Saya sepakat Prof.. namun perllu dipahami juga, millenial memang alami tekanan luar biasa krn dunia yg mrk hadapi beda Prof. Tantangannya beda. Jaman saya dulu yg sekarang berusia 50 an tahun, tidak ada medsos, sekolah masih memyenangkan. Beda dg tantangan jaman anak saat ini. Sebgm kata Ali bim Abi Thalib, "Didiklah anak sesuai jamannya, krn ia tidak hidup di jamanmu". Jadi kita ga bisa bandingkan anak2 sekarang dg jaman kita dulu, krn secara genotip dan fenotip memang beda. Jangan juluki mereka Strawberry Generation, artinya lembek atau lunak, krn tiap generasi ada plus minusnya. Labelling ini justru akan membuat mereka makin insecure. Marilah kita sbg ortu dan guru yg belajar dari keunikan generasi ini. Mereka tetap generasi yg kuat..kitalah yg harus punya persepsi beda dlm memandang mereka. Maaf Prof, sedikit berpendapat
@@indojojon892 this, tadi bapak prof nya bilang di masa dia dulu gak ada yang namanya moody atau istilah-istilah lainnya, mungkin memang karena saat itu mereka belum mengenal emosi dan perasaan tersebut walaupun mereka sendiri merasakannya.
@@cloverclocks2060 setuju bang, generasi bapak prof mgkn krg mengenal hal hal yang saat ini dikenal oleh generasi "strawberry" karena sumber informasi yang masih minim (blm ada internet) dan juga orang tua nya yang harus melewati masa penjajahan. Jadi gausah lah membandingkan antar generasi, tantangan yang dihadapi beda. Seharusnya antar generasi harus saling mengerti dan bertukar informasi.
@@indojojon892 tp sayang sekali kadang kejadian yang membuat titik terendah itu bisa datang kapan aja, dan kalau mentalnya gak kuat bisa2 lbh cepat rusaknya
“Hard times create strong peoples, Strong peoples create good times, Good times create weak peoples, and Weak peoples create hard times.” That a Life Cycle.
@@mydeadsaint gk gitu kayaknya konsepnya.. Baby Boomers dan Gen X kan terlahir di masa-masa dunia baru pulih dari perang, dan masih ada perang dingin juga, jadi wajar aja gk sedamai dan gk makmur milennial dan gen Z, itu pendapat gw
The Strawberry Generation. Saya setuju Prof. Tidak bermaksud ujub, saya ortu tunggal dgn 3 anak. 2 masuk PTN tanpa ikut bimbel, 1 di SMA. Saya mendidik mereka utk menyelesaikan semua masalahnya dengan enjoy, tidak ada stres dalam hidup mereka. Saya mengajarkan semua kesulitan pasti bisa di selesaikan dgn cara2 yang baik. Setiap yang diinginkan anak2 saya harus mereka perjuangkan dulu, tidak mudah mereka peroleh. Dan itu membuat mereka sangat menghargai waktu dan kesempatan. Dan sekarang saya bersyukur anak2 saya tumbuh menjadi anak2 yang mandiri dan berempati. Sementara teman2nya sangat jauh dari kemandirian dan empati. Ortu harus pandai dalam membentuk anak jika ingin menghasilkan anak yang tangguh.
@@justLaura325 kalau yg saya tangkap dsri cerita beliau, "setiap yg diinginkan anak2, harus mereka perjuangkan terlebih dahulu, tidak mudah mereka peroleh", dri sini, mental anak2 diajarkan untuk mandiri. Jadi ortu jangan apa2 yg diminta anak, meskipun itu baik, kita kasih kesempatan buat mereka berkembang, dari situ bisa timbul rasa sabar, kerja keras, biar gk tau manisnya aja, instan langsung dapat, padahal real life gk seperti itu.
Kontennya bagus dan berimbang. Tapi isi komennya toxic banget. Kebanyakan menyalahkan si anak, padahal orang tua juga memainkan peran besar dalam membentuk karakter anak. Dengan mentalitas "boomer" kayak gini, gak yakin generasi mendatang bakalan lebih baik. Orang tuanya aja gak masih mental boomer yang gak mau ngaku salah dan mau berubah dan cenderung menyalahkan anak doang.
Saya lebih setuju pendapat ini. Wajar sih pak Andreas, yang ngomong adalah generasi boomer ya pastinya akan lebih pro kepada generasi boomer. Saya kelahiran 1994, ya bisa lah dikatakan generasi millennial atau generasi Z, bisa juga bagian dari strawberry generation atau apa lah hasil komentar komentar orang orang mental boomer yang mengatakan generasi sekarang lemah, manja, daya juangnya jelek, dan betul yang dibilang pak Andreas masih banyak orang tua bermental boomer yang gak mau ngaku salah dan mau berunah dan cenderung menyalahkan anak. Izin saya ngutip juga pendapat keren dari bu Amelia Daeng Matadjo disini. Beliau berkata, perlu dipahami juga, millennial memang alami tekanan luar biasa karena dunia yang mereka hadapi beda Prof. Tantangannya beda. Jaman saya dulu yang sekarang berusia 50 an tahun, tidak ada medsos, sekolah masih memyenangkan. Beda dengan tantangan jaman anak saat ini. Sebagaimana kata Ali bin Abi Thalib, "Didiklah anak sesuai jamannya, karena ia tidak hidup di jamanmu". Jadi kita ga bisa bandingkan anak-anak sekarang dengan jaman kita dulu, karena secara genotip dan fenotip memang beda. Jangan juluki mereka Strawberry Generation, artinya lembek atau lunak, karena tiap generasi ada plus minusnya. Labelling ini justru akan membuat mereka makin insecure. Marilah kita sebagai ortu dan guru yang belajar dari keunikan generasi ini. Mereka tetap generasi yg kuat. Kitalah yg harus punya persepsi beda dlm memandang mereka. Sebagai bagian dari yang dijuluki Strawberry Generation oleh si Rhenald yang sok tahu dan sotoy level dewa, karena gak ada ilmu dan kapasitas yang beliau miliki untuk bicara soal parenting dan mental health, dan sebagai penganut ajaran realisme, saya lebih setuju dengan pendapatnya pak Andreas dan bu Amelia. Tantangan generasi sekarang dan generasi boomer itu beda, beda banget. Realitas kehidupannya juga beda. Dulu mungkin sumber informasi dan pendidikan cukup terbatas hanya dari orang tua dan media cetak saja, jadi orang tua bisa lebih terarah mendidik anaknya. Lha kalau sekarang? Sumber informasi datang dari mana saja seiring derasnya perkembangan teknologi yang apalagi masuk kita ke dalam revolusi industri bukan hanya 4.0, tapi sudah 5.0, bahkan ada yang sudah masuk revolusi industri 6.0, yang dimana tantangan dan realita kehidupan yang dihadapi akan beda lagi. Tentu perkembangannya akan lebih dahsyat dan deras lagi dari saat ini. Saya nih kalau punya anak suatu hari nanti, akan memanjakan anak sesuai dengan kemampuan yang saya miliki, dan gak banyak neka neko harus begini begitu dalam mendidik anak, yang penting ikut saja Golden Moral Rules dari kehidupan kita sebagai manusia dan banyak mencontohkan hal hal yang baik aja. Anak itu adalah bagaimana orang tuanya, sekarang menurut saya sudah waktunya orang tua belajar kepada anak muda dengan kapasitas saling melengkapi aja. Gak apa menurut saya kekinian dan update terus itu oke kok, asal jangan melenceng dari kodrat sebagai manusia yang punya nurani, moral dan akal sehat, hitung hitung bisa melengkapi informasi untuk generasi sebelumnya. Sebaliknya, generasi tua cukup memberi dukungan, memfasilitasi, dan mengarahkan anak dan bukan menyetir anak harus begini harus begitu, sesuai dengan yang dikehendaki oleh orang tua ataupun orang lain. Soal healing, healing itu bisa dilakukan dengan cara apa saja sih, gak mesti mahal, karena metode healing berbagai orang itu beda-beda. Dan gak bisa diidentikkan dengan mereka yang so-called pemalas, gak mau usaha dan lain lain. Work-life balance itu bekerja banget disini, karena kita manusia, bukan robot yang gak punya rasa lelah, letih, lesu dan emosi. Ada kalanya manusia punya rasa jenuh, dan ingin istirahat, istilahnya ingin pause dulu dari berbagai kesibukan baik kuliah maupun kerja, supaya kita gak kurang piknik gitu lho. Dan kalau udah menyinggung masalah mental health, kenapa banyak yang melakukan healing ketimbang pergi ke professional seperti psikolog atau psikiater? Satu, biayanya mahal dan besar. Dua, sosialisasi dan penyebaran informasi tentang layanan kesehatan kejiwaan masih minim banget ditambah Pemerintah RI lewat Kementerian Kesehatan RI juga kurang memberi perhatian pada isu isu kesehatan jiwa arau mental health. Ingat, Mensana in Corporesano, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Generasi Z, Millennial adalah generasi yang kuat, yang harus dikuatkan adalah jiwanya dulu, dengan energi dan sugesti yang positif dan bukan toxic positivities. Tiga, ingat bahwa kita ini makhluk sosial dan saling bergantung satu sama lain. Sektor ekonomi pun begitu, selalu akan ada ketergantungan antara produsen dan konsumen. Healing yang dilakukan banyak orang di beberapa lokasi tertentu, tentu akan berdampak kepada pelaku industri pariwisata donk? Pendapatannya makin bertambah dan sekaligus bisa jadi uang kas untuk daerah pariwisata yang menjadi healing destination itu. Begitu juga dengan mental health yang sangat sensitif ini, industri medis akan diuntungkan dengan banyaknya pasien mental health yang berobat ke dokter maupun tenaga professional di bidang kesehatan kejiwaan. Empat, stigma yang selalu menempel kalau ke professional bidang kesehatan jiwa disangkanya orang gila, kurang ibadah, kurang bersyukur, gak percaya Tuhan. Makanya jadi takut, padahal bukan berarti orang yang depressed atau menderita penyakit kejiwaan itu selalu diidentikkan dengan kurang bersyukur, kurang iman, dan gak percaya Tuhan. Tapi ya paling gak berdoa aja gak cukup, dibarengi dengan usaha dan kemauan untuk sembuh dari mental health problems yang dialami, ya salah satunya dengan berobat ke dokter atau professional di bidang kesehatan jiwa. Ibarat kita mau service handphone atau komputer, ya harus kepada orang yang bisa service handphone atau komputer, jangan malah pergi ke tukang bangunan. Dari saya cukup sekian, saran saya kalau menyangkut isu mental health dan parenting, banyak tonton dan belajar kepada yang ahlinya aja, lebih bagus lagi kepada orang orang yang berlatar belakang akademis di bidang psikologi, syukur syukur yang linier lulusan S1 dan S2 di bidang psikologi, atau kalau perlu Prof ataupun Doctor di bidang psikologi yang S1 dan S2nya linier lulusan psikologi, lebih aman dan lebih bagus ulasannya daripada si Rhenald, professor bidang ekonomi tapi sok tahunya tentang generasi Z kebangetan abis. Sudah lah Rhenald, RUclips anda ini fokus kan saja bahas masalah ekonomi mikro dan makro sesuai dengan latar belakang akademis anda, gak usah bahas yang lain lain, sudah ada bagiannya semua itu! Salam Merdeka!!
Ini kenapa pada pake istilah boomer lah, milenial lah, kan sebenarnya asal mulanya dari barat dan gak nyambung juga sama konteks generasi2 di Indonesia.
Benar sekali, saya sendiri lahiran 90an merasa anak genZ memang lembek, tetapi kemajuan teknologi memang memiliki pengaruh besar, dulu tidak ada istilah kaya instant, crazy rich, yang kita tonton adalah tv isinya film anak. Skrg anak menerima informasi terlalu mudah dan cepat shg cenderung mengikuti trend.
mungkin karena kaum muda sudah sadar dari awal bahwa mental health mereka lebih penting daripada stress saat bekerja, which is a good thing kedepannya. Pemberi kerja akan lebih berusaha memanusiakan pekerjanya, bukan hanya memandang pekerja sebagai aset.
90% setuju dengan pendapat bapak. Jangan berpura pura sakit jiwa sebagai alasan untuk bermalas-malasan. Kasihan yg sakit jiwa beneran. 10% tidak setuju. Bila kamu pernah minum racun tikus, pernah menjatuhkan diri dari tebing karang di pantai, pernah menggantung diri, pernah menyayat tangan, pernah dengan sengaja menggunting kabel yang jelas2 dialiri listrik, atau, minimal, pernah mempersiapkan untuk itu, atau minimal pernah berpikir untuk melakukan sesuatu agar mati. Tolong ke psikiater. Walaupun mungkin generasi baby boomer berkata, mati saja anak tidak berguna, mati saja kalo jadi anak cuma jadi beban, dll dll. Tolong ke psikiater. Penyakit mental ada konseling nya, ada terapinya, ada obat psikotropika nya. Satu lagi. Jadilah manusia mandiri. Bila baby boomers berkata kamu beban, tolong, pergilah, minggat lah, perjuangkan makan dan tempat tinggal mu sendiri. Semangat.
Jepang(Nippon) dulu, ga seperti Jepang yg kita kenal skg. Setelah hiroshima dan nagasaki di bom jepang kalah mental. Normal. Buat yg ga tau kejadian itu seperti jentikan jari thanos. Kejadian tab ga berlangsung selama bertahun2 atau berminggu2. Cuma 1detik. 1detik setelah jatuhnya nuklir merubah semuanya. Lalu gmn jepang bs seperti skg? Mudah. Jepang melakukan pembantaian besar2an ke pd semua orang yg ga berguna. Klo pernah nonton film jepang yg judulnya "Battle Royale" ya film itu di ilhami ama kejadian ini. Setelah kejadian ini profesor dijadikan guru sekolah dasar(sampai skg). Klo di jepang profesor ngajar anak sd. Alasannya? Karna mulai dr sekolah dasar pola pikir di bentuk. Saat udah masuk smp atau sma apalagi kuliah, pola pikirnya udah terbentuk. Merubah pola pikir orang bukan hal yg mudah. Finlandia lebih gila lg😁 Finlandia negara dgn system pendidikan terbaik di dunia. Jauh diatas inggris, amerika, jepang maupun russia. Di Finlandia sejak masuk sekolah dasar, anak udah disuruh milih mau mata pelajaran apa yg kelak mereka pelajari disekolah dasar. System yg sama kayak diperkuliahan 😁 Ga usah heran klo anak sma(sekolah menengah akhir) di finlandia lebih pinter dr orang yg punya gelar Magister S2 di negara2 lain😁 Jadi klo si anak ngambil kelas otomotif/kesehatan, maka total saat lulus kelas 3 sma, anak tsb sudah belajar bidangnya selama 12Tahun😁 12Tahun mempelajari bidang yg sama? Dia udah jd pakar😁 Makanya anak finlandia jarang yg mau kuliah di luar negeri. Karna masuk universitas diluar finlandia(harvad sekalipun) otak anak2 finlandia ini udah jauh berbeda cara kerjanya dr anak2 di negara lain😁 Ini jadi ga fair. Jd ga usah heran klo kerja jd tukang sampah, kuli atau assiten rumah tangga dan pekerjaan fisik lainnya di finlandia bayarannya mahal. Alasannya ya karna ga ada yg mau pekerjaan ini. Sementara pekerjaan2 ini amat dibutuhkan.
Banyaaakkk yg super manja atau Pemalaassss trus belaga stress atau sakit jiwa supaya bisa di fasilitasin ortu dan keluarga buat refreshing sana sini dan Ga kerja 😅
@@happycolmek3921 jangan lupa pola asuh dalam keluarga. Di Jepang, wanita banyak yang mengundurkan diri dari pekerjaan begitu mereka punya anak sekalipun berpendidikan tinggi. Full jadi ibu rumah tangga sehingga pengasuhan anak bisa lebih optimal. Jadi ibunya cerdas membentuk generasi yang cerdas pula. Finlandia lain lagi. Saya pernah nonton suatu tayangan dokumenter di TV, 1 kelas itu siswanya paling banyak 15 anak dan diasuh oleh 3 guru per pertemuan (mohon dikoreksi jika keliru). 1 guru menjelaskan di depan, 1 guru dampingi dengan berkeliling kelas, 1 lagi di belakang untuk dokumentasi/membuat catatan2 sebagai bahan evaluasi. Jadi yah agak sulit memang untuk dikomparasikan output disana dengan disini jika prosesnya saja berbeda jauh.
@@happycolmek3921 jangan samakan pemerintah membantai warganya yg ga berguna dg orgtua yg memnyingkirkan anak mreka krn ga berguna.. anak itu gmn orgtuanya dan sdh sepatutnya bertanggung jawab.. lagipula klo ekng bnar jepang speti itu kan hny saat moment di buklir saja sudah tdk ada lg pembantaian sprti itu lagipula dlu angka penduduk itu berlebih krn biasanya sebagian mnjd penjajah bgitu di nuklir jepang tdk menjajah lg dan memilih untuk mmperbaiki negaranya dr sna tentara penjajah pd pulang byk lah lg penduduk sdgkan lahan jepang itu kecil
@@iins9794 dlu mngkin sprti itu tps krg para wanita jepang udh pd sadar sulitnya brumah tangga dan mncintai karir mreka.. klo ada pun ttp mnjd wanita karir udh ga full irt ky dlu.. tp kbanyakan lbh milih tdk menikah, tdk pny anak dan fokus pd karir krn smakin byk saingain penduduk sdgkan lahan jepang kecil jd harga disana smakin mahal
Dear Prof. Rhenald K., terima kasih atas paparannya, sangat menarik, dan saya sebagai orang yang lahir di era 1995 - 2000 merasakan sulitnya hidup dan disaat yang sama mencari cara terbaik untuk mengatasinya. Dari paparan prof, saya memiliki beberapa tanggapan. 1. Trend mental health yang muncul tidak dibarengi oleh dukungan fasilitas mental health itu sendiri. Saya menderita depresi, didiagnosis oleh dokter, dan mengalami ragam suicidal episode, dan merasakan sulitnya mendapatkan penanganan yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Saya rasa kasus ini juga yang membuat budaya self-diagnosis menjadi-jadi, psikiater dan psikolog sangat sulit dijangkau, kadang dokter umum BPJS juga menolak memberikan rujukan dengan memberikan solusi "tradisional" seperti "dengarkan orang tua" atau "berdoa", sedang si pasien berusaha mendapatkan akses ke psikiater yang terlatih untuk melihat masalah dari keilmuan dan pengalaman, bukan sekedar pengalaman. Saya menghabiskan 8 juta uang jajan dan kerja sampingan saya hanya untuk konseling ke vendor yang memberikan terapi yang baik. Tapi dari situ, saya mengerti makna healing, dan menyebutnya penyembuhan/meditasi, dan itu bisa dilakukan beragam: Shalat, menggambar, membaca buku, berjalan/jogging, dst. Tidak mesti ke Bali/ke mall/kopi senja manja di Cetarbak/atau apapun yang anda inginkan disini. 2. Ketika menghadapi orang yang suka berkata "saya mahasiswa teknik dulu, ke sekolah mendaki gunung, lewati lembah....", saya lebih suka mendiamkan, karena saya hidup di masa berbeda, dan tidak mungkin membanding-bandingkan, karena isu dahulu berbeda dengan sekarang. Meskipun sama-sama uang, saingan nya tentu berbeda dan karena kemajuan teknologi, saingan menjadi lebih jauh banyak. Dahulu ribuan pendaftar masuk ke Pertamina (1992), mendaftar, hadir di interview, tantangannya adalah background check dimana silsilah keluarga di cek, titik butanya adalah tes dicek manual, jadi untung-untungan, kadang, kalau penilainya ngantuk, bisa salah nilai. Sekarang tidak ada background check, tapi tes digital, lewat portal rekruitmen, jawaban harus diskret dan pasti. Kadang hal yang kita banggakan dulu bisa jadi dianggap salah sekarang dan dievaluasi, apakah mereka pantas dipanggil "pelembekan"? Saya juga ke sekolah naik mobil, masalahnya macet, kadang turun di depan jalan besar, harus nyebrang sendiri, harus hati-hati kalau jalannya padat. Dosen saya killer sekarang ngeri-ngeri sedap, evaluasi kinerja dosennya dibaca BAN PT dan Kemendikbud, pengajuan guru besarnya bisa terhambat, sering kena kritisi dekanat, bahkan ketika dia dekan, kena semprot rektor karena kelakuannya muncul di laporan lapor.id. Di era Scopus sekarang, dosen killer itu kelimpungan nyari mahasiswa yang mau kolaborasi sama dia, tapi pada emoh karena tahu kelakuan beliau, akhirnya susah dapat penerbitan Scopus. Dulu hanya cukup ngerti literasi, sikap keras menghadapi mahasiswa, dapat senioritas, dihargai. Sekarang? Pola manajemen melihat senioritas justru merusak ekosistem kerja, dievaluasi, harus kolaborasi. Setiap zaman ada masalah, dan sama susahnya. 3. Coba cek paparan psikolog Elly Risman, S.Psi., psikolog senior, di YT, mengenai dosa parenting. Salah satunya adalah membanding bandingkan. Kasus saya, dulu saya dibandingkan dengan anak tetangga yang pialanya segudang, pernah ke Filipina untuk kompetisi matematika, tapi ternyata sekarang? Dia hamil diluar nikah, gagal S1, dan akhirnya bekerja di toko. Apakah saya merendahkan? Tidak, beda cerita orang tua saya, terdiam dan malu sendiri. Perbandingan bukan jawaban. Orang tua wajib dihormati, namun bisa salah. Disini harus ada legowo orang tua dan kemampuan anak berkomunikasi, dan mencari solusi. 4. Salah satu yang saya sadari adalah keharusan menyadari bahwa kesulitan itu adalah bagian hidup, dan kadang menerima perbedaan itulah kuncinya. Melihat IK flexing, memang bikin panas hati, dan ingin ikut-ikutan. Tapi saya terima, dan lihat gimana dia ujungnya? Kesulitan paham matematika membuat saya mengerti intuisi dibelakangnya, yang membantu saya meneliti bidang ilmu Statistik dan Data Sains skg. Mohon maaf panjang, terima kasih Prof. Rhenald atas paparannya.
Setuju, membanding2kan itu bikin anak jadi kompetitif pengen terlihat bagus dan lebih tinggi, tp sekalinya gagal, jatuhnya banget sampe minder (pengalaman sendiri). Tapi bisa bilang apa ke orang tua, mau marah juga gak nyaman 😩
Gw juga di generasi yang sama. Entah kenapa video kali ini jadi mempertebal jarak antar generasi. -dengan merendah namun secara tidak tulus (menyamakan orang tua self diagnosis dengan anak muda self diagnosis) kerasa kok analogi itu cuman untuk mengambil empati generasi muda doang supaya gk dibilang ngejudge -paradox jadi solusi untuk generasi muda tapi tidak bisa diterima jadi buat apa solusinya selain untuk membuat generasi sebelumnya merasa paling hebat "pada jamannya" Padahal gw juga butuh sekali nasihat dan masukan dari generasi sebelumnya supaya tidak gegabah, tapi kadang jadi hanya berputar putar disitu ajh, jadi sulit buat gw menemukan mentor yang relevan (diluar orangtua dan Tuhan. Dikasih disclamer dulu) Yaa tapi mungkin cuman preferensi gw ajh yg berbeda lebih suka cara nya gary vaynerchuk (garyvee) kalo kasih nasihat ke generasi muda
Saya salah satu org dari generation z atau biasa disebut "Stawberry generation", hidup saya sangat nyaman. orang tua saya membiayai kuliah, apa-apa dituruti, saya mau beli barang a b c sampai z mostly ortu bakal bilang iya. Saya sendiri juga sadar bahwa mental saya sangat lemah dibanding ortu saya yang bisa dibilang stoic dan sangat pekerja keras. Tetapi saya menerima kelemahan saya dan mencoba untuk 'menikmati' nya. Saya selalu mencoba untuk present di lingkungan kerja yang 'kasar' dan dimana saya akan tahu saya bodoh di mana dan lemah di mana, supaya saya bisa belajar dari itu semua dan sebagai evaluasi buat diri saya sendiri. Karena saya merasa kalau kebodohan saya tidak terlihat nanti saya jadi sok tau dan sok pintar yang pastinya tidak bermanfaat. Menurut saya, terkadang walaupun ortu pekerja keras, strict, dan mendidik anak dgn baik,, anak nya bisa akhirannya punya mental kuat dll tetapi ada juga yang anaknya malah tambah lemah dan manja. Menurut saya, di ujung hari tetap kembali ke anaknya sendiri,, kalau dia ada keinginan mau berubah dan lebih bersyukur semoga saja dia bisa lebih kuat.
Waaahhhh generasi strawberry model kamu jarang👍🏼👍🏼👍🏼👍🏼Punya Kesadaran sendiri utk jadi manusia KUAAATTT, MANDIRI tidak memanfaatkan smua fasilitas ortu utk jadi manusia malaaassss,GOBLOOK dan gampang menyerah,cengeng jg
Mantap kak, saya sendiri juga merasa bagian dari strawberry generation, jujur terasa berat buat menerima kekurangan diri sendiri dimana sering kali kalah dgn tekanan karna mental yg lemah dan cengeng, tp harus selalu ingatin diri saya sendiri, yuk berjuang, hadapi, jangan lari dari masalah, semua pasti akan terlewati
Saya anak yg lahir tahun 2000 an. sedang dihadapkan juga dengan teman2 dan adik2 tingkat yg berkemungkinan melakukan self diagnose. Jujur, menurut saya ini terlalu banyak. Self diagnose ini emg harus segera dihentikan, bahaya nya apa? orang orang yg sudah mendengar keluhan terlalu banyak tentang depresi, qlc, dsb nya menjadi risih, karena mereka tidak tau mana teman yg benar benar butuh perhatian dan perlakuan lebih baik mana yg tidak. Sehingga seringkali (anggaplah saya) memperlakukan mereka sama, bahkan sampai nggak percaya sama yg bilang bahwa dirinya depresi karena sudah curiga duluan dia hanya self diagnose. bahkan dalam suatu organisasi kampus, saya dan 'pimpinan' lain di sana sempat mempertanyakan dan memperdebatkan kondisi mental adik2 tingkat saat itu, karena (sekali lagi) terlalu banyak yang seolah menghilang dari organisasi tsb dengan alasan healing. Mau bagaimanapun yang menjadi masalah adalah kuantitasnya. Terlalu banyak sdm yang menghilang sehingga organisasi menjadi tidak jalan. Kami marah dan bahkan jadi gak peduli terhadap adik tingkat kami yang beneran sedang menghadapi depresi dsb. Walaupun pada akhirnya kami tetap bersalah dan minta maaf untuk kejadian ini. Selain itu, apa orang2 yang suka self diagnose dan bercerita di sosmed ini tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan teman mereka yang sungguhan menderita depresi dsb? Mungkin saja mereka (orang2 dengan isu kesmen sungguhan) merasa dunia semakin tidak adil karena memberi perhatian ke orang yang "salah" menurut mereka. Sedangkan mereka tidak mendapat perhatian yang pantas walaupun apa yang mereka rasakaan sebenarnya jauh lebih buruk daripada apa yang orang orang ini ceritakan di medsos. Mereka akan semakin merasa kesepian dan dunia salah menilai orang. Karena menurut saya pribadi orang orang dengan isu mental yang didiagnosis langsung oleh psikolog/psikiater kebanyakan menutup2i apa yang sesungguhnya dia rasakan dari publik. Jadi, mereka akan hanya semakin terpuruk dengan pikiran mereka sendiri. Saya pribadi sejujurnya mendukung sekali konten2 seperti ini, yang berusaha untuk memberikan edukasi untuk jangan over glorifying isu kesmen ini, ada banyak bentuknya. Akun yt lain mungkin seperti Hasan Askari. Ada juga yang bentuknya sindiran2 kayak bang Oza Rangkuti di Podcast Kesel Aje. Saya mendukung mereka, tanpa sedikitpun mengurangi empati kepada teman2 dengan isu kesmen, karena saya cuma ingin buih buih di lautan berkurang biar ikan ikannya keliatan. Terimakasih semua, semangat melanjutkan hidup 😇
Prof, menurut saya, sebagai kelahiran 90-an yang sering disebut "millennial", fenomena anak muda dengan "Strawberry Generation" ini terlalu dibesar-besarkan, tentu saja beberapa orang dengan deskripsi yg disebut oleh Prof Rhenald itu benar ada, namun populasinya sangat kecil, tetapi karena kekuatan social media yang justru meng-highlight orang-orang tersebut, seakan-akan banyak sekali populasi "Strawberry" ini. Kelakuan si "Strawberry" yang viral membuat beberapa orang (terutama yang bukan golongan muda) malah menganggap bahwa mayoritas kaum muda ini adalah "Strawberry".Di dalam sosiologi, fenomena prejudice terhadap golongan lain seringkali dibahas pada dinamika "In-group and out-group" Bisa jadi di jaman dahulu, malah lebih banyak "Strawberry" ini, tetapi karena tidak ada social media, maka keberadaannya tidak dapat diketahui. Tentu saja perlu survey ilmiah untuk menelusuri hal ini. Namun memang banyak sekali yg disampaikan Prof Rhenald ini benar adanya, seperti maraknya self-diagnosis yg seringkali misleading karena mereka bukan ahlinya, memang beberapa orang yg mahir browsing sering kali terjebak oleh Dunning-Krugger effect, dimana merasa dirinya sudah ahli padahal hanya tahu secuil.
Gw ga setuju sama apa yang dibilang, pemuda remaja itu bukan robot mereka butuh istirahat, ga 24 jam sekolah tugas PR terus hidup isinya, lu yang udh pada tua mikir dong jangan merasa si paling kuat.
Gw sebagai lahiran 99 krng stuju sama pelabelan "Strawberry Generation" krna mw gimana pun penjelasan prof, "strawberry generation" ttep punya arti yg negatif, ada unsur menyindir, aplgi smpai dijadiin judul buku edukasi.. kita dibilang anti kritik, trus apa bedanya dngn orngtua kita yg gbsa dngerin masukan anaknya? Masukan anak dianggep remeh krna dianggap masih kecil ga ngrti apa2.. pdhal disitu poin komunikasi antar anak sma ortu, makanya jangan heran kalau anak millennial krng bisa terbuka sama klwrga.. Mental gen Z dicap lembek,, krna aktivitas sekolah, kuliah, tmpt kerja rata2 nyerangnya mental bukan fisik.. kalau dulu mungkin lowongan kerja masih banyak yg fisik, skrng fisik udh keganti teknologi sama mesin, sisannya pekerjaan yg butuh ilmu pengetahuan, butuh mikir, butuh analisis, capenya lbh k mental bukan fisik.. Terutamanya mungkin masalah keluarga,, mnurut gw keluarga yg jdi pondasi mental si "Strawberry Generation".. anak2 gen Z udah belajar parenting duluan sblum punya anak😂 belajarnya darimana? Dari tindakan orang tua mereka🙂 ada yg bilang kaum "Strawberry Generation" terlalu dimanja, justru kebalik,, kebanyakan dari kita ngerasa diabaikan, iya memang kita difasilitasin, kita dikasih uang jjan, tapi "sosok" orangtuanya tuh ga kita rasain.. makanya kenapa banyak yg caper di sosmed, caper marah2 ga jelas, caper nangis d kamar, yaa krna emg kita ga dapet perhatian n support orng tua..
Intinya semua fenomena pasti ada sebab akibat, coba diliat lgi lebih objektifnya kenapa bisa ada si "strawberry generation", coba diliat dari perspektif yg beda skalipun ya agak ssh, krna emg udh jadi kebiasaan buruk d kita mh ngedebatin perasaan n pengalaman orng teh🙃, pdhal it hal yg valid gbsa didebat..
Kesimpulan: Masa-masa SULIT akan menghasilkan manusia yg HEBAT Manusia yg HEBAT akan menghasilkan Masa-masa yg NYAMAN. Masa-masa yg NYAMAN akan menghasilkan manusia yg LEMAH (Strawbery Generation) Manusia yg LEMAH akan menghasilkan Masa-Masa yg SULIT. .repeat that hingga akhir zaman
mengeluh overthinking, depresi dll tapi di aktif sosial media, sementara adiksi sosial media sendiri masalah mental health yg ngga disadari, blm lagi adiksi games dll. klo merasa ada masalah dgn mental health ya konsultasi ke psikiater, menghentikan aktifitas sosial media dan adiksi2 lainnya fokus ke hal2 yang bermanfaat. terima kasih prof pencerahannya.
Sosmed sih parah banget dampaknyam... utamanya Instagram dan si Mark Zuckerberg pun mengakui akibat dari perusahaan miliknya banyak orang jadi depresi.. setelah beberapa kali melakukan perubahan.. sekarang malah tiktok yg memonopoli pasar dengan algoritma nya😅🙈
Benar sekali, hidup dimasa lampau jauh lebih sederhana dan tidak banyak kealay.an yg terjadi digenerasi milenial. Termasuk saya. Yg masih umur 27 ini terkadang jenuh dg apa yg ada hingga membatasi diri dgn yg namanya sosial media.
Jangan salah didik parents🤣😂🤣😂 mereka akan menjadi generasi PEMALAS karena dibesarkan dengan segala “kemudahan” saya bersyukur orang tua saya membesarkan dengan sikap yang tegas dan keras hingga membentuk jiwa berjuang saya untuk menghadapi hidup. Thank you Prof.. selalu mendapatkan “ilmu” setiap hari 🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Saya pernah mengalami depresi waktu kuliah (usia 20 tahun). Selama 6 bulan jarang masuk kuliah, hanya tidur2an di kamar kos dan bahkan ingin mengakhiri hidup. Itu datang begitu saja tanpa pemicu dalam hidup saya yang sebelumnya baik2 saja(Teman banyak, nilai IPK di atas 3, aktif berorganisasi di kemahasiswaan maupun gereja). Teman2 saya yg baik bergiliran mendatangi kos utk menengok saya, ada yg simpati, ada yg marah krn menyangka saya jadi 'malas', ada yg merasa sy udah 'berubah' dll. Setelah 6 bulan saya berangsur pulih normal spt sebelumnya. Nilai kuliah yg gagal bisa saya kejar. Menyibukkan diri dgn kegiatan2 dsb. Yg rusak permanen hanya hubungan saya dgn bbrp teman. Dan, depresi ini juga pernah berulang di usia 25 tahun dan blm pernah kembali saat usia saya skrg 30an. Saya tidak tahu apa penyebabnya dan mencoba manage dgn makan makanan bergizi, tidur teratur. Saya merasa saya bukan Pemalas. Saya sudah terbiasa kerja 12-14 jam di kantor. Sewaktu kuliah juga cukup aktif. Tapi saya pasrah aja jika dicap begitu krn pernah depresi. Tokh saya tidak bisa merubah pikiran orang jika memang mereka tidak mau merubahnya. Kata teman saya yang dokter otak adalah organ tubuh yg bisa rusak/sakit, seperti lambung, paru dst. Dan otak yg sakit dapat merubah perilaku dan emosi, perlu healing dgn obat, terapi.
Healing itu diperuntukkan bagi orang orang yg lama ngalamin depresi dan ngga punya biaya untuk dapet pertolongan dari pihak profesional.. sampe akhirnya ngerasa empty and numb completely karena telat penanganan.. That's what I'm experiencing right now
Yang ke 6... ada kapitalisasi besar-besaran kata 'healing".. Contohnya adalah kapitalisasi yoga dan meditasi. Ada kelompok-kelompok yang diuntungkan dengan semakin boomingnya kata "healing." Ya, memang generasi sekarang lebih mudah stress karena dibombardir oleh berbagai informasi, flexing dan iklan. Membandingkan diri dengan orang lain adalah cara yg paling mudah untuk depresi. Tentu ada memang orang-orang yg benar-benar membutuhkan healing dan seringkali prosesnya tidak sebentar. Saya pernah berjumpa Seorang anak yg sering dimarahi di waktu kecil setelah umur 30an menjadi pribadi yg uring-uringan, mudah stress, dan sikapnya bermusuhan dengan orang tuanya. Dia perlu waktu yg cukup lama melalui meditasi dan dibimbing oleh bhiksu yg mumpuni untuk menyembuhkan luka-luka bathinnya itu.
Ya betul meskipun kita gak boleh self diagnose, kita jg tdk bisa serta merta men cap bahwa smw org yg membutuhkan healing adalah org yg termasuk k dlm generasi lemah. Bisa jd jg di antara org2 yg merasa sudah dapat mengatasi masalah hidupnya kemudian merasa jumawa, sbetulnya ada yang 'sakit',hanya saja dgn cara yg berbeda, yaitu dgn bully org lain secara verbal krn ia anggap lemah, emosi tdk stabil dll. Org2 yg sbetulnya sakit tp merasa tdk sakit ini juga akan berbahaya krn dapat menebarkan perilaku negatif dan toxic yg dpt merugikan orang lain. Tp mmg betul kata2 self healing saat ini bener2 terlalu sering digunakan, jd seperti bagian dr agenda kapitalis
Salah satu cara agar ga menjadi strawberry generation, menurut saya adalah merantau. Pada konteks yg tepat, seseorang bisa melatih tanggung jawab dan konsekuensi dngn merantau. Sebelum merantau, tentunya ortu memberikan pendidikan nilai dan karakter secara maksimal terlebih dahulu.
Pengingat untuk non-strawberry generation: beliau jelas bukan termasuk dalam strawberry generation yg dibicarakan, maka yg beliau bicarakan sudah pasti lebih dari sudut pandang luar. Bukan berarti salah. Hanya perlu dipertimbangkan sudut pandangnya.
Hmmmm apakah sudah melalui proses diskusi alasan kenapa perubahan yg diusulkan itu ditolak? Reason kenapa misalnya peraturan itu ada? Lalu apakah kalau dengan segala proses itu dilihat sebagai sesuatu yg memuakkan maka akan ditinggal dengan "healing"? Lalu kalau memang melihat perubahan yg ingin dilakukan perlu untuk diperjuangkan lalu muak dan "healing" apa bisa terjadi? Ini sudut pandang saya yg strawberry generation. Apakah karena pertanyaan saya yg strawberry generation ini langsung valid karena keluar dari mulut in group sebagaimana pandangan strawberry generation Prof. Rhenald dipertanyakan karena beliau dianggap sebagai outgroup para generasi strawberry?
@@angelinazahra2 disclaimer dan pendapat yg saya sampaikan seharusnya terpisah. Kesalahan saya dan sudah saya edit agar lebih jelas. Disclaimernya semata-mata untuk membantu mengurangi orang yg suka mudah menganggap benar suatu informasi atau pendapat dari narasumber. Saya pribadi beranggapan kalau video ini punya kemungkinan untuk disalah gunakan sebagai pendukung argumen tertentu. Disclaimer saya tidak menyatakan bahwa pernyataan narasumber salah, tapi disclaimer saya mengingatkan bahwa pernyataan narasumber juga tidak berarti benar dan mengingatkan penonton lain untuk hati-hati.
Rasanya menjadi “korban” is a new social status buat tarik perhatian hey look at me , please feel sorry for me. Yes depresi emank ada , trauma jg ada, cuma standard butuh healing beneran harus jelas biar pd gak bergaya sok jd korban. Thanks berat Pak Prof, video mencerahkan as usual.
@@Alina-bl5jq sorry if my comment comes across as invalidating someone feeling. in original comment i mention depression, trauma do exist but we need clear threshold (ideally assessed by medical professional). Those people genuinely need help.
Gua generasi milenial (30 tahun) yg sudah punya anak berumur 3 tahun, menjadikan narasi prof ini sebagai acuan kelak membimbing anak agar tidak menjadi Generasi yg lembek dan Mageran 🔥
@@KardusAquaa I'm curious, how would you be able to distinguish someone who's been clinically diagnosed with depression from someone who (according to what you said) is "just overthinking and weak"? I'm asking this as someone who's been clinically diagnosed with depression for more than 5 years. And even I can't tell the difference
"Hard times create strong men, strong men create good times, good times create weak men, and weak men create hard times.” The quote, from a postapocalyptic novel by the author G. Michael Hopf,
Saya rasa para orang tua harus menanamkan life lesson kepada anak²nya bahwa life is about process... it’s a jouney... and behind everything we get, there’s a process in it. Hal ini bisa diterapkan dan diberlakukan dalam segala aspek kehidupan. Bahwa untuk bisa mencapai sesuatu, sudah pasti terdapat proses... ada perjalanan dan lika likunya. ’Self thriving’ juga penting untuk membentuk karakter yang kuat. Salah satu contohnya, bukan berarti ortu dgn kemapuan finansial yg oke bisa memenuhi apapun dgn mudahnya... hal ini salah satu yang menyebabkan anak tidak memiliki daya juang. ’Send your beloved child in a life journey’ sangat penting, bukan berarti memunjukkan bahwa kehidupan ini kejam, tapi memperlihatkan mereka bahwa kehidupan yg sebenarnya memanglah tidak mudah, dan mampu menjadi problem solver, bukannya berkeluh kesah jika ada hambatan. Jadi mampu membedakan antara ”depresi” atau depresi, mampu membedakan realita dan halusinasi (sosmed). Selain itu yang tak kalah pentingnya juga literasi yang baik. Sebagai ortu juga tidak perlu berfikir ’jangan sampai anak saya susah’, bukan itu persoalannya... karena without sending our beloved child in life journey, they certainly will lack of life lesson, wich is justru itu poin pentingnya. Akhirnya hal tersebut dapat membuat mereka menghargai apa yg sudah didapatkan dan mampu untuk bijaksana.
@@MascrisSensei yes that is right, kemungkinan besar krn orang tuanya tidak mengajarkan self thriving, jd tdk bs melihat realita kehidupan. Dari ortunya sendiri pun juga tidak/kurang paham mengenai hal tersebut, parahnya lagi ortunya pun menyukai yg ’instan’. Karena sejatinya bagaimanapun terbentuknya kaeakter seorang anak adalah dikarenakan ortunya, no matter what.
"... mereka yang juara di kelas, belum tentu juara di kehidupan. Tugas kita adalah menjadi kan mereka juara di kehidupan..." Luar biasa sekali prof Renald. Stay healthy and relevant 👌👍
Saya dulu waktu SMA juara kelas, secara gak langsung merasa kalau org punya ekspektasi lebih terhadap saya. Hal itulah yang menyebabkan saya merasa tertekan. Ketika melihat teman2 SMA saya udah pada nikah, punya anak, punya ini itu, saya masih gini2 aja. Kadang saya berfikir "Enak juga ya kalo jadi anak bandel dulu, org jadi ga berekspektasi apa2 dan ketika udh gede terus sukses, langsung dapet apresiasi." Seiring berjalannya waktu saya juga sadar kalo ternyata hidup lebih sulit dibanding di kelas, gak memandang org itu Juara kelas atau bukan. Jadi saya berusaha menerima apa yg udh berlalu toh mungkin Allah mau saya jadi anak yg baik dulu di kelas, jadi juara kelas dll. Setiap org juga punya jalan yg berbeda-beda.
@@FarhanMErsal malu banget 5-7 taun aku menutup diri dari org2 di masa sekolah apalagi sama temen SMA. rata2 mereka udh punya kerjaan yg proper. sementara gw baru setahun kerjaan mayan udh phk aja. kan nangis banget kek gagal gtu idup
Yang beneran depresi klinis kena imbasnya. Maksud tren healing mungkin baik, untuk menghilangkan stigma negatif. Tapi, sekarang ngomong healing malah dibully dibilang manja/ikut tren -_- jadi males cerita kalo beneran ke psikiater
Saya setuju bahwa ada sebagian yang menggunakan istilah mental health sebagai alasan untuk 'malas', namun ingin saya tekankan bahwa bukan berarti semua penyakit mental itu cuma dibuat2. Mungkin contoh yang diambil agak terlalu menjurus ke satu opini. Di posting yang dijadikan contoh: 1. Bukan diagnosa dari dokter (psikolog atau psikiater), 2. Reasoningnya hedonistik, yaitu adalah kurangnya waktu untuk reward/bersenang2, bukan karena beratnya 'beban' yang ditanggung. Sepertinya dia cuma orang awam yang baru mendengar istilah2 psikologis yang lagi "trend" dan diaplikasikan sembarangan untuk dijadikan pembenaran. Apakah dia dimanjakan keadaan? Mungkin saja, bisa jadi ada banyak faktor. Namun tolong jangan dijadikan ini sebagai satu2nya contoh untuk menyangkal isu mental health, karena penyakit mental itu ada. Banyak orang yang sebetulnya depresi, mengalami anxiety disorder dan gangguan mental lainnya, namun tidak terdiagnosa karena stigma (takut dihakimi, dicap lemah, direndahkan dll). Pola pikir "generasi dulu" pun membuat orang jadi enggan berobat walaupun sekarang ilmu psikologi dan ilmu pengetahuan lain sudah lebih maju. Jangan terheran2 kalau bnyk kasus self-harm, self-destructive behavior atau bahkan bunuh diri. Ini adalah penyakit, dan ada dokter spesialisnya. Suicide itu pun bukan hal baru, dari dulu pasti ada, namun teknologi dulu belum seperti sekarang yang hampir semua hal diberitakan dan didiskusikan. Kesannya jadi lebih banyak di jaman sekarang, padahal belum tentu, datanya saja yang kurang. Intinya mohon berobatlah ke dokter psikolog/psikiater bila Anda betul2 merasakan tekanan yang mengganggu kehidupan sehari2 Anda, apalagi suicidal thoughts. Ada konseling, ada terapi, dan di beberapa kasus ada juga obatnya. Sangat disayangkan juga, orang terlalu terbiasa memakai istilah psikologi dengan tidak tepat sehingga membuat isu sesungguhnya kurang dianggap serius. Istilah depresi, self-healing, mental health terlalu mudah dilontarkan tanpa diagnosa dokter sehingga membuat mereka yang betul2 sakit seperti direndahkan.
Seperti di TikTok marak muncul 'psikolog' dadakan, baik itu soal parenting dan marriage 😜 padahal anaknya masih kecil2 atau usia pernikahan baru 2 th 😆 mereka berani ngasih nasehat bagaimana mendidik anak..dan bahkan ada yg ngajarin bagaimana hubungan mertua dan mantu 😂 lalu sering muncul soal toxic people/person yg harus dijauhi..pokoknya skrg banyak muncul 'filosofi2 kosong' deh
Mending itu udh nikah punya anak. Lha ada yg belum nikah, ada lg yg blm punya anak…udah macem plg bener aja. Terus gitu…senengnya liat sosmed2 psikolog terus mendadak merasa jd psikolog. Lengkap sudah mengguruinya. Kdg2 bikim gaduh sok heboh soal anak dan parenting…lha melakukan aja belum, kok heboh dewe…
strawberry generation ini kalo saya dan teman2 kantor bilang istilahnya "anak-anak kurang ospek". Lembek dan ga bisa dikasih tekanan haha.. as usual, pembahasan yang menarik dan bermanfaat prof..!!!
Anak muda sekarang memiliki sejumlah kelebihan & potensi yang tidak dimiliki generasi kita & sebelumnya, jika mereka berkenan memperbaiki hal-hal fundamental seperti mental & mindset, InsyaAllah mereka bisa menjadi penerus bangsa yang bisa kita andalkan. Aamiin.
sekarang mental health jadi ranah abu-abu, bisa jadi salah sasaran ternyata yang betul-betul terdiagnosis dianggap lemah sedangkan yang pura-pura dibaik-baikkan, memang yang betul-betul terdiagnosis mentalnya harus jauh lebih kuat lagi untuk menghadapi hal yang begini, terima kasih prof, mungkin memang harus usaha ekstra keras karena tidak perlu semua orang tahu kalau seseorang sudah didiagnosis oleh profesional dan memang memiliki masalah mental atau mengkonsumsi obat-obatan anti depresan... saya sendiri sudah terdiagnosis oleh psikolog bulan Agustus kemarin di Yayasan Psikolog Indonesia dan sepertinya memang harus jadi lebih kuat lagi...
Betul. Yang depressed biasanya diacuhkan/dianggap lemah karena: ah Lo kan ga sakit badannya, masih bisa jalan, masih bisa kerja, masih bisa makan enak dll dst. Sulit untuk terbuka kalau kita depresi. Biasanya orang akan bilang: mentalnya ga kuat, kurang ibadah, dll. Yang bilang begitu, ga tau di luar negri sana isu mental health menjadi sesuatu yang mengerikan jika tidak ditangani dengan baik. Yang destruktif ke diri sendiri: bisa bundir. Tapi yg destruktif ke lingkungan juga gak kalah banyak. Banyak yang depresinya sampai ke halusinasi dan mengancam jiwa orang lain dan lingkungan.
Sekarang yang paling sulit bukanlah mencari kepintaran, kecerdasan, pengetahuan umum lainnya, tapi yang paling sulit sekarang adalah konsentrasi yang tinggi Konsentrasi mengerjakan tanggung jawab yang diberikan pada kita
healing adalah sebuah proses yang diperlukan untuk mengatasi sebuah luka psikologis di masa lalu (luka batin) -> penyembuhan agar bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik di masa depan
Saya jg sangat menyayangkan prof kenapa anak muda sekarang sedikit2 ngomongin masalah mental.sedangkan kehidupan yg saat ini dijalankan sebenarnya lebih komplex dibanding jaman tahun dibawah 2000an. Teknologi semakin canggih dan cara utk bertahan hidup lebih sulit seharusnya melahirkan anak2 yg lebih tangguh. Namun sayang keadaan lingkungan dan ortu mereka membuat sebagian dari mereka menjadi anak generasi yg kurang tangguh.
Ni semua gara gara marshanda ,netizennya jd lebay semua dikit2 healing ,klo mw edan edan aja ga usah ajak ajak ,mana pengikudnya 6jtaan,heran gw dikit2 diexspos , jamanku dulu klo ada yg begituan ,aku tendang pake bola kepalanya jd waras
Strawberry generation. Selalu menunduk ke bawah gadget. Sehingga saat mereka butuh bantuan, mereka tidak tahu siapa yang harus mereka cari, karena mereka tidak lebih banyak mendengar daripada melihat. Akhirnya mereka berupaya menyelesaikan sendiri dan tidak mampu melihat andil orang dalam penyelesaian masalah mereka, akhirnya stress sendiri, sakit sendiri, karena tidak tahu lagi apa yang harus dibicarakan karena dari kecil tidak tahu dan tidak terbiasa mempresentasikan (mengolah) energi (sanguin, melan, kole, pleg) otaknya. Tapi harus tau : anak generasi Z berasal dari orang tua generasi Y.
Betul Prof, sy prihatin dgn anak2 muda skrg yg maunya santai, kurang fighting spiritnya & maunya dpt uang cepat lalu spending their money utk showing eksistensinya 😑 di kantor sy sering mengingatkan anak2 muda utk selalu berpikir bgmn meng-improve skill & knowledge dan menjadi org yg berguna at least bagi lingkungan sekitarnya bukan ber-lomba2 show off kekayaan.
Benar sekali Prof. Rhenald. Sekadar sharing, kadang banyak teman seusia saya (umur saya 37 tahun) suka mengeluh kerja dengan milenial atau gen Z (usia 23 - 28) itu susah. Tapi berbanding terbalik, justru saya sudah sering bekerja dengan generasi tersebut dan tidak pernah mengalami masalah. Karena teman-teman saya masih banyak dengan gaya lama (harus ikutin atasan, apa-apa suka dadakan, dsb). Intinya apa yang dulu kita tidak sukai dari bos kita mereka ulang lagi saja. Untuk masalah mental menurut saya juga sebenarnya sama, orang-orang yang kuliah saja sudah mengeluh, sebenarnya memang dasarnya pemalas saja, tapi dibungkusnya saja dengan alasan butuh healing dan sebagainya. Terus buat video ya Prof. Rhenald. Terima kasih atas ilmu-ilmunya.
Ada jarak pembeda antara generasi millenial & Z yg notabene gaya, daya, & karya mereka dalam mengikuti zaman amat sangat berbeda, di zaman serba digital apapun bisa diambil pelajaran secara instan, era saya dulu kuliah (2007-2010) komputer & internet masih suatu yg wah dan sangat jarang. Gaya Healing millenial pun saat itu masih bisa jalan2 ke daerah2 wisata (wisata blom booming) & kumpul bersama teman2 mhasiswa cukup di kost atau hang out makan bareng masih bisa ngobrol2 ngalor ngidul (minim penggunaan gadget) klo sekarang sekedar ngopi di warung sibuk ama hp. Daya juang di jurusan yg serba nuntut melek teknologi (teknik) gk menyurutkan untuk mencari referensi secara manual (beli buku2, perpus, diskusi). Sedangkan sekarang hampir 90% daftar pustaka (karya ilmiah) berisi link internet. Era yg berubah (internet) membuat semua beranjak berkarya secara digital, harusnya para ortu mulai sadar bahwa "beban generasi" akan "stunting pendidikan" juga berpengaruh terhadap kondisi mental & psikis anak muda sekarang. Pekerjaan, pergaulan, komunikasi, & interaksi yg beralih ke digital akan berdampak pada proses bekerja (karya) yg menguras banyak waktu di "satu tempat" (mager). Bagi generasi Z yg memandang era millenial itu tdk menyenangkan namun mereka berdalih "mereka butuh healing" cukup dimaklumi kami pun punya beban yg sama berat "sesuai zamannya".
Haha itu yang aku rasain kak sebagai gen z, daya juang lemah dan dikit dikit ngerasa cape, bahkan di tik tok aku pernah liat ada anak yang komen "yaa ampun anak generasi sekarang lagi ngalamin hidup yang berat dan susah" Dan disitu aku mikir emang anak anak dijaman dulu ngga ngalamin hidup susah ya 😄
@@gongyunghoon3231 saya cukup memaklumi karena masa pandemi juga,justru effort gen Z di teknologi cukup besar, klo kami (gen millenial) habiskan waktu di gadget & internet badan kerasa sakit semua hehe...kebutuhan healing dunia nyata semua hampir sama tanpa terkecuali (liburan, hiburan, rebahan).
Saya gen milenial 34 tahun (bener gasih hahaha) yg sekolah lagi. Tapi saya justru senang dgn kemajuan teknologi. Karena dibandingkan dulu bikin tugas lamaa banget karena Wifi di rumah dan sumber Internet belum selumrah sekarang. Nah sekarang saya seneng banget karena apa2 gampang, tugas-tugas jadi gampang dan cepat selesai, waktu luangnya bisa untuk belajar sama anak dan ngurus rumah 😆
@@kumakun8201 tapi kerasa ga sih kak ilmunya ga terlalu nempel? Jaman kita dulu apa2 ke perpus, buku dibaca dulu baru dicantumin di skripsi. Nah ini tinggal browsing, baca dikit, copy paste, edit dikit. Kayaknya ga nyantol ilmunya. Kalo saya sih ya...makin banyak info di tangan (hp) malah kerasa otak makin bodoh. Ga cespleng kayak dulu.
@@putrik6498 itu tergantung... Ga semua orang suka dengan yang namanya metode 'copy-paste' tsb... Setiap generasi pasti ada sisi positif dan negatifnya, justru menurut saya dijaman sekarang lebih banyak sisi positif daripada negatif... Kalau dimanfaatkan dengan baik, toh... Ilmu kita jadi jauh lebih cepat berkembang karena bisa didapatkan secara instan daripada jaman dulu
Terlalu byk informasi yg diserap oleh anak-anak muda jaman sekarang, terutama informasi ttg kenikmatan dan kemudahan hidup. Pada saatnya mereka menghadapi kenyataan kemudian mereka syok dan kaget. Lalu mereka jadikan kompensasi pembenaran thd ketidakmampuan mereka sbg sebuah depresi, mencari pelarian dr tanggung jawab dgn alasan butuh healing.
Saya ingin selalu tahu dunia generasi skrg krn anak memasuki usia remaja. Dan merasa bingung dengan anak2 sekarang yg sudah bisa bilang "i'm having an anxiety disorder atau i'm an introvert and i don't like people" dari mana mereka dpt istilah2 itu? Pastinya dr teman, medsos, dr selebritas yg mereka tiru, sgt mengerikan melihat bagaimana remaja2 ini memberikan pembenaran pd diri mereka, dan senang mengkategorikan diri tanpa berupaya itu bs diubah "o kamu ga suka ketemu org....kamu kan tipe introvert. Itu normal". Padahal di jaman remaja saya ingat betapa malu dam canggungnya saya dan teman2, tdk bisa memulai percakapan, takut bertemu orang baru, tapi kita semua termotivasi utk merubah diri, sekedar say hello atau lebih advance lagi ikut kegiatan sekolah dan dirumah agar mudah bersosialisasi tambah teman dan skill hidup. Yg juga mengerikan jaman skrg remaja byk mengidolakan bintang kpop yg artis2nya sy perhatikan spt mostly pesimis, banyak mengeluh, memuja penampilan, tidak mencintai diri sendiri, lemah, rapuh dan gampang sedih hny karena mendapat hate comments dan byk yg berakhir bunuh diri. Sampai sy bingung, apa sulitnya buang hape atau jauh dr medsos?? Sama sekali sy tdk paham dgn kegilaan anak muda pd medsos, seolah itu hidup mereka. Saya sampai cari2 cara agar anak tidak sampai lirik dunia itu. Dn ajak dia koleksi tintin atau harry potter sbg kegemaran, memperlihatkan koleksi novel2 saya, dn nantang dia bisa baca atau koleksi kaya gini ngga, agar teralihkan atau jangan sampai melirik hal2 seperti itu. Tantangan sbg ortu jaman skrg memang lbh berat ya.
Ortu yg hebat yuk kita doakan ank2 kita dan ank2 bangsa ini dan dunia lbh baik. Dg melupakan trauma pribadi pendidikan masa lalu dan mengambil yg baik pendidikan masa lalu. Persiapan diri kita untuk mendidik ank2 kita, di era lingkungan yg globalisasi Penuh ujian. Tdk ada t terlambat. Yg telah gagal , ank2 yg lemah ga tahan ujian, menyimpang dll. Bismillah mulai dr kita taubat memperbaiki diri mungkin ada yg slh pd pribadi ortu dlm mendidik, bersabar menghadapi ank2 ini.
Para org tua harus mendengar ini utk membekali anak2nya dgn ilmu agama dan hidup sesuai dgn kemampuan org tua, dan org tua yg materinya berkecukupan tdk memanjakan anak secara brlebihan.terima kasih pak reynald,related sekali dgn situasi pada saat ini
Siapp Prof, many thanks for this great video, saya sejak kelas 4 sd sudah kerja, sampai selesai S3 sambil kerja, beruntung bisa dapat beasiswa sejak SMA sampai S3, saya pribadi menikmati semua proses, tdk terpikir perlu healing ... Semoga bisa membagikan pengalaman ini utk anak cucu saya mendatang ☺️🙏🍊salam sehat selalu untuk kita semua.
Sama sama terima kasih, seperti yg prof sampaikan, saat kita bisa mengenali dan mengukur diri serta lingkungan, seharusnya kita akan bisa lebih santai menikmati semua proses yg ada, saya juga masih terus belajar hal ini ... keep happy semua.
Wah, pas sekali Prof 👍 Kebetulan saya sdg menghadapi mhswa2 teologi yg jg mulai terkontaminasi istilah "healing"😊 Sedikit2 perlu "healing".. Sementara mereka dilatih utk mengalami healing yg sejati dari Tuhan.. 😊
Setuju Prof, saya dulu jg stress dg materi kuliah krn merasa salah jurusan, tapi saya tetep berjuang sampe akhir walaupun molor 3th Ending nya stlah lulus, bahkan setelah menikah ilmu yg saya dapat sangat berguna karena saya bekerja di bidang yg mana salah satu mata kuliah saya pelajari 😊 Solusi saya klo sumpek dg kuliah, refreshing sedikit..ga usa jauh2..nonton tv, main hp, tidur itu sdh salah satu penghilang rasa jenuh
Mirip dengan saya, Mbak. Cuma bedanya, hebatnya Mbak bisa berdamai dengan itu (salah jurusan), tapi saya sampai sudah lulus masih belum bisa berdamai dan cenderung menjauhi itu. Saya malah pindah haluan sekarang ngejar bidang yang dulu saya minati. Jujur, lebih struggle rasanya krn ngulang dari nol lagi. Mau tanya, Mbak meskipun dulu salah jurusan, gimana cara berdama dengan itu? Saya masih sukar berdamai, ntah karena saya idealis atau apa
Sama mba, rasanya itu seperti benci untuk mencintai dan molorny jg sm smpe 3 tahun 😅. Kalo sy justru benci dan menghindari dengan eksakta sejak SMA yg menjadi kelemahan sy, malah masuk jurusan komputer dr fakultas mipa. Semacam masuk kandang singa. Alhamdulillah selesai juga
Terimakasih Prof. Atas penjelasan Prof maaf sy teringat film A Beutiful day in Neighborhood, pesannya: 1.Mr Fred Rogers host acara menunjukan kegagalannya dl menyiapkan tenda, kegagalan itu dipakai Mr Rogers agar anak2 harus tahu bhw hidup ga gampang mereka juga harus siap gagal n meresponi kegagalan dg sikap pantang menyerah. " Suntikan itu sakit, tapi setelah itu ada kesembuhan". 2. Mr Rogers mengajarkan bahwa healing butuh waktu apalagi menyembuhkan luka batin masa kecil yg dl film ini dialami Lloyd wartawan yg menginterviewnya. 3. Mr. Rogers berpikir bahwa pendidikan anak harus seimabng ant pendidikan karakter n cognitive
@@rosminazuchri9090 sama2 bu, sy kebetulan nonton di HBO family krn di internel sy itu paket gratis. Awalnya kaya boring ternyata film itu sangat bermakna. Sayang ga diputer ulang di HBO shg istri n anak sy belum nonton
Yang paling menjengkelkan dan potensi berbahaya dari Strawberry-Gen ini menurut saya salah satunya adalah kurangnya etika mrk. Krn di era digital ini, anak2 itu kalo gak beretika di komunitas mrk ( yg mostly digital community), paling banter di-kick dr grup, tidak ada interaksi langsung.. akhirnya ketika berkomunitas di dunia nyata, mrk "lack of ethics" dan tidak paham bahwa konsekuensi di dunia nyata lbh pahit...
Anak2 jaman dulu tau betul kalo gak sopan/beretika, konsekuensinya bisa kena hukuman baik fisik atau non-fisik.. Anak skrg krn banyak menghabiskan waktu di gadget, ngegame, dsb.. sebagian besar taunya "lack of ethics" ya paling2 kena kick dr member/grup Ortu skrg krn "lbh enak" hidupnya (yg menurut saya berkorelasi lurus dgn "makin sibuk"), akhirnya memberikan kompensasi2 digital tersebut, dgn segala konsekuensinya...
Saya Pribadi adalah Saksi Sejarah: Krisis Moneter, Reformasi, Kerusuhan (1997-1999), Perang GAM (2000-2004), Tsunami Aceh (2004), sebagai contoh Konflik dan Krisis yang Menempa Diri Saya, Coba bayangkan Generasi Manja Skrg yang mengalaminya, apakah masih mau bilang "Butuh Healing nih Bestie" 😀 Padahal Kondisi Skrg Jauh dr Kata Konflik dan Krisis 🙏
Alhamdulillah. Krn dulu sy engga kuliah sd selesai. Pas #1998 #krisismoneter tea. Apalagi Papa sy pensiun muda & bisnis tp ketipu. Jadilah sy wanti2 anak spy kuliah cari beasiswa. Krn qta engga tau umur orangtua. Gimana klo pensiun muda / sakit / wafat lebih awal ❓ Khawatir itu. Kuliahlah bidang agama. Krn #insyaallah jd bekel u hidup di dunia dan selamat sampe akhirat. Semoga #Allah mudahkan. Krn jarang sekali (engga pernah) ada berita #ustadz / #ustadzah yg harus healing, konsultasi ke psikolog krn stres, depresi, korupsi, dsb Wlopun hidup beliau2 engga selamanya mapan, terkenal . Banyak yg sederhana tapi tetep baik2➕bahagia2 aja. Beliau2 yg hrs dicontoh krn sifat sabar ➕ syukur atas takdirnya dan jd manusia yg bermanfaat u umat #masyaallah🙏
Lanjutkan pak Rhenald serasa punya bapak yang berpendidikan tinggi dan kaya yang selalu mengingatkan anaknya untuk selalu semangat menghadapi kehidupan dan realita kehidupan 🙏
Saya dosen muda yg senang sekali mengikuti nasehat2 Prof Rhenald, banyak yg saya harus pelajari dari Prof Rhenald bukan sekedar pengetahuan tapi juga kebijaksanaan dan kedalam ilmu 🤲🤲
Mungkin kita bukan butuh self-healing, tapi refreshing aja. Cooling down dlu dalam hal emosi supaya bs lebih siap menghadapi masalah dan tantangan. Refreshing ya sebentar aja, ga perlu cuti 6 bulan juga. Kalau kelamaan jadinya lari dari masalah. Refreshing aja cukup kok. Sederhana aja kayak ngobrol sama temen2, makan bareng di kantin, tidur siang sebelum begadang bikin laporan wkwkw. Dlu aku suka prokrastinasi sedikit dengan tidur siang dlu sebelum bikin laporan atau belajar utk ujian. Kenapa? Krn aku tau bakal capek, jd tenangkan diri dlu dgn bobo siang, supaya pas bangun udh lbh siap utk belajar dan menghadapi kelelahannya. Atau besok banyak deadline tugas nih, yaudah makan enak dlu sama temen2, ngobrol2 dlu 1 jam. Lalu pulang masing2 dan belajar. Kita perlu menyadari yang kita rasakan bukan butuh self-healing, tapi kita tuh lagi cemas karena suatu masalah. Harus kita hadapi meski cemas, takut, capek, lelah, stress. Harus dihadapin. Self-reward itu nanti kalau perjuangannya udh beres. Udh beres nih ujian 1 minggu, yuk main! Nongkrong di cafe, binge watching series pas weekend, atau pada saat itu favoritku adalah pergi karaoke sama temen2. Jadi self-rewardnya ya nantii setelah perjuangan selesai. Lbh baik ditunda dlu hepi2nya, selesaikan dlu kewajiban dan tanggung jawab kita, maka ketika itu semua beres, perasaan bangga bahwa kita bs melewati itu semua sudah cukup self-rewarding kok. Percaya deh 😊 karena buat aku self-reward itu artinya merayakan keberhasilan kita (dengan menghadiahi diri sendiri apa yg kita suka).
9:33 Perbaiki LITERASI. Setuju, Prof. Saat ini info hoax begitu mudah ditelan pengguna sosial media, padahal cukup mudah cari informasi pembanding. Bahkan foto bisa di-search dengan google lens. Tapi tidak dilakukan. Lebih lucu lagi, judul posting/narasi yang sudah dibubuhkan CEK FAKTA atau SALAH tetap dianggap sesuai dengan kenyataannya
Terima kasih Prof buat pencerahannya..Saya melihat begitu banyak orang muda di sekitar yg sedikit2 mengeluh capek, stres menghadapi hidup sehingga membuat alasan2 untuk tidak produktif..Saya sendiri seorang pekerja, tapi masih bisa melakukan banyak pekerjaan rumah di weekend, punya waktu utk olahraga di hari kerja, & bahkan masih bisa santai sejenak setelah mengerjakan banyak hal..Orang2 di sekitar lebih memilih rebahan atau tidur seharian di hari libur dengan alasan capek, padahal menurut saya kalau tidak ada pergerakan sama sekali maka akan membuat tubuh kita semakin lemah & banyak penyakit yg masuk..Saya lebih memilih untuk tetap produktif sebagai bentuk rasa syukur kepada Pencipta karena telah memberi kesehatan..Saya juga merasa hal ini bisa saya lakukan karena pola asuh org tua yg mendidik anak2nya utk tidak bermalas2an, lebih bisa menghargai & memanage waktu dengan baik..Saya juga merasa "malu" melihat orang2 lanjut usia, punya keterbatasan fisik, tapi malah lebih produktif dibanding org muda & sehat..Semoga semakin banyak orang yg tercerahkan & mengubah pola pikir serta kebiasaan buruk..Salam sehat & menginspirasi, Prof..
Terimakasih banyak bapak telah mengingatkan saya. Saya mahasiswi usia 20 tahun, saya dibesarkan dengan pendidikan orang tua yang keras, tapi semenjak berkuliah saya menjadi semakin lunak karena merasa terlalu keras dengan diri sendiri dibandingkan teman-teman saya. Ditambah pandemi yang menyebabkan semuanya serba online, saya jadi semakin malas belajar. Lingkungan sosial dan media sosial menyebabkan saya takut terlalu keras dengan diri sendiri, tapi dengan video bapak saya yakin. Yang semula saya lakukan sudah benar
Mudah2an kelak saya bisa menjadi ortu yg Mampu membentuk karakter anak2 saya sbg anak yg mandiri dan berempati. Bukan mental dikit2 mewek, dan menjadikan uang untuk meraih kesuksesan alias nyogok ke calo. Semoga kelak anakku sholeh, pintar dan membanggakan. Aaaamiiin
Sy jg anak teknik ars 91, yg dpt tugasnya gila2an sampe nangis bombay. Kl jaman dulu ya dijalani aja sampe kurus, sakit typhus jg pernah. Sebenarnya jg perlu healing. Tp blm trend jd di telen aja tuh tugas2nya. Healing nya ya kl liburan semester balik hometown, ketemu temen2 SMA. Udh seneng bgt. Tp menurut saya ngga bisa jg dibandingkan sm generasi anak saya skrg. Mereka jg tugas nya gila2an . Bny presentasi, bny buat video dll. Berat jg menurut saya. Mereka otaknya lebih cepet dan lebih kreatif kl saya lihat. Dulu pake kalkir dan rapido, skrg mereka bisa gambar 3D dgn cepat. Semua berubah, semua bisa lbh cepat. Dan mereka bisa. Pasti mereka jg bny tekanan. Tiap generasi pasti pny tekanan beda2. Mereka perlu healing, gpp juga menurut saya. Sebenernya dr jaman dulu jg udah ada, cuman ngga diexpose aja. Sistem pendidikan di sekolah anak2 skrg jg lbh bagus, tdk terlalu fokus pd hafalan dan nilai. Tdk spt jaman saya dulu. Jd menurut saya anak2 jaman now sama kerennya lah sm ky jaman dulu. Tergnatung bagaimana kita mendidik nya di rmh saja. Senang mendengar obrolan nya Prof. semoga sehat2 selalu Prof dan keluarga 🙏
Perkataan ini menjadi tamparan bagi saya, generasi yang mulai menua dan harusnya bisa turut membentuk karakter adik-adik serta anak-anak. Terima kasih Prof
1. Self diagnosis dan salah penggunaan kata Over thinking >> quarter life crisis 2. Strawberry generation Generasi yg lunak karena hasil didikan orang tua yang jauh lebih sejahtera dari zaman sebelumnya. 3. Narasi orang tua yang kurang berpengetahuan Label yang kurang tepat : “Moody” 4. Lari dari kesulitan
Inilah penyebab job di lapangan makin numpuk 😅. padahal banyak yang mengeluh gak punya pekerjaan + mereka hobi bener nyalahin orang lain gara-gara banyak permintaan job yang datang ke saya seolah-olah saya yang memonopoli pekerjaan padahal mereka sendiri yang nolak 😅. Pengalaman dilabrak "Strawberry generation " Gara-gara dia dicap " Useless" Ama keluarga + masyarakatnya 😅😅😅.
Setuju prof. Anak Sekarang cenderung malas berfikir keras. Berfikir sedikit butuh healing. Healingnya liatin medsos orang2 flexing. Tambah Lemes deh hehehe
Saya merawat anak muda yg disable. Mental atau orang yg depresi atau sejenisnya dan saya banyak study banding ke panti" rehabilitasi dan alhamdulillah banyak belajar ke panti rehabilitasi prof alm. Dadang hawari yahh tak hanya lain selain dari agamalah yg membawa manusia itu lebih baik
Beda zaman, beda tantangan. Dulu tantangannya keadaan keluarga tidak sesejahtera sekarang tapi arus informasi masih lebih terkontrol. Sekarang keluarga cenderung lebih sejahtera, tapi arus informasi bener2 kenceng dan mudah diakses. Informasi bisa datang dari berbagai arah sekarang. Beda tantangan, beda penanganan. Mengatasi masalah zaman skrg dengan metode zaman dulu nggak akan menghasilkan hasil yg baik, pun sebaliknya. Ini bukan hanya tantangan buat anak muda, tpi juga tantangan buat orang tuanya. Gimana caranya didik anaknya di zaman informasi serba mudah supaya si anak jdi anak yg tangguh. Prilaku anak setelah dewasa itu hasil didikan orang tuanya pas dia masih kecil. Jdi menurut saya klo sekedar nyalahin generasi z sepertinya kurang bijak, krna sifat generasi z yg ktanya jdi strawberry generation ini hasil didikan orang tuanya yg mungkin generasi baby boomer atau gen x.
Wkwk bener Prof. Dikit2 self healing, gue yang umur 27 udah selese s2 2 tahun diluar negeri gak pernah ngerasa stres. Malah pas s2 gak kerja cuma belajar tok rasanya kayak libur 2 tahun. Soalnya kerjaannya cuma belajar dan jalan2. Sekarang udah mulai kerja lagi. Bersyukur banget. Hidup harus emang disyukuri kita harus selalu berusaha liat sisi positif dari segala masalah. Kalo gue lagi ngerasa susah. Liat orang2 yang dibawah lagi, jadi selalu bersyukur.
Kuliah itu emang enak kok.. tapi kalo perlu liat yg dibawah buat bersyukur sepertinya lo punya masalah. masa perlu poverty porn buat bersyukur, lu bersyukur ama masturbasi ego
@@wewegomb yg sy tangkap, melihat orang di bawah nggak melulu soal kemiskinan. Bisa jadi melihat orang yg ujian hidupnya lebih berat meski secara materi dia kaya.
Anak2 dan ortu sekarang banyak terjebak pada fix mindset. Ini problemnya. Padahal kalau kita memandang bahwa orang-orang semuanya bisa bergerak, emosi dan prestasipun asal mau berusaha dia bisa bergerak ke arah lebih baik. Terimakasih Prof pencerahannya. 👌👍
Aku gen z dan iya benar aku orgnya gk kuat tekanan. Skrg lg ngejalanin magang & jobdesk aku salah satunya melayani orgorg yg complain mulu:") Jujur mental agak jatoh 'dijudesin' org terus hampir tiap hari:( But this vid reminds me to just enjoy&chill, cause other people have it harder and still laugh&havefun. Semoga apa yg aku jalanin skrg nguatin aku kedepannya 🙏
Setuju sama Prof., self diagnosis itu berbahaya. Yang kurang setuju itu julukan strawberry generation karena dikit2 perlu self healing, liburan, hiburan dll. Ya paham tapi mungkin buat baby boomers akan bisa paham masalahnya, bila diibaratkan seperti ini. Dikit2 ngerokok. Kerja dikit, harus ada ngerokok 10 menit. Belajar di kelas sedikit, keluar bentar buat ngerokok. Sama saja. Itu model self healing jaman baby boomers. Sekarang beda saja bentuknya
Saya berusia 21 tahun dan saya rasa ini relate dengan apa yang saya rasakan. Terimakasih Pak, yang harus saya tangkap dan perbaiki adalah literasi dan harus bisa menghargai orang lain dengan karakter mereka yang berbeda keputusan mereka, dan apa yang tidak bisa saya ubah karena bukan dalam batasan kemampuan saya. Poin yang besar dalam hal ini adalah, saya harus mampu mengatasi ego saya. Terimakasih ilmunya, Pak.
Padahal di amerika remaja 16 th udh malu minta duit ke orang tua, dan orang tua juga kooperatif g mau ngasih uang juga scra berlebihan. "Kalo pengen barang yg pengen anda pengenkan" cari uang tambahan sendiri. Makanya bnyk remaja yg kerja part time. Salut, semoga para calon org tua sekarang pada sadar, jgn dimanja modal nangis langsu dibeliin untuk anaknya. Konsepnya bukan begitu
Masalahnya di mari jangankan kerja psrt time buat remaja atau anak kuliahan, yg buat full time aje susah.. . Akhirnya banyak yg jadi selebgram, tiktokers, open BO lah, yg intinya duit nya cepet dan banyak tp gak capek
Good topic prof👍🏻tanpa men-generalisir, ngomong dengan orang sekarang itu susah, meski gaya bicara saya sendiri masih banyak kekurangan, mereka so defensive, no humbleness, bahkan seperti orang tidak tau diri, tidak tau trima kasih Bisa bersikap tanpa paham dulu duduk perkaranya🤧 Saya kira karena anak2 ini nggak pernah "rekoso"
Anak anak 'hasil' dari orangtua yang terlalu keras dididik dulu sehingga pada akhirnya mereka merasa tidak mau keras ke anaknya padahal keras dan tegas itu dua hal yang berbeda.
jawabannya cuma 1 om buat mahasiswa yg butuh healing atau pelajar yg lain karena mereka blom menghadapi problematik apa itu tumbuh sebagai "DEWASA" karena semakin dewasa seseorang makin ingin banyak belajar lagi dan problem its a tool to be adult. maju terus om chanelnya ... jangan putus dalam memberikan pengetahuan yg gak di dapet di sekolah
Dimedia sosial sering melihat kesenangan orang,karena orang lain selalu memamerkan kehidupannya yang serba enak dan menyembunyikan susahnya,hasilnya mereka yg terkena masalah sedikit merasa hidupnya paling susah.Berbeda dengan jaman dahulu yang dimana semua hidup apa adanya. Ini semua tentang sosial media.
Mental illness itu menurut ku emang harus didiagnosis secara profesional..tapi aku ngerasa sebenernya org² yg self diagnose itu krn burn out bukan krn clinical depresi.. Menurutku burn out itu beneran ada..krn skrg aku lagi burn out banget..setelah 3 tahun kerja dalam isolasi.. Sebelum pandemik 1 tahun, 2019 aku kerja di philippine jarang pulang krn penerbangan jakarta manila gak enak..akhirnya hidup ku di manila cuma kerja hotel kerja hotel..gak punya temen di sana, berusaha hidup mandiri, enjoy pergi gym, enjoy sendirian scuba.. Lalu ketika project selesai 2020, dan mikir bisa balik ke jakarta, ternyata pandemik datang. Dan lagi² ada project di luar kota. Yg aku juga mutusin isolasi, gak pulang krn kerja di pabrik dan takut bawa penyakit ke org rumah. Begitu project selesai, 2021 dikirim project lainnya di luar kota, yg lagi² aku mutusin gak pulang² krn tidak mau bawa penyakit pulang. Sampai akhirnya beneran aku terkena covid di luar kota tsb, yg harus isolasi hampir 2 bulan sendirian. Setelah aku kena covid br berani sesekali pulang krn mikir sudah ada antibodi, dan selama PCR negatif, aku pulang. Tp ttp gak sering²...tiba² dateng delta, mutusin lg jgn pulang dulu krn varian covid aku dulu varian sebelum delta.. Jadilah selama 2021 juga jarang² pulang..sejak awal 2019 sampai akhir 2021 mungkin jumlah total hari aku di rumah gak sampai 90 hari..en ketika belum pandemik msh bisa gym, scuba diving, stelah pandemik hidup ku bener² hanya di kamar hotel dan kantor client. Sebelum menuju puncak, akhir taon 2021, aku tiba² sakit²an terjadi gangguan gastrointestinal yg didiagnose dokter mgkn ada pengaruh dr covid kemarin. Krn aku tidak punya histori gastritis sebelum covid. Setelah itu mulai down en mulai gak semangat kerja. Lalu tibalah puncaknya ketika aku mikir ambil cuti panjang untuk imlek, yg terjadi malah aku covid lagi utk k2xnya...ketika malam imlek isolasi mandiri, bener² nangis sejadi²nya...dan setelah itu aku bener² yakin aku burn out banget...lalu akhirnya mutusin resign sementara waktu... Jadi aku percaya kalo burn out itu ada prof...tp aku gak akan bilang itu depresi...krn depresi harus clinically diagnose menurut ku...
Terus berkarya untuk membuat konten2 setiap harinya Prof Rhenald. Saya anak muda dan merasa sangat terbantu untuk kritis dan peka terhadap current issue karena channel Ini. Saya merasa seperti dapat kesempatan kuliah gratis di UI. Sehat terus Prof! God Bless!
mantap pak ...stay relevant,,, dulu saya ga mau kuliah karena tuntutan hidup dan saya pilih kerja sejak umur 18 tahun tidak mau terima uang dari ortu dan bisa lulus kuliah dengan biaya sendiri sampai sekarang masih kerja alhamdulillah walau ada kesulitan tetap di jalani sampai selesai..
Sama sih.. kalau prinsip saya ke anak, keras boleh, kasar jangan.. kalau dia jatuh biarkanlah bangun sendiri tapi jangan sambil diledekin, gitu lah gampangnya 😆
Manusia yg mau maju...adalah..orang yg selalu belajar mengikuti proses...dan cepat tanggap...dalam setiap..keadaan..masalah yg dihadapi..setuju..jangan..lari dari masalah..
Saya sepakat Prof.. namun perllu dipahami juga, millenial memang alami tekanan luar biasa krn dunia yg mrk hadapi beda Prof. Tantangannya beda. Jaman saya dulu yg sekarang berusia 50 an tahun, tidak ada medsos, sekolah masih memyenangkan. Beda dg tantangan jaman anak saat ini. Sebgm kata Ali bim Abi Thalib, "Didiklah anak sesuai jamannya, krn ia tidak hidup di jamanmu". Jadi kita ga bisa bandingkan anak2 sekarang dg jaman kita dulu, krn secara genotip dan fenotip memang beda. Jangan juluki mereka Strawberry Generation, artinya lembek atau lunak, krn tiap generasi ada plus minusnya. Labelling ini justru akan membuat mereka makin insecure. Marilah kita sbg ortu dan guru yg belajar dari keunikan generasi ini. Mereka tetap generasi yg kuat..kitalah yg harus punya persepsi beda dlm memandang mereka. Maaf Prof, sedikit berpendapat
Plusnya generasi strawberry tsb adalah? Sorry nanya biar lgsg to the point
@@mrisfanbs ???? kok jd mala nanya plus nya. strawberry itu terbentuk atas hasil didik ortu nya dan lingkungannya. boomer memang
@@indojojon892 this, tadi bapak prof nya bilang di masa dia dulu gak ada yang namanya moody atau istilah-istilah lainnya, mungkin memang karena saat itu mereka belum mengenal emosi dan perasaan tersebut walaupun mereka sendiri merasakannya.
@@cloverclocks2060 setuju bang, generasi bapak prof mgkn krg mengenal hal hal yang saat ini dikenal oleh generasi "strawberry" karena sumber informasi yang masih minim (blm ada internet) dan juga orang tua nya yang harus melewati masa penjajahan. Jadi gausah lah membandingkan antar generasi, tantangan yang dihadapi beda. Seharusnya antar generasi harus saling mengerti dan bertukar informasi.
@@indojojon892 tp sayang sekali kadang kejadian yang membuat titik terendah itu bisa datang kapan aja, dan kalau mentalnya gak kuat bisa2 lbh cepat rusaknya
“Hard times create strong peoples, Strong peoples create good times, Good times create weak peoples, and Weak peoples create hard times.” That a Life Cycle.
We share the same view.. thank you maam.
Baby boomers dan gen x weak peoplesnya yah
@@mydeadsaint lu gen z ya? apaapa nyangkal mulu nyari2 alasan
"We Do Something,We Can Say Something, Repeat"
- Wiseman Wannabe
"You Did Something Good luck with that, and STFU"
- Me
@@mydeadsaint gk gitu kayaknya konsepnya.. Baby Boomers dan Gen X kan terlahir di masa-masa dunia baru pulih dari perang, dan masih ada perang dingin juga, jadi wajar aja gk sedamai dan gk makmur milennial dan gen Z, itu pendapat gw
The Strawberry Generation. Saya setuju Prof. Tidak bermaksud ujub, saya ortu tunggal dgn 3 anak. 2 masuk PTN tanpa ikut bimbel, 1 di SMA. Saya mendidik mereka utk menyelesaikan semua masalahnya dengan enjoy, tidak ada stres dalam hidup mereka. Saya mengajarkan semua kesulitan pasti bisa di selesaikan dgn cara2 yang baik. Setiap yang diinginkan anak2 saya harus mereka perjuangkan dulu, tidak mudah mereka peroleh. Dan itu membuat mereka sangat menghargai waktu dan kesempatan. Dan sekarang saya bersyukur anak2 saya tumbuh menjadi anak2 yang mandiri dan berempati. Sementara teman2nya sangat jauh dari kemandirian dan empati. Ortu harus pandai dalam membentuk anak jika ingin menghasilkan anak yang tangguh.
Sharing2 Bun bgmn parentingnya...
Saya Newmom 1 anak toddler
Luar biasa
@@justLaura325 kalau yg saya tangkap dsri cerita beliau, "setiap yg diinginkan anak2, harus mereka perjuangkan terlebih dahulu, tidak mudah mereka peroleh", dri sini, mental anak2 diajarkan untuk mandiri. Jadi ortu jangan apa2 yg diminta anak, meskipun itu baik, kita kasih kesempatan buat mereka berkembang, dari situ bisa timbul rasa sabar, kerja keras, biar gk tau manisnya aja, instan langsung dapat, padahal real life gk seperti itu.
Setujuuu .... Anda dan anak² sama² hebat
Memang tidak ada sukses yg instan
Mendukung good parenting
Kontennya bagus dan berimbang. Tapi isi komennya toxic banget. Kebanyakan menyalahkan si anak, padahal orang tua juga memainkan peran besar dalam membentuk karakter anak. Dengan mentalitas "boomer" kayak gini, gak yakin generasi mendatang bakalan lebih baik. Orang tuanya aja gak masih mental boomer yang gak mau ngaku salah dan mau berubah dan cenderung menyalahkan anak doang.
Saya lebih setuju pendapat ini. Wajar sih pak Andreas, yang ngomong adalah generasi boomer ya pastinya akan lebih pro kepada generasi boomer.
Saya kelahiran 1994, ya bisa lah dikatakan generasi millennial atau generasi Z, bisa juga bagian dari strawberry generation atau apa lah hasil komentar komentar orang orang mental boomer yang mengatakan generasi sekarang lemah, manja, daya juangnya jelek, dan betul yang dibilang pak Andreas masih banyak orang tua bermental boomer yang gak mau ngaku salah dan mau berunah dan cenderung menyalahkan anak.
Izin saya ngutip juga pendapat keren dari bu Amelia Daeng Matadjo disini. Beliau berkata, perlu dipahami juga, millennial memang alami tekanan luar biasa karena dunia yang mereka hadapi beda Prof. Tantangannya beda. Jaman saya dulu yang sekarang berusia 50 an tahun, tidak ada medsos, sekolah masih memyenangkan. Beda dengan tantangan jaman anak saat ini. Sebagaimana kata Ali bin Abi Thalib, "Didiklah anak sesuai jamannya, karena ia tidak hidup di jamanmu". Jadi kita ga bisa bandingkan anak-anak sekarang dengan jaman kita dulu, karena secara genotip dan fenotip memang beda. Jangan juluki mereka Strawberry Generation, artinya lembek atau lunak, karena tiap generasi ada plus minusnya. Labelling ini justru akan membuat mereka makin insecure. Marilah kita sebagai ortu dan guru yang belajar dari keunikan generasi ini. Mereka tetap generasi yg kuat. Kitalah yg harus punya persepsi beda dlm memandang mereka.
Sebagai bagian dari yang dijuluki Strawberry Generation oleh si Rhenald yang sok tahu dan sotoy level dewa, karena gak ada ilmu dan kapasitas yang beliau miliki untuk bicara soal parenting dan mental health, dan sebagai penganut ajaran realisme, saya lebih setuju dengan pendapatnya pak Andreas dan bu Amelia. Tantangan generasi sekarang dan generasi boomer itu beda, beda banget. Realitas kehidupannya juga beda. Dulu mungkin sumber informasi dan pendidikan cukup terbatas hanya dari orang tua dan media cetak saja, jadi orang tua bisa lebih terarah mendidik anaknya. Lha kalau sekarang? Sumber informasi datang dari mana saja seiring derasnya perkembangan teknologi yang apalagi masuk kita ke dalam revolusi industri bukan hanya 4.0, tapi sudah 5.0, bahkan ada yang sudah masuk revolusi industri 6.0, yang dimana tantangan dan realita kehidupan yang dihadapi akan beda lagi. Tentu perkembangannya akan lebih dahsyat dan deras lagi dari saat ini.
Saya nih kalau punya anak suatu hari nanti, akan memanjakan anak sesuai dengan kemampuan yang saya miliki, dan gak banyak neka neko harus begini begitu dalam mendidik anak, yang penting ikut saja Golden Moral Rules dari kehidupan kita sebagai manusia dan banyak mencontohkan hal hal yang baik aja. Anak itu adalah bagaimana orang tuanya, sekarang menurut saya sudah waktunya orang tua belajar kepada anak muda dengan kapasitas saling melengkapi aja. Gak apa menurut saya kekinian dan update terus itu oke kok, asal jangan melenceng dari kodrat sebagai manusia yang punya nurani, moral dan akal sehat, hitung hitung bisa melengkapi informasi untuk generasi sebelumnya. Sebaliknya, generasi tua cukup memberi dukungan, memfasilitasi, dan mengarahkan anak dan bukan menyetir anak harus begini harus begitu, sesuai dengan yang dikehendaki oleh orang tua ataupun orang lain.
Soal healing, healing itu bisa dilakukan dengan cara apa saja sih, gak mesti mahal, karena metode healing berbagai orang itu beda-beda. Dan gak bisa diidentikkan dengan mereka yang so-called pemalas, gak mau usaha dan lain lain. Work-life balance itu bekerja banget disini, karena kita manusia, bukan robot yang gak punya rasa lelah, letih, lesu dan emosi. Ada kalanya manusia punya rasa jenuh, dan ingin istirahat, istilahnya ingin pause dulu dari berbagai kesibukan baik kuliah maupun kerja, supaya kita gak kurang piknik gitu lho. Dan kalau udah menyinggung masalah mental health, kenapa banyak yang melakukan healing ketimbang pergi ke professional seperti psikolog atau psikiater? Satu, biayanya mahal dan besar. Dua, sosialisasi dan penyebaran informasi tentang layanan kesehatan kejiwaan masih minim banget ditambah Pemerintah RI lewat Kementerian Kesehatan RI juga kurang memberi perhatian pada isu isu kesehatan jiwa arau mental health. Ingat, Mensana in Corporesano, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Generasi Z, Millennial adalah generasi yang kuat, yang harus dikuatkan adalah jiwanya dulu, dengan energi dan sugesti yang positif dan bukan toxic positivities. Tiga, ingat bahwa kita ini makhluk sosial dan saling bergantung satu sama lain. Sektor ekonomi pun begitu, selalu akan ada ketergantungan antara produsen dan konsumen. Healing yang dilakukan banyak orang di beberapa lokasi tertentu, tentu akan berdampak kepada pelaku industri pariwisata donk? Pendapatannya makin bertambah dan sekaligus bisa jadi uang kas untuk daerah pariwisata yang menjadi healing destination itu. Begitu juga dengan mental health yang sangat sensitif ini, industri medis akan diuntungkan dengan banyaknya pasien mental health yang berobat ke dokter maupun tenaga professional di bidang kesehatan kejiwaan. Empat, stigma yang selalu menempel kalau ke professional bidang kesehatan jiwa disangkanya orang gila, kurang ibadah, kurang bersyukur, gak percaya Tuhan. Makanya jadi takut, padahal bukan berarti orang yang depressed atau menderita penyakit kejiwaan itu selalu diidentikkan dengan kurang bersyukur, kurang iman, dan gak percaya Tuhan. Tapi ya paling gak berdoa aja gak cukup, dibarengi dengan usaha dan kemauan untuk sembuh dari mental health problems yang dialami, ya salah satunya dengan berobat ke dokter atau professional di bidang kesehatan jiwa. Ibarat kita mau service handphone atau komputer, ya harus kepada orang yang bisa service handphone atau komputer, jangan malah pergi ke tukang bangunan.
Dari saya cukup sekian, saran saya kalau menyangkut isu mental health dan parenting, banyak tonton dan belajar kepada yang ahlinya aja, lebih bagus lagi kepada orang orang yang berlatar belakang akademis di bidang psikologi, syukur syukur yang linier lulusan S1 dan S2 di bidang psikologi, atau kalau perlu Prof ataupun Doctor di bidang psikologi yang S1 dan S2nya linier lulusan psikologi, lebih aman dan lebih bagus ulasannya daripada si Rhenald, professor bidang ekonomi tapi sok tahunya tentang generasi Z kebangetan abis. Sudah lah Rhenald, RUclips anda ini fokus kan saja bahas masalah ekonomi mikro dan makro sesuai dengan latar belakang akademis anda, gak usah bahas yang lain lain, sudah ada bagiannya semua itu!
Salam Merdeka!!
Ini kenapa pada pake istilah boomer lah, milenial lah, kan sebenarnya asal mulanya dari barat dan gak nyambung juga sama konteks generasi2 di Indonesia.
Benar sekali, saya sendiri lahiran 90an merasa anak genZ memang lembek, tetapi kemajuan teknologi memang memiliki pengaruh besar, dulu tidak ada istilah kaya instant, crazy rich, yang kita tonton adalah tv isinya film anak. Skrg anak menerima informasi terlalu mudah dan cepat shg cenderung mengikuti trend.
This is just boomers trying to maintain their relevance by sharing their perspective. Belum tentu paling benar juga.
halah ngomong toxac toxic, kalau memang cemen mah ga usah idup aja bang
mungkin karena kaum muda sudah sadar dari awal bahwa mental health mereka lebih penting daripada stress saat bekerja, which is a good thing kedepannya. Pemberi kerja akan lebih berusaha memanusiakan pekerjanya, bukan hanya memandang pekerja sebagai aset.
90% setuju dengan pendapat bapak. Jangan berpura pura sakit jiwa sebagai alasan untuk bermalas-malasan. Kasihan yg sakit jiwa beneran.
10% tidak setuju. Bila kamu pernah minum racun tikus, pernah menjatuhkan diri dari tebing karang di pantai, pernah menggantung diri, pernah menyayat tangan, pernah dengan sengaja menggunting kabel yang jelas2 dialiri listrik, atau, minimal, pernah mempersiapkan untuk itu, atau minimal pernah berpikir untuk melakukan sesuatu agar mati. Tolong ke psikiater. Walaupun mungkin generasi baby boomer berkata, mati saja anak tidak berguna, mati saja kalo jadi anak cuma jadi beban, dll dll. Tolong ke psikiater. Penyakit mental ada konseling nya, ada terapinya, ada obat psikotropika nya. Satu lagi. Jadilah manusia mandiri. Bila baby boomers berkata kamu beban, tolong, pergilah, minggat lah, perjuangkan makan dan tempat tinggal mu sendiri. Semangat.
Jepang(Nippon) dulu, ga seperti Jepang yg kita kenal skg.
Setelah hiroshima dan nagasaki di bom jepang kalah mental. Normal.
Buat yg ga tau kejadian itu seperti jentikan jari thanos.
Kejadian tab ga berlangsung selama bertahun2 atau berminggu2.
Cuma 1detik. 1detik setelah jatuhnya nuklir merubah semuanya.
Lalu gmn jepang bs seperti skg? Mudah.
Jepang melakukan pembantaian besar2an ke pd semua orang yg ga berguna.
Klo pernah nonton film jepang yg judulnya "Battle Royale" ya film itu di ilhami ama kejadian ini.
Setelah kejadian ini profesor dijadikan guru sekolah dasar(sampai skg).
Klo di jepang profesor ngajar anak sd.
Alasannya?
Karna mulai dr sekolah dasar pola pikir di bentuk.
Saat udah masuk smp atau sma apalagi kuliah, pola pikirnya udah terbentuk. Merubah pola pikir orang bukan hal yg mudah.
Finlandia lebih gila lg😁
Finlandia negara dgn system pendidikan terbaik di dunia.
Jauh diatas inggris, amerika, jepang maupun russia.
Di Finlandia sejak masuk sekolah dasar, anak udah disuruh milih mau mata pelajaran apa yg kelak mereka pelajari disekolah dasar.
System yg sama kayak diperkuliahan 😁
Ga usah heran klo anak sma(sekolah menengah akhir) di finlandia lebih pinter dr orang yg punya gelar Magister S2 di negara2 lain😁
Jadi klo si anak ngambil kelas otomotif/kesehatan, maka total saat lulus kelas 3 sma, anak tsb sudah belajar bidangnya selama 12Tahun😁
12Tahun mempelajari bidang yg sama? Dia udah jd pakar😁
Makanya anak finlandia jarang yg mau kuliah di luar negeri.
Karna masuk universitas diluar finlandia(harvad sekalipun) otak anak2 finlandia ini udah jauh berbeda cara kerjanya dr anak2 di negara lain😁
Ini jadi ga fair.
Jd ga usah heran klo kerja jd tukang sampah, kuli atau assiten rumah tangga dan pekerjaan fisik lainnya di finlandia bayarannya mahal.
Alasannya ya karna ga ada yg mau pekerjaan ini.
Sementara pekerjaan2 ini amat dibutuhkan.
Banyaaakkk yg super manja atau Pemalaassss trus belaga stress atau sakit jiwa supaya bisa di fasilitasin ortu dan keluarga buat refreshing sana sini dan Ga kerja 😅
@@happycolmek3921 jangan lupa pola asuh dalam keluarga. Di Jepang, wanita banyak yang mengundurkan diri dari pekerjaan begitu mereka punya anak sekalipun berpendidikan tinggi. Full jadi ibu rumah tangga sehingga pengasuhan anak bisa lebih optimal. Jadi ibunya cerdas
membentuk generasi yang cerdas pula.
Finlandia lain lagi. Saya pernah nonton suatu tayangan dokumenter di TV, 1 kelas itu siswanya paling banyak 15 anak dan diasuh oleh 3 guru per pertemuan (mohon dikoreksi jika keliru). 1 guru menjelaskan di depan, 1 guru dampingi dengan berkeliling kelas, 1 lagi di belakang untuk dokumentasi/membuat catatan2 sebagai bahan evaluasi.
Jadi yah agak sulit memang untuk dikomparasikan output disana dengan disini jika prosesnya saja berbeda jauh.
@@happycolmek3921 jangan samakan pemerintah membantai warganya yg ga berguna dg orgtua yg memnyingkirkan anak mreka krn ga berguna.. anak itu gmn orgtuanya dan sdh sepatutnya bertanggung jawab.. lagipula klo ekng bnar jepang speti itu kan hny saat moment di buklir saja sudah tdk ada lg pembantaian sprti itu lagipula dlu angka penduduk itu berlebih krn biasanya sebagian mnjd penjajah bgitu di nuklir jepang tdk menjajah lg dan memilih untuk mmperbaiki negaranya dr sna tentara penjajah pd pulang byk lah lg penduduk sdgkan lahan jepang itu kecil
@@iins9794 dlu mngkin sprti itu tps krg para wanita jepang udh pd sadar sulitnya brumah tangga dan mncintai karir mreka.. klo ada pun ttp mnjd wanita karir udh ga full irt ky dlu.. tp kbanyakan lbh milih tdk menikah, tdk pny anak dan fokus pd karir krn smakin byk saingain penduduk sdgkan lahan jepang kecil jd harga disana smakin mahal
Dear Prof. Rhenald K., terima kasih atas paparannya, sangat menarik, dan saya sebagai orang yang lahir di era 1995 - 2000 merasakan sulitnya hidup dan disaat yang sama mencari cara terbaik untuk mengatasinya. Dari paparan prof, saya memiliki beberapa tanggapan.
1. Trend mental health yang muncul tidak dibarengi oleh dukungan fasilitas mental health itu sendiri. Saya menderita depresi, didiagnosis oleh dokter, dan mengalami ragam suicidal episode, dan merasakan sulitnya mendapatkan penanganan yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Saya rasa kasus ini juga yang membuat budaya self-diagnosis menjadi-jadi, psikiater dan psikolog sangat sulit dijangkau, kadang dokter umum BPJS juga menolak memberikan rujukan dengan memberikan solusi "tradisional" seperti "dengarkan orang tua" atau "berdoa", sedang si pasien berusaha mendapatkan akses ke psikiater yang terlatih untuk melihat masalah dari keilmuan dan pengalaman, bukan sekedar pengalaman. Saya menghabiskan 8 juta uang jajan dan kerja sampingan saya hanya untuk konseling ke vendor yang memberikan terapi yang baik. Tapi dari situ, saya mengerti makna healing, dan menyebutnya penyembuhan/meditasi, dan itu bisa dilakukan beragam: Shalat, menggambar, membaca buku, berjalan/jogging, dst. Tidak mesti ke Bali/ke mall/kopi senja manja di Cetarbak/atau apapun yang anda inginkan disini.
2. Ketika menghadapi orang yang suka berkata "saya mahasiswa teknik dulu, ke sekolah mendaki gunung, lewati lembah....", saya lebih suka mendiamkan, karena saya hidup di masa berbeda, dan tidak mungkin membanding-bandingkan, karena isu dahulu berbeda dengan sekarang. Meskipun sama-sama uang, saingan nya tentu berbeda dan karena kemajuan teknologi, saingan menjadi lebih jauh banyak. Dahulu ribuan pendaftar masuk ke Pertamina (1992), mendaftar, hadir di interview, tantangannya adalah background check dimana silsilah keluarga di cek, titik butanya adalah tes dicek manual, jadi untung-untungan, kadang, kalau penilainya ngantuk, bisa salah nilai. Sekarang tidak ada background check, tapi tes digital, lewat portal rekruitmen, jawaban harus diskret dan pasti. Kadang hal yang kita banggakan dulu bisa jadi dianggap salah sekarang dan dievaluasi, apakah mereka pantas dipanggil "pelembekan"? Saya juga ke sekolah naik mobil, masalahnya macet, kadang turun di depan jalan besar, harus nyebrang sendiri, harus hati-hati kalau jalannya padat. Dosen saya killer sekarang ngeri-ngeri sedap, evaluasi kinerja dosennya dibaca BAN PT dan Kemendikbud, pengajuan guru besarnya bisa terhambat, sering kena kritisi dekanat, bahkan ketika dia dekan, kena semprot rektor karena kelakuannya muncul di laporan lapor.id. Di era Scopus sekarang, dosen killer itu kelimpungan nyari mahasiswa yang mau kolaborasi sama dia, tapi pada emoh karena tahu kelakuan beliau, akhirnya susah dapat penerbitan Scopus. Dulu hanya cukup ngerti literasi, sikap keras menghadapi mahasiswa, dapat senioritas, dihargai. Sekarang? Pola manajemen melihat senioritas justru merusak ekosistem kerja, dievaluasi, harus kolaborasi. Setiap zaman ada masalah, dan sama susahnya.
3. Coba cek paparan psikolog Elly Risman, S.Psi., psikolog senior, di YT, mengenai dosa parenting. Salah satunya adalah membanding bandingkan. Kasus saya, dulu saya dibandingkan dengan anak tetangga yang pialanya segudang, pernah ke Filipina untuk kompetisi matematika, tapi ternyata sekarang? Dia hamil diluar nikah, gagal S1, dan akhirnya bekerja di toko. Apakah saya merendahkan? Tidak, beda cerita orang tua saya, terdiam dan malu sendiri. Perbandingan bukan jawaban. Orang tua wajib dihormati, namun bisa salah. Disini harus ada legowo orang tua dan kemampuan anak berkomunikasi, dan mencari solusi.
4. Salah satu yang saya sadari adalah keharusan menyadari bahwa kesulitan itu adalah bagian hidup, dan kadang menerima perbedaan itulah kuncinya. Melihat IK flexing, memang bikin panas hati, dan ingin ikut-ikutan. Tapi saya terima, dan lihat gimana dia ujungnya? Kesulitan paham matematika membuat saya mengerti intuisi dibelakangnya, yang membantu saya meneliti bidang ilmu Statistik dan Data Sains skg.
Mohon maaf panjang, terima kasih Prof. Rhenald atas paparannya.
"Lah lu masih mending,nah gw" gak tau kenapa seolah-olah siapa yang paling menderita dia paling menang , malah jadi adu nasib
I feel you
Luarrr biasa pencerahannya terimakasih prof 👍👍🙏
Terimakasih analisanya,,jadi bertambah wawasan saya🙏🙏🙏
Setuju, membanding2kan itu bikin anak jadi kompetitif pengen terlihat bagus dan lebih tinggi, tp sekalinya gagal, jatuhnya banget sampe minder (pengalaman sendiri). Tapi bisa bilang apa ke orang tua, mau marah juga gak nyaman 😩
Gw juga di generasi yang sama. Entah kenapa video kali ini jadi mempertebal jarak antar generasi.
-dengan merendah namun secara tidak tulus (menyamakan orang tua self diagnosis dengan anak muda self diagnosis) kerasa kok analogi itu cuman untuk mengambil empati generasi muda doang supaya gk dibilang ngejudge
-paradox jadi solusi untuk generasi muda tapi tidak bisa diterima jadi buat apa solusinya selain untuk membuat generasi sebelumnya merasa paling hebat "pada jamannya"
Padahal gw juga butuh sekali nasihat dan masukan dari generasi sebelumnya supaya tidak gegabah, tapi kadang jadi hanya berputar putar disitu ajh, jadi sulit buat gw menemukan mentor yang relevan (diluar orangtua dan Tuhan. Dikasih disclamer dulu)
Yaa tapi mungkin cuman preferensi gw ajh yg berbeda lebih suka cara nya gary vaynerchuk (garyvee) kalo kasih nasihat ke generasi muda
Saya salah satu org dari generation z atau biasa disebut "Stawberry generation", hidup saya sangat nyaman. orang tua saya membiayai kuliah, apa-apa dituruti, saya mau beli barang a b c sampai z mostly ortu bakal bilang iya. Saya sendiri juga sadar bahwa mental saya sangat lemah dibanding ortu saya yang bisa dibilang stoic dan sangat pekerja keras.
Tetapi saya menerima kelemahan saya dan mencoba untuk 'menikmati' nya. Saya selalu mencoba untuk present di lingkungan kerja yang 'kasar' dan dimana saya akan tahu saya bodoh di mana dan lemah di mana, supaya saya bisa belajar dari itu semua dan sebagai evaluasi buat diri saya sendiri. Karena saya merasa kalau kebodohan saya tidak terlihat nanti saya jadi sok tau dan sok pintar yang pastinya tidak bermanfaat.
Menurut saya, terkadang walaupun ortu pekerja keras, strict, dan mendidik anak dgn baik,, anak nya bisa akhirannya punya mental kuat dll tetapi ada juga yang anaknya malah tambah lemah dan manja. Menurut saya, di ujung hari tetap kembali ke anaknya sendiri,, kalau dia ada keinginan mau berubah dan lebih bersyukur semoga saja dia bisa lebih kuat.
Waaahhhh generasi strawberry model kamu jarang👍🏼👍🏼👍🏼👍🏼Punya Kesadaran sendiri utk jadi manusia KUAAATTT, MANDIRI tidak memanfaatkan smua fasilitas ortu utk jadi manusia malaaassss,GOBLOOK dan gampang menyerah,cengeng jg
Mantap kak, saya sendiri juga merasa bagian dari strawberry generation, jujur terasa berat buat menerima kekurangan diri sendiri dimana sering kali kalah dgn tekanan karna mental yg lemah dan cengeng, tp harus selalu ingatin diri saya sendiri, yuk berjuang, hadapi, jangan lari dari masalah, semua pasti akan terlewati
Wkwkwkwkwk lu pada kenapa si
hello fellow gen z..
You're so cool! Semangat terus yaa pertahanin sikapmu!
Saya anak yg lahir tahun 2000 an. sedang dihadapkan juga dengan teman2 dan adik2 tingkat yg berkemungkinan melakukan self diagnose. Jujur, menurut saya ini terlalu banyak. Self diagnose ini emg harus segera dihentikan, bahaya nya apa? orang orang yg sudah mendengar keluhan terlalu banyak tentang depresi, qlc, dsb nya menjadi risih, karena mereka tidak tau mana teman yg benar benar butuh perhatian dan perlakuan lebih baik mana yg tidak. Sehingga seringkali (anggaplah saya) memperlakukan mereka sama, bahkan sampai nggak percaya sama yg bilang bahwa dirinya depresi karena sudah curiga duluan dia hanya self diagnose. bahkan dalam suatu organisasi kampus, saya dan 'pimpinan' lain di sana sempat mempertanyakan dan memperdebatkan kondisi mental adik2 tingkat saat itu, karena (sekali lagi) terlalu banyak yang seolah menghilang dari organisasi tsb dengan alasan healing. Mau bagaimanapun yang menjadi masalah adalah kuantitasnya. Terlalu banyak sdm yang menghilang sehingga organisasi menjadi tidak jalan. Kami marah dan bahkan jadi gak peduli terhadap adik tingkat kami yang beneran sedang menghadapi depresi dsb. Walaupun pada akhirnya kami tetap bersalah dan minta maaf untuk kejadian ini.
Selain itu, apa orang2 yang suka self diagnose dan bercerita di sosmed ini tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan teman mereka yang sungguhan menderita depresi dsb? Mungkin saja mereka (orang2 dengan isu kesmen sungguhan) merasa dunia semakin tidak adil karena memberi perhatian ke orang yang "salah" menurut mereka. Sedangkan mereka tidak mendapat perhatian yang pantas walaupun apa yang mereka rasakaan sebenarnya jauh lebih buruk daripada apa yang orang orang ini ceritakan di medsos. Mereka akan semakin merasa kesepian dan dunia salah menilai orang. Karena menurut saya pribadi orang orang dengan isu mental yang didiagnosis langsung oleh psikolog/psikiater kebanyakan menutup2i apa yang sesungguhnya dia rasakan dari publik. Jadi, mereka akan hanya semakin terpuruk dengan pikiran mereka sendiri.
Saya pribadi sejujurnya mendukung sekali konten2 seperti ini, yang berusaha untuk memberikan edukasi untuk jangan over glorifying isu kesmen ini, ada banyak bentuknya. Akun yt lain mungkin seperti Hasan Askari. Ada juga yang bentuknya sindiran2 kayak bang Oza Rangkuti di Podcast Kesel Aje. Saya mendukung mereka, tanpa sedikitpun mengurangi empati kepada teman2 dengan isu kesmen, karena saya cuma ingin buih buih di lautan berkurang biar ikan ikannya keliatan. Terimakasih semua, semangat melanjutkan hidup 😇
Siklus hidup manusia
1. Cari duit sampai stress
2. Buang duit buat healing
3. Kembali ke no. 1
Juara di kelas belum tentu menjadi juara dalam kehidupan. Tugas kita adalah menjadikan manusia-manusia juara dalam kehidupan .
by Rhenald Kasali.
👍🏻👍🏻👍🏻
dulu umur 45 tahun masih merasa muda, masih semangat hidup, sekarang anak umur 25 tahun malah merasa udah tua, merasa sudah diakhir kehidupan.
Flexing + Self Healing + Quarter Life Crisis + Pengen kaya cepat lewat Crypto dan Binary Option = *Cara Hidup Sukses Jaman Now*
Prof, menurut saya, sebagai kelahiran 90-an yang sering disebut "millennial", fenomena anak muda dengan "Strawberry Generation" ini terlalu dibesar-besarkan, tentu saja beberapa orang dengan deskripsi yg disebut oleh Prof Rhenald itu benar ada, namun populasinya sangat kecil, tetapi karena kekuatan social media yang justru meng-highlight orang-orang tersebut, seakan-akan banyak sekali populasi "Strawberry" ini. Kelakuan si "Strawberry" yang viral membuat beberapa orang (terutama yang bukan golongan muda) malah menganggap bahwa mayoritas kaum muda ini adalah "Strawberry".Di dalam sosiologi, fenomena prejudice terhadap golongan lain seringkali dibahas pada dinamika "In-group and out-group"
Bisa jadi di jaman dahulu, malah lebih banyak "Strawberry" ini, tetapi karena tidak ada social media, maka keberadaannya tidak dapat diketahui. Tentu saja perlu survey ilmiah untuk menelusuri hal ini. Namun memang banyak sekali yg disampaikan Prof Rhenald ini benar adanya, seperti maraknya self-diagnosis yg seringkali misleading karena mereka bukan ahlinya, memang beberapa orang yg mahir browsing sering kali terjebak oleh Dunning-Krugger effect, dimana merasa dirinya sudah ahli padahal hanya tahu secuil.
Ich stimme zu dir! 👍🏾
Gw ga setuju sama apa yang dibilang, pemuda remaja itu bukan robot mereka butuh istirahat, ga 24 jam sekolah tugas PR terus hidup isinya, lu yang udh pada tua mikir dong jangan merasa si paling kuat.
bukan fenomena prejudice tapi stereotyping
Gw sebagai lahiran 99 krng stuju sama pelabelan "Strawberry Generation" krna mw gimana pun penjelasan prof, "strawberry generation" ttep punya arti yg negatif, ada unsur menyindir, aplgi smpai dijadiin judul buku edukasi..
kita dibilang anti kritik, trus apa bedanya dngn orngtua kita yg gbsa dngerin masukan anaknya? Masukan anak dianggep remeh krna dianggap masih kecil ga ngrti apa2.. pdhal disitu poin komunikasi antar anak sma ortu, makanya jangan heran kalau anak millennial krng bisa terbuka sama klwrga..
Mental gen Z dicap lembek,, krna aktivitas sekolah, kuliah, tmpt kerja rata2 nyerangnya mental bukan fisik.. kalau dulu mungkin lowongan kerja masih banyak yg fisik, skrng fisik udh keganti teknologi sama mesin, sisannya pekerjaan yg butuh ilmu pengetahuan, butuh mikir, butuh analisis, capenya lbh k mental bukan fisik..
Terutamanya mungkin masalah keluarga,, mnurut gw keluarga yg jdi pondasi mental si "Strawberry Generation".. anak2 gen Z udah belajar parenting duluan sblum punya anak😂 belajarnya darimana? Dari tindakan orang tua mereka🙂 ada yg bilang kaum "Strawberry Generation" terlalu dimanja, justru kebalik,, kebanyakan dari kita ngerasa diabaikan, iya memang kita difasilitasin, kita dikasih uang jjan, tapi "sosok" orangtuanya tuh ga kita rasain.. makanya kenapa banyak yg caper di sosmed, caper marah2 ga jelas, caper nangis d kamar, yaa krna emg kita ga dapet perhatian n support orng tua..
Intinya semua fenomena pasti ada sebab akibat, coba diliat lgi lebih objektifnya kenapa bisa ada si "strawberry generation", coba diliat dari perspektif yg beda skalipun ya agak ssh, krna emg udh jadi kebiasaan buruk d kita mh ngedebatin perasaan n pengalaman orng teh🙃, pdhal it hal yg valid gbsa didebat..
Kesimpulan:
Masa-masa SULIT akan menghasilkan manusia yg HEBAT
Manusia yg HEBAT akan menghasilkan Masa-masa yg NYAMAN.
Masa-masa yg NYAMAN akan menghasilkan manusia yg LEMAH (Strawbery Generation)
Manusia yg LEMAH akan menghasilkan Masa-Masa yg SULIT.
.repeat that hingga akhir zaman
mengeluh overthinking, depresi dll tapi di aktif sosial media, sementara adiksi sosial media sendiri masalah mental health yg ngga disadari, blm lagi adiksi games dll.
klo merasa ada masalah dgn mental health ya konsultasi ke psikiater, menghentikan aktifitas sosial media dan adiksi2 lainnya fokus ke hal2 yang bermanfaat. terima kasih prof pencerahannya.
Sosmed sih parah banget dampaknyam... utamanya Instagram dan si Mark Zuckerberg pun mengakui akibat dari perusahaan miliknya banyak orang jadi depresi.. setelah beberapa kali melakukan perubahan.. sekarang malah tiktok yg memonopoli pasar dengan algoritma nya😅🙈
konsultasi ga segampang itu. biaya dan juga persetujuan dari orang tua belum, klo orang tua ga izinin ya gabisa konsul juga belum pulak dikatain gila.
@@rrosachinensis setuju banget, masih banyak perspektif yg sempit mengenai "konsultasi ke psikiater"
"Dewasa secara fisik tidak selalu menjadikan seseorang dewasa secara mental."
Masa Kecil yg Berat, Mengasah Kita Menjadi Pribadi yg Kuat 🔥🔥🔥
iya dah masa keci llu emg yg paling berat dan lu adalah orang dengan pribadi terkuat sedunia
Benar sekali, hidup dimasa lampau jauh lebih sederhana dan tidak banyak kealay.an yg terjadi digenerasi milenial. Termasuk saya. Yg masih umur 27 ini terkadang jenuh dg apa yg ada hingga membatasi diri dgn yg namanya sosial media.
Kekurangan adalah rahmat bagi yg mngambil hikmahnya
Jangan salah didik parents🤣😂🤣😂 mereka akan menjadi generasi PEMALAS karena dibesarkan dengan segala “kemudahan” saya bersyukur orang tua saya membesarkan dengan sikap yang tegas dan keras hingga membentuk jiwa berjuang saya untuk menghadapi hidup. Thank you Prof.. selalu mendapatkan “ilmu” setiap hari 🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Saya pernah mengalami depresi waktu kuliah (usia 20 tahun). Selama 6 bulan jarang masuk kuliah, hanya tidur2an di kamar kos dan bahkan ingin mengakhiri hidup. Itu datang begitu saja tanpa pemicu dalam hidup saya yang sebelumnya baik2 saja(Teman banyak, nilai IPK di atas 3, aktif berorganisasi di kemahasiswaan maupun gereja). Teman2 saya yg baik bergiliran mendatangi kos utk menengok saya, ada yg simpati, ada yg marah krn menyangka saya jadi 'malas', ada yg merasa sy udah 'berubah' dll. Setelah 6 bulan saya berangsur pulih normal spt sebelumnya. Nilai kuliah yg gagal bisa saya kejar. Menyibukkan diri dgn kegiatan2 dsb. Yg rusak permanen hanya hubungan saya dgn bbrp teman. Dan, depresi ini juga pernah berulang di usia 25 tahun dan blm pernah kembali saat usia saya skrg 30an. Saya tidak tahu apa penyebabnya dan mencoba manage dgn makan makanan bergizi, tidur teratur.
Saya merasa saya bukan Pemalas. Saya sudah terbiasa kerja 12-14 jam di kantor. Sewaktu kuliah juga cukup aktif. Tapi saya pasrah aja jika dicap begitu krn pernah depresi. Tokh saya tidak bisa merubah pikiran orang jika memang mereka tidak mau merubahnya.
Kata teman saya yang dokter otak adalah organ tubuh yg bisa rusak/sakit, seperti lambung, paru dst. Dan otak yg sakit dapat merubah perilaku dan emosi, perlu healing dgn obat, terapi.
@@HobiAI anda tidak malas
Cuma salah jurusan jdi hilang motivasi aja 😆😆
Healing itu diperuntukkan bagi orang orang yg lama ngalamin depresi dan ngga punya biaya untuk dapet pertolongan dari pihak profesional.. sampe akhirnya ngerasa empty and numb completely karena telat penanganan..
That's what I'm experiencing right now
Yang ke 6... ada kapitalisasi besar-besaran kata 'healing".. Contohnya adalah kapitalisasi yoga dan meditasi. Ada kelompok-kelompok yang diuntungkan dengan semakin boomingnya kata "healing."
Ya, memang generasi sekarang lebih mudah stress karena dibombardir oleh berbagai informasi, flexing dan iklan. Membandingkan diri dengan orang lain adalah cara yg paling mudah untuk depresi.
Tentu ada memang orang-orang yg benar-benar membutuhkan healing dan seringkali prosesnya tidak sebentar. Saya pernah berjumpa Seorang anak yg sering dimarahi di waktu kecil setelah umur 30an menjadi pribadi yg uring-uringan, mudah stress, dan sikapnya bermusuhan dengan orang tuanya. Dia perlu waktu yg cukup lama melalui meditasi dan dibimbing oleh bhiksu yg mumpuni untuk menyembuhkan luka-luka bathinnya itu.
Terima kasih prof, edukasi yg diberikan slalu memotivasi dan menginspirasi serta mampu introspeksi diri dari setiap materi yg prof bagikan🙂🙂
Nah ini bener sekali! It’s ok to take care of yourself and psychological scar does exist. Orang2 kek gini yg genuinely butuh healing
Ya betul meskipun kita gak boleh self diagnose, kita jg tdk bisa serta merta men cap bahwa smw org yg membutuhkan healing adalah org yg termasuk k dlm generasi lemah. Bisa jd jg di antara org2 yg merasa sudah dapat mengatasi masalah hidupnya kemudian merasa jumawa, sbetulnya ada yang 'sakit',hanya saja dgn cara yg berbeda, yaitu dgn bully org lain secara verbal krn ia anggap lemah, emosi tdk stabil dll. Org2 yg sbetulnya sakit tp merasa tdk sakit ini juga akan berbahaya krn dapat menebarkan perilaku negatif dan toxic yg dpt merugikan orang lain. Tp mmg betul kata2 self healing saat ini bener2 terlalu sering digunakan, jd seperti bagian dr agenda kapitalis
Salah satu cara agar ga menjadi strawberry generation, menurut saya adalah merantau. Pada konteks yg tepat, seseorang bisa melatih tanggung jawab dan konsekuensi dngn merantau. Sebelum merantau, tentunya ortu memberikan pendidikan nilai dan karakter secara maksimal terlebih dahulu.
Pengingat untuk non-strawberry generation: beliau jelas bukan termasuk dalam strawberry generation yg dibicarakan, maka yg beliau bicarakan sudah pasti lebih dari sudut pandang luar. Bukan berarti salah. Hanya perlu dipertimbangkan sudut pandangnya.
Hmmmm apakah sudah melalui proses diskusi alasan kenapa perubahan yg diusulkan itu ditolak? Reason kenapa misalnya peraturan itu ada? Lalu apakah kalau dengan segala proses itu dilihat sebagai sesuatu yg memuakkan maka akan ditinggal dengan "healing"? Lalu kalau memang melihat perubahan yg ingin dilakukan perlu untuk diperjuangkan lalu muak dan "healing" apa bisa terjadi? Ini sudut pandang saya yg strawberry generation. Apakah karena pertanyaan saya yg strawberry generation ini langsung valid karena keluar dari mulut in group sebagaimana pandangan strawberry generation Prof. Rhenald dipertanyakan karena beliau dianggap sebagai outgroup para generasi strawberry?
@@angelinazahra2 disclaimer dan pendapat yg saya sampaikan seharusnya terpisah. Kesalahan saya dan sudah saya edit agar lebih jelas.
Disclaimernya semata-mata untuk membantu mengurangi orang yg suka mudah menganggap benar suatu informasi atau pendapat dari narasumber. Saya pribadi beranggapan kalau video ini punya kemungkinan untuk disalah gunakan sebagai pendukung argumen tertentu. Disclaimer saya tidak menyatakan bahwa pernyataan narasumber salah, tapi disclaimer saya mengingatkan bahwa pernyataan narasumber juga tidak berarti benar dan mengingatkan penonton lain untuk hati-hati.
@@suryabejibun lalu benar atau tidaknya dasarnya apa dong?
@@angelinazahra2 kebenaran yg mutlak dan ga berpihak dalam topik ini ngga ada. Karena ini topik yg merupakan generalisasi. Ga bakal sama setiap orang.
@@suryabejibun wah padahal kita ngomongin fenomena sosial ya.
Rasanya menjadi “korban” is a new social status buat tarik perhatian hey look at me , please feel sorry for me. Yes depresi emank ada , trauma jg ada, cuma standard butuh healing beneran harus jelas biar pd gak bergaya sok jd korban. Thanks berat Pak Prof, video mencerahkan as usual.
Njirr bahasa jaksel
Kentut
or maybe they seek attention because they genuinely need help? i don’t think it’s right to invalidate someone’s feeling..
@@Alina-bl5jq sorry if my comment comes across as invalidating someone feeling. in original comment i mention depression, trauma do exist but we need clear threshold (ideally assessed by medical professional). Those people genuinely need help.
@@Alina-bl5jq naaa.....mereka cuma lemah dan sialnya mereka memilih TETAP lemah.
Gua generasi milenial (30 tahun) yg sudah punya anak berumur 3 tahun, menjadikan narasi prof ini sebagai acuan kelak membimbing anak agar tidak menjadi Generasi yg lembek dan Mageran 🔥
Depression is such an overrated word nowadays.
It's no longer a symptomp, but feeling, and feeling isn't a fact.
yeah people be telling they're depressed and stuff, when in fact it's just them overthinking on nonsense and being weak
Overrated doesn't mean it doesn't exist right? It becomes overrated since many are self diagnosing nowadays.
Depression need doctor help to diagnose due to such a big problem. If you just grunting on your problem then you are just lazy
@@KardusAquaa I'm curious, how would you be able to distinguish someone who's been clinically diagnosed with depression from someone who (according to what you said) is "just overthinking and weak"?
I'm asking this as someone who's been clinically diagnosed with depression for more than 5 years. And even I can't tell the difference
Feeling probably isn't a fact, but it's real. If we feel sad or fearful, those feelings are absolutely real 😅
"Hard times create strong men,
strong men create good times,
good times create weak men,
and weak men create hard times.”
The quote, from a postapocalyptic novel by the author G. Michael Hopf,
Siklus
beginilah bila boomer resah dengan anak muda
Saya rasa para orang tua harus menanamkan life lesson kepada anak²nya bahwa life is about process... it’s a jouney... and behind everything we get, there’s a process in it. Hal ini bisa diterapkan dan diberlakukan dalam segala aspek kehidupan. Bahwa untuk bisa mencapai sesuatu, sudah pasti terdapat proses... ada perjalanan dan lika likunya. ’Self thriving’ juga penting untuk membentuk karakter yang kuat. Salah satu contohnya, bukan berarti ortu dgn kemapuan finansial yg oke bisa memenuhi apapun dgn mudahnya... hal ini salah satu yang menyebabkan anak tidak memiliki daya juang. ’Send your beloved child in a life journey’ sangat penting, bukan berarti memunjukkan bahwa kehidupan ini kejam, tapi memperlihatkan mereka bahwa kehidupan yg sebenarnya memanglah tidak mudah, dan mampu menjadi problem solver, bukannya berkeluh kesah jika ada hambatan. Jadi mampu membedakan antara ”depresi” atau depresi, mampu membedakan realita dan halusinasi (sosmed). Selain itu yang tak kalah pentingnya juga literasi yang baik. Sebagai ortu juga tidak perlu berfikir ’jangan sampai anak saya susah’, bukan itu persoalannya... karena without sending our beloved child in life journey, they certainly will lack of life lesson, wich is justru itu poin pentingnya. Akhirnya hal tersebut dapat membuat mereka menghargai apa yg sudah didapatkan dan mampu untuk bijaksana.
Tapi banyak juga yang pengennya instant.
@@MascrisSensei yes that is right, kemungkinan besar krn orang tuanya tidak mengajarkan self thriving, jd tdk bs melihat realita kehidupan. Dari ortunya sendiri pun juga tidak/kurang paham mengenai hal tersebut, parahnya lagi ortunya pun menyukai yg ’instan’. Karena sejatinya bagaimanapun terbentuknya kaeakter seorang anak adalah dikarenakan ortunya, no matter what.
Mantap
Anjay bahasa kentut
"... mereka yang juara di kelas, belum tentu juara di kehidupan. Tugas kita adalah menjadi kan mereka juara di kehidupan..." Luar biasa sekali prof Renald. Stay healthy and relevant 👌👍
@Sandi R Maulana aku juga yg juara kelas rada kesel dengernya👁️👁️🙏🙏
Saya dulu waktu SMA juara kelas, secara gak langsung merasa kalau org punya ekspektasi lebih terhadap saya. Hal itulah yang menyebabkan saya merasa tertekan. Ketika melihat teman2 SMA saya udah pada nikah, punya anak, punya ini itu, saya masih gini2 aja. Kadang saya berfikir "Enak juga ya kalo jadi anak bandel dulu, org jadi ga berekspektasi apa2 dan ketika udh gede terus sukses, langsung dapet apresiasi."
Seiring berjalannya waktu saya juga sadar kalo ternyata hidup lebih sulit dibanding di kelas, gak memandang org itu Juara kelas atau bukan. Jadi saya berusaha menerima apa yg udh berlalu toh mungkin Allah mau saya jadi anak yg baik dulu di kelas, jadi juara kelas dll. Setiap org juga punya jalan yg berbeda-beda.
@@FarhanMErsal sama banget kek gue dr sd-sma juara kelas pasca kuliah bukan juara kehidupan
@@ayundav3 jadi malu sendiri gak sih kalo ketemu temen2 lain?
@@FarhanMErsal malu banget 5-7 taun aku menutup diri dari org2 di masa sekolah apalagi sama temen SMA. rata2 mereka udh punya kerjaan yg proper. sementara gw baru setahun kerjaan mayan udh phk aja. kan nangis banget kek gagal gtu idup
Yang beneran depresi klinis kena imbasnya. Maksud tren healing mungkin baik, untuk menghilangkan stigma negatif. Tapi, sekarang ngomong healing malah dibully dibilang manja/ikut tren -_- jadi males cerita kalo beneran ke psikiater
Saya setuju bahwa ada sebagian yang menggunakan istilah mental health sebagai alasan untuk 'malas', namun ingin saya tekankan bahwa bukan berarti semua penyakit mental itu cuma dibuat2. Mungkin contoh yang diambil agak terlalu menjurus ke satu opini. Di posting yang dijadikan contoh: 1. Bukan diagnosa dari dokter (psikolog atau psikiater), 2. Reasoningnya hedonistik, yaitu adalah kurangnya waktu untuk reward/bersenang2, bukan karena beratnya 'beban' yang ditanggung. Sepertinya dia cuma orang awam yang baru mendengar istilah2 psikologis yang lagi "trend" dan diaplikasikan sembarangan untuk dijadikan pembenaran. Apakah dia dimanjakan keadaan? Mungkin saja, bisa jadi ada banyak faktor.
Namun tolong jangan dijadikan ini sebagai satu2nya contoh untuk menyangkal isu mental health, karena penyakit mental itu ada. Banyak orang yang sebetulnya depresi, mengalami anxiety disorder dan gangguan mental lainnya, namun tidak terdiagnosa karena stigma (takut dihakimi, dicap lemah, direndahkan dll). Pola pikir "generasi dulu" pun membuat orang jadi enggan berobat walaupun sekarang ilmu psikologi dan ilmu pengetahuan lain sudah lebih maju. Jangan terheran2 kalau bnyk kasus self-harm, self-destructive behavior atau bahkan bunuh diri. Ini adalah penyakit, dan ada dokter spesialisnya. Suicide itu pun bukan hal baru, dari dulu pasti ada, namun teknologi dulu belum seperti sekarang yang hampir semua hal diberitakan dan didiskusikan. Kesannya jadi lebih banyak di jaman sekarang, padahal belum tentu, datanya saja yang kurang. Intinya mohon berobatlah ke dokter psikolog/psikiater bila Anda betul2 merasakan tekanan yang mengganggu kehidupan sehari2 Anda, apalagi suicidal thoughts. Ada konseling, ada terapi, dan di beberapa kasus ada juga obatnya.
Sangat disayangkan juga, orang terlalu terbiasa memakai istilah psikologi dengan tidak tepat sehingga membuat isu sesungguhnya kurang dianggap serius. Istilah depresi, self-healing, mental health terlalu mudah dilontarkan tanpa diagnosa dokter sehingga membuat mereka yang betul2 sakit seperti direndahkan.
Seperti di TikTok marak muncul 'psikolog' dadakan, baik itu soal parenting dan marriage 😜 padahal anaknya masih kecil2 atau usia pernikahan baru 2 th 😆 mereka berani ngasih nasehat bagaimana mendidik anak..dan bahkan ada yg ngajarin bagaimana hubungan mertua dan mantu 😂 lalu sering muncul soal toxic people/person yg harus dijauhi..pokoknya skrg banyak muncul 'filosofi2 kosong' deh
Mending itu udh nikah punya anak. Lha ada yg belum nikah, ada lg yg blm punya anak…udah macem plg bener aja. Terus gitu…senengnya liat sosmed2 psikolog terus mendadak merasa jd psikolog. Lengkap sudah mengguruinya. Kdg2 bikim gaduh sok heboh soal anak dan parenting…lha melakukan aja belum, kok heboh dewe…
strawberry generation ini kalo saya dan teman2 kantor bilang istilahnya "anak-anak kurang ospek". Lembek dan ga bisa dikasih tekanan haha.. as usual, pembahasan yang menarik dan bermanfaat prof..!!!
Anak muda sekarang memiliki sejumlah kelebihan & potensi yang tidak dimiliki generasi kita & sebelumnya, jika mereka berkenan memperbaiki hal-hal fundamental seperti mental & mindset, InsyaAllah mereka bisa menjadi penerus bangsa yang bisa kita andalkan. Aamiin.
sekarang mental health jadi ranah abu-abu, bisa jadi salah sasaran ternyata yang betul-betul terdiagnosis dianggap lemah sedangkan yang pura-pura dibaik-baikkan, memang yang betul-betul terdiagnosis mentalnya harus jauh lebih kuat lagi untuk menghadapi hal yang begini, terima kasih prof, mungkin memang harus usaha ekstra keras karena tidak perlu semua orang tahu kalau seseorang sudah didiagnosis oleh profesional dan memang memiliki masalah mental atau mengkonsumsi obat-obatan anti depresan... saya sendiri sudah terdiagnosis oleh psikolog bulan Agustus kemarin di Yayasan Psikolog Indonesia dan sepertinya memang harus jadi lebih kuat lagi...
Betul.
Yang depressed biasanya diacuhkan/dianggap lemah karena: ah Lo kan ga sakit badannya, masih bisa jalan, masih bisa kerja, masih bisa makan enak dll dst.
Sulit untuk terbuka kalau kita depresi. Biasanya orang akan bilang: mentalnya ga kuat, kurang ibadah, dll.
Yang bilang begitu, ga tau di luar negri sana isu mental health menjadi sesuatu yang mengerikan jika tidak ditangani dengan baik.
Yang destruktif ke diri sendiri: bisa bundir.
Tapi yg destruktif ke lingkungan juga gak kalah banyak. Banyak yang depresinya sampai ke halusinasi dan mengancam jiwa orang lain dan lingkungan.
Betul. Jadinya malah yg bener2 butuh bantuan ga terdeteksi dan terlambat pengobatannya 🥺
Sekarang yang paling sulit bukanlah mencari kepintaran, kecerdasan, pengetahuan umum lainnya, tapi yang paling sulit sekarang adalah konsentrasi yang tinggi
Konsentrasi mengerjakan tanggung jawab yang diberikan pada kita
healing adalah sebuah proses yang diperlukan untuk mengatasi sebuah luka psikologis di masa lalu (luka batin) -> penyembuhan agar bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik di masa depan
Saya jg sangat menyayangkan prof kenapa anak muda sekarang sedikit2 ngomongin masalah mental.sedangkan kehidupan yg saat ini dijalankan sebenarnya lebih komplex dibanding jaman tahun dibawah 2000an. Teknologi semakin canggih dan cara utk bertahan hidup lebih sulit seharusnya melahirkan anak2 yg lebih tangguh. Namun sayang keadaan lingkungan dan ortu mereka membuat sebagian dari mereka menjadi anak generasi yg kurang tangguh.
Ni semua gara gara marshanda ,netizennya jd lebay semua dikit2 healing ,klo mw edan edan aja ga usah ajak ajak ,mana pengikudnya 6jtaan,heran gw dikit2 diexspos , jamanku dulu klo ada yg begituan ,aku tendang pake bola kepalanya jd waras
Strawberry generation. Selalu menunduk ke bawah gadget. Sehingga saat mereka butuh bantuan, mereka tidak tahu siapa yang harus mereka cari, karena mereka tidak lebih banyak mendengar daripada melihat. Akhirnya mereka berupaya menyelesaikan sendiri dan tidak mampu melihat andil orang dalam penyelesaian masalah mereka, akhirnya stress sendiri, sakit sendiri, karena tidak tahu lagi apa yang harus dibicarakan karena dari kecil tidak tahu dan tidak terbiasa mempresentasikan (mengolah) energi (sanguin, melan, kole, pleg) otaknya.
Tapi harus tau : anak generasi Z berasal dari orang tua generasi Y.
Betul Prof, sy prihatin dgn anak2 muda skrg yg maunya santai, kurang fighting spiritnya & maunya dpt uang cepat lalu spending their money utk showing eksistensinya 😑 di kantor sy sering mengingatkan anak2 muda utk selalu berpikir bgmn meng-improve skill & knowledge dan menjadi org yg berguna at least bagi lingkungan sekitarnya bukan ber-lomba2 show off kekayaan.
Semakin ke sini, generasinya semakin manja Prof...
hadir menyimak pak, nice sharing video nya
Benar sekali Prof. Rhenald. Sekadar sharing, kadang banyak teman seusia saya (umur saya 37 tahun) suka mengeluh kerja dengan milenial atau gen Z (usia 23 - 28) itu susah. Tapi berbanding terbalik, justru saya sudah sering bekerja dengan generasi tersebut dan tidak pernah mengalami masalah. Karena teman-teman saya masih banyak dengan gaya lama (harus ikutin atasan, apa-apa suka dadakan, dsb). Intinya apa yang dulu kita tidak sukai dari bos kita mereka ulang lagi saja.
Untuk masalah mental menurut saya juga sebenarnya sama, orang-orang yang kuliah saja sudah mengeluh, sebenarnya memang dasarnya pemalas saja, tapi dibungkusnya saja dengan alasan butuh healing dan sebagainya.
Terus buat video ya Prof. Rhenald. Terima kasih atas ilmu-ilmunya.
Setuju banget nih sama masnya, ga dikit2 nyalahin generasi juga. Modern problem, modern solution.
37th masih termasuk millenial kelahiran 1981 keatas
Anda termasuk milenials
Ada jarak pembeda antara generasi millenial & Z yg notabene gaya, daya, & karya mereka dalam mengikuti zaman amat sangat berbeda, di zaman serba digital apapun bisa diambil pelajaran secara instan, era saya dulu kuliah (2007-2010) komputer & internet masih suatu yg wah dan sangat jarang.
Gaya Healing millenial pun saat itu masih bisa jalan2 ke daerah2 wisata (wisata blom booming) & kumpul bersama teman2 mhasiswa cukup di kost atau hang out makan bareng masih bisa ngobrol2 ngalor ngidul (minim penggunaan gadget) klo sekarang sekedar ngopi di warung sibuk ama hp.
Daya juang di jurusan yg serba nuntut melek teknologi (teknik) gk menyurutkan untuk mencari referensi secara manual (beli buku2, perpus, diskusi). Sedangkan sekarang hampir 90% daftar pustaka (karya ilmiah) berisi link internet.
Era yg berubah (internet) membuat semua beranjak berkarya secara digital, harusnya para ortu mulai sadar bahwa "beban generasi" akan "stunting pendidikan" juga berpengaruh terhadap kondisi mental & psikis anak muda sekarang. Pekerjaan, pergaulan, komunikasi, & interaksi yg beralih ke digital akan berdampak pada proses bekerja (karya) yg menguras banyak waktu di "satu tempat" (mager).
Bagi generasi Z yg memandang era millenial itu tdk menyenangkan namun mereka berdalih "mereka butuh healing" cukup dimaklumi kami pun punya beban yg sama berat "sesuai zamannya".
Haha itu yang aku rasain kak sebagai gen z, daya juang lemah dan dikit dikit ngerasa cape, bahkan di tik tok aku pernah liat ada anak yang komen "yaa ampun anak generasi sekarang lagi ngalamin hidup yang berat dan susah" Dan disitu aku mikir emang anak anak dijaman dulu ngga ngalamin hidup susah ya 😄
@@gongyunghoon3231 saya cukup memaklumi karena masa pandemi juga,justru effort gen Z di teknologi cukup besar, klo kami (gen millenial) habiskan waktu di gadget & internet badan kerasa sakit semua hehe...kebutuhan healing dunia nyata semua hampir sama tanpa terkecuali (liburan, hiburan, rebahan).
Saya gen milenial 34 tahun (bener gasih hahaha) yg sekolah lagi. Tapi saya justru senang dgn kemajuan teknologi. Karena dibandingkan dulu bikin tugas lamaa banget karena Wifi di rumah dan sumber Internet belum selumrah sekarang. Nah sekarang saya seneng banget karena apa2 gampang, tugas-tugas jadi gampang dan cepat selesai, waktu luangnya bisa untuk belajar sama anak dan ngurus rumah 😆
@@kumakun8201 tapi kerasa ga sih kak ilmunya ga terlalu nempel? Jaman kita dulu apa2 ke perpus, buku dibaca dulu baru dicantumin di skripsi. Nah ini tinggal browsing, baca dikit, copy paste, edit dikit. Kayaknya ga nyantol ilmunya. Kalo saya sih ya...makin banyak info di tangan (hp) malah kerasa otak makin bodoh. Ga cespleng kayak dulu.
@@putrik6498 itu tergantung... Ga semua orang suka dengan yang namanya metode 'copy-paste' tsb... Setiap generasi pasti ada sisi positif dan negatifnya, justru menurut saya dijaman sekarang lebih banyak sisi positif daripada negatif...
Kalau dimanfaatkan dengan baik, toh... Ilmu kita jadi jauh lebih cepat berkembang karena bisa didapatkan secara instan daripada jaman dulu
Terlalu byk informasi yg diserap oleh anak-anak muda jaman sekarang, terutama informasi ttg kenikmatan dan kemudahan hidup. Pada saatnya mereka menghadapi kenyataan kemudian mereka syok dan kaget. Lalu mereka jadikan kompensasi pembenaran thd ketidakmampuan mereka sbg sebuah depresi, mencari pelarian dr tanggung jawab dgn alasan butuh healing.
Saya ingin selalu tahu dunia generasi skrg krn anak memasuki usia remaja. Dan merasa bingung dengan anak2 sekarang yg sudah bisa bilang "i'm having an anxiety disorder atau i'm an introvert and i don't like people" dari mana mereka dpt istilah2 itu? Pastinya dr teman, medsos, dr selebritas yg mereka tiru, sgt mengerikan melihat bagaimana remaja2 ini memberikan pembenaran pd diri mereka, dan senang mengkategorikan diri tanpa berupaya itu bs diubah "o kamu ga suka ketemu org....kamu kan tipe introvert. Itu normal". Padahal di jaman remaja saya ingat betapa malu dam canggungnya saya dan teman2, tdk bisa memulai percakapan, takut bertemu orang baru, tapi kita semua termotivasi utk merubah diri, sekedar say hello atau lebih advance lagi ikut kegiatan sekolah dan dirumah agar mudah bersosialisasi tambah teman dan skill hidup. Yg juga mengerikan jaman skrg remaja byk mengidolakan bintang kpop yg artis2nya sy perhatikan spt mostly pesimis, banyak mengeluh, memuja penampilan, tidak mencintai diri sendiri, lemah, rapuh dan gampang sedih hny karena mendapat hate comments dan byk yg berakhir bunuh diri. Sampai sy bingung, apa sulitnya buang hape atau jauh dr medsos?? Sama sekali sy tdk paham dgn kegilaan anak muda pd medsos, seolah itu hidup mereka. Saya sampai cari2 cara agar anak tidak sampai lirik dunia itu. Dn ajak dia koleksi tintin atau harry potter sbg kegemaran, memperlihatkan koleksi novel2 saya, dn nantang dia bisa baca atau koleksi kaya gini ngga, agar teralihkan atau jangan sampai melirik hal2 seperti itu. Tantangan sbg ortu jaman skrg memang lbh berat ya.
Ortu yg hebat yuk kita doakan ank2 kita dan ank2 bangsa ini dan dunia lbh baik. Dg melupakan trauma pribadi pendidikan masa lalu dan mengambil yg baik pendidikan masa lalu. Persiapan diri kita untuk mendidik ank2 kita, di era lingkungan yg globalisasi Penuh ujian. Tdk ada t terlambat. Yg telah gagal , ank2 yg lemah ga tahan ujian, menyimpang dll. Bismillah mulai dr kita taubat memperbaiki diri mungkin ada yg slh pd pribadi ortu dlm mendidik, bersabar menghadapi ank2 ini.
Para org tua harus mendengar ini utk membekali anak2nya dgn ilmu agama dan hidup sesuai dgn kemampuan org tua, dan org tua yg materinya berkecukupan tdk memanjakan anak secara brlebihan.terima kasih pak reynald,related sekali dgn situasi pada saat ini
Ilmu agama? Ntar KENA CABUL...🤣🤣🤣
Boro2 dengerin,sibuk mikirin makan makan makan
@@suharmuhaimin3757 anti banget sama agama bang
@@muhammadesa1589 ateis dia
@@suharmuhaimin3757 waduh ternyata ada juga penonton prof reynald yg sedangkal sampeyan
saya akan ajarkan ke murid-murid di kelas. strawberry generation. Terimakasih Prof.Rhenald
Bagus pak
Trims prof 🙏
Siapp Prof, many thanks for this great video, saya sejak kelas 4 sd sudah kerja, sampai selesai S3 sambil kerja, beruntung bisa dapat beasiswa sejak SMA sampai S3, saya pribadi menikmati semua proses, tdk terpikir perlu healing ... Semoga bisa membagikan pengalaman ini utk anak cucu saya mendatang ☺️🙏🍊salam sehat selalu untuk kita semua.
Ini hebat. bisa di contoh dan diteladani. Alhamdulillah.
Kereenn
Sama sama terima kasih, seperti yg prof sampaikan, saat kita bisa mengenali dan mengukur diri serta lingkungan, seharusnya kita akan bisa lebih santai menikmati semua proses yg ada, saya juga masih terus belajar hal ini ... keep happy semua.
Apakah ini contoh caper? Dan butuh pengakuan?
@@mrrose9862 bisa jadi
"Berikan pendidikan, bukan semata-mata pengetahuan", setuju banget dg Prof. Rhenald.
Wah, pas sekali Prof 👍
Kebetulan saya sdg menghadapi mhswa2 teologi yg jg mulai terkontaminasi istilah "healing"😊
Sedikit2 perlu "healing"..
Sementara mereka dilatih utk mengalami healing yg sejati dari Tuhan.. 😊
Setuju Prof, saya dulu jg stress dg materi kuliah krn merasa salah jurusan, tapi saya tetep berjuang sampe akhir walaupun molor 3th
Ending nya stlah lulus, bahkan setelah menikah ilmu yg saya dapat sangat berguna karena saya bekerja di bidang yg mana salah satu mata kuliah saya pelajari 😊
Solusi saya klo sumpek dg kuliah, refreshing sedikit..ga usa jauh2..nonton tv, main hp, tidur itu sdh salah satu penghilang rasa jenuh
Mirip dengan saya, Mbak. Cuma bedanya, hebatnya Mbak bisa berdamai dengan itu (salah jurusan), tapi saya sampai sudah lulus masih belum bisa berdamai dan cenderung menjauhi itu. Saya malah pindah haluan sekarang ngejar bidang yang dulu saya minati. Jujur, lebih struggle rasanya krn ngulang dari nol lagi. Mau tanya, Mbak meskipun dulu salah jurusan, gimana cara berdama dengan itu? Saya masih sukar berdamai, ntah karena saya idealis atau apa
@@datanerd8534 simple sih mbak...cm inget biaya klo pindah jurusan apalg sampe pindah kampus itu ga murah..jd saya memilih bertahan aja
Sama mba, rasanya itu seperti benci untuk mencintai dan molorny jg sm smpe 3 tahun 😅.
Kalo sy justru benci dan menghindari dengan eksakta sejak SMA yg menjadi kelemahan sy, malah masuk jurusan komputer dr fakultas mipa. Semacam masuk kandang singa. Alhamdulillah selesai juga
Terimakasih Prof.
Atas penjelasan Prof
maaf sy teringat film A Beutiful day in Neighborhood, pesannya:
1.Mr Fred Rogers host acara menunjukan kegagalannya dl menyiapkan tenda, kegagalan itu dipakai Mr Rogers agar anak2 harus tahu bhw hidup ga gampang mereka juga harus siap gagal n meresponi kegagalan dg sikap pantang menyerah. " Suntikan itu sakit, tapi setelah itu ada kesembuhan".
2. Mr Rogers mengajarkan bahwa healing butuh waktu apalagi menyembuhkan luka batin masa kecil yg dl film ini dialami Lloyd wartawan yg menginterviewnya.
3. Mr. Rogers berpikir bahwa pendidikan anak harus seimabng ant pendidikan karakter n cognitive
A Beautiful day in Neighborhood, saya langsung ke youtube lihat DVD ini. Thanks Mr. F15 Kingtiger.
@@rosminazuchri9090 sama2 bu, sy kebetulan nonton di HBO family krn di internel sy itu paket gratis. Awalnya kaya boring ternyata film itu sangat bermakna. Sayang ga diputer ulang di HBO shg istri n anak sy belum nonton
Yang paling menjengkelkan dan potensi berbahaya dari Strawberry-Gen ini menurut saya salah satunya adalah kurangnya etika mrk.
Krn di era digital ini, anak2 itu kalo gak beretika di komunitas mrk ( yg mostly digital community), paling banter di-kick dr grup, tidak ada interaksi langsung.. akhirnya ketika berkomunitas di dunia nyata, mrk "lack of ethics" dan tidak paham bahwa konsekuensi di dunia nyata lbh pahit...
Bnr..anak2 era kekinian mnganggap org yg lbh tua itu kolot,kuno,katrok dsb ga asik
Kenapa bisa kurang etika?, Apakah karena kurangnya ketegasan orang tua dalam menangani hal tersebut?
Anak2 jaman dulu tau betul kalo gak sopan/beretika, konsekuensinya bisa kena hukuman baik fisik atau non-fisik..
Anak skrg krn banyak menghabiskan waktu di gadget, ngegame, dsb.. sebagian besar taunya "lack of ethics" ya paling2 kena kick dr member/grup
Ortu skrg krn "lbh enak" hidupnya (yg menurut saya berkorelasi lurus dgn "makin sibuk"), akhirnya memberikan kompensasi2 digital tersebut, dgn segala konsekuensinya...
Aslii...parah songongnya, soalnya gw ngerasain sendiri kerja bareng sm gen-z
Ini benar sekali apalagi kalo dari awal sudah salah diberikan contoh makin2 deh ga ada etikanya🙃
Saya Pribadi adalah Saksi Sejarah: Krisis Moneter, Reformasi, Kerusuhan (1997-1999), Perang GAM (2000-2004), Tsunami Aceh (2004), sebagai contoh Konflik dan Krisis yang Menempa Diri Saya, Coba bayangkan Generasi Manja Skrg yang mengalaminya, apakah masih mau bilang "Butuh Healing nih Bestie" 😀 Padahal Kondisi Skrg Jauh dr Kata Konflik dan Krisis 🙏
Alhamdulillah. Krn dulu sy engga kuliah sd selesai. Pas #1998 #krisismoneter tea. Apalagi Papa sy pensiun muda & bisnis tp ketipu. Jadilah sy wanti2 anak spy kuliah cari beasiswa. Krn qta engga tau umur orangtua. Gimana klo pensiun muda / sakit / wafat lebih awal ❓ Khawatir itu. Kuliahlah bidang agama. Krn #insyaallah jd bekel u hidup di dunia dan selamat sampe akhirat. Semoga #Allah mudahkan. Krn jarang sekali (engga pernah) ada berita #ustadz / #ustadzah yg harus healing, konsultasi ke psikolog krn stres, depresi, korupsi, dsb Wlopun hidup beliau2 engga selamanya mapan, terkenal . Banyak yg sederhana tapi tetep baik2➕bahagia2 aja. Beliau2 yg hrs dicontoh krn sifat sabar ➕ syukur atas takdirnya dan jd manusia yg bermanfaat u umat #masyaallah🙏
istilah healing trlalu disalahpahami prof. apa2 dibilang healing. liburan, refreshing, jalan2 dibilang healing. pdhl mgkn mksdnya cuma suntuk/bosen/sedih wajar
padahal itu smua akan menghabiskan finansial..lalu stres lagi krn uangnya habis hehe
Lanjutkan pak Rhenald serasa punya bapak yang berpendidikan tinggi dan kaya yang selalu mengingatkan anaknya untuk selalu semangat menghadapi kehidupan dan realita kehidupan 🙏
Saya dosen muda yg senang sekali mengikuti nasehat2 Prof Rhenald, banyak yg saya harus pelajari dari Prof Rhenald bukan sekedar pengetahuan tapi juga kebijaksanaan dan kedalam ilmu 🤲🤲
Orientasi materialistis bikin anak jman skrang mentalnya makin lama makin lembek, segalanya serba instan, pgn sukses terlalu cepat
Mungkin kita bukan butuh self-healing, tapi refreshing aja. Cooling down dlu dalam hal emosi supaya bs lebih siap menghadapi masalah dan tantangan. Refreshing ya sebentar aja, ga perlu cuti 6 bulan juga. Kalau kelamaan jadinya lari dari masalah. Refreshing aja cukup kok. Sederhana aja kayak ngobrol sama temen2, makan bareng di kantin, tidur siang sebelum begadang bikin laporan wkwkw. Dlu aku suka prokrastinasi sedikit dengan tidur siang dlu sebelum bikin laporan atau belajar utk ujian. Kenapa? Krn aku tau bakal capek, jd tenangkan diri dlu dgn bobo siang, supaya pas bangun udh lbh siap utk belajar dan menghadapi kelelahannya. Atau besok banyak deadline tugas nih, yaudah makan enak dlu sama temen2, ngobrol2 dlu 1 jam. Lalu pulang masing2 dan belajar. Kita perlu menyadari yang kita rasakan bukan butuh self-healing, tapi kita tuh lagi cemas karena suatu masalah. Harus kita hadapi meski cemas, takut, capek, lelah, stress. Harus dihadapin. Self-reward itu nanti kalau perjuangannya udh beres. Udh beres nih ujian 1 minggu, yuk main! Nongkrong di cafe, binge watching series pas weekend, atau pada saat itu favoritku adalah pergi karaoke sama temen2. Jadi self-rewardnya ya nantii setelah perjuangan selesai. Lbh baik ditunda dlu hepi2nya, selesaikan dlu kewajiban dan tanggung jawab kita, maka ketika itu semua beres, perasaan bangga bahwa kita bs melewati itu semua sudah cukup self-rewarding kok. Percaya deh 😊 karena buat aku self-reward itu artinya merayakan keberhasilan kita (dengan menghadiahi diri sendiri apa yg kita suka).
9:33 Perbaiki LITERASI. Setuju, Prof. Saat ini info hoax begitu mudah ditelan pengguna sosial media, padahal cukup mudah cari informasi pembanding. Bahkan foto bisa di-search dengan google lens. Tapi tidak dilakukan. Lebih lucu lagi, judul posting/narasi yang sudah dibubuhkan CEK FAKTA atau SALAH tetap dianggap sesuai dengan kenyataannya
Terima kasih Prof buat pencerahannya..Saya melihat begitu banyak orang muda di sekitar yg sedikit2 mengeluh capek, stres menghadapi hidup sehingga membuat alasan2 untuk tidak produktif..Saya sendiri seorang pekerja, tapi masih bisa melakukan banyak pekerjaan rumah di weekend, punya waktu utk olahraga di hari kerja, & bahkan masih bisa santai sejenak setelah mengerjakan banyak hal..Orang2 di sekitar lebih memilih rebahan atau tidur seharian di hari libur dengan alasan capek, padahal menurut saya kalau tidak ada pergerakan sama sekali maka akan membuat tubuh kita semakin lemah & banyak penyakit yg masuk..Saya lebih memilih untuk tetap produktif sebagai bentuk rasa syukur kepada Pencipta karena telah memberi kesehatan..Saya juga merasa hal ini bisa saya lakukan karena pola asuh org tua yg mendidik anak2nya utk tidak bermalas2an, lebih bisa menghargai & memanage waktu dengan baik..Saya juga merasa "malu" melihat orang2 lanjut usia, punya keterbatasan fisik, tapi malah lebih produktif dibanding org muda & sehat..Semoga semakin banyak orang yg tercerahkan & mengubah pola pikir serta kebiasaan buruk..Salam sehat & menginspirasi, Prof..
Saya sangaaat setuju dengan pendapat anda 👍
Nah....sy sgt se7 dgn anda 👍
Terimakasih banyak bapak telah mengingatkan saya. Saya mahasiswi usia 20 tahun, saya dibesarkan dengan pendidikan orang tua yang keras, tapi semenjak berkuliah saya menjadi semakin lunak karena merasa terlalu keras dengan diri sendiri dibandingkan teman-teman saya. Ditambah pandemi yang menyebabkan semuanya serba online, saya jadi semakin malas belajar. Lingkungan sosial dan media sosial menyebabkan saya takut terlalu keras dengan diri sendiri, tapi dengan video bapak saya yakin. Yang semula saya lakukan sudah benar
Mudah2an kelak saya bisa menjadi ortu yg Mampu membentuk karakter anak2 saya sbg anak yg mandiri dan berempati. Bukan mental dikit2 mewek, dan menjadikan uang untuk meraih kesuksesan alias nyogok ke calo. Semoga kelak anakku sholeh, pintar dan membanggakan. Aaaamiiin
Sy jg anak teknik ars 91, yg dpt tugasnya gila2an sampe nangis bombay. Kl jaman dulu ya dijalani aja sampe kurus, sakit typhus jg pernah. Sebenarnya jg perlu healing. Tp blm trend jd di telen aja tuh tugas2nya. Healing nya ya kl liburan semester balik hometown, ketemu temen2 SMA. Udh seneng bgt.
Tp menurut saya ngga bisa jg dibandingkan sm generasi anak saya skrg. Mereka jg tugas nya gila2an . Bny presentasi, bny buat video dll. Berat jg menurut saya. Mereka otaknya lebih cepet dan lebih kreatif kl saya lihat.
Dulu pake kalkir dan rapido, skrg mereka bisa gambar 3D dgn cepat. Semua berubah, semua bisa lbh cepat. Dan mereka bisa. Pasti mereka jg bny tekanan. Tiap generasi pasti pny tekanan beda2. Mereka perlu healing, gpp juga menurut saya. Sebenernya dr jaman dulu jg udah ada, cuman ngga diexpose aja.
Sistem pendidikan di sekolah anak2 skrg jg lbh bagus, tdk terlalu fokus pd hafalan dan nilai. Tdk spt jaman saya dulu. Jd menurut saya anak2 jaman now sama kerennya lah sm ky jaman dulu. Tergnatung bagaimana kita mendidik nya di rmh saja.
Senang mendengar obrolan nya Prof. semoga sehat2 selalu Prof dan keluarga 🙏
good motivasi, yg tdk dimiliki generasi skrng, adalah Ilmu Kehidupan, beda dgn generasi kt thn 70 an..
terlalu dimudahkan dalam banyak hal tidak disadari justru melemahkan.
Perkataan ini menjadi tamparan bagi saya, generasi yang mulai menua dan harusnya bisa turut membentuk karakter adik-adik serta anak-anak. Terima kasih Prof
1. Self diagnosis dan salah penggunaan kata
Over thinking >> quarter life crisis
2. Strawberry generation
Generasi yg lunak karena hasil didikan orang tua yang jauh lebih sejahtera dari zaman sebelumnya.
3. Narasi orang tua yang kurang berpengetahuan
Label yang kurang tepat : “Moody”
4. Lari dari kesulitan
1. Mengabulkan semua keinginan anak
2. Kompensasi waktu dengan uang
3. Tidak pernah menghukum kesalahan anak
4. Espektasi atau pujian berlebih
Inilah penyebab job di lapangan makin numpuk 😅. padahal banyak yang mengeluh gak punya pekerjaan + mereka hobi bener nyalahin orang lain gara-gara banyak permintaan job yang datang ke saya seolah-olah saya yang memonopoli pekerjaan padahal mereka sendiri yang nolak 😅. Pengalaman dilabrak "Strawberry generation " Gara-gara dia dicap " Useless" Ama keluarga + masyarakatnya 😅😅😅.
Paling sebel kerja dengan anak jaman now yg kadang kurang empati, pilih pilih kerjaan, wa nan, dan kerjaan agak banyak" buat besok ngga pp ya Bu🥲
"fenomena crazy rich - padahal sebenarnya mereka itu bukan crazy rich, tapi mereka hanya CRAZY saja!" 😮😄😄😄😁
Setuju prof. Anak Sekarang cenderung malas berfikir keras. Berfikir sedikit butuh healing. Healingnya liatin medsos orang2 flexing. Tambah Lemes deh hehehe
Saya merawat anak muda yg disable. Mental atau orang yg depresi atau sejenisnya dan saya banyak study banding ke panti" rehabilitasi dan alhamdulillah banyak belajar ke panti rehabilitasi prof alm. Dadang hawari yahh tak hanya lain selain dari agamalah yg membawa manusia itu lebih baik
Beda zaman, beda tantangan. Dulu tantangannya keadaan keluarga tidak sesejahtera sekarang tapi arus informasi masih lebih terkontrol. Sekarang keluarga cenderung lebih sejahtera, tapi arus informasi bener2 kenceng dan mudah diakses. Informasi bisa datang dari berbagai arah sekarang.
Beda tantangan, beda penanganan. Mengatasi masalah zaman skrg dengan metode zaman dulu nggak akan menghasilkan hasil yg baik, pun sebaliknya. Ini bukan hanya tantangan buat anak muda, tpi juga tantangan buat orang tuanya. Gimana caranya didik anaknya di zaman informasi serba mudah supaya si anak jdi anak yg tangguh. Prilaku anak setelah dewasa itu hasil didikan orang tuanya pas dia masih kecil. Jdi menurut saya klo sekedar nyalahin generasi z sepertinya kurang bijak, krna sifat generasi z yg ktanya jdi strawberry generation ini hasil didikan orang tuanya yg mungkin generasi baby boomer atau gen x.
Wkwk bener Prof. Dikit2 self healing, gue yang umur 27 udah selese s2 2 tahun diluar negeri gak pernah ngerasa stres. Malah pas s2 gak kerja cuma belajar tok rasanya kayak libur 2 tahun. Soalnya kerjaannya cuma belajar dan jalan2. Sekarang udah mulai kerja lagi. Bersyukur banget. Hidup harus emang disyukuri kita harus selalu berusaha liat sisi positif dari segala masalah. Kalo gue lagi ngerasa susah. Liat orang2 yang dibawah lagi, jadi selalu bersyukur.
Alhamdulillah
Kuliah itu emang enak kok.. tapi kalo perlu liat yg dibawah buat bersyukur sepertinya lo punya masalah. masa perlu poverty porn buat bersyukur, lu bersyukur ama masturbasi ego
@@wewegomb yg sy tangkap, melihat orang di bawah nggak melulu soal kemiskinan. Bisa jadi melihat orang yg ujian hidupnya lebih berat meski secara materi dia kaya.
Anak2 dan ortu sekarang banyak terjebak pada fix mindset. Ini problemnya. Padahal kalau kita memandang bahwa orang-orang semuanya bisa bergerak, emosi dan prestasipun asal mau berusaha dia bisa bergerak ke arah lebih baik. Terimakasih Prof pencerahannya. 👌👍
Aku orang awam denger prof ini hidup jadi terang benderang..👍👍👍👍👍👍
Aku gen z dan iya benar aku orgnya gk kuat tekanan. Skrg lg ngejalanin magang & jobdesk aku salah satunya melayani orgorg yg complain mulu:")
Jujur mental agak jatoh 'dijudesin' org terus hampir tiap hari:( But this vid reminds me to just enjoy&chill, cause other people have it harder and still laugh&havefun.
Semoga apa yg aku jalanin skrg nguatin aku kedepannya 🙏
Setuju sama Prof., self diagnosis itu berbahaya. Yang kurang setuju itu julukan strawberry generation karena dikit2 perlu self healing, liburan, hiburan dll. Ya paham tapi mungkin buat baby boomers akan bisa paham masalahnya, bila diibaratkan seperti ini. Dikit2 ngerokok. Kerja dikit, harus ada ngerokok 10 menit. Belajar di kelas sedikit, keluar bentar buat ngerokok. Sama saja. Itu model self healing jaman baby boomers. Sekarang beda saja bentuknya
Saya berusia 21 tahun dan saya rasa ini relate dengan apa yang saya rasakan. Terimakasih Pak, yang harus saya tangkap dan perbaiki adalah literasi dan harus bisa menghargai orang lain dengan karakter mereka yang berbeda keputusan mereka, dan apa yang tidak bisa saya ubah karena bukan dalam batasan kemampuan saya.
Poin yang besar dalam hal ini adalah, saya harus mampu mengatasi ego saya.
Terimakasih ilmunya, Pak.
Padahal di amerika remaja 16 th udh malu minta duit ke orang tua, dan orang tua juga kooperatif g mau ngasih uang juga scra berlebihan. "Kalo pengen barang yg pengen anda pengenkan" cari uang tambahan sendiri. Makanya bnyk remaja yg kerja part time. Salut, semoga para calon org tua sekarang pada sadar, jgn dimanja modal nangis langsu dibeliin untuk anaknya. Konsepnya bukan begitu
Masalahnya di mari jangankan kerja psrt time buat remaja atau anak kuliahan, yg buat full time aje susah..
.
Akhirnya banyak yg jadi selebgram, tiktokers, open BO lah, yg intinya duit nya cepet dan banyak tp gak capek
@@desiwulandari1049 klo mnrt sya mau kerja halal/ haram itu pilihan pribadi masing" sya no comment. Sy juga kurng tau latar blkng keluargnya dsb. 😊
Just put this here, "Hard times create strong men, strong men create good times, good times create weak men, and weak men create hard times"
Memulai hidup dg enak, jadi keenakan
*MANUSIA MEMPUNYAI KETERBATASAN,, KITA TIDAK BISA JADI JUARA DI SEMUA BIDANG KEHIDUPAN*
*- Prof RG*
Good topic prof👍🏻tanpa men-generalisir, ngomong dengan orang sekarang itu susah, meski gaya bicara saya sendiri masih banyak kekurangan, mereka so defensive, no humbleness, bahkan seperti orang tidak tau diri, tidak tau trima kasih
Bisa bersikap tanpa paham dulu duduk perkaranya🤧
Saya kira karena anak2 ini nggak pernah "rekoso"
Anak anak 'hasil' dari orangtua yang terlalu keras dididik dulu sehingga pada akhirnya mereka merasa tidak mau keras ke anaknya padahal keras dan tegas itu dua hal yang berbeda.
@@dhaniwidjayadi5421 ya, setuju
jawabannya cuma 1 om buat mahasiswa yg butuh healing atau pelajar yg lain karena mereka blom menghadapi problematik apa itu tumbuh sebagai "DEWASA" karena semakin dewasa seseorang makin ingin banyak belajar lagi dan problem its a tool to be adult.
maju terus om chanelnya ... jangan putus dalam memberikan pengetahuan yg gak di dapet di sekolah
"Keadaan sulit melahirkan org2 hebat, org2 hebat menciptakan masa2 sejahtera, masa2 sejahtera melahirkan generasi lemah, generasi lemah menciptakan keadaan sulit"
Siklus peradaban... 👍
Cakep
👍🏻
Dimedia sosial sering melihat kesenangan orang,karena orang lain selalu memamerkan kehidupannya yang serba enak dan menyembunyikan susahnya,hasilnya mereka yg terkena masalah sedikit merasa hidupnya paling susah.Berbeda dengan jaman dahulu yang dimana semua hidup apa adanya.
Ini semua tentang sosial media.
Mental illness itu menurut ku emang harus didiagnosis secara profesional..tapi aku ngerasa sebenernya org² yg self diagnose itu krn burn out bukan krn clinical depresi..
Menurutku burn out itu beneran ada..krn skrg aku lagi burn out banget..setelah 3 tahun kerja dalam isolasi..
Sebelum pandemik 1 tahun, 2019 aku kerja di philippine jarang pulang krn penerbangan jakarta manila gak enak..akhirnya hidup ku di manila cuma kerja hotel kerja hotel..gak punya temen di sana, berusaha hidup mandiri, enjoy pergi gym, enjoy sendirian scuba..
Lalu ketika project selesai 2020, dan mikir bisa balik ke jakarta, ternyata pandemik datang. Dan lagi² ada project di luar kota. Yg aku juga mutusin isolasi, gak pulang krn kerja di pabrik dan takut bawa penyakit ke org rumah.
Begitu project selesai, 2021 dikirim project lainnya di luar kota, yg lagi² aku mutusin gak pulang² krn tidak mau bawa penyakit pulang. Sampai akhirnya beneran aku terkena covid di luar kota tsb, yg harus isolasi hampir 2 bulan sendirian.
Setelah aku kena covid br berani sesekali pulang krn mikir sudah ada antibodi, dan selama PCR negatif, aku pulang. Tp ttp gak sering²...tiba² dateng delta, mutusin lg jgn pulang dulu krn varian covid aku dulu varian sebelum delta..
Jadilah selama 2021 juga jarang² pulang..sejak awal 2019 sampai akhir 2021 mungkin jumlah total hari aku di rumah gak sampai 90 hari..en ketika belum pandemik msh bisa gym, scuba diving, stelah pandemik hidup ku bener² hanya di kamar hotel dan kantor client.
Sebelum menuju puncak, akhir taon 2021, aku tiba² sakit²an terjadi gangguan gastrointestinal yg didiagnose dokter mgkn ada pengaruh dr covid kemarin. Krn aku tidak punya histori gastritis sebelum covid.
Setelah itu mulai down en mulai gak semangat kerja. Lalu tibalah puncaknya ketika aku mikir ambil cuti panjang untuk imlek, yg terjadi malah aku covid lagi utk k2xnya...ketika malam imlek isolasi mandiri, bener² nangis sejadi²nya...dan setelah itu aku bener² yakin aku burn out banget...lalu akhirnya mutusin resign sementara waktu...
Jadi aku percaya kalo burn out itu ada prof...tp aku gak akan bilang itu depresi...krn depresi harus clinically diagnose menurut ku...
Terus berkarya untuk membuat konten2 setiap harinya Prof Rhenald. Saya anak muda dan merasa sangat terbantu untuk kritis dan peka terhadap current issue karena channel Ini. Saya merasa seperti dapat kesempatan kuliah gratis di UI. Sehat terus Prof! God Bless!
mantap pak ...stay relevant,,,
dulu saya ga mau kuliah karena tuntutan hidup dan saya pilih kerja sejak umur 18 tahun tidak mau terima uang dari ortu dan bisa lulus kuliah dengan biaya sendiri sampai sekarang masih kerja alhamdulillah walau ada kesulitan tetap di jalani sampai selesai..
Setuju prof, saya mengadopsi cara 2 seperti yang prof katakan untuk mendidik anak saya. Pisau yang tajam ditempa dengan keras
Sama sih.. kalau prinsip saya ke anak, keras boleh, kasar jangan.. kalau dia jatuh biarkanlah bangun sendiri tapi jangan sambil diledekin, gitu lah gampangnya 😆
Manusia yg mau maju...adalah..orang yg selalu belajar mengikuti proses...dan cepat tanggap...dalam setiap..keadaan..masalah yg dihadapi..setuju..jangan..lari dari masalah..
Anak muda skrg maunya main cepat dan instan, ngk bisa di ajarin dan ngk tahan di proses & di Progres, turut prihatin jg😇