Al-Qur’an secara jelas menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan melalui substansi yang sama yang disebut sebagai nafs wahidatin (Ruh yang Tunggal) (Qur’an 4:1). Ini berarti bahwa Al-Qur’an tidak mendukung narasi penciptaan Adam-Hawa yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Narasi tersebut dapat ditemui di dalam hadith (yang terpengaruhi oleh narasi penciptaan manusia dari tradisi Kristen dan Yahudi) namun tidak dapat ditemui dalam al-Qur’an. Dengan demikian, jelas dalam al-Qur’an bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kewajiban moralitas yang sama dan hak yang sama (al-Qur’an 4:32). Dalam konsep pernikahan pun al-Qur’an menyatakan bahwa perempuan adalah pakaian untuk laki-laki, dan laki-laki adalah pakaian untuk perempuan (al-Qur’an 2:187). Jadi jelas bahwa dalam al-Qur’an, perempuan dan laki-laki memiliki derajat yang sama di hadapan Allah SWT. Hadith merupakan hal yang lain lagi. Hadith, tidak seperti al-Qur’an, merupakan cerminan dari masyarakat dan sistem nilai yang mereka anut di saat itu. Maka lebih sulit untuk menemukan hadith yang dapat dikatakan sebagai dalil untuk ‘kesetaraan gender’. Namun, bagaimanapun juga, sejarah hidup Nabi Muhammad merupakan cerminan penghormatan terhadap perempuan yang sangat tinggi. Ambil contoh soal persetujuan perempuan dalam pernikahan, ada sebuah narasi hadith yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad menyetujui permintaaan cerai seorang perempuan yang dinikahkan oleh orang tuanya dengan seorang laki-laki tanpa persetujuannya. Perempuan ini lalu mengadu kepada Nabi soal pernikahannya, dan Nabi menyetujui perceraiannya dengan laki-laki tersebut. Ini berarti bahwa konsep ‘consent’ dalam bentuknya yang awal sudah diterapkan oleh Nabi dalam praktek keislamannya. Nabi juga terkenal mendukung istri-istrinya untuk menjadi perempuan kuat yang memiliki peran publik. Selepas Nabi meninggal, untuk beberapa waktu, Aisyah dan Ummu Salamah, dua istri Nabi yang paling cerdas, berperan menjadi pemimpin masyarakat, imam solat di masjid, dan tempat bertanya soal Hukum Islam bagi masyarakat mereka. Walaupun kita harus berhati-hati dalam menggunakan konsep ‘kesetaraan gender’ karena ini konsep modern dan tidak ada pada zaman Nabi, namun praktik kehidupan Nabi terbukti menjunjung tinggi kemanusiaan perempuan seutuhnya. 👆🏻Copas jawaban Lailatul Fitriyah atas pertanyaan: *Apakah terdapat dalil mengenai kesetaraan gender dalam Al-Qur'an dan hadits yang shahih?*
AlhamduliLLAH terimakasih Buya Yahya semoga Buya slalu di rahmati ALLAH 🤲🤲🤲
Alhamdulillah nyimak. Terima kasih ilmunya Buya Yahya yg di Mulyakan ALLAH SWT.
kami menyimak Buya yahya...🙏
MasyaAllah
Barakallahu fiik Buya
ouch baru dengar
Syukron Barokallah Jazakumullah Khoiron 🤲🤲🤲🤲🤲🤲🤲🤲🤲
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِين
اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّد
Al-Qur’an secara jelas menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan melalui substansi yang sama yang disebut sebagai nafs wahidatin (Ruh yang Tunggal) (Qur’an 4:1). Ini berarti bahwa Al-Qur’an tidak mendukung narasi penciptaan Adam-Hawa yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Narasi tersebut dapat ditemui di dalam hadith (yang terpengaruhi oleh narasi penciptaan manusia dari tradisi Kristen dan Yahudi) namun tidak dapat ditemui dalam al-Qur’an. Dengan demikian, jelas dalam al-Qur’an bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kewajiban moralitas yang sama dan hak yang sama (al-Qur’an 4:32). Dalam konsep pernikahan pun al-Qur’an menyatakan bahwa perempuan adalah pakaian untuk laki-laki, dan laki-laki adalah pakaian untuk perempuan (al-Qur’an 2:187). Jadi jelas bahwa dalam al-Qur’an, perempuan dan laki-laki memiliki derajat yang sama di hadapan Allah SWT. Hadith merupakan hal yang lain lagi. Hadith, tidak seperti al-Qur’an, merupakan cerminan dari masyarakat dan sistem nilai yang mereka anut di saat itu. Maka lebih sulit untuk menemukan hadith yang dapat dikatakan sebagai dalil untuk ‘kesetaraan gender’. Namun, bagaimanapun juga, sejarah hidup Nabi Muhammad merupakan cerminan penghormatan terhadap perempuan yang sangat tinggi. Ambil contoh soal persetujuan perempuan dalam pernikahan, ada sebuah narasi hadith yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad menyetujui permintaaan cerai seorang perempuan yang dinikahkan oleh orang tuanya dengan seorang laki-laki tanpa persetujuannya. Perempuan ini lalu mengadu kepada Nabi soal pernikahannya, dan Nabi menyetujui perceraiannya dengan laki-laki tersebut. Ini berarti bahwa konsep ‘consent’ dalam bentuknya yang awal sudah diterapkan oleh Nabi dalam praktek keislamannya. Nabi juga terkenal mendukung istri-istrinya untuk menjadi perempuan kuat yang memiliki peran publik. Selepas Nabi meninggal, untuk beberapa waktu, Aisyah dan Ummu Salamah, dua istri Nabi yang paling cerdas, berperan menjadi pemimpin masyarakat, imam solat di masjid, dan tempat bertanya soal Hukum Islam bagi masyarakat mereka. Walaupun kita harus berhati-hati dalam menggunakan konsep ‘kesetaraan gender’ karena ini konsep modern dan tidak ada pada zaman Nabi, namun praktik kehidupan Nabi terbukti menjunjung tinggi kemanusiaan perempuan seutuhnya.
👆🏻Copas jawaban Lailatul Fitriyah atas pertanyaan:
*Apakah terdapat dalil mengenai kesetaraan gender dalam Al-Qur'an dan hadits yang shahih?*
Bandung hadir nyimak🙏🙏
AllahuAkbar.....