Mereview Janji Bukan Dosa - Bedah Editorial MI

Поделиться
HTML-код
  • Опубликовано: 15 ноя 2024
  • MEMENUHI sumpah memang wajib. Apalagi bila yang bersumpah ialah seorang presiden, dan isi sumpah itu berupa janji untuk menaati dan menjalankan undang-undang. Namun, mereviu janji juga tidak haram, bukan dosa. Apalagi bila reviu itu bertujuan demi kemaslahatan rakyat.
    Salah satu amanat undang-undang (UU) ialah pemberlakuan penaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% saat ini menjadi 12% pada awal tahun depan. Pemberlakuan Januari 2025 ialah amanat UU setelah masa transisi habis. Wajar bila pemerintah bergerak cepat untuk menjalankan undang-undang tersebut.
    Akan tetapi, beleid apa pun mesti melihat situasi dan kondisi rakyat yang bakal terkena dampak penaikan itu. Rencana pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk tetap menaikkan tarif PPN 12% pada Januari 2025 mestinya juga diletakkan pada urusan tepat momentum atau tidak, selaras dengan kondisi sebagian besar rakyat atau tidak.
    Sejak pandemi covid-19 melanda hingga pandemi sirna, kondisi ekonomi masyarakat masih sempoyongan. Semua survei menunjukkan daya beli masyarakat masih anjlok. Dengan memutuskan tetap memberlakukan penaikan tarif PPN 12% pada Januari 2025, hampir pasti membuat rakyat bakal menghadapi kenyataan hidup makin sulit. Di tengah kondisi daya beli yang loyo, masyarakat harus bersiap semakin lemah lunglai.
    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pemerintah tetap melaksanakan amanah dari UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalihnya jelas, demi menjaga kesehatan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
    Ketegasan dan konsistensi pemimpin memang dibutuhkan. Apalagi untuk menjaga APBN yang sehat. Akan tetapi, tidak ada guna pula APBN sehat bila perekonomian masyarakat melorot. Rakyat tentu tidak bisa makan menggunakan lembar kertas yang menjadi hitung-hitungan APBN semata. Apalagi yang dinaikkan ialah PPN, sebuah instrumen pajak yang menyasar hampir semua orang di negeri ini.
    Sebagai penyelenggara eksekutif di negara demokrasi, pemerintah harus bisa menghadirkan kepastian dan juga keadilan. Pemimpin yang baik juga harus mau mendengar apa yang menjadi keberatan rakyat. Menjalankan UU memang harus, tapi bagaimana UU dibuat juga mengharuskan rakyat terlibat dan masukan-masukan mereka didengar.
    Bila UU ditetapkan dengan cara-cara kilat dan agak tersembunyi, maka ketika UU itu diterapkan, pasti memantik kontroversi. Karena itu, prinsip paling asasi dari negara demokrasi ialah semua kebijakan mesti dari, oleh, dan untuk rakyat.
    Apalagi, sebenarnya sudah banyak yang berteriak terkait rencana penaikan PPN yang termaktub dalam aturan yang dibuat di era pemerintahan Joko Widodo itu, yang pelaksanaannya antara lain diserahkan kepada pemerintahan baru. Sebab, aturan tersebut diprediksi bakal mempersulit hampir semua pihak. Mulai kelas menengah hingga pelaku usaha. Bagi masyarakat kelas bawah, masih agak selamat karena masih mendapatkan beragam bantuan dari pemerintah.
    Pelaku usaha bahkan sudah pernah memperingatkan pemerintah perihal hasrat menaikkan PPN itu. Pasalnya, situasi perekonomian menunjukkan pelemahan daya beli masyarakat, salah satunya tecermin pada persentase kelas menengah yang turun dari 21,45% pada 2019 menjadi 17,44% pada 2023.
    Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) juga meminta pemerintah mempertimbangkan kembali rencana tersebut. Apalagi, Indonesia sebenarnya baru melewati masa deflasi.
    Masyarakat sebenarnya bukan menolak atau anti terhadap penaikan PPN. Publik tentu sadar dan paham sepenuhnya akan pentingnya APBN yang sehat. Namun, di saat masyarakat jelas-jelas sedang sesak napas, hal paling bijak ialah merelaksasi aturan dan memberikan oksigen kepada mereka.
    Masyarakat berharap pemerintah tidak usah memaksakan diri untuk memberlakukan penaikan PPN pada 1 Januari 2025, yang berjarak kurang dari dua bulan lagi. Urungkan saja dulu rencana itu selama dua tahun. Berikan napas dulu bagi masyarakat untuk memulihkan daya beli.
    Semestinya pemerintah mau membuka mata dan telinga atas kondisi riil di masyarakat. Publik berharap banyak atas Presiden Prabowo yang kerap mengajak seluruh elite di Tanah Air untuk bekerja sama dan berkorban demi rakyat yang masih banyak didera kesusahan. Publik tentu menantikan bukti dari janji Presiden itu.
    #BedahEditorialMI #EditorialMediaIndonesia #MereviewJanjiBukanDosa #kemenkeuterpercaya #kemenkeu #srimulyani #prabowosubianto #gibranrakabumingraka
    click our website :
    Media Indonesia: mediaindonesia...
    E-paper Media Indonesia: epaper.mediain...
    Follow official account MI Com di:
    Twitter Media Indonesia: / mediaindonesia
    Instagram Media Indonesia: / mediaindonesia
    Facebook Media Indonesia: / mediaindonesia
    TikTok Media Indonesia: / media_indonesia
    Jangan lupa Follow the Media Indonesia channel on WhatsApp: whatsapp.com/c...

Комментарии • 4

  • @amammujaddidjalalfuadi875
    @amammujaddidjalalfuadi875 День назад

    Assalaamu'alaikum,
    " "Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya ". Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji." (QS. 3:9).
    Wassalaam.

  • @IbnusinaSina-o6k
    @IbnusinaSina-o6k 14 часов назад

    Rakyat kecil di kota, desa-desa sulit mmbeli bahan pokok bukan hoak silahkan cek dilapangan....

  • @win_kaya2024
    @win_kaya2024 День назад

    Sdh susah pajak naik. Tunggu ambruk negeri 😮stop belanja belanja bhn mknn saja juga di pasar tradisional saja.

  • @sakakalpataru9703
    @sakakalpataru9703 День назад

    Orang kecil makin kejepit