Sejahat apapun dunia kepadamu, jangan menjadi orang jahat. Hidup itu selalu pilihan, ada manusia yang dijahati sejak kecil bahkan mau mati dibully , lahir di keluarga yang tidak harmonis, ditambah dengan kemampuan sosial yang parah, tapi akhirnya menjadi pahlawan bumi, dialah Elon Musk. Tapi banyak yang memilih jahat, banyak yang memilih menjadi Joker-Joker, menikmati kesengsaraan makhluk lain. Jadilah manusia baik, karena kebahagiaan hakiki itu datang dari kebahagiaan yang disebarkan dan ditularkan.
Mabok atau kurang informasi, Elon Musk dan kekayaannya tumbuh dari hasil eksploitasi tambang dan apartheid Afrika selatan, yang jelas menikmati kekayaan dari kesengsaraan rakyat Afrika.
4:15 ini setuju banget...awalnya aku senang yah liat influencer ataopun youtuber bikin acara "olahraga" harapannya supaya olahraga tsb semakin diminati. Tapi makin dilihat kenapa olahraga jadi kayak ajang becandaan, malah ngeliatnya aneh...gak bisa melakukan teknik-teknik dgn baik...tapi terus malah dianggap lucu dan seru...lah...orang itu nonton olahraga menghargai teknik-teknik yg dilakukan bukan cuma asal-asalan...sejak itu aku yakin ajang-ajang ini cuma adalah cara cuci-cuci saja...hahahahahaha
Cemerlang !! Dari pembukaan saja sdh mengalir dan menarik , candaan bisa jadi umpan yg menyambung dan berantai dengan tema2 hangat lainnya, baik pewawancara dan narasumber ku kasi jempol karna dari awal bisa membuat podcast ini hidup ,menarik dan tidak membosankan sampe akhir 😍👏🏻👍
Baiklah, waktunya untuk melemparkan sedikit humor pahit ke diri sendiri. Mari kita akui, saya ini memang jago banget ngomong tentang perubahan dan kemajuan, tapi kalau dilihat-lihat, sepertinya saya hanya ahli dalam mengkritik dunia tanpa pernah benar-benar berusaha memperbaiki diri. Saya suka bilang, “Dunia butuh perubahan, dan saya harus menjadi bagian dari itu!” Tapi lihatlah, saya malah lebih sering jadi penonton, scroll TikTok atau RUclips berjam-jam, sibuk mencari drama yang nggak ada habisnya, sambil berharap semesta bisa berubah dengan sendirinya. Bayangkan ini: saya hidup dengan keyakinan yang sangat luar biasa bahwa saya akan menjadi orang yang berhasil, yang membawa perubahan besar dalam hidup ini. Tapi kenyataannya? Kenyataannya, saya lebih sering terjebak dalam kebiasaan lama. Saya berbicara tentang perubahan, tapi saya sendiri malah takut perubahan itu terjadi. Bukannya berusaha membuat dunia lebih baik, saya malah berdiam diri di zona nyaman, sambil mengeluh tentang betapa buruknya dunia. Saya berbicara tentang keberagaman dan toleransi, tetapi dalam hati saya, saya terus menilai orang berdasarkan standar saya sendiri. Saya mengatakan, "Saya menghargai perbedaan!" sambil berusaha keras untuk menghindari orang yang berbeda dengan saya, karena perbedaan itu membuat saya merasa tidak nyaman. Jadi, apakah saya benar-benar toleran? Oh, tidak-saya hanya pakai topeng dan berharap orang lain tidak melihat bahwa di dalamnya, saya hanya seorang pengecut yang takut keluar dari dunia kecil saya sendiri. Dan tentang teknologi, itu lebih ironis lagi. Saya sering banget ngomong, "Teknologi itu masa depan!" sambil dengan penuh keyakinan menjelaskan kepada teman-teman bahwa kita semua harus cepat beradaptasi, jangan sampai ketinggalan zaman. Tapi, coba lihat saya. Bukannya mengadopsi teknologi dengan penuh semangat, saya malah lebih memilih menggunakan cara-cara kuno yang sudah terbukti “aman.” Saya malah masih susah banget untuk menghubungkan lampu pintar dengan smartphone saya. Sudah beli, tapi akhirnya saya lebih sering berdebat dengan Google Assistant yang malah tidak tahu siapa itu "Lampu Kamar Tidur." Saya tinggal pencet saklar manual saja, selesai. Siapa yang butuh smart thermostat kalau saya masih merasa nyaman dengan kipas angin yang saya beli 10 tahun lalu dan hanya berputar-putar tanpa henti? Saya bilang, "Wah, keren banget ya smart home, canggih gitu," tapi kalau disuruh mengatur suhu di rumah lewat aplikasi? Ya sudah, saya memilih untuk tetap berjuang dengan kipas angin yang sudah berkali-kali saya jatuhkan ke lantai dan tidak pernah mati. Karena teknologi itu membuat saya merasa bodoh, jadi saya tetap bertahan dalam dunia saya yang canggung. Saya lebih senang duduk nyaman di kursi saya, mengeluh tentang bagaimana dunia berkembang terlalu cepat, sementara saya menatap ponsel dengan penuh keheranan tentang aplikasi baru yang muncul setiap minggu. Saya berteriak tentang revolusi digital, tetapi saya lebih sering bertanya-tanya, "Kenapa sih Wi-Fi saya lemot?" Begitulah saya-penuh dengan keyakinan bahwa saya akan beradaptasi dengan teknologi, tapi setiap kali kesempatan itu datang, saya lebih memilih mundur, dengan alasan yang rasanya selalu terdengar sah: "Ah, nanti aja deh, ada waktunya." Hiburan? Oh, saya pikir saya sangat pandai memilih hiburan. Saya pikir, menonton orang jatuh dan gagal di dunia maya adalah bentuk penghiburan yang paling jujur. Tapi kenapa saya menikmati itu? Apakah saya benar-benar menikmati hiburan, atau saya hanya ingin merasa lebih baik tentang kegagalan saya sendiri? “Lihat nih, selebritas itu lebih buruk dari saya,” begitu pikir saya. Saya mengutuk dunia ini, merasa bosan dengan segala yang ada, tapi lebih memilih menonton drama kehidupan orang lain, daripada memeriksa kehidupan saya sendiri yang lebih membosankan. Kenapa saya lebih nyaman melihat orang lain gagal daripada menghadapi kenyataan pahit bahwa saya juga sering gagal? Ya, karena kegagalan orang lain membuat saya merasa sedikit lebih unggul-meskipun hanya sebentar. Kalau orang lain jatuh, saya bisa berkata, "Setidaknya, saya nggak sendirian." Ah, hidup ini begitu sarkastis, seperti meneguk kopi pahit yang tak pernah habis, memberi saya kenyamanan ilusi bahwa saya lebih baik dari orang lain-meskipun saya tahu saya juga gagal. Berbicara tentang bullying, ya, saya sering berpura-pura jadi orang yang tidak pernah ikut campur. “Tentu saya tidak mendukung bullying,” kataku, sambil tertawa melihat komentar nyinyir di media sosial. Tapi ironisnya, saya juga sering ikut terjebak dalam permainan itu, bahkan meski saya merasa jijik. Bukannya mencari solusi atau berbicara dengan penuh empati, saya malah memilih mengolok-olok orang lain, karena itu membuat saya merasa sedikit lebih kuat, meski hanya sesaat. Saya merasa lebih baik melihat orang lain terjatuh, karena itu berarti saya tidak seburuk mereka. Saya berbicara tentang empati, tapi dalam kenyataannya, saya jauh dari itu. Saya hanya ingin merasa di atas, dan entah kenapa, dunia maya adalah tempat paling mudah untuk melakukan itu tanpa harus bertanggung jawab. Dan perdebatan-nah, ini dia! Saya merasa sangat cerdas setiap kali saya menang dalam perdebatan. Saya ingin terlihat lebih pintar daripada orang lain, jadi saya berbicara seolah-olah saya tahu segalanya. Tapi kenyataannya? Seringkali saya berdebat hanya untuk menunjukkan siapa yang lebih kuat dalam argumen, bukan untuk mencari kebenaran. Saya tidak benar-benar ingin mengubah pandangan saya; saya hanya ingin terlihat benar. Perdebatan saya lebih tentang "menang" daripada “memahami.” Ketika saya kalah, saya merasa dunia ini runtuh, seolah-olah seluruh harga diri saya bergantung pada kemenangan dalam diskusi yang sebenarnya tidak penting itu. Lalu saya mencari pembenaran, mencoba menemukan alasan mengapa saya kalah, dan berusaha mengalihkan pembicaraan untuk menjaga ego saya tetap utuh. Ironis, bukan? Saya berbicara tentang perdebatan sebagai cara mencari kebenaran, tapi saya malah menggunakan itu sebagai senjata untuk menjaga citra diri saya yang rapuh. Dan akhirnya, soal otoritas. Oh, saya sangat suka berbicara tentang pentingnya menghormati otoritas. Tetapi apakah saya benar-benar menghormatinya? Tidak, saya hanya merasa nyaman saat otoritas itu memberikan saya kenyamanan. Saya lebih suka mengikuti apa yang sudah ada karena itu membuat hidup lebih mudah. Saya bilang saya menghormati guru atau pemimpin, tetapi saya lebih sering merasa terancam ketika mereka mengajarkan saya sesuatu yang saya tidak ingin dengar. Ketika saya dihadapkan dengan sesuatu yang membuat saya tidak nyaman, saya malah bertindak seperti anak kecil yang menolak untuk mendengarkan. Jadi, otoritas itu hanya sah selama ia tidak mengganggu kenyamanan saya. Bila otoritas itu mulai menguji batas-batas saya, saya langsung merasa bingung dan takut. Akhirnya, ketidakberesan saya ini begitu tragis dan ironis. Saya berbicara tentang perubahan, tetapi saya takut untuk berubah. Saya berpendapat tentang kebijaksanaan, tetapi saya malah sering terjebak dalam kebodohan saya sendiri. Saya mencari kebenaran di luar, tapi saya menutup mata terhadap kenyataan dalam diri saya. Saya ingin jadi orang yang lebih baik, tetapi saya lebih memilih tetap menjadi versi buruk dari diri saya sendiri. P.S. Ya, setidaknya saya jujur tentang ketidakberesan saya sendiri-dan itu sudah langkah pertama untuk perbaikan, kan?
Podcast yang menarik, mantap! Cuman saran saya cuma satu, ketika ada adzan berkumandang, lebih baik tunda dulu obrolannya dan dilanjut kembali, bisa dicut di bagian itu, karena selain noise nya cukup mengganggu, kita harus menghormati adzan juga
25:00 bukannya didengar kan dan dipahami tapi "mereka" menertawakan nya dan menegaskan maksud dari satu sisi saja bahkan di depan umum sekalipun😅😅😅😅😅😅😅😅
pernah dibahas di channel gurgem netijen bar2 di socmed krn kita masy yg menderita. intinya socmed jd wadah misuh2 netijen utk melampiaskan kehidupan yg serba susah, miskin, nganggur, jomblo, dll. jd komen ga sesuai konteks pokonya asal bisa ngedumel aja 🤣
Begitulah kalo ngobrol beda generasi Yg sepuh merasa apa yg diketahuinya itu sdh jadi hal umum yg kudu diketahui banyak orang Yg muda merasa wajar klo dia belum tahu hal yg oleh si sepuh dianggap wajar sdh tahu
Mas fuad nih lucu ah.. Pura2 blm tau arti baraya apa cm biar y lain juga faham arti baraya 😅😂 Klo sy dlu sejak awal kenal pk Gg langsung gogling lah arti baraya itu artiny apa,bahasa dr mana... hee..he...
@@fubidon saya pikir km udh kenal GG, mbak kumaila dkk, udh lumayan berkembang sihh... harus berkreasi lebih karena kreator konten di tuntut untuk itu.
masalahnya bre. ". yang semi syariah begini aja udah blingsak. apalagi yg full." tapi logicnya bisa di balik juga sih. " yg semi syariah begini aja udah blingsak. apalagi yng ga syariah sama sekali " sy sih lebih condong di atas daripada di bawahnya.
@@creativeart7477 Indonesia itu sekuler mas, kecuali Aceh ketuhanan cuma sampai di sila pertama, pembuatan undang-undang tetap saja tidak melihat panduan syariah. Well tergantung agama anda apasih kalo bukan muslim ya santai aja ga percaya syariah. Tapi kalo muslim ga percaya syariah sebagai hukum yang terbaik, sama aja bilang Tuhan mampu menciptakan dan mengatur dunia, langit dan seisinya tapi Tuhan gak mampu membuat pedoman tata cara hidup manusia yang terbaik di dunia.
@@bonggasyawali1182 kebanyakan NONIS yang menolak syariah itu justru melindungi umat muslim itu sendiri. Lihat ISIS di suriah, SYARIAH di era sekarang itu udah dibajak oleh kepentingan kelompok tertentu
, niat cuma mau nengok doang karna cuma cenel kecil , eh ternyata seru juga pembahasannya jadi full nonton.
Mantap 👍🫶🫶
Sejahat apapun dunia kepadamu, jangan menjadi orang jahat. Hidup itu selalu pilihan, ada manusia yang dijahati sejak kecil bahkan mau mati dibully , lahir di keluarga yang tidak harmonis, ditambah dengan kemampuan sosial yang parah, tapi akhirnya menjadi pahlawan bumi, dialah Elon Musk. Tapi banyak yang memilih jahat, banyak yang memilih menjadi Joker-Joker, menikmati kesengsaraan makhluk lain. Jadilah manusia baik, karena kebahagiaan hakiki itu datang dari kebahagiaan yang disebarkan dan ditularkan.
Mabok atau kurang informasi, Elon Musk dan kekayaannya tumbuh dari hasil eksploitasi tambang dan apartheid Afrika selatan, yang jelas menikmati kekayaan dari kesengsaraan rakyat Afrika.
lihat gugem auto klik
Sama
Yo,i !
4:15 ini setuju banget...awalnya aku senang yah liat influencer ataopun youtuber bikin acara "olahraga" harapannya supaya olahraga tsb semakin diminati. Tapi makin dilihat kenapa olahraga jadi kayak ajang becandaan, malah ngeliatnya aneh...gak bisa melakukan teknik-teknik dgn baik...tapi terus malah dianggap lucu dan seru...lah...orang itu nonton olahraga menghargai teknik-teknik yg dilakukan bukan cuma asal-asalan...sejak itu aku yakin ajang-ajang ini cuma adalah cara cuci-cuci saja...hahahahahaha
Lebih mengutamakan entertain ya😅
Cemerlang !! Dari pembukaan saja sdh mengalir dan menarik , candaan bisa jadi umpan yg menyambung dan berantai dengan tema2 hangat lainnya, baik pewawancara dan narasumber ku kasi jempol karna dari awal bisa membuat podcast ini hidup ,menarik dan tidak membosankan sampe akhir 😍👏🏻👍
Baiklah, waktunya untuk melemparkan sedikit humor pahit ke diri sendiri. Mari kita akui, saya ini memang jago banget ngomong tentang perubahan dan kemajuan, tapi kalau dilihat-lihat, sepertinya saya hanya ahli dalam mengkritik dunia tanpa pernah benar-benar berusaha memperbaiki diri. Saya suka bilang, “Dunia butuh perubahan, dan saya harus menjadi bagian dari itu!” Tapi lihatlah, saya malah lebih sering jadi penonton, scroll TikTok atau RUclips berjam-jam, sibuk mencari drama yang nggak ada habisnya, sambil berharap semesta bisa berubah dengan sendirinya.
Bayangkan ini: saya hidup dengan keyakinan yang sangat luar biasa bahwa saya akan menjadi orang yang berhasil, yang membawa perubahan besar dalam hidup ini. Tapi kenyataannya? Kenyataannya, saya lebih sering terjebak dalam kebiasaan lama. Saya berbicara tentang perubahan, tapi saya sendiri malah takut perubahan itu terjadi. Bukannya berusaha membuat dunia lebih baik, saya malah berdiam diri di zona nyaman, sambil mengeluh tentang betapa buruknya dunia. Saya berbicara tentang keberagaman dan toleransi, tetapi dalam hati saya, saya terus menilai orang berdasarkan standar saya sendiri. Saya mengatakan, "Saya menghargai perbedaan!" sambil berusaha keras untuk menghindari orang yang berbeda dengan saya, karena perbedaan itu membuat saya merasa tidak nyaman. Jadi, apakah saya benar-benar toleran? Oh, tidak-saya hanya pakai topeng dan berharap orang lain tidak melihat bahwa di dalamnya, saya hanya seorang pengecut yang takut keluar dari dunia kecil saya sendiri.
Dan tentang teknologi, itu lebih ironis lagi. Saya sering banget ngomong, "Teknologi itu masa depan!" sambil dengan penuh keyakinan menjelaskan kepada teman-teman bahwa kita semua harus cepat beradaptasi, jangan sampai ketinggalan zaman. Tapi, coba lihat saya. Bukannya mengadopsi teknologi dengan penuh semangat, saya malah lebih memilih menggunakan cara-cara kuno yang sudah terbukti “aman.” Saya malah masih susah banget untuk menghubungkan lampu pintar dengan smartphone saya. Sudah beli, tapi akhirnya saya lebih sering berdebat dengan Google Assistant yang malah tidak tahu siapa itu "Lampu Kamar Tidur." Saya tinggal pencet saklar manual saja, selesai. Siapa yang butuh smart thermostat kalau saya masih merasa nyaman dengan kipas angin yang saya beli 10 tahun lalu dan hanya berputar-putar tanpa henti? Saya bilang, "Wah, keren banget ya smart home, canggih gitu," tapi kalau disuruh mengatur suhu di rumah lewat aplikasi? Ya sudah, saya memilih untuk tetap berjuang dengan kipas angin yang sudah berkali-kali saya jatuhkan ke lantai dan tidak pernah mati. Karena teknologi itu membuat saya merasa bodoh, jadi saya tetap bertahan dalam dunia saya yang canggung. Saya lebih senang duduk nyaman di kursi saya, mengeluh tentang bagaimana dunia berkembang terlalu cepat, sementara saya menatap ponsel dengan penuh keheranan tentang aplikasi baru yang muncul setiap minggu. Saya berteriak tentang revolusi digital, tetapi saya lebih sering bertanya-tanya, "Kenapa sih Wi-Fi saya lemot?" Begitulah saya-penuh dengan keyakinan bahwa saya akan beradaptasi dengan teknologi, tapi setiap kali kesempatan itu datang, saya lebih memilih mundur, dengan alasan yang rasanya selalu terdengar sah: "Ah, nanti aja deh, ada waktunya."
Hiburan? Oh, saya pikir saya sangat pandai memilih hiburan. Saya pikir, menonton orang jatuh dan gagal di dunia maya adalah bentuk penghiburan yang paling jujur. Tapi kenapa saya menikmati itu? Apakah saya benar-benar menikmati hiburan, atau saya hanya ingin merasa lebih baik tentang kegagalan saya sendiri? “Lihat nih, selebritas itu lebih buruk dari saya,” begitu pikir saya. Saya mengutuk dunia ini, merasa bosan dengan segala yang ada, tapi lebih memilih menonton drama kehidupan orang lain, daripada memeriksa kehidupan saya sendiri yang lebih membosankan. Kenapa saya lebih nyaman melihat orang lain gagal daripada menghadapi kenyataan pahit bahwa saya juga sering gagal? Ya, karena kegagalan orang lain membuat saya merasa sedikit lebih unggul-meskipun hanya sebentar. Kalau orang lain jatuh, saya bisa berkata, "Setidaknya, saya nggak sendirian." Ah, hidup ini begitu sarkastis, seperti meneguk kopi pahit yang tak pernah habis, memberi saya kenyamanan ilusi bahwa saya lebih baik dari orang lain-meskipun saya tahu saya juga gagal.
Berbicara tentang bullying, ya, saya sering berpura-pura jadi orang yang tidak pernah ikut campur. “Tentu saya tidak mendukung bullying,” kataku, sambil tertawa melihat komentar nyinyir di media sosial. Tapi ironisnya, saya juga sering ikut terjebak dalam permainan itu, bahkan meski saya merasa jijik. Bukannya mencari solusi atau berbicara dengan penuh empati, saya malah memilih mengolok-olok orang lain, karena itu membuat saya merasa sedikit lebih kuat, meski hanya sesaat. Saya merasa lebih baik melihat orang lain terjatuh, karena itu berarti saya tidak seburuk mereka. Saya berbicara tentang empati, tapi dalam kenyataannya, saya jauh dari itu. Saya hanya ingin merasa di atas, dan entah kenapa, dunia maya adalah tempat paling mudah untuk melakukan itu tanpa harus bertanggung jawab.
Dan perdebatan-nah, ini dia! Saya merasa sangat cerdas setiap kali saya menang dalam perdebatan. Saya ingin terlihat lebih pintar daripada orang lain, jadi saya berbicara seolah-olah saya tahu segalanya. Tapi kenyataannya? Seringkali saya berdebat hanya untuk menunjukkan siapa yang lebih kuat dalam argumen, bukan untuk mencari kebenaran. Saya tidak benar-benar ingin mengubah pandangan saya; saya hanya ingin terlihat benar. Perdebatan saya lebih tentang "menang" daripada “memahami.” Ketika saya kalah, saya merasa dunia ini runtuh, seolah-olah seluruh harga diri saya bergantung pada kemenangan dalam diskusi yang sebenarnya tidak penting itu. Lalu saya mencari pembenaran, mencoba menemukan alasan mengapa saya kalah, dan berusaha mengalihkan pembicaraan untuk menjaga ego saya tetap utuh. Ironis, bukan? Saya berbicara tentang perdebatan sebagai cara mencari kebenaran, tapi saya malah menggunakan itu sebagai senjata untuk menjaga citra diri saya yang rapuh.
Dan akhirnya, soal otoritas. Oh, saya sangat suka berbicara tentang pentingnya menghormati otoritas. Tetapi apakah saya benar-benar menghormatinya? Tidak, saya hanya merasa nyaman saat otoritas itu memberikan saya kenyamanan. Saya lebih suka mengikuti apa yang sudah ada karena itu membuat hidup lebih mudah. Saya bilang saya menghormati guru atau pemimpin, tetapi saya lebih sering merasa terancam ketika mereka mengajarkan saya sesuatu yang saya tidak ingin dengar. Ketika saya dihadapkan dengan sesuatu yang membuat saya tidak nyaman, saya malah bertindak seperti anak kecil yang menolak untuk mendengarkan. Jadi, otoritas itu hanya sah selama ia tidak mengganggu kenyamanan saya. Bila otoritas itu mulai menguji batas-batas saya, saya langsung merasa bingung dan takut.
Akhirnya, ketidakberesan saya ini begitu tragis dan ironis. Saya berbicara tentang perubahan, tetapi saya takut untuk berubah. Saya berpendapat tentang kebijaksanaan, tetapi saya malah sering terjebak dalam kebodohan saya sendiri. Saya mencari kebenaran di luar, tapi saya menutup mata terhadap kenyataan dalam diri saya. Saya ingin jadi orang yang lebih baik, tetapi saya lebih memilih tetap menjadi versi buruk dari diri saya sendiri.
P.S. Ya, setidaknya saya jujur tentang ketidakberesan saya sendiri-dan itu sudah langkah pertama untuk perbaikan, kan?
ya itu disebut "cinderella complex sindrom" kita selalu dan selalu berharap ada orang lain yang merubah keadaan, bukan di mulai dari diri sendiri.
Podcast yang menarik, mantap!
Cuman saran saya cuma satu, ketika ada adzan berkumandang, lebih baik tunda dulu obrolannya dan dilanjut kembali, bisa dicut di bagian itu, karena selain noise nya cukup mengganggu, kita harus menghormati adzan juga
Perdebatan bikin kami berfikir, jadi kami tau mana yg salah mana yg benar
saya pikir perdebatan bukan soal kalah dan menang atau salah dan benar, tapu lebih bagaimana menghasilkan olah fikir yg makin baik dan kritis
Bagus nih. Hhhhh
Toxic = dan isu digital, memang menjadi bahasan sensitif di Indonesia.
Menarik juga ni topik bullying
Karna Ada Pak Guru Saya Langsung Mengklik Videonya
Pak Guru legowo sekali. Mau diajak berdiskusi meskipun oleh chanel yang pengikutnya belum banyak.
Dari awal konten pak guru mulai rame, udah sering colab sama channel channel kecil cuman agak susah nyarinya gak masuk algoritma:)
menarik banyak argumen edukatif... mengali pola berfikir kritis... memaklumi perbedaan pendapat...
Gas terus bang,,, jalan yang benar untuk menuju kebenaran... Sehat selalu 🎉
Guru gembul . Sangat menarik , cita cita berdiskusi dengan sang presiden .
Saya suka dengan pembawaan bang fubidon dalam membawakan podcast ini
25:00 bukannya didengar kan dan dipahami tapi "mereka" menertawakan nya dan menegaskan maksud dari satu sisi saja bahkan di depan umum sekalipun😅😅😅😅😅😅😅😅
4:13 kalo bukan pemikir udah setuju di bagian ini loh 😅 kok bisa guru gembul kepikiran counternya
🔥🔥🔥👍
Kurang cair mas wawancaranya, jangan terlalu baku.
Semoga canel ini terus berkembang
Intinya adalah belajar. Semua ada ilmunya. Manjat pohon jambu aja ada ilmunya
Ada guru gembul mantab
Super skli gugem. Mkin cinta deh😊
Menurut DCI, netizen Indonesia adalah pengguna internet paling tidak beradab se-Asia Tenggara dan urutan ke-4 di tingkat global.
Aduh....sribu pujian buat gugem, krna jrng skli yg sbijk gugem🎉🎉🎉🎉
Khas komen orang indo kalo suka dipuji setinggi langit kalo sama orang gak disuka dijatuhin tanpa alasan yg jelas
pernah dibahas di channel gurgem netijen bar2 di socmed krn kita masy yg menderita. intinya socmed jd wadah misuh2 netijen utk melampiaskan kehidupan yg serba susah, miskin, nganggur, jomblo, dll. jd komen ga sesuai konteks pokonya asal bisa ngedumel aja 🤣
Kerenn kebetulan saya ngefans sama guru gembul 😄😄
FINALLY COLLAB SAMA GURU GEMBUL
Gw jujur deh 😂 kirain video yg upload chanel gugem pas gw klik ternyata colab
Sudut pandang pak guru memang menarik
Next tamu nya
Pak Agus Mustofa
Dr. Ryu Hasan 😅
🔥🔥🔥🔥🔥
Love u pak guru
salfok sama gundam dynames dibelakang
Asyeeeeek..
Saya dulu kolektor Gundam juga hehe
mantap bang fuad
Jokesnya miss 😂 lucu pdahal
Begitulah kalo ngobrol beda generasi
Yg sepuh merasa apa yg diketahuinya itu sdh jadi hal umum yg kudu diketahui banyak orang
Yg muda merasa wajar klo dia belum tahu hal yg oleh si sepuh dianggap wajar sdh tahu
kontennya bagus. tapi kebanyakan iklan
Mas fuad nih lucu ah..
Pura2 blm tau arti baraya apa cm biar y lain juga faham arti baraya 😅😂
Klo sy dlu sejak awal kenal pk Gg langsung gogling lah arti baraya itu artiny apa,bahasa dr mana... hee..he...
@@nannyimoet7364 duh ketahuan 🙈🙈
Kukira bandung raya😅
Sekilas org yang gak tau mungkin sama heee@@TjapTjoy7164
saya pernah promosikan chanel ini ke chanel GG, tpi pake akun lain di hp lain.
Ayok promokan lagi ke Chanel lain kak hee 😂
@@fubidon
saya pikir km udh kenal GG, mbak kumaila dkk, udh lumayan berkembang sihh... harus berkreasi lebih karena kreator konten di tuntut untuk itu.
❤❤❤
Pertanyaan nya.. apakah @gurugembul masih kesepian di sini? 😅
Menit 24:20 yg di maksud pak guru apakah Anis Baswedan
Toxic bngt di mdia sosial
Tanya soal bully tanya aldy taher laLeah is 🎉
54:13
Bang nama kemejanya apa?
@@ronaldonaldo5811 flannel Uniqlo 😊
Ya Allah gugem😊👏👏👏👏👏👏👏👏👏
Baalawi dan alfian tanjung tidK bisa meruntuhkan guru
UAS ya Om ? 😂
Oh ada yaaa..... Sekelas universitas yg langsung ngecancel gara2 kalah debat...😮😮😮😮
Makanya dukung syariah dong.. biar ga ada mob mentality ga ada toxicity
masalahnya bre.
". yang semi syariah begini aja udah blingsak. apalagi yg full."
tapi logicnya bisa di balik juga sih.
" yg semi syariah begini aja udah blingsak. apalagi yng ga syariah sama sekali "
sy sih lebih condong di atas daripada di bawahnya.
@@creativeart7477 Indonesia itu sekuler mas, kecuali Aceh ketuhanan cuma sampai di sila pertama, pembuatan undang-undang tetap saja tidak melihat panduan syariah.
Well tergantung agama anda apasih kalo bukan muslim ya santai aja ga percaya syariah. Tapi kalo muslim ga percaya syariah sebagai hukum yang terbaik, sama aja bilang Tuhan mampu menciptakan dan mengatur dunia, langit dan seisinya tapi Tuhan gak mampu membuat pedoman tata cara hidup manusia yang terbaik di dunia.
@bonggasyawali1182
Saya muslim & gak percaya hukum syariah adalah yg terbaik, karena memang itu penafsiran manusia.
@@Abdul95Rachman muslim abal2 lo 🤣
@@bonggasyawali1182 kebanyakan NONIS yang menolak syariah itu justru melindungi umat muslim itu sendiri.
Lihat ISIS di suriah, SYARIAH di era sekarang itu udah dibajak oleh kepentingan kelompok tertentu
A
indo masi era dark age
Rabiatul adawiya mah tokoh dalam muslim 'bang . bukan organisasi habib. 🙏
Iyaa,, salah sebut saya 🙇🏽♂️🙈
Malu banget sebenarnya hehehe
@@fubidon salah dikit ga ngarur ' bang. yg penting orang paham maksudnya ke sana 💪
Heee iya . Yang betul RA "Rabithah Alawiyya" ya
Guru Gembul sudah periksa Quran? ...Iqra...tidak di awal tapi ditengah-belakang ayat2 Qs...?
Iqra adalah ayat pertama yg diterima rasulullah di malam nuzulul Qur'an. 🙏🏻
DZAWIN NUR kapan ???????
Wah boleh juga nih . Next ya
@@fubidon ditunggu konten bareng dzawin nur dan ferry irwandi. Hehe
@@fubidon BINTANG RUclips
1. DZAWIN NUR
2. SOLEH SOLIHUN
3. LAURA MOANE
4. BTR REGIE
5. VONZY
6. SZE
7. ANYA GERALDINE
8. AWKARIN
9. CITRA KIRANA
10. PAMELA SAFITRI
11. KAMEAAM
12. MAMI SISKA
13. LAURA ZIPHORA
14. DELLA SEP
15. NATASYA WILONA
16. BRANDON KENT
17. WINDAH BASUDARA
18. TAMARADAI
19. SURYA INSOMNIA
20. DETEKTIF ALDO
21. PUNIPUN
22. DINAR CANDY
23. RATU AULIA
24. GURU GUMBUL
25. HERJUNOT ALI
26. LUNA MAYA
27. SAMUEL CHRIST
28. JONATHAN LIANDI
29. VALEZKA
30. FREYA
31. ERIKA CARLINA
32. CATHEEZ
33. VIOR
34. MEYDEN
35. ANASTASYAKH
36. ANGIE TANIA
37. SHANNON DOROTH
38. LAURA BASUKI
39. SHANI JKT48
40. DEDDY CORBUZIER
41. ONIC LYDIAASS
😄😄😄.... Untuk subcriber naik drastis ..
debat ujung nya makian di indonesia males gua
Urusan sex orang pribadi kah juga guru @gurugembul. ? Bagaimana perilaku lgbt?
Kurang serui lawan bicaranya pak guru
GEMBUL (GEMAR NGIBUL) semua bidang di recoki, modal gugel 😂😂😂😂
eh contohny langsung keluar😅😅😅😅
Kaum udang kalo komen yg keluar dari kepalanya ta1
udah ngartiin nama orang seenak jidat argumennya pun gak ada isi
padahal candaan Rocky Gerung itu adalah ungkapan respek 😁😁😁😁😁
Dapet aja ikan
Mancing Mania Mantapppp 😂😂😂😂
Next tamu nya
Pak Agus Mustofa
Dr. Ryu Hasan 😅
Wah boleh juga nih rekomendasinya .. coba bantu tag disini dong. Hee