Kebanyakan orang aja kadang belum paham nggak udah lihat latar belakang pendidikan nyata nya banyak orang niat pengen sekolah tinggi kan biar gampang dapat kerja
itu masalah internet dimana". klo tau english speaking spheres internet sama aja bego di "populasi" yg lebih gede, contradictorian cuma karna pengen beda, ga percaya vaksin dan medis, masalah scientific ngasih sumbernya jarang dari jurnal cuma dari newsletter dll.
One person one vote mutlak benar cuma pertanyaannya apa penguasa mau cetak lebih banyak orang yg berkualitas sebagai pelaku demokrasi.. Jangan sampai penguasa sengaja pelihara/dikte kualitas yang bakal segitu2 aja.
Klo one man one vote perbandingan panji profesor dengan tukang kayu itu masih benar dan bisa diterima selama kita berkelakuan baik.. Menurut gw One man one vote yg salah itu kenapa orang2 Napi di LP bisa ikut voting padahal udah jelas2 mereka itu koruptor, pembunuh, pemerkosa, pencabul, perampok. Panji bicara keadilan yg beradab, lalu Apakah adil orang2 yg berkelakuan baik di masyarakat suaranya disamakan dengan mereka yg bermasalah di masyarakat..
@@panjul5071 memang yg di luar LP semuanya berkelakuan baik? misal, contoh yg lagi rame biar gampang, "pegi" dia diluar LP loh saat pemilu kemarin. Terus yg didalam LP apakah semuanya bermasalah? Misal, masih contoh yg sama, 8/7 orang pelaku kasus vina yg sudah di dalam LP, kalau trnyata nanti terbukti polda jabar salah tangkap? Mereka di dalam loh pas pemilu kemarin. Di dalam pun ada masanya nanti keluar, apakah manusia dengan title "bermasalah" ini melekat seterusnya? Bolehkah vote?
One man one vote itu sebenarnya ilusi. Emang bener setiap warga negara punya hak pilih, tapi yang menentukan siapa yang harus dipilih adalah lembaga negara bernama KPU. Bahkan partai politik yang boleh mengikuti proses di KPU harus mendapatkan restu menteri hukum dan HAM. Artinya elit politik lah yang menentukan peserta pemilu. Rakyat memiliki hak pilih yang terbatas.
panji mau mengalihkan masalah dari one person one vote ke pendidikan atau ke pelaku demokrasi, padahal masalah memang ada di demokrasi nya itu sendiri, mau kapan pendidikan bisa beres sedangkan vote ada tiap tahun dari mulai pilkades sampai pilpres. Sedangkan tiap vote para calon butuh dana besar, yang mereka ini akan meminta pada sponsor, dan para sponsornya adalah para kapitalis. Emang mau para kapitalis rakyat cerdas dengan pendidikan murah yang berkualitas? YA GAK LAH!
Ini jadinya mirip kaya isu yg pernah panji bahas tentang pemilihan presiden lewat MPR aja kaya dulu. Paham ga sih kalo masalahnya suaranya bisa dibeli, yang diubah bukan siapa yang bersuara, tapi bagaimana seseorang bersuara. Kenapa setiap pemilu butuh dana besar, karena pemilihnya melihat dari siapa yang ngasih bantuan(ngeluarin duit) paling besar. Yang diubah bukan jumlahnya dikurangin, kalo gitu malah tambah gampang dibeli. Kalo pemilihnya ga melihat dari harta, pemilu ga akan butuh dana besar.
@@orangbiasa1257 sepemikiran bang, kok ya banyak yg gak bisa nangkep? Urusan sistem tata kelola kita itu udah gak ada masalah, masalahnya di pemegang jabatan & pelaksana yang pinter aja cari celah buat ngakali/ubah regulasi, sistemnya US atau Uni Eropa atau Jepang kalo diisi pejabat kita juga bakal jauh lebih bobrok
@@orangbiasa1257 ya itu masalahnya panji terlalu mensimplikasi persoala, dengan mengarahkan masalah ada pada pendidikan atau tingkat pendidikan pelaku demokrasi, padahal masalahnya justru ya demokrasi itu sendiri.
"1 suara profesor = 1 org gila" Ini bukan ungkapan untuk "org yg beda pendapat dianggap gila" TAPI Ini beneran kejadian nyata loh bg panji Kenyataan nya rumah sakit jiwa kemarin ikut nyoblos dan kalian tau deh siapa yg menang di semua rumah sakit jiwa tersebut 😂
Yah terus kenapa? Jika seseorang bergelar profesor, apa dia mendadak gak punya blindspot? Justru orang berpendidikan tinggi biasanya spesialisasi di bidang tertentu, dan hasilnya malah tunnel vision.
@@lyq232 sesat pikir, lu pikir kalo orang pendidikan tinggi itu malah cuma melihat satu sisi? (gw gak ngomong profesor karena profesor bukan gelar akademis). Gw tetep berpatokan orang berpendidikan tinggi masih jauh lebih baik dari orang yang tidak berpendidikan. Secara kumulatif orang berpendidikan tinggi lebih sukses dari orang tidak berpendidikan. Untuk menjadi orang berpendidikan tinggi orang perlu belajar tidak hanya satu ilmu, ada banyak ilmu terlibat tersebut. Termasuk menulis, sosialisasi, public speaking, negosiasi, dll. Sekarang lu bilang orang tidak berpendidikan lebih baik dari orang berpendidikan tinggi bahkan orang gila lebih baik dari orang berpendidikan tinggi? Hahahah. Mengutip kata Pandji, "CUT THAT STUPID SHIT"
Oligarki tidak hanya ada di sistem demokrasi tapi segala sistem yang memiliki hirarki kepemimpinan. Di sistem kerajaan, oligarkinya adalah keluarga bangsawan. Di sistem komunis, oligarkinya adalah elit partai komunis.
Saya coba mencoba memahami keresahan tentang kelemahan one man one vote ini. Ketika masyarakatnya belum berdaulat secara ekonomi, belum berdaulat secara pikiran maka mereka akan menganggap persoalan demokrasi ini menjadi irrelevant bagi mereka, sementara pemberian bantuan sosial akan terasa lebih nyata manfaatnya, ujung-ujungnya ya politik uang akan menjadi massive. Persoalan lain adalah pragmatisme politik para tokoh/calon pemimpin, termasuk parpol yang hanya mementingkan soal angka kemenangan akhirnya sekedar memanfaatkan masyarakat sebagai lumbung suara, tanpa upaya untuk mencerdaskan atau mendewasakan cara berpikir masyarakat. Jujur saya semakin skeptis dan pesimis dengan daya kritisisme masyarakat kita. Gagasan tentang pembatasan terhadap siapa-siapa saja yang boleh terlibat dalam memberikan suara mereka untuk menentukan pemimpin bangsa ini kedepan itu layak untuk dipikirkan ulang (misal dengan argument orang gila suaranya dianggap tidak sah tadi). Ide saya misal membatasi usia pemilih menjadi 21/22 tahun karena pada usia tersebut pemilih diharapkan sudah semakin dewasa dan lebih mampu melihat persoalan bangsa kedepan, apakah itu soal penciptaan lapangan kerja, issue pengangguran, perumahan, dan lain-lain.
Lebih tepatnya adalah: sistem demokrasi saja dari dasarnya sudah bermasalah. Ditambah lagi dengan kualitas manusia Indonesia zaman sekarang yang sudah rusak, jadi mau dikasih sistem politik apapun ya ujung-ujungnya tetap aja bermasalah.
panji mau mengalihkan masalah dari one person one vote ke pendidikan atau ke pelaku demokrasi, padahal masalah memang ada di demokrasi nya itu sendiri, mau kapan pendidikan bisa beres sedangkan vote ada tiap tahun dari mulai pilkades sampai pilpres. Sedangkan tiap vote para calon butuh dana yang mereka ini akan meminta pada sponsor, dan para sponsorny adalah para kapitalis. Emang mau para kapitalis rakyat cerdas dengan pendidikan yang berkualitas? YA GAK LAH!
Setuju. Masalahnya ada di demokrasi elektoral, di mana kita memilih pemimpin dengan one man one vote. Ini bukan demokrasi murni. Demokrasi murni seharusnya dijalankan dengan undian, di mana kita, ya artinya gua dan elo, secara bergiliran duduk di kursi pemerintahan. Jadi kita semua memiliki kemungkinan yang sama untuk duduk di pemerintahan. Yang menentukan apakah kita bisa jadi pemimpin hanyalah undian, bukan koneksi apalagi keluarga. Apakah ada kemungkinan terpilih pemimpin yang buruk? Tentu saja. Tapi kalau sebagian besar rakyatnya berkualitas, kemungkinan besar akan terpilih pemimpin yang baik. Kalau sebagian besar rakyatnya hancur, ya gitu deh. Karena demokrasi tidak menjamin munculnya pemimpin terbaik, melainkan "getting the leader that they deserve". Karena pemimpin diambil dari rakyatnya sendiri. Apakah ini sistem yang terbaik. Masih panjang ceritanya, tapi paling tidak inilah esensi demokrasi sesungguhnya. Demokrasi elektoral sekarang sejatinya hanyalah sebuah tragedi karena rakyat yang punya kuasa menyerahkan kekuasaanya pada hari pemilu kepada pemimpin terpilih.
Sepakat!!!! begitu banyak orang yang kita kenal pintar justru mengkhianati kita. Permasalahan kita itu jelas bukan karena one man one vote, karena terbukti orang-orang pintar juga banyak yang bisa dibeli suaranya. Sebenarnya rasa empati kita yang kurang, saat pemilihan kita cendrung memikirkan diri kita sendiri. bersikap abai, bahwa suara kita bisa berpengaruh untuk masa depan orang lain.
@@saveandshare1138 betul sekali, komen diatas cuma ingin "menghibur" diri sebagai orang yang tidak berpendidikan dan kebencian terhadap orang pintar. Buktinya secara kumulatif orang yang bisa dibeli suaranya adalah orang miskin dan tidak berpendidikan.
menganalogikan profesor butuh laboratorium dan tukang kayu butuh hak2 nya sebagai tukang kayu mungkin kurang tepat. Profesor dengan ilmu pengetahuan dan kecerdasan berpikirnya "mungkin" lebih mempunyai kemampuan untuk mengupas dan menilai seorang calon presiden berdasarkan kapasitasnya apakah layak dan mampu mengemban tugas yang sangat rumit dan kompleks mulai dari urusan ekonomi, ketahanan pangan, teknologi, industri pertanian,pendidikan,kesehatan penegakan hukum, dll. dan Seandainya jika pemilu hanya melibatkan profesor2 mungkin terlihat tidak adil dalam kesetaraan kesempatan hak untuk berpartisipasi memilih pemimpin, tapi faktanya untuk saat ini dampak dari ketidaktahuan mayoritas masyarakat tentang idealnya seorang pemimpin justru melahirkan pemimpin yang gagal dalam menghadirkan hak kesetaraan dan kesempatan di banyak aspek
yang salah tuh kualifikasi jadi pejabat terlalu mudah, masa cuma kualifikasi umur doank. Jadi dokter aja harus ada kualifikasi yang tinggi, masa jadi pejabat cuma pake kualifikasi umur. Semoga kedepan ada kualifikasi yang tinggi buat pejabat karena kalo pilihannya berkualitas semua, maka mau siapapun yang vote tetep berkualitas karena pilihannya semua berkualitas.
Bener, bayangin Marshell yg eks anter jemput lonte, sabu, pembeli bokep terus hoki di 5 taun terakhirnya... Jadi populer... Dan tiba2 disokong partai pemenang presiden buat cawalkot. Ini yg bener2 gila
Dapat rekomendasi dari partai itu kualifikasi yang berat loh. Dan kalau mau fair, di Jepang kualifikasi untuk jadi gubernur tokyo aja jauh lebih mudah di banding jadi gubernur Jakarta
Mungkin argumen penolakan terhadap one person one vote terbilang cukup disproporsional karena kebanyakan orang yang milih di pemilu kemarin cenderung tidak melihat gagasan yang terukur. Jadi kaya ada semacam ketimpangan antara pemilih yang mempertimbangkan gagasan yang terukur dengan satu gagasan lain yang konkret, namun kurang terukur. Hasilnya ya beberapa orang jadi bingung, apakah masyarakat Indonesia pada umumnya punya pemahaman tentang sebuah gagasan.
Karena one person one vote adlh CARA yg SALAH/JAHAT dlm rekrutmen pegawai, maka TIDAK ADA Perusahaan yg MAU menggunakan CARA one person one vote dlm rekrutmen PEGAWAI tuk dipekerjakan a.l: sbg Pimpinan Pegawai, dll, termasuk tuk menjd NAHKODA Hal ini a.l agar: jangan sampai KAPAL (Negara) itu KARAM/HANCUR atau TIDAK MENCAPAI TUJUAN atau MENGANCAM KESELAMATAN seluruh orang yg ada didlm kapal (negara) tsb Itulah sebabnya, berbagai macam TEST, termasuk test KEMAMPUANNYA, KETERAMPILANNYA dan PENGETAHUANNYA tentang tujuan2 KAPAL (Negara) itu berlayar (dijalankan), dll itu SANGAT DIBUTUHKAN sebelum KAPAL (Negara) itu diserahkan kepada orang yg terbaik nilai dari hasil TESTNYA (yg tepat) Yakinlah, bahwa TIDAK semua orang itu MAMPU menjalankan tugas n kewajibannya dg baik n benar sbg Presiden RI, Wklnya, Menteri Negara, Kep. Daerah, Wklnya, atau anggota Legeslatif, dll, yg lebih banyak MENGUNTUNGKAN bangsa n negara RI sebelum ada BUKTI AWAL secara tertulis dari hasil TEST kemampuan/keterampilan, dll yg diikuti oleh se-banyak2nya CALON PEGAWAI Ma'af jika saya salah
Thanks para member yang baik hati. Mencoba untuk objektif. Kayanya banyak yg mempermasalahkan bobot suara dalam one person one vote. Menurutku masalah suara ini mutlak, semua harus sama. Why? Karena ga ada yg bisa menjamin sekelas profesor S3 pasti punya integritas. Pasti akan ada disproporsi kebijakan yang condong ke kelompok atau bahkan individu tertentu. Jangan lupa juga kalo kelompok tertentu "worth more", politisi bakal melihat kelompok tersebut dengan lebih seksi. Next, siapa yang nentuin voting power dari tiap "klasifikasi pemilih"? Apakah bisa ada jaminan mereka bakal objektif? Example: siapa punya voting power lebih besar, profesor dengan segala ilmu dan kebijaksanaannya atau pengusaha yang secara nyata menggerakan aktivitas ekonomi? Lastly, ada sebuah skenario yg kemungkinan bisa terjadi berulang-ulang. Let's say cuma profesor yg boleh milih. Di pemilu depan, para pengusaha yg menopang perekonomian protes minta vote, so they vote. Pemilu depan lagi, para aktivis yang merasa mewakili aspirasi rakyat protes, so they vote. And so on sampe ujungnya semua vote. Not saying bahwa one person one vote adalah sistem demokrasi yang sempurna, tentu saja banyak kelemahan yang juga bisa dan sudah dijabarkan panjang lebar. That said, I personally still think it's the best form of democracy and democracy itself is still the best system for a government.
Paling gampangnya liat saja negara lain. Negara2 demokrasi maju seperti negara2 maju. Apakah mereka menerapkan sisten one man one vote? Bahkan amerikapun bukan sistem pemilu langsung
Mungkin lebih baiknya setiap orang diberi poin. Misal, tukang kayu 1 poin, pengusaha taat hukum & pajak 10 poin, profesor yg kontribusinya besar bagi pendidikan 10 poin, dsb
Maksudnya bukan langsung dikotomi antara Profesor dan Tukang Kayu, lantas kemudian POV nya Profesor butuh laboratorium. Tapi wisdom nya, the way they think for greater good. Ga melulu di Profesor, bisa berbagai profesi. Problem nya kan menentukan siapa yang layak diberikan rights to vote itu
Jalan cepat tidak ada kecuali revolusi. Dan ini bisa jadi berdarah. Jalan lambat tentu saja pendidikan politik. Tapi bahkan ini pun tidak menjamin, karena para oligark tidak akan menyerahkan kekuasaan mereka begitu saja, kecuali di bawah todongan senjata
@@onisuryaman408 tepatnya revolusi pendidikan boss, bongkar sistem dan filosofi paedagogi, sesuaikan dengan jati diri bangsa (paedagogi humnistik paling relevan). Sisi revolutifnya, butuh anggaran sangat besar (50% APBN, berani?) dan fokus pada generasi yg sekarang masih balita. Yg tua2 udah lah, gak mungkin diperbaiki dengan cara apapun.
fakta masyarakat pedesaan banyak yg milih karena duit, dibandingkan gagasan. siapa yg berani kasih duit lebih banyak, dia yg dicoblos. mereka gatau dan gamau tau itu duit "modal" nyalon darimana dan bakal "balik modal" darimana. keluarga sepupu gue dapet hampir 1.5 juta anjir cash pilpres. ada yg berani kasih 200k per orang (4 org jadi dapet 800k), akhirnya kepilih sekarang. paslon lain yg dibawah itu ya gakepilih one man one vote, tapi banyak banget "man" "man" yg milih bukan karena gagasan, bukan karena visi misi, tapi karena duit. jadinya sekarang ya siapa yg punya modal paling gede, dia yg bakal jadi. simpel
Mungkin maksudnya adl suara orang yg tau betul ttg yg ia pilig dgn suara orang yg tdk tau siapa yg ia pilih itu sama.. sehingga ini dieksploitasi oleh politisi dgn uang besar utk menang. Krn biasanya orng tdk tau mau milih siapa, jatuhnya yg ngasih uang paling bnyak yg dipilih
One person one vote itu sudah betul karena setiap orang punya hak asasi untuk bersuara, dan hak asasi itu gak boleh dihalangi. Misalnya, orang-orang yang pegiat aktivis lingkungan berhak memilih orang-orang sebagai wakil di DPR yang menyuarakan soal lingkungan. Jadi, yang diperbaiki kualitas sumber daya manusianya melalui pendidikan, dan penyelenggara pendidikan di negara ini adalah pemerintah. Orang yang ingin menghilangkan sistem one person one vote ini biasanya adalah orang2 yg pro-monarki atau jika sekarang monarki sudah berubah jadi monarki konstitusional, bisa juga mereka pro sistem meritokrasi otoritarianisme. Jadi, negara hanya boleh dijalankan oleh orang-orang yang dianggap pakar, ahli, expert. Sementara orang-orang yang bukan dari kalangan itu cuma harus manggut-manggut nurut saja. Dalih pembenarannya biasanya 'for the greater good'.
Itu kembali ke tujuan anda bernegara apa? Kalau tujuan bernegara anda demokrasi ya lanjutkanlah seperti itu. Tapi kalau tujuan bernegara anda adalah kemakmuran dan kesejahteraan maka cara kedua terbukti efektif. China, jepang, singapore, korsel, dan srkg vietnam buktinya
Kalau saya; mungkin agak setuju dengan yang Mas Pandji bilang, yang memang harus dibenerin itu manusianya dulu, dibenerin apa nya? Pendidikan, Mental, Kejiwaan, Akhlak dst. Jadi ada istilah, nyaris tidak masuk akal jika akan muncul seorang pemimpin yang memiliki mental anti korupsi dari rakyat yang punya mental korupsi dan begitu juga sebaliknya. Pemimpin yang amanah pasti hasil dari rakyat yang amanah juga.
one person one vote setuju JIKA pemerintah menjalankan semua SILA dari PANCASILA. JIka semua rakyatnya di beri keadilan keberadaban dan keadilan sosial yang merata, one person one vote SAH...
terimakasih para member, jadi mengtahui sudut pandang baru tentang one man one vote. ternyata jika tidak menerapkan ini jadi terlihat lebih feodal pemilu kita ini😅
Ini sama kayak yg pernah diomongin Koch Justin dalam hal sepakbola piala dunia. Dimana negara kecil suaranya setara dengan negara besar menurut aturan FIFA. Yg mana itu gak cukup adil karena bisa aja ada peluang politik uang di situ. Negara kecil yg tentu secara keuangan sangat terbatas bisa aja dimanfaatkan oleh para petinggi FIFA demi melancarkan kepentingan mereka. Contoh, misalkan PSSI dikasih duit oleh FIFA untuk hal-hal seperti itu tadi?? Bukan gak mungkin untuk ditolak dong.
Dan kemudian alternatifnya apa? Yang besar dapat andil suara lebih besar? Jadi suara yang kecil gak signifikan? If the alternative choices are between giving more power to the elite few, or giviing even more power to the non-elite mass, then the status quo middle ground is the best for me
@@WORTELIMPORT t'was a rhetorical question to open up the path to the statement I was making. As far as democracies go, 1 man 1 vote is the most viable middle ground.
6:55 Ini bener sih, tapi gak harus seluruh professor juga, minimal screening gak harus whole population terlibat juga Sebenernya kita ini dilema antara mau kembali ke sistem Pra-Reformasi yang petahsn itu dipilih melalui MPR atau One Person One Vote yang semua population malah terlibat
mau demokrasi, mau komunis, mau sosialis, mau imperialis. semuanya bisa jadi utopia bisa jadi dystopia. tergantung kerkuatan peraruturan yang dibuat dan Self-interest pejabatnya.
Yang A berbicara tentang idealisme, yang B sedang berbicara problem di lapangan, seperti diskusi di kantor antara business analyst(harusnya gini) dan system analyst(prakteknya gak gthu) wkwkw. A menganalisa first principle nya adalah pendidikan, B menganalisa first principle nya adalah bobot vote nya dalam hal ini dari segi pendidikan. Mungkin perbandingan dengan orang gila hanyalah pernyataan bermakna konotasi, tapi B bukan pelawak. Mengacu pada pernyataan pembuatan undang-undang menggunakan vote dan diantara para wakil rakyat adalah setara dalam pendidikan minimal jabatan dan posisi, maka one person one vote harus nya bukan masalah untuk A dan B. B kemungkinan mempermasalahkan one person one vote untuk pemilihan presiden yang peserta vote nya beragam dari segi pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Video ini memberikan penjelasan yang bagus tentang one person one vote, dan B dijadikan jembatan yang cukup bagus untuk menjadi pengantar mens rea. Tapi gak ketemu antara A dan B, karena memang bukan itu tujuan nya.
1 man 1 vote = makin banyak orang2 "tidak cerdas" makin bagus untuk penguasa. Cukup dg beberapa ratus ribu + sembako sdh cukup utk melanggengkan kekuasaan 😂😂
Masalahnya menurutku yaa ada di demokrasi itu sendiri bang, sistem ini bikin stabil. Kalo pendidikan rakyatnya bagus yaa stabil bagusnya. Kalo pendidikannya rusak yaa stabil rusaknya Negara yang bisa maju dengan cepat pasti demokrasinya gak demokrasi banget. Cenderung otoriter tapi dipimpin orang yang bijak, pintar dan takut akan Tuhan
yang jadi masalah soal one man one vote itu klo mnurut saya ya... "yang vote dari hasil berpikir dan yang vote karena bansos/bayaran itu sama2 dihitung satu" krna itu terjadi di daerah saya....... tapi blm ada solusi lain saat ini selain one man one vote....
Parpol satu satunya yg berhak mencalonkan pemimpin negara dari eksekutif dan legislatif di pusat dan daerah itu masalahnya kalau parpolnya kurang bagus rekrutmen pemimpin kurang bagus pemimpin yg di hasilkan kurang bagus perbaikan parpol dan tingkat pendidikan warga negara agar bisa memilih pemimpinnya secara rasional gitu bung Panji
one man one vote sangat optimis dengan semua pelaku demokrasinya bisa mengidentifikasi permasalahan hidupnya masing2 dan setidaknya bisa memilih orang yang mereka anggap bisa mencari solusinya. sayangnya saat ini kita bangsa dengan rata2 iq 78.49, sebagian besar akan salah mengidentifikasi masalah, dan cuma bakal mencapai solusi yang salah juga: bansos
Aku setuju sama bapak itu sih bro.. justru karena melihat kondisi pendidikan sekarang, one man one vote ga bisa dipukul rata. Bukan berarti profesor dapat, tukang kayu ngga dapat juga.. kan bisa dikasi bobot, bisa melalui perwakilan, atau itu bisa dibahas di sisi teknisnya. One man one vote kemungkinan besar sudah pasti majority yang menang.
di USA aja ga bisa one person one vote, Hillary won by popular vote but lose the electoral college. sistem tidak ada yang bisa ideal dan ini masalah yang sangat kompleks jadi yang bisa kita lakukan adalah gunakan hak pilih secara bertanggung jawab dan kalau bisa kenali wakil rakyat yang kita pilih (or by extension partai politiknya).
Sedikit tambahan: Sebenarnya dr dulu sy berpendapat mending dihitungnya per propinsi. Anggep per propinsi dikasih kuota suara 30 poin, nanti tgl dimainkan rasio suara masuk per propinsi. Jadi keterwakilan setiap propinsi. Emang jatuhnya bisa one man 0,7 vote, ada one man 0,5 vote dll tergantung rasio jumlah pemilih. Tapi ini bakal fair kan calon bakal seimbang berkampanye di setiap daerah.
Ini sedikit serupa dengan yang dilakukan di amerika. kandidat presiden akan bersaing untuk mendapatkan suara dari electoral college (arti yang sangat disederhanakan: rasio suara per provinsi). Presiden terpilih di amerika adalah yang mendapat minimal 270 electoral college dari total 538. Cara dapat suara electoral college di mayoritas negara bagian amerika itu kandidat yang menang di 1 provinsi, akan dapet seluruh suara electoral college di provinsi tersebut. Contoh: california itu punya 55 electoral vote. kalo Trump menang perolehan suara di california maka otomatis Trump dapet 55 electoral vote. Masalah yang muncul dari cara electoral di amerika maupun 1 man 1 vote di indonesia saat ini adalah state/provinsi yang rasio terbesar akan jadi fokus berantem, masalah matematika aja dapet 50%+1 di area yang mana. Area yang kontribusinya kecil akan tidak diprioritaskan.
@@yogapradhika yes cuma winner takes all yg bikin krg cocok di Indonesia karena menjadi keterwakilannya kurang bagus. Mending pakai kuota dan suaranya diambil berdasarkan persentase, bukan 1 by 1 vote. Kalau model skrg ya provinsi yg sedikit populasi bakal tetep dianaktirikan saat kampanye
Ya tapikan sekarang kalo mau menang juga harus menang(juara 1) dibeberapa provonsi juga. Jadi ya harusnya g jaub beda. Tapi mungkin pembangunan akan lebih merata, karena yang diperhatikan tidak hanya provinsi yang padat, namun provinsi yang kecil dan mimim penduduk juga akan diperhatikan karena suaranya penting😂.
@@orangbiasa1257 nah arah gw kesitu breee. Malah jadinya bakal fokus di luar Jawa karena pemilih dikit jd ongkos kampanye lebih dikit. G masalah si, biar ga fokus ke trio Jawa. Udh terlalu banyak pembangunan pula
Gimana kalau syarat mengikuti pemilunya ditambah? Selain punya ktp ditambah juga Syarat minimal lulus SMA sederajat. Jadi kalo pengen ikut pemilu ya musti lulus SMA. Tentu pemerintah musti mendukung agar semua masyarakat dapat sekolah sampai SMA dulu. Jangan bhas kulliah dulu, cuma. tamatan SD aja masih banyak
SATU ORANG SATU SUARA ITU TANDA DEMOKRASI BERJALAN BAIK. TAPI KALO YG TERJADI "SATU/LEBIH SUARA DITENTUKAN OLEH SATU ORANG ITU BERMASALAH". dgn faktor money politik,intimidasi,ancaman dll
sayangny kebanyakan kaum buruh memilih bukan karena kebutuhan mereka akan kebijkan upah yang layak, kemakmuran,dll tapi karena duit buat makan. itu yang buat rusak 1 man 1 vote. sedangkan kaum intelektual memilih karena membaca dan mengkritisi program-program yang akan dibawakan oleh calon pemimpin.
Bagaimanapun Saya fikir perlu ada penghargaan bagi mereka yang memiliki pendidikan dan kompetensi yang baik di jenjang tertentu. misalnya diatur 3 klaster, per orang bisa mendapat 1 - 3 suara. Suara maksimal untuk guru besar dan kalangan peofesional per orang dihitung memiliki bobot setara 3 suara. Untuk pekerja biasa yang terdidik 2 suara dan lainnya 1 suara. Ini akan jauh lebih fair.
Ini juga selaras dengan semangat musyawarah. Coba bang pandji lihat bagaimana musyawarah berjalan, dalam forum musyawarah pasti ada 1 atau 2 tokoh yang di “tua” kan. Mereka tidak bisa mengambil keputusan sendiri, tetapi juga di saat yang bersamaan memiliki daya untuk menjaga agar pilihan bersama tersebut bukan hanya sekedar suara mayoritas.
Peradaban masa lalu hancur bukan hanya karena dekadensi moral, tp juga krn tidak ada penghargaan bagi kelompok masyarakat berilmu. Jadi saran ini tidak menegasikan suara siapapun, hanya memberi penghargaan bagi ilmu. Dan selayaknya negara yang membuka ruang pendidikan dan pekerjaan, setiap orang memiliki peluang untuk mendapatkan bobot 3 suara.
Tetapi ini sistem untuk masyarakat berproses. Ketika mayoritas masyarakat telah memiliki pendidikan yang layak, pada akhirnya akan bermuara pada One man One vote. Tetapi dalam masyarakat berproses ini, perlu racikan khusus yang sesuai dengan proses.
5:22 crucial kalau system sudah sempurna. Kalau system nya diterapkan kepada whole population kayak ini juga ya agak gimana itu. Orang2 yg bahkan gak peduli dan gak ngeerty sama sekali juga dilibatkan dan sepadan
Dan ODGJ boleh milih? Ini adalah one man one vote yang paling kebablasan. Saya bahkan mendukung warga di atas usia 80 tahun dicabut hak pilihnya. Lah, anak di bawah 17 tahun aja dan belum kawin gak boleh milih kok.
Medan merdeka,pusat,barat,selatan, utara,timur,pertempuran bumi nusantara.satu orang satu konstitusi x 270 juta,petbedaan menjadi satu dalam ikatan pita merah putih.
bang kalo penduduknya 200jt lebih, tentu butuh anggaran yg besar untuk memungut suara 1 per 1. makanya biaya politik juga tidak murah. mungkin perlu dipertimbangkan juga metode pemungutan suaranya. kertas=kayu=penebangan hutan. tinta=kimia=pencemaranlingkungan
mau pinter, mau kagak, bobotnya sama (one person one vote), bayangkan banyakan yang mana, kemudian didorong milih pemimpin, berdasarkan mayoritas suara, sudah terbayangkan siapa yang menang, karena yang paling kemungkinan dipilih bukan calon berdasarkan gagasan isi kepala, melainkan hal lain.
Secara teori mungkin bisa begitu,tapi realitanya suka berbanding terbalik.para politisi gak mikirnya sampe ke situ,yg ada gimana caranya dapat suara.makanya kita hrs bersuara lantang menyuarakan hal2 seperti ini
Demokrasi baik dan benar dimulai dari dunia pendidikan mulai taman kanak2 hingga perguruan tinggi. Tapi sayang hingga saat ini pendidikan terpinggirkan dan direndahkan.... 😥
Yang pengen pak Panji ngobrol dgn Ust Felix Siauw soal one man one vote, kasih dukungan..
Mau liat dong
Seru kayaknya tuh
Pengen bang
Dukunglah
Gw dukung
Rilis bang. Orang berpendidikan sampai S1 saja belum tentu paham betul tentang cara kerja politik dan bernegara
s1 aja belum tentu paham, apalagi sma
@@smithydahlwinsen7659apalagi orang yg jelas2 udah di diagnosa sebagai odgj😂
Mereka msh bisa milih lhoo
@@smithydahlwinsen7659 iya bener banget yang S1 aja belum tentu paham apalagi yang ngga lulus SD
S1 pas lulus bingung, 4 tahun belajar apaan
Kebanyakan orang aja kadang belum paham nggak udah lihat latar belakang pendidikan nyata nya banyak orang niat pengen sekolah tinggi kan biar gampang dapat kerja
Tukang kayu bukan sembarang tukang kayu, tapi tukang kayu yang bisa membuat politik dinasti di sebuah negara awwoakwowkk
aduuhh kasian deh kalau gak ada bla bla blaa..
Lu bodo sebagai rakyat menerima aj
TERIMAKASIH MEMBER-MEMBER SEPUHKU.
SEMOGA KALO NGANTOR GADAPET MACET SEBULAN.
SEMOGA BISA BERAK DENGAN TENANG DI TOILET KANTOR YANG NYAMAN ITUH.
Sama sama 🔥
@@gigilu5792Lucu juga anda
Indonesia tuh bangsa yg "kalo ada masalah teriak2 minta solusi, saat dikasih solusi dijawab dengan masalah yg lain lagi"
dan juga bangsa yang kalo dibilang "lu itu bermasalah" bukannya membenahi diri malah ngomong "lah yang lain juga bermasalah"
itu masalah internet dimana". klo tau english speaking spheres internet sama aja bego di "populasi" yg lebih gede, contradictorian cuma karna pengen beda, ga percaya vaksin dan medis, masalah scientific ngasih sumbernya jarang dari jurnal cuma dari newsletter dll.
One person one vote mutlak benar cuma pertanyaannya apa penguasa mau cetak lebih banyak orang yg berkualitas sebagai pelaku demokrasi.. Jangan sampai penguasa sengaja pelihara/dikte kualitas yang bakal segitu2 aja.
Lho emang itu justru yg di incer kan? bikin pemilih/penduduk yg minim edukasi biar gampang di setir tiap pemilu buat dulang suara?
Gak mutlak doong...
Klo one man one vote perbandingan panji profesor dengan tukang kayu itu masih benar dan bisa diterima selama kita berkelakuan baik..
Menurut gw One man one vote yg salah itu kenapa orang2 Napi di LP bisa ikut voting padahal udah jelas2 mereka itu koruptor, pembunuh, pemerkosa, pencabul, perampok.
Panji bicara keadilan yg beradab, lalu Apakah adil orang2 yg berkelakuan baik di masyarakat suaranya disamakan dengan mereka yg bermasalah di masyarakat..
@@panjul5071 memang yg di luar LP semuanya berkelakuan baik? misal, contoh yg lagi rame biar gampang, "pegi" dia diluar LP loh saat pemilu kemarin. Terus yg didalam LP apakah semuanya bermasalah? Misal, masih contoh yg sama, 8/7 orang pelaku kasus vina yg sudah di dalam LP, kalau trnyata nanti terbukti polda jabar salah tangkap? Mereka di dalam loh pas pemilu kemarin.
Di dalam pun ada masanya nanti keluar, apakah manusia dengan title "bermasalah" ini melekat seterusnya? Bolehkah vote?
One man one vote itu sebenarnya ilusi. Emang bener setiap warga negara punya hak pilih, tapi yang menentukan siapa yang harus dipilih adalah lembaga negara bernama KPU. Bahkan partai politik yang boleh mengikuti proses di KPU harus mendapatkan restu menteri hukum dan HAM. Artinya elit politik lah yang menentukan peserta pemilu. Rakyat memiliki hak pilih yang terbatas.
panji mau mengalihkan masalah dari one person one vote ke pendidikan atau ke pelaku demokrasi, padahal masalah memang ada di demokrasi nya itu sendiri, mau kapan pendidikan bisa beres sedangkan vote ada tiap tahun dari mulai pilkades sampai pilpres. Sedangkan tiap vote para calon butuh dana besar, yang mereka ini akan meminta pada sponsor, dan para sponsornya adalah para kapitalis. Emang mau para kapitalis rakyat cerdas dengan pendidikan murah yang berkualitas? YA GAK LAH!
trus mau gimana? suara diwakilkan? yang ngewakilin siapa? emang yang ngewakilin gak akan tergiur kapitalis?
Lingkaran setaan
Ini jadinya mirip kaya isu yg pernah panji bahas tentang pemilihan presiden lewat MPR aja kaya dulu. Paham ga sih kalo masalahnya suaranya bisa dibeli, yang diubah bukan siapa yang bersuara, tapi bagaimana seseorang bersuara. Kenapa setiap pemilu butuh dana besar, karena pemilihnya melihat dari siapa yang ngasih bantuan(ngeluarin duit) paling besar. Yang diubah bukan jumlahnya dikurangin, kalo gitu malah tambah gampang dibeli. Kalo pemilihnya ga melihat dari harta, pemilu ga akan butuh dana besar.
@@orangbiasa1257 sepemikiran bang, kok ya banyak yg gak bisa nangkep? Urusan sistem tata kelola kita itu udah gak ada masalah, masalahnya di pemegang jabatan & pelaksana yang pinter aja cari celah buat ngakali/ubah regulasi, sistemnya US atau Uni Eropa atau Jepang kalo diisi pejabat kita juga bakal jauh lebih bobrok
@@orangbiasa1257 ya itu masalahnya panji terlalu mensimplikasi persoala, dengan mengarahkan masalah ada pada pendidikan atau tingkat pendidikan pelaku demokrasi, padahal masalahnya justru ya demokrasi itu sendiri.
One person one vote adalah hak asasi manusia. Dalam pemilihan pemimpin, one person one vote jadi ajang perniagaan suara
Jualan ham , basi keles
@@user-nb4xn9hr6borg banyak bacot gini klo hak nya dah diambil baru nangis.
Memilih pemimpin dgn memilih wakil rakyat itu mesti jelas bedanya mas Panji..ngibrol deh dgn ust Felix
Bole juga tuh
Lah iya bang Pandji kurang rinci soal itu
Nah itu dia, pilih pemimpin itu ada tata caranya dlm Islam..koq malah pake cara demokrasi yg berasal dari Barat
memilih pemimpin bukannya agama Islam punya aturannya..
Ane pikir bgitu, harusnya bisa mbedakan
ini perlu dirilis bang, karena ilmunya bagus banget
"1 suara profesor = 1 org gila"
Ini bukan ungkapan untuk "org yg beda pendapat dianggap gila"
TAPI Ini beneran kejadian nyata loh bg panji
Kenyataan nya rumah sakit jiwa kemarin ikut nyoblos dan kalian tau deh siapa yg menang di semua rumah sakit jiwa tersebut 😂
Mungkin dia kaga tau
Yah terus kenapa? Jika seseorang bergelar profesor, apa dia mendadak gak punya blindspot? Justru orang berpendidikan tinggi biasanya spesialisasi di bidang tertentu, dan hasilnya malah tunnel vision.
@@lyq232 sesat pikir, lu pikir kalo orang pendidikan tinggi itu malah cuma melihat satu sisi? (gw gak ngomong profesor karena profesor bukan gelar akademis). Gw tetep berpatokan orang berpendidikan tinggi masih jauh lebih baik dari orang yang tidak berpendidikan. Secara kumulatif orang berpendidikan tinggi lebih sukses dari orang tidak berpendidikan.
Untuk menjadi orang berpendidikan tinggi orang perlu belajar tidak hanya satu ilmu, ada banyak ilmu terlibat tersebut. Termasuk menulis, sosialisasi, public speaking, negosiasi, dll. Sekarang lu bilang orang tidak berpendidikan lebih baik dari orang berpendidikan tinggi bahkan orang gila lebih baik dari orang berpendidikan tinggi?
Hahahah. Mengutip kata Pandji, "CUT THAT STUPID SHIT"
1 profesor yg cabul....dg....1 pemulung yg jujur
nilai DEMOKRASI bukan melulu soal akedemisi
@@rzkzkr20
dosen yg cabul.....dan....tukang becak yg jujur
nilainya gimana bro?
Masalah terbesar nya adl prinsip KEDAULATAN DITANGAN RAKYAT..Monggo dicek pak Pandji
Nah bener nih
Sebab yg menentukan sbh hukum d regulasi dikembalikan kpda rakyat bukan kpda ayat
Ane setuju masalahnya di prinsip ini
Masalah ada pada demokrasi itu sendiri, karena dimanapun demokrasi berada sejatinya sistem ini dikendalikan oligarki dan para kapital
Oligarki tidak hanya ada di sistem demokrasi tapi segala sistem yang memiliki hirarki kepemimpinan.
Di sistem kerajaan, oligarkinya adalah keluarga bangsawan. Di sistem komunis, oligarkinya adalah elit partai komunis.
Saya coba mencoba memahami keresahan tentang kelemahan one man one vote ini. Ketika masyarakatnya belum berdaulat secara ekonomi, belum berdaulat secara pikiran maka mereka akan menganggap persoalan demokrasi ini menjadi irrelevant bagi mereka, sementara pemberian bantuan sosial akan terasa lebih nyata manfaatnya, ujung-ujungnya ya politik uang akan menjadi massive. Persoalan lain adalah pragmatisme politik para tokoh/calon pemimpin, termasuk parpol yang hanya mementingkan soal angka kemenangan akhirnya sekedar memanfaatkan masyarakat sebagai lumbung suara, tanpa upaya untuk mencerdaskan atau mendewasakan cara berpikir masyarakat.
Jujur saya semakin skeptis dan pesimis dengan daya kritisisme masyarakat kita. Gagasan tentang pembatasan terhadap siapa-siapa saja yang boleh terlibat dalam memberikan suara mereka untuk menentukan pemimpin bangsa ini kedepan itu layak untuk dipikirkan ulang (misal dengan argument orang gila suaranya dianggap tidak sah tadi).
Ide saya misal membatasi usia pemilih menjadi 21/22 tahun karena pada usia tersebut pemilih diharapkan sudah semakin dewasa dan lebih mampu melihat persoalan bangsa kedepan, apakah itu soal penciptaan lapangan kerja, issue pengangguran, perumahan, dan lain-lain.
Membatasi usia pilihan dari umur 23-67 tahun
Lebih tepatnya adalah: sistem demokrasi saja dari dasarnya sudah bermasalah. Ditambah lagi dengan kualitas manusia Indonesia zaman sekarang yang sudah rusak, jadi mau dikasih sistem politik apapun ya ujung-ujungnya tetap aja bermasalah.
panji mau mengalihkan masalah dari one person one vote ke pendidikan atau ke pelaku demokrasi, padahal masalah memang ada di demokrasi nya itu sendiri, mau kapan pendidikan bisa beres sedangkan vote ada tiap tahun dari mulai pilkades sampai pilpres. Sedangkan tiap vote para calon butuh dana yang mereka ini akan meminta pada sponsor, dan para sponsorny adalah para kapitalis. Emang mau para kapitalis rakyat cerdas dengan pendidikan yang berkualitas? YA GAK LAH!
Setuju. Masalahnya ada di demokrasi elektoral, di mana kita memilih pemimpin dengan one man one vote. Ini bukan demokrasi murni. Demokrasi murni seharusnya dijalankan dengan undian, di mana kita, ya artinya gua dan elo, secara bergiliran duduk di kursi pemerintahan. Jadi kita semua memiliki kemungkinan yang sama untuk duduk di pemerintahan. Yang menentukan apakah kita bisa jadi pemimpin hanyalah undian, bukan koneksi apalagi keluarga.
Apakah ada kemungkinan terpilih pemimpin yang buruk? Tentu saja. Tapi kalau sebagian besar rakyatnya berkualitas, kemungkinan besar akan terpilih pemimpin yang baik. Kalau sebagian besar rakyatnya hancur, ya gitu deh. Karena demokrasi tidak menjamin munculnya pemimpin terbaik, melainkan "getting the leader that they deserve". Karena pemimpin diambil dari rakyatnya sendiri.
Apakah ini sistem yang terbaik. Masih panjang ceritanya, tapi paling tidak inilah esensi demokrasi sesungguhnya. Demokrasi elektoral sekarang sejatinya hanyalah sebuah tragedi karena rakyat yang punya kuasa menyerahkan kekuasaanya pada hari pemilu kepada pemimpin terpilih.
Sepakat!!!! begitu banyak orang yang kita kenal pintar justru mengkhianati kita. Permasalahan kita itu jelas bukan karena one man one vote, karena terbukti orang-orang pintar juga banyak yang bisa dibeli suaranya.
Sebenarnya rasa empati kita yang kurang, saat pemilihan kita cendrung memikirkan diri kita sendiri. bersikap abai, bahwa suara kita bisa berpengaruh untuk masa depan orang lain.
tapi bukannya fakta di lapangan orang miskin yang banyaknya dibeli suaranya?
@@saveandshare1138 betul sekali, komen diatas cuma ingin "menghibur" diri sebagai orang yang tidak berpendidikan dan kebencian terhadap orang pintar. Buktinya secara kumulatif orang yang bisa dibeli suaranya adalah orang miskin dan tidak berpendidikan.
menganalogikan profesor butuh laboratorium dan tukang kayu butuh hak2 nya sebagai tukang kayu mungkin kurang tepat. Profesor dengan ilmu pengetahuan dan kecerdasan berpikirnya "mungkin" lebih mempunyai kemampuan untuk mengupas dan menilai seorang calon presiden berdasarkan kapasitasnya apakah layak dan mampu mengemban tugas yang sangat rumit dan kompleks mulai dari urusan ekonomi, ketahanan pangan, teknologi, industri pertanian,pendidikan,kesehatan penegakan hukum, dll. dan Seandainya jika pemilu hanya melibatkan profesor2 mungkin terlihat tidak adil dalam kesetaraan kesempatan hak untuk berpartisipasi memilih pemimpin, tapi faktanya untuk saat ini dampak dari ketidaktahuan mayoritas masyarakat tentang idealnya seorang pemimpin justru melahirkan pemimpin yang gagal dalam menghadirkan hak kesetaraan dan kesempatan di banyak aspek
yang salah tuh kualifikasi jadi pejabat terlalu mudah, masa cuma kualifikasi umur doank. Jadi dokter aja harus ada kualifikasi yang tinggi, masa jadi pejabat cuma pake kualifikasi umur. Semoga kedepan ada kualifikasi yang tinggi buat pejabat karena kalo pilihannya berkualitas semua, maka mau siapapun yang vote tetep berkualitas karena pilihannya semua berkualitas.
Bener, bayangin Marshell yg eks anter jemput lonte, sabu, pembeli bokep terus hoki di 5 taun terakhirnya... Jadi populer... Dan tiba2 disokong partai pemenang presiden buat cawalkot. Ini yg bener2 gila
Dapat rekomendasi dari partai itu kualifikasi yang berat loh. Dan kalau mau fair, di Jepang kualifikasi untuk jadi gubernur tokyo aja jauh lebih mudah di banding jadi gubernur Jakarta
Mungkin argumen penolakan terhadap one person one vote terbilang cukup disproporsional karena kebanyakan orang yang milih di pemilu kemarin cenderung tidak melihat gagasan yang terukur. Jadi kaya ada semacam ketimpangan antara pemilih yang mempertimbangkan gagasan yang terukur dengan satu gagasan lain yang konkret, namun kurang terukur. Hasilnya ya beberapa orang jadi bingung, apakah masyarakat Indonesia pada umumnya punya pemahaman tentang sebuah gagasan.
kenapa ada gagasan yang terukur dan gagasan konkrit kurang terukur?
Bang Pandji, lagi di Jakarta ga? Kalau iya, Gw mau ngundang nonton Musikal Keluarga Cemara, produksinya Visinema (gw MD nya) hehehee
Coba kontak ke Comika deh biar dibantu CP nya siapa.
gk ah
Kalo niat ngajak mah japri, kok malah komen youtube 😂
Karena one person one vote adlh CARA yg SALAH/JAHAT dlm rekrutmen pegawai, maka
TIDAK ADA Perusahaan yg MAU menggunakan CARA one person one vote dlm rekrutmen PEGAWAI tuk dipekerjakan a.l: sbg Pimpinan Pegawai, dll, termasuk tuk menjd NAHKODA
Hal ini a.l agar:
jangan sampai KAPAL (Negara) itu KARAM/HANCUR atau TIDAK MENCAPAI TUJUAN atau MENGANCAM KESELAMATAN seluruh orang yg ada didlm kapal (negara) tsb
Itulah sebabnya, berbagai macam TEST, termasuk test KEMAMPUANNYA, KETERAMPILANNYA dan PENGETAHUANNYA tentang tujuan2 KAPAL (Negara) itu berlayar (dijalankan), dll itu
SANGAT DIBUTUHKAN sebelum KAPAL (Negara) itu diserahkan kepada orang yg terbaik nilai dari hasil TESTNYA (yg tepat)
Yakinlah, bahwa TIDAK semua orang itu MAMPU menjalankan tugas n kewajibannya dg baik n benar sbg Presiden RI, Wklnya, Menteri Negara, Kep. Daerah, Wklnya, atau anggota Legeslatif, dll, yg
lebih banyak MENGUNTUNGKAN bangsa n negara RI sebelum ada BUKTI AWAL secara tertulis dari hasil TEST kemampuan/keterampilan, dll yg diikuti oleh se-banyak2nya CALON PEGAWAI
Ma'af jika saya salah
Thank u member
Thanks para member yang baik hati.
Mencoba untuk objektif. Kayanya banyak yg mempermasalahkan bobot suara dalam one person one vote. Menurutku masalah suara ini mutlak, semua harus sama. Why? Karena ga ada yg bisa menjamin sekelas profesor S3 pasti punya integritas. Pasti akan ada disproporsi kebijakan yang condong ke kelompok atau bahkan individu tertentu.
Jangan lupa juga kalo kelompok tertentu "worth more", politisi bakal melihat kelompok tersebut dengan lebih seksi.
Next, siapa yang nentuin voting power dari tiap "klasifikasi pemilih"? Apakah bisa ada jaminan mereka bakal objektif? Example: siapa punya voting power lebih besar, profesor dengan segala ilmu dan kebijaksanaannya atau pengusaha yang secara nyata menggerakan aktivitas ekonomi?
Lastly, ada sebuah skenario yg kemungkinan bisa terjadi berulang-ulang. Let's say cuma profesor yg boleh milih. Di pemilu depan, para pengusaha yg menopang perekonomian protes minta vote, so they vote. Pemilu depan lagi, para aktivis yang merasa mewakili aspirasi rakyat protes, so they vote. And so on sampe ujungnya semua vote.
Not saying bahwa one person one vote adalah sistem demokrasi yang sempurna, tentu saja banyak kelemahan yang juga bisa dan sudah dijabarkan panjang lebar. That said, I personally still think it's the best form of democracy and democracy itself is still the best system for a government.
Paling gampangnya liat saja negara lain. Negara2 demokrasi maju seperti negara2 maju. Apakah mereka menerapkan sisten one man one vote? Bahkan amerikapun bukan sistem pemilu langsung
Bansos (memakai Uang Rakyat) adalah Kunci.
2023,
MK = Mahkamah Kakak.
2024,
MA = Mahkamah Adik.
KEREN LU BANG
Amin bro
Mungkin lebih baiknya setiap orang diberi poin.
Misal, tukang kayu 1 poin,
pengusaha taat hukum & pajak 10 poin,
profesor yg kontribusinya besar bagi pendidikan 10 poin, dsb
terlalu banyak orang di indonesia yang "tidak peduli" siapa yang dia pilih.
Maksudnya bukan langsung dikotomi antara Profesor dan Tukang Kayu, lantas kemudian POV nya Profesor butuh laboratorium. Tapi wisdom nya, the way they think for greater good. Ga melulu di Profesor, bisa berbagai profesi. Problem nya kan menentukan siapa yang layak diberikan rights to vote itu
Everyone know it's education. But John Taylor Gatto wrote "Dumbing Us Down" (read it newyorker). So, where'd we start?
Jalan cepat tidak ada kecuali revolusi. Dan ini bisa jadi berdarah. Jalan lambat tentu saja pendidikan politik. Tapi bahkan ini pun tidak menjamin, karena para oligark tidak akan menyerahkan kekuasaan mereka begitu saja, kecuali di bawah todongan senjata
@@onisuryaman408 tepatnya revolusi pendidikan boss, bongkar sistem dan filosofi paedagogi, sesuaikan dengan jati diri bangsa (paedagogi humnistik paling relevan). Sisi revolutifnya, butuh anggaran sangat besar (50% APBN, berani?) dan fokus pada generasi yg sekarang masih balita. Yg tua2 udah lah, gak mungkin diperbaiki dengan cara apapun.
Msntaabb.. bang Panji.. inspiratif!
fakta masyarakat pedesaan banyak yg milih karena duit, dibandingkan gagasan. siapa yg berani kasih duit lebih banyak, dia yg dicoblos. mereka gatau dan gamau tau itu duit "modal" nyalon darimana dan bakal "balik modal" darimana. keluarga sepupu gue dapet hampir 1.5 juta anjir cash pilpres. ada yg berani kasih 200k per orang (4 org jadi dapet 800k), akhirnya kepilih sekarang. paslon lain yg dibawah itu ya gakepilih
one man one vote, tapi banyak banget "man" "man" yg milih bukan karena gagasan, bukan karena visi misi, tapi karena duit. jadinya sekarang ya siapa yg punya modal paling gede, dia yg bakal jadi. simpel
Terima kasih member sudah buka ini konten.. 😊
perlu di rilis untuk umum bg 🔥
Mungkin maksudnya adl suara orang yg tau betul ttg yg ia pilig dgn suara orang yg tdk tau siapa yg ia pilih itu sama.. sehingga ini dieksploitasi oleh politisi dgn uang besar utk menang. Krn biasanya orng tdk tau mau milih siapa, jatuhnya yg ngasih uang paling bnyak yg dipilih
One person one vote itu sudah betul karena setiap orang punya hak asasi untuk bersuara, dan hak asasi itu gak boleh dihalangi. Misalnya, orang-orang yang pegiat aktivis lingkungan berhak memilih orang-orang sebagai wakil di DPR yang menyuarakan soal lingkungan. Jadi, yang diperbaiki kualitas sumber daya manusianya melalui pendidikan, dan penyelenggara pendidikan di negara ini adalah pemerintah. Orang yang ingin menghilangkan sistem one person one vote ini biasanya adalah orang2 yg pro-monarki atau jika sekarang monarki sudah berubah jadi monarki konstitusional, bisa juga mereka pro sistem meritokrasi otoritarianisme. Jadi, negara hanya boleh dijalankan oleh orang-orang yang dianggap pakar, ahli, expert. Sementara orang-orang yang bukan dari kalangan itu cuma harus manggut-manggut nurut saja. Dalih pembenarannya biasanya 'for the greater good'.
Itu kembali ke tujuan anda bernegara apa? Kalau tujuan bernegara anda demokrasi ya lanjutkanlah seperti itu. Tapi kalau tujuan bernegara anda adalah kemakmuran dan kesejahteraan maka cara kedua terbukti efektif. China, jepang, singapore, korsel, dan srkg vietnam buktinya
Kalau saya; mungkin agak setuju dengan yang Mas Pandji bilang, yang memang harus dibenerin itu manusianya dulu, dibenerin apa nya? Pendidikan, Mental, Kejiwaan, Akhlak dst. Jadi ada istilah, nyaris tidak masuk akal jika akan muncul seorang pemimpin yang memiliki mental anti korupsi dari rakyat yang punya mental korupsi dan begitu juga sebaliknya. Pemimpin yang amanah pasti hasil dari rakyat yang amanah juga.
one person one vote setuju JIKA pemerintah menjalankan semua SILA dari PANCASILA. JIka semua rakyatnya di beri keadilan keberadaban dan keadilan sosial yang merata, one person one vote SAH...
Terimakasih MPR (Member panji pragiwaksono)
Dalam Islam ada gugus tugas namanya ahlul hal wal aqdi dan itu dikenal dlm politik islam..nah, gali lebih dalam bareng UFS bang Pandji
thx member😊
Demokrasi definisi bisa berbeda beda, kalau gitu siapa penguasa bisa sesuka hati mendefeni kan Demokrasi , melawan anggap radikal
terimakasih para member, jadi mengtahui sudut pandang baru tentang one man one vote. ternyata jika tidak menerapkan ini jadi terlihat lebih feodal pemilu kita ini😅
Ini sama kayak yg pernah diomongin Koch Justin dalam hal sepakbola piala dunia. Dimana negara kecil suaranya setara dengan negara besar menurut aturan FIFA.
Yg mana itu gak cukup adil karena bisa aja ada peluang politik uang di situ. Negara kecil yg tentu secara keuangan sangat terbatas bisa aja dimanfaatkan oleh para petinggi FIFA demi melancarkan kepentingan mereka.
Contoh, misalkan PSSI dikasih duit oleh FIFA untuk hal-hal seperti itu tadi?? Bukan gak mungkin untuk ditolak dong.
Dan kemudian alternatifnya apa? Yang besar dapat andil suara lebih besar? Jadi suara yang kecil gak signifikan?
If the alternative choices are between giving more power to the elite few, or giviing even more power to the non-elite mass, then the status quo middle ground is the best for me
@@lyq232 ngapain nanya solusi ke gw?
@@WORTELIMPORT t'was a rhetorical question to open up the path to the statement I was making.
As far as democracies go, 1 man 1 vote is the most viable middle ground.
@@lyq232 yaudah kalo menurut Lo selama ini demokrasi kita udah oke go ahead.
Bener, tukang kayu juga harus dibantu. Minimal jadi walikota. Maksimal jadi presiden. Bukan hanya profesor 🙏🏻🇲🇨
Gas release ke publik banggg
6:55
Ini bener sih, tapi gak harus seluruh professor juga, minimal screening gak harus whole population terlibat juga
Sebenernya kita ini dilema antara mau kembali ke sistem Pra-Reformasi yang petahsn itu dipilih melalui MPR atau One Person One Vote yang semua population malah terlibat
mau demokrasi, mau komunis, mau sosialis, mau imperialis. semuanya bisa jadi utopia bisa jadi dystopia. tergantung kerkuatan peraruturan yang dibuat dan Self-interest pejabatnya.
Yang A berbicara tentang idealisme, yang B sedang berbicara problem di lapangan, seperti diskusi di kantor antara business analyst(harusnya gini) dan system analyst(prakteknya gak gthu) wkwkw. A menganalisa first principle nya adalah pendidikan, B menganalisa first principle nya adalah bobot vote nya dalam hal ini dari segi pendidikan. Mungkin perbandingan dengan orang gila hanyalah pernyataan bermakna konotasi, tapi B bukan pelawak. Mengacu pada pernyataan pembuatan undang-undang menggunakan vote dan diantara para wakil rakyat adalah setara dalam pendidikan minimal jabatan dan posisi, maka one person one vote harus nya bukan masalah untuk A dan B.
B kemungkinan mempermasalahkan one person one vote untuk pemilihan presiden yang peserta vote nya beragam dari segi pendidikan, ekonomi, dan sebagainya.
Video ini memberikan penjelasan yang bagus tentang one person one vote, dan B dijadikan jembatan yang cukup bagus untuk menjadi pengantar mens rea. Tapi gak ketemu antara A dan B, karena memang bukan itu tujuan nya.
1 man 1 vote = makin banyak orang2 "tidak cerdas" makin bagus untuk penguasa.
Cukup dg beberapa ratus ribu + sembako sdh cukup utk melanggengkan kekuasaan 😂😂
Masalahnya menurutku yaa ada di demokrasi itu sendiri bang, sistem ini bikin stabil. Kalo pendidikan rakyatnya bagus yaa stabil bagusnya. Kalo pendidikannya rusak yaa stabil rusaknya
Negara yang bisa maju dengan cepat pasti demokrasinya gak demokrasi banget. Cenderung otoriter tapi dipimpin orang yang bijak, pintar dan takut akan Tuhan
asyiikk Bang Pandji kasi PR buat temen2 Yuk Ngaji, ayoook dibikin diskusi dah
Ketika suara petugas parkir disamakan dengan suara Dirjen, disitulah masalah utama nya
TERIMA KASIH PARA MEMBER
One man one vote nya udah bener, cuman kita gak punya banyak pilihan. Apalagi yang bener2 mewakili suara kita.
yang jadi masalah soal one man one vote itu klo mnurut saya ya...
"yang vote dari hasil berpikir dan yang vote karena bansos/bayaran itu sama2 dihitung satu"
krna itu terjadi di daerah saya.......
tapi blm ada solusi lain saat ini selain one man one vote....
Parpol satu satunya yg berhak mencalonkan pemimpin negara dari eksekutif dan legislatif di pusat dan daerah itu masalahnya kalau parpolnya kurang bagus rekrutmen pemimpin kurang bagus pemimpin yg di hasilkan kurang bagus perbaikan parpol dan tingkat pendidikan warga negara agar bisa memilih pemimpinnya secara rasional gitu bung Panji
one man one vote sangat optimis dengan semua pelaku demokrasinya bisa mengidentifikasi permasalahan hidupnya masing2 dan setidaknya bisa memilih orang yang mereka anggap bisa mencari solusinya. sayangnya saat ini kita bangsa dengan rata2 iq 78.49, sebagian besar akan salah mengidentifikasi masalah, dan cuma bakal mencapai solusi yang salah juga: bansos
Aku setuju sama bapak itu sih bro.. justru karena melihat kondisi pendidikan sekarang, one man one vote ga bisa dipukul rata.
Bukan berarti profesor dapat, tukang kayu ngga dapat juga.. kan bisa dikasi bobot, bisa melalui perwakilan, atau itu bisa dibahas di sisi teknisnya.
One man one vote kemungkinan besar sudah pasti majority yang menang.
ini perlu banget dirilis bang
perlu dirilis biar bisa kasih paham orang2 berpikir serupa dengan bapak tadi
di USA aja ga bisa one person one vote, Hillary won by popular vote but lose the electoral college.
sistem tidak ada yang bisa ideal dan ini masalah yang sangat kompleks jadi yang bisa kita lakukan adalah gunakan hak pilih secara bertanggung jawab dan kalau bisa kenali wakil rakyat yang kita pilih (or by extension partai politiknya).
Electoral college dimulai dari one man one vote, dan pemilu di Amerika tidak hanya untuk milih presiden
Sedikit tambahan:
Sebenarnya dr dulu sy berpendapat mending dihitungnya per propinsi. Anggep per propinsi dikasih kuota suara 30 poin, nanti tgl dimainkan rasio suara masuk per propinsi. Jadi keterwakilan setiap propinsi. Emang jatuhnya bisa one man 0,7 vote, ada one man 0,5 vote dll tergantung rasio jumlah pemilih. Tapi ini bakal fair kan calon bakal seimbang berkampanye di setiap daerah.
Ini sedikit serupa dengan yang dilakukan di amerika. kandidat presiden akan bersaing untuk mendapatkan suara dari electoral college (arti yang sangat disederhanakan: rasio suara per provinsi). Presiden terpilih di amerika adalah yang mendapat minimal 270 electoral college dari total 538.
Cara dapat suara electoral college di mayoritas negara bagian amerika itu kandidat yang menang di 1 provinsi, akan dapet seluruh suara electoral college di provinsi tersebut. Contoh: california itu punya 55 electoral vote. kalo Trump menang perolehan suara di california maka otomatis Trump dapet 55 electoral vote.
Masalah yang muncul dari cara electoral di amerika maupun 1 man 1 vote di indonesia saat ini adalah state/provinsi yang rasio terbesar akan jadi fokus berantem, masalah matematika aja dapet 50%+1 di area yang mana. Area yang kontribusinya kecil akan tidak diprioritaskan.
@@yogapradhika yes cuma winner takes all yg bikin krg cocok di Indonesia karena menjadi keterwakilannya kurang bagus. Mending pakai kuota dan suaranya diambil berdasarkan persentase, bukan 1 by 1 vote. Kalau model skrg ya provinsi yg sedikit populasi bakal tetep dianaktirikan saat kampanye
Kasih publik aja bang, penting nih ini
Ya tapikan sekarang kalo mau menang juga harus menang(juara 1) dibeberapa provonsi juga. Jadi ya harusnya g jaub beda. Tapi mungkin pembangunan akan lebih merata, karena yang diperhatikan tidak hanya provinsi yang padat, namun provinsi yang kecil dan mimim penduduk juga akan diperhatikan karena suaranya penting😂.
@@orangbiasa1257 nah arah gw kesitu breee. Malah jadinya bakal fokus di luar Jawa karena pemilih dikit jd ongkos kampanye lebih dikit. G masalah si, biar ga fokus ke trio Jawa. Udh terlalu banyak pembangunan pula
bang. lokasi spesifik mens rea dimana. gua bingung nih mau beli tiket di jakarta atau bogor. lokasi bogor dimananya
Mencengkram,mencengkam
,menggemgam,meremat - remat,remuk,jadi bubuk,meredam,
membungkam suara kebebasan.
one person one amplop , one person one bansos , one person one bot , one person one abud... 😂
0:40 bisa pas gitu ya nuansa nya,pas nyorot gedung MK di hiasi dengan mendung nya langit.
rilis bang, masyarakat perlu tau ini
Gimana kalau syarat mengikuti pemilunya ditambah? Selain punya ktp ditambah juga Syarat minimal lulus SMA sederajat. Jadi kalo pengen ikut pemilu ya musti lulus SMA. Tentu pemerintah musti mendukung agar semua masyarakat dapat sekolah sampai SMA dulu. Jangan bhas kulliah dulu, cuma. tamatan SD aja masih banyak
Benarrr...pembayar pajak lah yang punya suara...
Gas rilis bang
Perlu dirilis
One person one vote one velue...
SATU ORANG SATU SUARA ITU TANDA DEMOKRASI BERJALAN BAIK. TAPI KALO YG TERJADI "SATU/LEBIH SUARA DITENTUKAN OLEH SATU ORANG ITU BERMASALAH".
dgn faktor money politik,intimidasi,ancaman dll
keren, terimakasih para member
ketika pemerintah tidak bisa menyelesaikan masalah bisa jadi pemerintahlah masalahnya.
bisa juga masarakatnya. 😅
terima kasih para member 🎉
sayangny kebanyakan kaum buruh memilih bukan karena kebutuhan mereka akan kebijkan upah yang layak, kemakmuran,dll tapi karena duit buat makan. itu yang buat rusak 1 man 1 vote. sedangkan kaum intelektual memilih karena membaca dan mengkritisi program-program yang akan dibawakan oleh calon pemimpin.
Bagaimanapun Saya fikir perlu ada penghargaan bagi mereka yang memiliki pendidikan dan kompetensi yang baik di jenjang tertentu. misalnya diatur 3 klaster, per orang bisa mendapat 1 - 3 suara. Suara maksimal untuk guru besar dan kalangan peofesional per orang dihitung memiliki bobot setara 3 suara. Untuk pekerja biasa yang terdidik 2 suara dan lainnya 1 suara. Ini akan jauh lebih fair.
Ini juga selaras dengan semangat musyawarah. Coba bang pandji lihat bagaimana musyawarah berjalan, dalam forum musyawarah pasti ada 1 atau 2 tokoh yang di “tua” kan. Mereka tidak bisa mengambil keputusan sendiri, tetapi juga di saat yang bersamaan memiliki daya untuk menjaga agar pilihan bersama tersebut bukan hanya sekedar suara mayoritas.
Peradaban masa lalu hancur bukan hanya karena dekadensi moral, tp juga krn tidak ada penghargaan bagi kelompok masyarakat berilmu. Jadi saran ini tidak menegasikan suara siapapun, hanya memberi penghargaan bagi ilmu. Dan selayaknya negara yang membuka ruang pendidikan dan pekerjaan, setiap orang memiliki peluang untuk mendapatkan bobot 3 suara.
Tetapi ini sistem untuk masyarakat berproses. Ketika mayoritas masyarakat telah memiliki pendidikan yang layak, pada akhirnya akan bermuara pada One man One vote. Tetapi dalam masyarakat berproses ini, perlu racikan khusus yang sesuai dengan proses.
5:22 crucial kalau system sudah sempurna.
Kalau system nya diterapkan kepada whole population kayak ini juga ya agak gimana itu.
Orang2 yg bahkan gak peduli dan gak ngeerty sama sekali juga dilibatkan dan sepadan
Dan ODGJ boleh milih? Ini adalah one man one vote yang paling kebablasan. Saya bahkan mendukung warga di atas usia 80 tahun dicabut hak pilihnya. Lah, anak di bawah 17 tahun aja dan belum kawin gak boleh milih kok.
@@onisuryaman408 odgj ya gak boleh milih lah
@@onisuryaman408 usia 80 ketuaan
Usia 17 kemudaan
Medan merdeka,pusat,barat,selatan,
utara,timur,pertempuran bumi nusantara.satu orang satu konstitusi x 270 juta,petbedaan menjadi satu dalam ikatan pita merah putih.
kok keren banget openingnya bang......makin MENYALA abangku... ^^
Terima kasih bang panji dan member-member budiman.
gasss riliss
Kataku, klo mau ngobrol ttg ini klo ke indo ketemu ust Felix lagi dah bang. Silahkan berdiskusi perkara ini. Entah dikontenkan atau nggak
One man one vote
Makasih para member ❤
bang kalo penduduknya 200jt lebih, tentu butuh anggaran yg besar untuk memungut suara 1 per 1. makanya biaya politik juga tidak murah. mungkin perlu dipertimbangkan juga metode pemungutan suaranya. kertas=kayu=penebangan hutan. tinta=kimia=pencemaranlingkungan
one person one vote bagus kalau SEMUA pemilih mengerti politik dan cara kerja demokrasi. apakah Indonesia sudah seperti itu? saya ragu
Kaya investigasi tv one gitu bang.. keren
intronya keren banget, btw makasih para member😊
Rilis, Bang.. Terus semangat mengedukasi rakyat Indonesia..
Hatur nuhun , pandji......
mau pinter, mau kagak, bobotnya sama (one person one vote), bayangkan banyakan yang mana, kemudian didorong milih pemimpin, berdasarkan mayoritas suara, sudah terbayangkan siapa yang menang, karena yang paling kemungkinan dipilih bukan calon berdasarkan gagasan isi kepala, melainkan hal lain.
3:47
Masalah nya bang, orang yang di voting itu sendiri tidak pernah mewakili siapapun dan peran masyrakat apapun
Rilissssss!!!!
Secara teori mungkin bisa begitu,tapi realitanya suka berbanding terbalik.para politisi gak mikirnya sampe ke situ,yg ada gimana caranya dapat suara.makanya kita hrs bersuara lantang menyuarakan hal2 seperti ini
One man one vote gak cocok untuk negara yg pendidikannya gak merata😅
Ya berarti pendidikannya diratain, bukan OMOV-nya diapus.
sistem OMOV masih yg terbaik utk pilih pemimpin
idealnya
partai politik yg ambil momen TEKNOKRASI/kualitas
rakyat itu ambil momen DEMOKRASI/suara
Demokrasi baik dan benar dimulai dari dunia pendidikan mulai taman kanak2 hingga perguruan tinggi. Tapi sayang hingga saat ini pendidikan terpinggirkan dan direndahkan.... 😥
merinding banget openingnya 🥲
Harus rilis bang 🔥