Aku Melihat Indonesia “ Jikalau aku berdiri di pantai Ngliyep Aku mendengar Lautan Hindia bergelora membanting di pantai Ngliyep itu Aku mendengar lagu, sajak Indonesia Jikalau aku melihat sawah-sawah yang menguning-menghijau Aku tidak melihat lagi batang-batang padi yang menguning menghijau Aku melihat Indonesia Jikalau aku melihat gunung-gunung Gunung Merapi, Gunung Semeru, Gunung Merbabu Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Kelebet dan gunung-gunung yang lain Aku melihat Indonesia Jikalau aku mendengarkan Lagu-lagu yang merdu dari Batak bukan lagi lagu Batak yang kudengarkan Aku mendengarkan Indonesia Jikalau aku mendengarkan Pangkur Palaran bukan lagi Pangkur Palaran yang kudengarkan Aku mendengar Indonesia Jikalau aku mendengarkan lagu Olesio dari Maluku bukan lagi aku mendengarkan lagu Olesio Aku mendengar Indonesia Jikalau aku mendengarkan burung Perkutut menyanyi di pohon ditiup angin yang sepoi-sepoi bukan lagi aku mendengarkan burung Perkutut Aku mendengarkan Indonesia Jikalau aku menghirup udara ini Aku tidak lagi menghirup udara Aku menghirup Indonesia Jikalau aku melihat wajah anak-anak di desa-desa dengan mata yang bersinar-sinar “Pak Merdeka; Pak Merdeka; Pak Merdeka!” Aku bukan lagi melihat mata manusia Aku melihat Indonesia dari buku “Bung Karno dan Pemuda”, hlm. 68-107 -- Made' Tirthayasa --
Sebuah jaket berlumur darah Kami semua telah menatapmu Telah berbagi duka yang agung Dalam kepedihan berahun-tahun Sebuah sungai membatasi kita Di bawah terik matahari Jakarta Antara kebebasan dan penindasan Berlapis senjata dan sangkur baja Akan mundurkah kita sekarang Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’ Berikrar setia kepada tirani Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan? Spanduk kumal itu, ya spanduk itu Kami semua telah menatapmu Dan di atas bangunan-bangunan Menunduk bendera setengah tiang Pesan itu telah sampai kemana-mana Melalui kendaraan yang melintas Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa Prosesi jenazah ke pemakaman Mereka berkata Semuanya berkata LANJUTKAN PERJUANGAN
PETA PERJUANGAN BUAH KARYA BAMBANG SADONO Pengangsaan timur 56 malam kemarin Vikers Jepang meledak Disini, segerra bung , tunggu apalagi Trruk peta dengan dinding luka Merrangkak kerengas dengklok Seorang Bayi merrengek minta susu Malam bergeming menerrtawakan Sandiwara kecil Yang tidak lucu Hai... Para malaikat disyurga Pagi ini Kami ingin merdeka Segala tetek bengek biarlah sementara, bambu runcing yg jadi hakimnya Kun fayakun Tanjung perak, November merah Hai para ekstremis biadab Tuan malabi dimana? Satu kali dua puluh empat ,sampai tanggal 9 malam Tanggalkan sangkur Letakkan senapan Para pencoleng datanglah Dan tinggi-tinggi lah angkat tangan, Serrigala -serigala bangsat Terimalah cocolan bambu dengan dadamu Lihatlah darah kami masih merah Kami bukan budak yang hidup untuk menyembah Sambutlah salam kami Kalau tidak Ayooo, kita buktikan Siapa yang jadi tuan di Surabaya
Tung tung 🔔🔔🔔🔔🔔 nya ganggu beut
Aku Melihat Indonesia “
Jikalau aku berdiri di pantai Ngliyep
Aku mendengar Lautan Hindia bergelora
membanting di pantai Ngliyep itu
Aku mendengar lagu, sajak Indonesia
Jikalau aku melihat
sawah-sawah yang menguning-menghijau
Aku tidak melihat lagi
batang-batang padi yang menguning menghijau
Aku melihat Indonesia
Jikalau aku melihat gunung-gunung
Gunung Merapi, Gunung Semeru, Gunung Merbabu
Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Kelebet
dan gunung-gunung yang lain
Aku melihat Indonesia
Jikalau aku mendengarkan
Lagu-lagu yang merdu dari Batak
bukan lagi lagu Batak yang kudengarkan
Aku mendengarkan Indonesia
Jikalau aku mendengarkan Pangkur Palaran
bukan lagi Pangkur Palaran yang kudengarkan
Aku mendengar Indonesia
Jikalau aku mendengarkan lagu Olesio dari Maluku
bukan lagi aku mendengarkan lagu Olesio
Aku mendengar Indonesia
Jikalau aku mendengarkan burung Perkutut
menyanyi di pohon ditiup angin yang sepoi-sepoi
bukan lagi aku mendengarkan burung Perkutut
Aku mendengarkan Indonesia
Jikalau aku menghirup udara ini
Aku tidak lagi menghirup udara
Aku menghirup Indonesia
Jikalau aku melihat wajah anak-anak
di desa-desa dengan mata yang bersinar-sinar
“Pak Merdeka; Pak Merdeka; Pak Merdeka!”
Aku bukan lagi melihat mata manusia
Aku melihat Indonesia
dari buku “Bung Karno dan Pemuda”, hlm. 68-107 -- Made' Tirthayasa --
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan berahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN
izin pakai ya sekalian boleh dong buat puisi tentang guru yang tinggal dipelosok
Izin menggunakan instrumennya kk...
Trmksh..
Keren kaka izin pakai yah
Maaf kak, mantap buat iringan pembacaan puisi malam tirakatan 17an besok ini, 🙏🙏🙏
Iyah Ka silahkan
Keren. Izin pakai musiknya ya! Ut kegiatan 17-an.
Monggo ka
Izin pake musicnya kak, dicantumkan informasi instrumen
Keren kak instrumental nya
Makasih ka
Salam hnagat secangkir kopi,
Salam juga ka
Izin kk, untuk tugas membuat puisi.
Ijin make kak
ijin make kak😊🙏🏻
Monggo
ijin kakak,
ijin kak intrumen agustusan
Monggo ka
PETA PERJUANGAN
BUAH KARYA BAMBANG SADONO
Pengangsaan timur 56 malam kemarin
Vikers Jepang meledak
Disini, segerra bung , tunggu apalagi
Trruk peta dengan dinding luka
Merrangkak kerengas dengklok
Seorang Bayi merrengek minta susu
Malam bergeming menerrtawakan
Sandiwara kecil
Yang tidak lucu
Hai... Para malaikat disyurga
Pagi ini Kami ingin merdeka
Segala tetek bengek biarlah sementara, bambu runcing yg jadi hakimnya
Kun fayakun
Tanjung perak, November merah
Hai para ekstremis biadab
Tuan malabi dimana?
Satu kali dua puluh empat ,sampai tanggal 9 malam
Tanggalkan sangkur
Letakkan senapan
Para pencoleng
datanglah
Dan tinggi-tinggi lah
angkat tangan,
Serrigala -serigala bangsat
Terimalah cocolan bambu dengan dadamu
Lihatlah darah kami masih merah
Kami bukan budak yang hidup untuk menyembah
Sambutlah salam kami
Kalau tidak
Ayooo, kita buktikan
Siapa yang jadi tuan di Surabaya
ijin kak
Iya ka