan hal ini, gimana mau baca toh buku" yang menarik minat untuk dibaca malah di kunci dalam lemari, di buka cuma saat" akreditasi atau tinjauan mutu sekolah. sebagai orang dengan ekonomi rendah cuma bisa melihat buku" bajakan atau gratisan di internet, bagaimana orang lain mau suka baca buku? yang senang baca saja dipersulit. perpustakaan daerah pun tak ada bedanya. selalu merasa iri dengan orang luar yang mudah mendapatkan akses buku secara gratis dan banyak jumlahnya. hal ini perlu di benahi dari negara kita pak, bagaimana negara menghadirkan buku sebagai salah satu tongak kemajuan bangsa ditengah masyarakat, ini yang dipikirkan cuma eksploitasi SDA, manusianya dipikir yang penting bisa makan, sampai kapan kita dikenal sebagai negara penghasil tenaga kerja murah?
Terimakasih Pak Indrawan. Saya sebagai owner penerbit Buku Langka Indonesia merasa tercerahkan. Feeling saya betul, ketika 2023 industri perbukuan mulai turun.
Terimakasih juga solusinya. InsyaAllah siap bertransformasi.
Sama-sama mas. Amiinn
Tertarik buka toko buku dipadukan kafe yang sediakan tempat baca, diskusi, kongkow, bedah buku, dsb..
menurutku sekolah juga harusnya memberikan kontribusi sih,supaya minat membaca itu muncul apalagi generasi sekarang, karena apa yang rasakan saat disekolah adalah minimnya literasi yang mengharuskan untuk mencari/menggunakan bukudi luar dari yang disediakan sekolah, kalo sekarang mungkin internet lebih gampang. Lalu juga minat/bakat menulis kayanya juga semakin berkurang dimana trend blog sudah menghilang. Semoga karya sastra untuk disekolah tetap ditingkatkan sehingga memunculkan minat akan literasi yang lebih luas
Tks untuk ulasan dan sharingnya ya
Bukan hanya soal minat memiliki buku, tapi juga persoalan minim nya minat membaca.
yg banyak minat joget-joget di tiktok, 😅😅 sementara itu, konten edukasi di sosmed pun banyak yg bias dan ngawur atau asal buat konten aja. Shingga sangat lemah utk bisa dijadikan rujukan/referensi yg bs dipertanggungjawabkan. Namun, justru sangat disukai, sebab dismpaikan/visualisasi nya sangat menarik .
Selain harganya relatif mahal untuk beberapa kalangan masyarakat. Akses ke toko buku juga sulit untuk beberapa kota kecil di Indonesia
Iyaa betulll
Saya juga jenuh baca buku digital sekarang beralih ke buku fisik lagi.
Saya setuju dengan Pak Wien bahwa minat baca masyarakat Indonesia sebetulnya masih tinggi. Oh ya, terlepas dari bertumbangannya toko buku yang notabene menjual buku-buku baru, ada fenomena lain yang cukup menarik: berkembangnya minat terhadap buku-buku bekas atau preloved.
Saya tidak punya data pastinya, tetapi jika kita jalan-jalan ke marketplace atau media sosial, buku-buku bekas cukup laris. Di kalangan para pecinta buku, menjual dan/atau membeli buku bekas tidak dianggap sebagai bisnis, melainkan untuk meneruskan manfaat buku itu sendiri: hal yang kerap dilupakan oleh para penggiat di industri buku (dalam hal ini, toko buku).
Fenomena lainnya adalah meningkatnya pengguna perpustakaan digital.
Dari dua fenomena tersebut, saya mengambil kesimpulan bahwa minat baca masyarakat Indonesia cukup tinggi, daya belinya saja yang semakin rendah alias harga buku terlalu mahal. 😅
(Ya ampun, panjang banget komennya)
E Book + kopi + rokok ? nonono
buku fisik + kopi + rokok ? Da best
Perlu di waspadai kalo sudah tidak ada toko buku...generasi berikut....??
Mencerdaskan bangsa tercantum bagian semangat konstitusi, hilangnya satu lembar buku, sama dengan hilangnya seribu nilai pengetahuan, buku induknya ilmu, peradaban tinggi ada di sana sepanjang zaman, ayo, perpustakaan tidak boleh sampai punah, cerdaskan jiwa kita.
Betul sekali poin akses buku bajakan sangat mudah di indonesia. Tentu itu juga sangat berpengaruh ke penjualan buku di indonesia 😊
jika membaca buku sudah menjadi kegiatan klasik dan indie maka anak muda akan kembali banyak yang membaca buku
Saya lebih seneng baca buku fisik sihh, karna lebih enak aja bacanya, mata juga nggak perih, di banding baca ebook.
Dan saya juga lebih senang beli buku yang original dari pada yang bajakan, karena beli buku original itu lebih berkesan dari pada beli buku bajakan
Terima kasih Pak Indrawan atas pandangannya,saya setuju dengan pandangan Pak Indrawan tentang konten audiovisual (misalnya channel RUclips) yang lebih mendominasi semenjak pandemi ,semua orang dipaksa untuk berdiam di dalam rumah.Hal ini membuat banyak orang beralih kepada konten audiovisual dalam mencari berbagai hal,sebut saja resep,ulasan berita dan bisnis,atau buku pengetahuan.Hal ini berimbas pada buku nonfiksi,karena topik yang dibahas lebih mudah dan jelas diterangkan pada konsep konten.Bisa jadi,youtube menjadi sebuah platform "toko buku" yang baru,sehingga pandangan orang membayar untuk informasi menjadi tergantikan.Saya setuju dengan konsep Pak Indrawan dan konsep sama yang diterapkan oleh Toko buku Gramedia.Toko buku juga dapat bekerja sama para pekerja perbukuan dengan mengembangkan channel youtube atau media sosialnya sebagai media interaksi kepada konsumen,seperti mengulas konten buku terlarisnya,ulasan sederhana buku baru (yang biasa ada di belakang buku),atau sebagainya.Namun,semuanya hanya ide.Aspek yang membuat toko buku tidak tergantikan adalah aksebilitasnya.Ia bak perpustakaan dan toko alat tulis yang terletak dimana-mana (mungkin bukan untuk membaca buku,melainkan fungsinya sebagai tempat komunitas buku yang bisa dijangkau dimana-mana).Jadi,saya setuju dengan konsep komunitas dan subsidi silang yang dikemukakan di video ini.Lantas,komunitas apa yang membuat orang rela pergi ke toko buku untuk menghabiskan waktu? Sementara ini sih sudah banyak dijalankan,mungkin ide baru yang terpikirkan adalah komunitas genre buku sama/favorit, komunitas belajar bareng ,dan konsep pembacaan untuk buku untuk anak-anak (daripada main gadget,bisa juga simbiosis dengan penempatan cafe/tempat duduk di sebelahnya untuk ortu mengawasi).
Thanks ya.
Sy seorang kutu Buku. Tp skrg udh berganti jd kutu E-Book. Ingat bgt dulu, listrik sering mati klau malam baca buku pake pelita. Bahkan sambil makan. Lauk apa adanya jadi lebih nikmat dg buku favorit. Skrg dg smartphone. Semua bisa d akses
The power of wifi gratisan. Jadi enak dengerin video dari pada lelah mata baca
Alhamdulillah toko buku langganan kami di Kramat Senen Jakpus (Buyung/UD.Saudara) sll rame,krn brani diskon 30-40%
*gramedia matraman emang paling lengkap, paling favorit*
🎉🎉🎉🎉🎉
Terimakasih ilmunya prof👍🏻,alangkah baiknya toko buku mencontoh seperti artland(toko perlengkapan seni), dengan konsep toko dan di toko itu pembeli bisa juga berkumpul dengan seniman lain,dengan begitu toko akan semakin hidup dan tidak monoton
Sama-sana mas.
Publisher buku seperti Gramedia juga harus beradaptasi terhadap perkembangan zaman, terkadang ada buku" yang tidak relevan dan baru diterbitkan saat ini
Buku fisik itu lebih besar valuenya daripada e-book. Ada historisnya, baunya yg khas, dan bisa diwariskan ke generasi selanjutnya.
Dari belanja ke Gramedia sama orang tua sampe sekarang udah bisa sendiri ke Gramedia atau bareng temen temen hampir setiap pulang sekolah SMA udah nyaman bgt sama Gramedia.
Saya jarang baca buku
Saya lebih sering nonton Video yang Edukatif
Sejak 1990, toko buku selalu jadi "kunjungan wisata" saya, tapi sejujurnya toko GA ini lebih fokus ke Alat Tulis Kantor (ATK). Bukunya tidak selengkap toko "GM", dan juga tidak ada buku khusus / unik yang hanya ada di GA ini jadi untuk saya sejak tahun itu juga jarang sekali ke GA. Sampai sekarang juga saya masih sekali2 mengunjungi toko GM, dan meskipun ada caffee-nya tetap lebih sepi (bukan karena pandemi saja, sebelumnya juga sudah mulai sepi).
Makasih sharingnya yaa.
Usulan yang sangat tepat adalah dilakukan penelitian terhadap masyarakat yang benar2 menyelesaikan pembacaan suatu buku sampai selesai. Karena prilaku masyarakat lebih suka mencari konten atau info yang hanya sebagian dari buku, jadi berinvestasi untuk membeli buku yang harganya tidak sebanding dengan penghasilan masyarakat dan mereka pasti cenderung ke toko Google.. hehe.. So, yang lebih tepat apakah mengembangkan bisnis perpustakaan terlebih dahulu atau memang strategi perdagangan buku cetak yang jor2an dalam sosialisai ?
dijaman serba tekhnologi udah canggih, saya pribadi masih senang gaya hidup old school, masih senang beli buku dan koran konvensional, sedih melihat banyak toko buku dan koran konvensional harus hilang satu persatu
1 fokus ke exclusives; 2 fokus ke ekatalog digital; 3 klo bisa targetin middle up. mreka punya logistik dan legacy. gampang transformasi dan adaptasi.
Buku-buku kuliah tuh, harganya bisa sampe jutaan, jadi banyak yang ambil ebook di internet dan bahkan ada search engine khusus buat cari ebooknya
Saya lebih suka membaca buku yang fisik karena ada sensasi tersendiri dibandingkan dengan buku digital dan memang sudah seharusnya toko-toko buku mampu beradaptasi dengan zaman yang serba teknologi apalagi ketertarikan anak muda zaman skrng lebih suka nongkrong di kafe dan itu bisa dijadikan kolaborasi dengan toko buku
buku terkadang sangat mahal dan versi digital biasanya lebih murah, itu aja sih faktor buat saya....
ada juga faktor penyimpanan buku juga memakan ruang/space itu juga masalah...
faktor penyimpanan juga bisa terkadang merusak buku fisik itu sendiri bila terlalu lembab atau kering....
belum lagi faktor hewan serangga seperti rayap juga menjadi masalah yg bisa merusak buku fisik...
Saran saja, setiap toko buku offline juga membuka toko buku online dengan buku digital. Dimana di toko buku online tersebut juga di ingatkan efek samping membaca buku digital dalam jangka panjang, sehingga kondisi yg ada tidak membunuh pasar toko buku off line dengan buku fisik nya.
Mungkin manga atau komik itu faktor yg lumayan gede.
Dulu kita sering beli komik fisik tp sekarang uda bs baca online.
Mungkin Krn tingkat ekonomi menengah kebawah terbesar di indo ini masih banyak mas Indra, jadi setiap harinya tingkat ekonomi ini hanya berfikir mencari kebutuhan perutnya tanpa berfikir utk membaca buku, terkecuali mreka benar2 perlu utk kebutuhan anak anaknya atau hal yg lainnya kali ya, jd bisa jadi itu salah satunya ditambah lagi kondisi ekonomi yg belum benar2 pulih dannnn banyak ilmu yg bisa di dapat langsung via RUclips dan medsos lainnya bisa jadi itu salah satu masalah tingkat minat baca org indo semakin mnurun... 😊🙏
jalan2 k toko buku, liat buku bagus, beli d marketplace. harga miring hingga 20%.
Harga buku juga diluar jangkauan masyarakat umum. semakin mahal. bahkan untuk buku anak alfabet a-z bisa 80rb/buku kecil dan tipis.
ga harus ebook, nonton konten seperti ini sudah mengganti baca buku.
Wah setuju banget sama penjelasannya om.. saya selaku ilustrator dan konten kreator buku anak juga merasakan industri ini ga sehat..kalau di video dibahas tentang penulis yang cuma dapet sebagian kecil, ilustrator apalagi..dipandang sebelah mata atau mata tertutup kali. Pendapatan ilustrator kalau kerjasama dengan penerbit besar, harganya bisa sangat minim.
Pemerintah udah buat kemajuan buat meningkatkan minat baca anak lewat lomba2 dan rekrutmen, tapi honorariumnya aja bsa jauh dibawah penulis dan penterjemah.
Soal pembajakan, kemarin saya smpat bhas plgiarisme..ga sedikit warga2 tiktok yang malah membela plagiatornya.
Tks mas. Makasih sharingnya yaa.
Baru tau Books&Beyond dulu ada toko offline nya
Sering beli buku disitu, tapi via tokped
Gramedia tempat favorit aku untuk belanja keperluan sekolah kuliah apalagi zaman SD smp tempat aku cari majalah game dan majalah entertaintment lainnya
Saya pribadi suka baca buku fisik karena ada aroma dari kertasnya, serasa beda nuansa ketika baca buku fisik dan digital.
Masih setia baca buku fisik, tapi kalau ada kesempatan untuk baca buku digital mungkin akan memilih opsi tersebut dengan alasan tidak memakan tempat penyimpanan terlalu banyak
kalau ada yang bilang org di negara kita literasi & minat bacanya kurang, sebenarnya bukan minat bacanya yg kurang, tapi karena mereka gak tahu bakat & minatnya apa. Dulu saya pernah coba buat rajin baca buku, tapi karena saya gak tahu minatnya apa, jadinya malah jenuh gak dapat insight apapun, karena arah tujuannya gak terlalu jelas maunya apa. Setelah saya tahu kalau minat saya ternyata di dunia musik, saya jadi haus akan referensi musik sebanyak-banyaknya, mulai dari biografi musisi, sejarahnya, dan banyak lagi. Dan secara otomatis, hasrat untuk mencari pengetahuan lain dari berbagai sumber pun meningkat, mau itu dari buku, podcast, info dari komunitas, dsb.
Saya dulu pecinta buku, sering sekali ke toko buku seperti Gramedia dan Gunung Agung.
Sekarang? Udah lupa kapan terakhir ke toko buku. Koleksi buku2 saya sudah saya hibahkan ke teman dan saudara.
Secara fisik, saya cuma punya 3 buku yg saya simpan hingga kini karena itu hasil editor saya.
Sama seperti kaset atau VCD, saya anggap buku sudah jadi produk masa lalu. Lebih nyaman dan praktis membaca buku digital.
Aku kmrn belanja buku di Gramedia Jogja... tempatnya good looking 😊
Last time ke toko buku tepat 1 minggu yang lalu sama anak2 yang masih balita, banyak hal yang mereka ga tau dan mereka sangat enjoy baca2 bucu bahkan hanya lihat cover.
Gimanapun vide di toko buku tu beda, jauhh banget dibanding kita cari di web atau di marketplace.
Kayaknya bila toko buku atau perpustakaan dilengkapi dengan berbagai fasilitas akan bisa menjadi tempat hiburan baru bagi generasi muda atau peminat buku. Daripada versi digital kalau saya lebih suka yang buku fisik, karena lebih enak dibaca, tidak membuat sakit mata dan lebih bersifat emosional. Disamping itu sepertinya perlu banyak lagi keteladanan dalam membaca. Contohnya Maudy Ayunda, yang sering berbagi insight buku2 yang dibacanya. Atau kalau di Kpop ada RM BTS yang gemar membaca. Jadikan membaca buku sebagai tren dan gaya hidup anak muda terutama, agar tidak selalu bermain dengan gadget sepanjang hari
Perpustakaan wajibbb punya coffee shop atawa warung kopo
sejalan dng salah satu bit standup comedy dari Pandji Pragiwaksono tentang buku...
dari awal kayu keluar dari hutan kena pajak, kayu jadi bubur pulp dijual ke pabrik kertas kena pajak, kertas dijual ke percetakan kena pajak, percetakan bikin buku dari penerbit kena pajak, penerbit merilis buku kena pajak, toko yg menjual buku kena pajak, konsumen yg membeli buku kena pajak...
penulis bikin buku dapet royalti kecil kena pajak juga...
jadi ketertarikan utk membeli buku yg awalnya emosional & kepentingan pendidikan, kena disrupsi mindset ekonomi manusia pada umumnya... palagi daya baca nya rendah, keracunan konten digital audio visual yg berdurasi minimalis.
berat, berat...
Togamas di kota gw dah sepi sih, kemaren kesana malah banyak pegawainya daripada pengunjungnya , saking sepinya sampai gak ada tukang parkirnya
Aku lebih suka baca buku fisik soalnya kalau di hp atau alat elektronik lainnya bikin mata cepat lelah dan baca buku lebih cepat memahami isi bacaannya
Toga mas di jogja juga mulai ada sistem gitu, sebelah tempatnya ada kafenya ama murah2 bukunya makanya bisa ada terus
faktor dari perdapata masyarakat, minim literasi, konten buku sangat berpengaruh, dijpg toko buku dimana2 mudah diakses, konten bervariasi, tp balik lagi ke pendapatan/daya beli masyarakatnya
Bersukur jd generasi yg msh suku buku ❤
inget jaman dulu masih sekolah ke toko gunung agung/gramedia numpang baca komik, kalo suka yah dibeli