Pertanyaan yang sangat menarik untuk "Apakah TASTE kita SANGAT dipengaruhi oleh media2 yang kita konsumsi atau kita bisa memilih dan menentukan TASTE kita tanpa pengaruh media sama sekali?" Gua mau coba jawab karena mau latih cara pikir gua, well gua bukan ahli psikolog, filsafat, media, dll jadi jawaban gua itu belum tentu benar dan ini hanya pendapat gua oke . . Pertama gua bahas dulu gimana sih cara kita bisa punya "kuasa untuk bebas memilih selera/taste sesuai dengan kehendak kita" (Pilihan kedua di pertanyaan tadi). Menurut gua, cara lu mempunyai kehendak untuk menentukan taste lo itu adalah dengan "proses pembentukan preferensi pribadi". Nah yang menurut gw menarik lagi adalah, pembentukan preferensi pribadi itu pastinya dengan cara proses "Penyerapan informasi secara eksternal" secara terus menerus, contoh: mungkin dari faktor keluarga, faktor lingkungan pertemanan , bahkan MEDIA itu sendiri. Nah, "penyerapan informasi secara eksternal" itu sangat bekerja efektif disaat kita masih masa anak-anak sampai masa remaja. Jadi di masa tersebut, "proses pembentukan preferensi pribadi" itu berpengaruh LEBIH kuat, dan proses tersebut pastinya membutuhkan INFORMASI2 EKSTERNAL (yang mungkin diserap secara terus menerus) untuk membentuk suatu preferensi pribadi tersebut, yang salah satu faktor nya adalah "INFORMASI MEDIA", Yakni pilihan pertama di dalam pertanyaan bang Eno tersebut. Ya semoga pada mengerti apa yang gua ketik barusan. . . Dan ini JAWABAN dari pertanyaan mas Eno yang tadi: Kalo gua pribadi, gua bisa memilih dan menentukan TASTE gua tanpa dipengaruhi oleh media, karena mungkin gua dididik ortu, menjadi seperti itu, bergaul di lingkungan yang membuat gua seperti itu, atau mungkin MEDIA yang gua baca atau gua tonton pada saat itu secara terus menerus yang membuat gua mempunyai preferensi pribadi yang kuat. Yang dimana gua jadi gak sengaja menyetujui juga pilihan mas Eno yang pertama (Kita dipengaruhi oleh media2 yang kita konsumsi). Tolong dibenarkan, para ahli2 di bidang nya thankyou udah buat gua latian menjawab pertanyaan!
Suka gua nih sama argumennya. Argumen kita nggak jauh beda, cuma beda di beberapa poin dan kesimpulan akhir aja nih bang (kurang lebihnya). Cuma kalau gua lebih setuju sama argumen pertamanya eno, kalau "selera dan taste kita itu terpengaruhi sama media" dan gua percayanya kalau kemampuan kita cuma buat kontrol "siapa" yang mempengaruhi kita. Bukan apa "selera" kita.
kalo suatu individu ini memang mempunyai keinginan kuat untuk menentang preferensi yang masuk dari orangtua, lingkungan, dan pola pendidikan dia sejak dini? menjadi seperti punya preferensi sendiri begitu? atau mempunyai keinginan untuk menyerap semua informasi dan preferensi untuk "hanya ingin tahu" dan tidak mengikutinya?
fix ini bukan eno, karena gak bilang 'hey singham'. kemungkinan dia adalah alien yg telah menyamar sebagai eno, karena eno yg asli telah ditangkap, karena telah membuat org-org sadar bahwa alien itu ada.
Menurut gua tontonan itu mungkin berpengaruh besar dalam cara kita berfikir tapi ga cmn tontonan aja, faktor lingkungan dan tingkat kekritisan berfikir seseorang juga nentuin kearah mana yg dia pilih. Contohnya tontonan dia "ngedroktrin" A tapi lingkungan sekitar dia malah ga percaya dan percaya dengan B tentu itu bakal jadi bahan berpikir dia untuk percaya yang mana. Dan orang orang yang memiliki kapabilitas dalam berfikir kritis akan menganalisa dulu semua informasi sebelum dia menentukan hal apa yang di percaya. -duh belibet banget gua ngomong
Emang pengaruh lingkungan cukup besar sih bang, seperti yang althusser bilang bahwa penanaman ideologi dimulai dari unsur terkecil yaitu keluarga, dan itu ditanamkan sejak kita lahir. Jadi persoalan kritisnya manusia terhadap media menurut gw ada 2 hal yang paling berperan, lingkungan dan buku bacaan
"Filsafat dari sebuah Stick" Q: Mengapa stick itu diciptakan ? A: untuk membantu kita mengkontrol permainan dalam video game. Q: Game adalah hal fana.. jadi stick bisa mengontrol hal2 di dunia yang fana itu ? A: semua itu bergantung dari pikiran si pemainnya.. di adalah otak yg mengatur dunia fana itu. Q : Apakah kita hidup di dunia yang fana juga ? Yg dimana kita dikendalikan oleh stick di dunia lainnya ? A: Bisa jadi... dunia itu misterius dan bisa saja dunia kita ini tak nyata
9:18 setuju sama lu bang, filsafat itu bukan mentidakjelaskan tapi mempertanyakan sebuah kebenaran, karena pada dasarnya kebenaran itu tergantung dari perspektif individu itu sendiri, apakah kebenaran menurut kaum kapitalis sama dengan kebenaran menurut kaum sosialis?, filsafat mempertanyakan kebenaran yg tidak final, contohnya ada yg bilang akhir dari manusia adalah pada saat dia mati Jawaban nya pasti benar karena lu liat sendiri bahwa ada orang yg mati dan itu final, terus ada yg bilang orng yg belajar di jurusan akuntansi akan menjadi akuntan di perusahaan, nah kalo ini nggak final dan lu bisa membantah, karena fakta nya orang yg menjabat direktur ada kok yg dari jurusan akuntansi, kira kira seperti itu
17:05 menurut gw dua duanyabenar. Tergantung orangnya. Tergantung lingkungannya. Orang bisa memilih dia ingin menjadi apa. Dia bebas pola pikirnya mengikuti media atau membentuk pola pikirnya sendiri. Menurut gw juga media adalah senjata yang op banget karena bisa memengaruhi pola pikir seseorang. Jadi orang yang tidak memasang filter di otaknya akan terpengaruh oleh media dan menentukan orang itu menjadi orang dengan pola pikir yang seperti apa. Maap kalo ada salah..... Kalo bisa kritik :)
Tambahan bang... Orang yang "dibentuk" oleh media, tidak memiliki kemungkinan untuk ber-opini karena ia tidak ada alternatif sebelumnya terhadap info info yang akan didatangkan oleh media. Klo kurang mohon kritik juga ya bang👍
I think, secara sadar ga sadar.. Faktor eksternal itu tetap berpengaruh walaupun semisal impact nya cmn bbrp persen.. But at least apa yg kita lihat, dengar, dan merasakan. Itu semua bakalan ada dampak nya mau lu filter kaya apapun. Itu karena rekap nya ttp ada, karna lu udh pernah pass away sama keadaan itu tadi... Contoh gampang, "anak dibawah umur yg merokok krn meniru ayahnya" dlm hal ini, rekap yg diterima anak ini telah dia ikuti 100% sesuai apa yg dia lihat..... Contoh ke 2 "budi menjadi sedikit temperamen dikarenakan sering dibentak ayah nya 10 tahun lalu" dlm case seperti ini dia secara gak langsung mendapatkan dampak yg dia ga sadari (sifat temperamen) itu dri apa yg dia dengar dan rekap itu menetap didalam si budi..... Tapi pengaruh yg ku maksud di awal ga selalu buruk dn akan ku jelaskan lagi di contoh ke 3.. "eno menjadi skeptis terhadap suatu media masa, dikarenakan kebanyakan media itu selalu menjadi senjata politik oknum sepihak yg selalu menyudutkan lawannya" nah di contoh ke tiga ini eno secara gk langsung mendapatkan benefit berupa pikiran yg mempertanyakan kebenaran itu sendiri yah simply kedewasaan dan ga gampang di boongin.. Inti pernyataan ku itu "ttp bakalan ada dampak maupun lu filter kea gimanapun, entah itu secara sadar / ga sadar
Point lingkungan, gw setuju. Kita dari kecil sudah menerima informasi yang tidak bisa dihitung lagi sumbernya. dari pengalaman gw, bang eno telah mengubah pandangan gw terhadap meme. Dan ketika gw menerima pandangan dari sumber lain, gw tetap memegang pandangan dari eno yang lebih kuat di dalam pikiran ku. Gw mengambil kesimpulan, bahwa mungkin pikiran kita dipengaruhi pers dengan argumen terkuat dan terjelas yang pernah kita terima dan selalu berubah ketika pandangan yang lebih kuat datang. Argumen gw memang kedengaran edgy atau cuma perasaan gw aja?
Gua jawab menit 17:05 Gua setuju sama statement pertama eno. Selera kita, cara pandang kita secara gk sadar bakal kebentuk sama pengaruh apa yang berhasil kita indrai. Dan itu pasti. Baik itu bentuknya bacaan, tayangan, atau sebagainya. Kendali yang kita punya bukan untuk menentukan selera kita, tapi kendali yang kita punya adalah untuk menentukan, kita mau di doktrin sama media yang mana. Kebebasan kita cuma sebatas itu. Semua pola pikir kita, dan lain lainnya pasti di pengaruhi sama apa yang kita indrai.
Kalo selera kita tanpa sadar terpengaruh karena media mungkin bakal ada namanya mediaisme, yang pandangan hidupnya selalu ke media tanpa mengikuti alur pikiran sendiri dan mengkritisi hal yang di pertontonkan oleh media. Contoh Pilpres. Media bebas membesar besarkan no 1 atau 2 dan memberi fakta fakta berlebihan ke nomor 1 atau 2 atau 2 2 nya. Sehingga masyarakat yang menitik pusatkan seleranya ke media pun akan mengikuti media tersebut, dan parahnya lagi kalo influencer sudah ikut²an. Coba selera kita masih bisa dibentuk dan membuat selera sendiri terhadap media, kita bisa melakukan apa yang seharusnya sesuai daripada yang diberitakan oleh media. (Mediaisme cuma bercanda kita berandai² saja jika beneran ada namanya mediaisme yang lahir sebagai komedi) Intinya ya kalian buat lah selera terhadap media sendiri tanpa keikutan.
numpang berargumen disini ya kak hehehekalo menurut gua pribadi bukan media yang menentukan selera dan cara pandang kita, tapi selera kita sendiri lah yang menentukan media apa yang akan kita baca/cari/tonton atau telusuri. contoh mudahnya misalnya kalian suka atau tertarik sama suatu bidang nih, pasti kalian bakal penasaan dan bakalan mencari bahan tontonan/ bacaan tersebutkan, tapi gasemuanya juga kalian suka kan? dalam satu bidang tersebut pasti ada yang jadi favorit kalian ada juga yang bahkan kalian gasuka. kalian pasti akan cenderung memilah hal tersebut, apa yg kalian beneran suka dan sesuai sama kalian akan kalian tonton dan kalo kurang ya gaakan kalian telusuri.
@@silviazarda1381 tapi kalau lu suka ama konten filsafat... Dan karena menonton video ini,lu ngefans ama Eno. Apa lu nggak nonton video eno yang lain diluar topik filsafat? *seperti rabu cringe atau meme reaction. Jadi menurut gw media juga mengambil alih sih terhadap pola pemikiran kita,namun tidak 100%
@@silviazarda1381 setuju bgt, kita memilih jenis informasi dan media yg kita suka. Tapi, menurut gw, setelah kita ketemu satu media yg "cocok" sm kemauan kita, nantinya media itulah yg bisa ngerubah pola pikir kita pelan2. Akhirnya kita -misal- condong ke 1 pihak, atau memandang kasus sebelah mata, itu karena kita udah percaya sm media favorit kita.
@@silviazarda1381 jika memang bukan media yang menentukan tetapi selera kita sendiri, bagaimana jika informasi dari media yang kita cari atau telusuri adalah informasi yang dikehendaki oleh media itu sendiri untuk disebarkan? kita masih punya kendali atas apa yang mau kita cari, tapi media punya kendali atas informasi informasi yang beredar. sehingga media dapat membangun tembok yang mengitari kita untuk membatasi informasi yang kita seharusnya tau. dan kita akhirnya tidak menyadari bahwa media telah mengurung kita di ruang kuasa media, karena perhatian kita tertuju pada apa yang kita suka saja. jadi kayak, "gw kasih informasi yang lu suka, gw simpen informasi lain rapat rapat tanpa lu ketahui".
@@silviazarda1381 kalau menurut gue media sendiri lah yang membentuk selera masyarakst luas karena jalur keluar masuknya informasi tuh mayoritas dari media, contoh positifnta bisa lu liat kayak skrg banyak media mencoba menyisipkan pemikiran lgbt bahwa mereka sebenernya bukan penyakit dkk dari situ terbentuk lah pemikiran masyarakat bahwa sebenernya lgbt itu bukan penyakit ada kok dokumenter yang ngejelasin bahwa selama ini selera masyarakat
17:05 kalo menurut gw semua orang pasti udah memilih media apa yang ingin dipilih dan dinikmati namun, semisal sudah memilih tontonan via Media mainstream semacam TV swasta kan disana menurut gw menerapkan template "Hiburan yang yang harus ditonton semua orang" sedangkan media seperti RUclips menerapkan template "Hiburan untuk semua orang " Yang dimana media seperti youtube menyajikan berbagai hiburan yang siapapun,umur berapapun,strata sosial apapun dapat menikmatinya
Tapi pernah dibongkar sama documentary out of shadow dimana semua hiburan dan informasi yang kita dapat udah diatur oleh pemerintah amerika karena emg udah ada kesepakatan dari semenjak kelar perang dunia 2 pemerintah meminta untuk mengatur media apapun dari berupa hiburan maupun media informasi lainnya untuk membentuk karakter masyarakat mereka tetapi karena hiburan mereka udah masuk jadi konsumsi internasional jadi yagitu makannya bermunculan orang2 seperti chomsky mungkin rada kedengeran kaya teori konspirasi sih
Keadaan dilema dimana kita tidak bisa mendapat info hanya dari 1 sumber dn dimana 1 sumber diantara banyaknya telah menjadi alat politik.. kalu pun kita dibentu oleh pemikiran kita sendiri, apakah akan ke jalan yg penuh kontra atau pro ?. Toh kita juga harus menghargai fakta yg diberi oleh petinggi negara.
Dari pengalaman sendiri dan orang-orang terdekat. Bisa dibilang, media sendiripun telah menjadi pengatur pendapat, pola pikir orang-orang. Baik orangnya itu sadar, ataupun secara tidak sadar. Bahkan saat orang-orang ini berusaha untuk membuat pendapatnya atau pola pikir sendiri. Sebenarnya, tanpa sadar yang mereka sampaikan atau pkirkan, hanya pendapat atau pola pikir yang mereka dapat dari media, dan dikembangkan begitu saja sama mereka. Singkatnya, sebagaimana apapun pendapat atau pola pikirnya seseorang, sebenarnya pendapat dan pola pikir mereka itu hanyalah apa yang didapat mereka dari media yang biasa mereka lihat dan ikuti selama ini.
Joystick adalah manifestasi fisik dari sebuah jiwa,raga dan pikiran yg disatukan dalam bentuk hardware supaya kita bisa merealisasikan koneksi pada proses input kehendak kita dalam bermain game
Filsafat adalah seluruh bentangan episode perjuangan dan pengorbanan seorang anak manusia yang hanya bisa ditutup oleh tirai kematian.Filsafat adalah sebuah dambaan dan dambaan (kerinduan) hanya mungkin hadir jika masih ada sesuatu yang belum selesasi; masih ada sesuatu yang belum tuntas; masih ada sesuatu yang dicari; masih afa sesuatu kekurangan atau defisit. yang paripurna tidak akan pernah mendamba karena tidak ada lagi yang dicari, semuanya sudah utuh dan lengkap. Namun, yang defisit dan yang senantiasa merasa kekurangan selalu merindukan karena masih ada rongga di dalamnya yang membuatnya tidak penuh, tidak utuh dan tidak cukup.
Yang aku dapati adalah selera/preferensi itu bisajadi dibentuk pada masa kecil melalui influencer dominan seperti ortu. Sebenernya di SMA sendiri kalo yang nyicip sosiologi, kan ada bahasan soal sosialisasi atau pendidikan ya, nah ortu sendiri adalah yang pertama(pada umumnya) kasih nyam-nyam ke kita, entah itu berupa kehadiran atau kasih sayang dengan berbagaimacam bentuk. Contoh kecil, seorang pria(straight) melihat wajah ibu sebagai bentuk wanita ideal yang muncul pertama kali, saat dewasa bentuk ideal itu akan menuntun kita untuk memilih pasangan yang serupa dengan ibu, mungkin pernah denger juga jodoh itu mirip sama ortu kita.. karena mungkin secara gak sadar kita mencari kenyamanan yang sama dengam orang tua kita. Atau dalam menentukan selera makanan dan gaya berpakaian... Namun variable influencer sendiri bisa berubah-ubah.. dan media lain seperti media masa dewasa ini cenderung lebih dominan. Media sosial terutama, dimana dengan segala kontennya menjadi realitas sendiri, celakanya ortu yang lalai malah membiarkan anaknya bermain dengan bebas di realitas tersebut, realitas maya, yang tentunya tidak nyata. Akhirnya anak tumbuh menjadi orang yang asing di keluarganya.. dan punya selera sendiri dalam hidup... Kalo keluarganya baik-baik aja pasti selera orang gk beda jauh dari ortunya. Nih mungkin kesimpulan kasarnya, manusia punya selera dasar dalam menentukan pilihannya. Selera tersebut berasal dari influence saat kecil(mungkin golden age ya? Koreksi kalo salah), contohnya ortu, atau yutuber 1M bebas... Nah udah melewati masa kecil itu mereka gak bakal jauh jauh. Jadi inget quotes "orang itu gak berubah, tapi berkembang" lupa dari siapa... Tapi yaitu deh.
gw terbentuk dr ntn lu no... perbedaan nya dulu ama skrng krasa bgt. karena yaitu itu td seperti yg lu bilang. lu menggetarkan pikiran gw untuk berubah scr pola pikir. gw gak tau mau berterimakasih atau tidak, tp jd seorang yg kritis itu malah banyak kepikiran sesuatu. dan tiap nonton sesuatu gk bs enjoy 100% pasti ada aja yg ngerasa kurang sreg.
media tidak mempengaruhi sepenuhnya, karena kita yang memilih dan menfilter media seperti apa yang layak dan cocok untuk konsumsi kita. Jadi semuannya balik ke orangnya masing masing dan tontonanya
17:05 1. Ga cuma media aja sih tapi dari lingkungan juga bisa memengaruhi pemikiran seseorang 2. Menurut gue bisa, tapi media bisa membantu kita untuk mengelola informasi sama buat nambah wawasan baru. Seenggaknya kita ada gambaran akan sesuatu, ini sesuai dengan keinginan atau enggak, trus membentuk opini juga sih
Siapa kita itu terbentuk dengan informasi dan latarbelakang yang membentuk kita. Ketika beranjak dewasa kita baru bisa berpikir dan jika ingin mengetahui sesuatu kita mencarinya. Tapi, apakah yang kita dapatkan dari pencarian kita itu kebenaran? Belom tentu. Semakin sering kita mencari, semakin banyak variabel yang muncul. Oleh sebab itu, kita tak pernah punya kebebasan yang benar2 bebas. Hal ini juga didukung dengan media elektronik (seperti RUclips) yang membuat kita terkurung dalam filter bubble. Hal ini yang kemudian sangat besar pengaruhnya sebab kita hanya mengikuti dan dipaksa secara algoritma untuk menikmati informasi yang hanya dari satu sisi (contohnya informasi dibagian mana kita mengambil sisi, apakah pro, atau kontra terhadap suatu hal) itu dipengaruhi oleh algoritma dan filter bubble. Jadi kita dengan tidak sadar hanya menikmati yang sepandangan dengan kita. Analoginya, kita hanya mendengarkan gema dari teriakan kita sendiri.
F. Joystick menurut gw Joystick merupakan sebuah alat yang kita gunakan utk ngendaliin game Kita analogikan dalam hidup, kita masing masing memiliki joystik/alat yang kita gunakan untuk mengendalikan atau mengontrol kehendak kita (free will), bebas menggunakan banyak tombol pergerakan, analog arah mau kemana hidup kita Kita bebas apakah ingin menjalankan sesuai dengan misi Atau menyimpang dan game over secepatnya Konektor joystick Semakin berkembang dari dulu yang hanya menggunakan kabel hingga sekarang non kabel Sama halnya dengan kehidupan tentunya ada perkembangan dari alat kita untuk menjalani misi hidup dari yang semulanya terbatas asal kabelnya nyampe hingga sekarang menghadap kemana saja dan dimana saja asal tetap terkoneksi kekehidupan yang ingin kita jalani Bentuk joystick pun berbeda dan memiliki kelebihan dan kekurangan masing masing ada yang dapat digunakan untuk seluruh game, ada yang lebih spesifik untuk beberapa game saja, begitu pula dalam hidup kita Alat ini tergantung mau kemana arah tujuan dan konteks kehidupan kita Alat kita mau ke semuanya tanpa hal yang dikhususkan bisa saja Alat kita maunya yang spesifik ke ekonomi / politik / budaya saja bisa Alat itu adalah PIKIRAN kita yang perkembangannya dulu terbatas hingga sekarang yang lebih bebas Kita bebas mengontrol hidup kita dengan arah, tujuan, pergerakan yang kita inginkan tanpa menafikkan segala perbedaan
Pada dasarnya kita dapat memilih media mana yang kita sukai. Kita pasti lebih memilih media yang memiliki pola pikir dan pandangan yang sama dengan kita hanya untuk membuat kita memenuhi hasrat kepuasan dan pembenaran dalam diri kita. Jadi bukan media yang membentuk pola pikir tapi kita yang membuat diri kita terjebak dalam pola pikir media.
Pola pikiran manusia itu bersifat dinamis, jadi akan berubah ubah dengan apa yang ada di sekitarnya. Ketika kita baru lahir, kita memiliki pola pikiran yang sama tapi akan berubah menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. Contoh : lu lahir di lingkungan yang kurang baik, orang tua lu gak bolehin buat keluar. Maka lu bisa jadi Introvert. Nah ketika lu udah beranjak dewasa di SD - SMP - SMA, lu mulai menemukan kelompok sosial yang bisa lu gunakan untuk media pengembangan paradigma lu. Dan dengan ditambahnya fitur fitur dari Era 4.0 ini, lu jg bisa memodif paradigma lu dengan hal hal yang menurut lu menarik sesuai dengan pengembangan paradigma lu dari Bayi sampai lu saat ini. Nah dari situ, juga bisa dilihat kalau Paradigma kita itu sebenarnya dinamis, jadi bebas dirubah semau kita. So The Simple Answer is : Bebas
17:26 menurut q kebebasan itu tidak terjadi ketika kita tidak terikat dengan apapun tapi kesadaran tentang apa yang mengikat kita dan kendali penuh terhadap reaksi kita terhadap ikatan tersebut... Jadi kalau kamu suka sebuah lagu entah karena pengaruh media atau zaman atau lainnya. .. Dan tetap menganggap lagu itu bagus walau sudah lewat jaman atau ampe bosen kmu dengerin itu berarti kmu memilih dengan kebebasan... Tapi kalau kamu suka lagu lalu setelah zaman nya lewat kmu bilang lagu itu kuno atau bilang lagu itu jelek... Artinya kmu menyukai lagu tersebut karena ada pengaruh external yg tidak kamu ketahui mempengaruhi pilihan mu.. Jadi setelah pengaruh external itu hilang makan kesukaan kmu pada lagu tersebut juga hilang
Menurutku, kita bebas menentukan mau kemana arah pemikiran kita, ya dengan menentukan apa saja yang kita sukai dan itu sejalan dengan kehendak kita sebagai manusia.
Klo menurut gw, data pertama kita saat mulai search sesuatu di suatu platform (Google Search, RUclips, dll) menjadi acuan untuk si platform membentuk selera kita. Jadi, awalnya, selera itu ada. Tapi, seiring berjalannya waktu & collect data dari si platform terhadap si individu tersebut, memunculkan algoritma khusus yg menjadikan kolom recommended menjadi alat untuk menggiring selera dari seorang individu sesuai dengan apa yg disuguhin si platform. Tapi, kalo ditelisik lebih kompleks lagi, bisa aja si individu tersebut seleranya uda digiring berdasarkan lingkungan keluarga atau lingkaran pertemanan. Bisa aja sih selera itu gak kebentuk secara sadar. Tapi, hasil dari interaksi yg buanyuak banget. Sampai akhirnya membentuk selera, yg dirasa, sesuai dengan si individu. Long-short story, selera itu ilusi. Yg nyata cuma interaksi antar individu atau individu dengan platform.
Sangat dibentuk oleh media. Karena, selera dan pola pikir terbentuk dari informasi yang sering kita dapat setiap hari. Dan, media memiliki kuasa atas informasi apa yang ingin disebarkan.
Menurut gue sih cara pandang, pola pikir serta selera kita, bergantung dengan apa yg kita terima dri media soalnya, aku pernah diskusi dengan teman sekelas, nah seluruh acuan dan sumber yg dia gunakan dalam argumennya itu berdasarkan influencer yang dia tonton dan yang informasi yang di keluarkan oleh dia, ada yang bertentangan dengan pemikiranku dan pengalamanku dan ditambah tontonan, selera dan informasi yang aku terima berbeda dengan temanku itu.
Menurut saya itu kembali kepada apa yang kita percayai, pola pikir kita terbentuk oleh adanya informasi yang diperoleh oleh Otak kita dan di proses olehnya, tapi untuk dapat di proses kita harus percaya bahwa informasi itu benar, darimana hal tersebut, dari alat informasi yang kita percayai seperti panca indera, panca indera adalah hal yang paling di percayai oleh Otak karena berdasarkan pada informasi yang ada di sekitar kita dan dialami langsung tapi bagaimana jika salah satu panca indera salah dalam menyampaikan sebuah informasi seperti fatamorgana, tentunya itu akan di cover oleh panca indera yang lain untuk menilai apakah pengelihatan salah dalam menyampaikan informasi ke otak dan disini lah terjadi cara berfikir bahwa itu adalah fatamorgana. Jadi cara berfikir kita berdasarkan informasi yang didapat dan tidak dapat memilihnya, tapi kita dapat mempercayai alat informasi yang memberikan informasi yang dapat dipercaya sehingga mempengaruhi bagaimana kita berfikir.
menurutku setiap manusia sebenernya bisa memilih apa yang ingin dikonsumsi dari media. karena pada dasarnya orang yang mengikuti pola pikir yang sudah dibentuk media di lingkungannya juga termasuk pilihan. kalo kita mengkerucutkan ke dasar diri kita, sebenarnya kita punya kebebasan untuk memilih. hanya saja, mereka memilih untuk mengikuti media yang dikonsumsi secara "umum" saja atau memilih untuk mencari media atau informasi yang ingin dikonsumsi sesuai keingginannya. tolong diralat jika penjelasan saya ada yang kurang.
Menurut ku pada dasarnya kebebasan cara pandang dan selera orang itu ada, dan itu terlihat dari pelaku media apa yang dia ikuti. Namun masalahnya beberapa orang memiliki kefanatikkannya sendiri, sehingga sangat percaya pada suatu media (namun sampai disini dia masih berhak untuk merubah selera). Hingga pada akhirnya pelaku media yang bekerja berdasarkan uang, akan membuat konten-konten sedemikian rupa yang menguntungkan si pelaku media ini (menguntungkan pada konteks ini bisa tidak melulu tentang uang) Konten yang menguntungkan itu bisa berupa konten yang jauh dari konsep awalnya. Hal ini lah yang menurutku mempengaruhi perubahan cara pandang dan selera orang-orang yang memiliki fanatisme terhadap pelaku media. Di sisi lain orang-orang ini daya kritisnya hampir tidak ada, dan tidak open minded lagi dengan perspektif lain (atau hanya sekedar tau aja). Dan hal ini tergeneralisir sehingga memunculkan stereotype yang sedemikian rupa.
17:05 apakah selera kita, cara pandang, cara pikir kita sangat2 dibentuk tonton kita, youtube yang kita tonton, tweet yang kita baca ? apakah kita memiliki kebebasan untuk menentukan kita itu mau selera apa atau cara pandang tanpa harus terpengaruh media ? menjawab pertanyaan ini, masih ingatkah bagaimana selera kita pertama kali dibentuk ? apakah dari media atau tidak. misal dari media itu terbentuk maka bisa dicounter jika ada sebuah media yang tertentu dan itu berbeda dengan selera anda (seperti sebuah perasaan tidak senang) dan malah benci berarti masih ada kebebasan dalam menentukan selera anda. silahkan dicounter
DISKUSI YUK Kalau menurut gua pribadi, gua setuju sama pilihan ke-1. Karena emang bener pola pikir kita terbentuk lewat pergaulan, tontonan, dan kualitas pendidikan. Contoh sederhana yang gua alamin adalah, Kalau gua ketemu sama orang yang masih nonton acara " RUMAH UYA dan mereka anggap itu beneran dan bukan settingan " maka gua bisa simpulkan mereka orang yang jarang menyaring informasi, bahkan malas membaca. Atau mereka hanya membaca dari 1 sumber informasi terus langsung percaya gitu aja, tanpa mencari informasi tambahan lainnya. Karena bisa gua maklumin, kualitas tontonan televisi kita masih kurang mendidik karena mereka juga butuh makan jadi mikirin rating. Kenapa dampak tontonan di televisi lebih berpengaruh padahal RUclips di Indonesia udah bukan hal asing lagi ? Ya karena acara di televisi lebih murah dan lebih mudah di jangkau dari pada RUclips. Dan menurut gua pilihan di RUclips lebih luas dari pada acara di televisi. Hal ini yang gua sadari setelah gua kuliah. Menurut gua Kampus itu adalah tempat diskusi paling bagus, apalagi kampus yang punya akreditasi bagus, kenapa begitu ? Karena lu bisa mulai bergaul dengan banyak banget orang dari jurusan yang berbeda-beda dan kultur yang berbeda. Gua gak bilang kalau semua orang yang kuliah, pola pikirnya bakalan lebih bagus dari yang gak kuliah. Tapi minimal orang yang kuliah pola pikirnya akan lebih di pacu untuk lebih kritis. Jadi kita minimal bisa lebih melek untuk mencari tahu dan menyaring informasi yang akan kita dapatkan. Jadi kesimpulannya gua lebih setuju sama pilihan ke-1, karena memang di Indonesia mayoritas masih seperti ini. Tapi kalau lebih baik mana ? Gua pilih ke-2, karena pilihan ke-2 itu bisa bikin negara kita maju dengan rakyatnya yang emang udah mulai peduli sama yang namanya menyaring informasi.
17:06 manusia tidak bisa bebas menentukan pola pikirnya, karena manusia belajar dari apa yg di dengar, di lihat, di rasa, atau semuanya sekaligus. Bahkan dari kecil/bayi, pengalaman sekecil apapun, dapat menggiring pola pikir terhadap sesuatu sesuai pengalaman itu, termasuk juga video di youtube, influencer atau selebtwit favorit kita. Kita mungkin merasa kita telah membuat pola pikir kita yg sendiri, utuh tanpa pengaruh orang lain, tapi secara tidak sadar, pemikiran tadi sudah merupakan hasil dari pembentukan pola pikir dari apa yg kita tonton. Contohnya ya saya sendiri, nonton Eno Bening, Pewdiepie dan youtuber ngomong di depan kamera lainnya, semua kalimat yg saya buat diatas, sebagiannya merupakan pembentukan pola pikir dari nonton mereka di youtube, bagian lain ya mungkin orangtua, temen, saudara, acara TV, bahkan anime. Sekian dari saya, dan untuk kita semua Ste klin en son
menurut saya si bang, output pemikiran kita akan sesuai dengan apa yang kita tonton/konsumsi. Karena bukti kejadian empirisnya sudah banyak, sepertinya yg bang eno sering contohkan dengan kolom trending youtube dimana isinya rerata "sampah" dicerminkan pula dengan pola pikir masyarakat kebanyakan yang rancu ketika mendapati suatu masalah/drama terutama di sosial media. Untuk kebebasan sendiri saya lebih berpikir kalo kebebasan itu telah dipakai diawal ketika menentukan jenis tontonan kita. Kesimpulannya kita tidak memiliki kebebasan berfikir yang 100% bebas karena pasti diplintir oleh media dan lingkungan, namun kebebasan sesungguhnya adalah ketika proses memilih media dan lingkungan tsb.
Sebelumnya mohon maaf kalo aku salah bang, silahkan dibenahi. PERTANYAAN: Apakah selera, cara pandang dan cara pikir kita sangat dibentuk oleh media ataukah kita bisa menentukannya sendiri tanpa dipengaruhi oleh media? . Klo menurut aku bang, selalu ada suatu patokan sebagai dasar bagi diri kita sendiri untuk menentukan jalan berpikir kita, yang akan mempengaruhi cara pandang kita. Cara pandang kita terhadap sesuatu mempengaruhi cara berpikir kita untuk mencerna hal tersebut dan menghasilkan suatu persepsi. Dengan persepsi yang kita miliki, itu akan menciptakan suatu kesimpulan bagaimana kita menanggapi hal tersebut. . Kalau mengenai selera, itu tercipta karena dipengaruhi oleh persepsi kita terhadap suatu hal. . Sedangkan peran media bagi diri kita adalah kita menggunakan cara pandang kita untuk menilai hal tersebut, kemudian cara berpikir kita akan menentukan bentuk persepsi kita, dan dari persepsi itu selera kita akan tercipta atau muncul. Akan tetapi media yang pengaruhnya lebih besar dapat mengubah patokan menjadi berbeda dari yang sebelumnya, sehingga otomatis cara pandang kita pun akan ikut berubah, tetapi jika pengaruhnya tidak terlalu kuat itu takkan mengubah pandangan kita. Jadi, segala hal yg kita dengar dan/atau lihat bahkan yang kita rasakan atau alami akan mempengaruhi cara pandang kita, tetapi kitalah yang menentukan cara berpikir kita sendiri. JAWABAN AKU: Suatu hal yang kita jadikan patokan (yg kita pilih sbg patokan) akan mempengaruhi cara pandang kita kemudian cara berpikir kita, lalu selera kita. Dan kitalah yang menentukan cara pandang dan cara berpikir kita, tetapi jika suatu media mampu memberikan pengaruh yang besar, itu (bisa saja) dapat menggantikan patokan kita yg sudah ada sehingga mempengaruhi cara pandang kita dan semuanya. Intinya mana yang pengaruhnya lebih besar akan menentukan patokan yang akan digunakan. Peace. Salam damai, tolong dibenahi ya bang.
I think, secara sadar ga sadar.. Faktor eksternal itu tetap berpengaruh walaupun semisal impact nya cmn bbrp persen.. But at least apa yg kita lihat, dengar, dan merasakan. Itu semua bakalan ada dampak nya mau lu filter kaya apapun. Itu karena rekap nya ttp ada, karna lu udh pernah melalui keadaan itu tadi... Contoh gampang, "anak dibawah umur yg merokok krn meniru ayahnya" dlm hal ini, rekap yg diterima anak ini telah dia ikuti 100% sesuai apa yg dia lihat..... Contoh ke 2 "budi menjadi sedikit temperamen dikarenakan sering dibentak ayah nya 10 tahun lalu" dlm case seperti ini dia secara gak langsung mendapatkan dampak yg dia ga sadari (sifat temperamen) itu dri apa yg dia dengar dan rekap itu menetap didalam si budi..... Tapi pengaruh yg ku maksud di awal ga selalu buruk dn akan ku jelaskan lagi di contoh ke 3.. "eno menjadi skeptis terhadap suatu media masa, dikarenakan kebanyakan media itu selalu menjadi senjata politik oknum sepihak yg selalu menyudutkan lawannya" nah di contoh ke tiga ini eno secara gk langsung mendapatkan benefit berupa pikiran yg mempertanyakan kebenaran itu sendiri yah simply kedewasaan dan ga gampang di boongin...
Agak sulit ya untuk menentukan pilihan kita bagaimana di era saat ini , apa lagi orang orang yg sejak kecil menyerap informasi2 negatif dan tak masuk akal sehingga pada saat sudah besar mereka akan menerima informasi apa saja dan ikut ikutan saja sesuai keinginan mereka masing2 jadi sang penyebar/pembuat informasi ini sangat berperan besar dalam mengendalikan pola pikir kita dan mengharuskan kita untuk menyerap informasi tersebut
Buat yang pertanyaan tadi, jawaban gw, kita emang terbentuk dari media, lebih tepatnya kita terbentuk karna masyarakat. Selera kita, pola pikir, obsesi dsb, mau gamau emang dipengaruhi oleh orang lain. Tapi asal kita punya kendali, dan sadar mau terpengaruh pemikiran siapa, dan gamau terpengaruh selera siapa, kita masih bisa punya wewenang untuk memilih sesuatu, bukan yang tanpa sadar ikut2an mayoritas atau trend, dan tanpa sadar ikut omongan orang. Btw, kemarin gw abis bikin tulisan tentang "buat gw influencer itu gaada." Gaada yang pure influencer bagi gw, selain kalo gw (secara akal sehat dan perasaan) memperbolehkan orang tersebut menjadi influencer. Itu si.
Menurut saya pola pikir seseorang itu dibentuk oleh apa yang dia tonton atau baca dari sebuah media, tapi dalam waktu bersamaan dia juga dapat memilih media mana yang ditonton atau dibaca sebagai referensi untuk berpikir.
Menurutku sih apa yg disajiin media belum tentu membuat kita jadi nyerap mentah2 apa yang dikasih. Tergantung ke orangnya juga, apa dia punya pendirian yg kuat sejak awal, atau mudah buat digoncangin gitu. Tiap orang masih bisa menentukan apa yg mau ia percayai dan pikirkan, tapi kalo ada yg terbentuk krn suguhan informasi media ya.. balik2 lagi informasi pasti dari media. Tapi ini beda dari topik agama ya bruhh
menurut saya bang eno.... beberapa orang, ada yang cara pandang nya dipengaruhi media dan ada juga yang karena cara pandang nya, dia memilih media mana yang dia ikuti. contoh nya : pengaruh konsumtif seseorang yang juga bisa dipengaruhi iklan/media yang ia tonton. ada juga orang" yang seperti beberapa kami, memilih mendengar dari sumber seperti channel ini. karena enjoy dan 1 suara, dengan apa yang anda sampaikan. jadi, orang" bisa menjadi keduanya -> yang ditentukan dan yang menentukan. tergantung sudah seberapa paham mengenai cara kerja media. kaya yang bang eno sampein di video.
Tentang Chomsky, sebenernya udah sedikit dijelaskan di Mazhab Frankfurt kalo yang pada belajar di ilmu komunikasi, di ilmu komunikasi juga belajar teori-teori media. Dan bener apa yang Eno bilang tentang media yang menanamkan pemahaman kepada publik. Mereka punya power dan framing tertentu untuk mengontrol selera masyarakat. Duh ini gua pelajarin semua di Ilkom pas semester 4-6, sekarang mah lagi nyusun skripsi. Doain ya skripsi urang lancar hehe. Jujur urang seneng banget dengan #FilsafatMenjawab, karena selama ini urang belajar filsafat, tapi masih di bidang komunikasi, jadi butuh perspektif dari anak filsafat beneran. Keep up bang!
kalo menurut gua sih, gimana orangnya itu teguh dengan pemikirannya/keputusannya/karakternya. karena menurut pengalamab gua, ada yang emng gara gara tontonan yang ditonton membentuk pemikiran baru, ada yang gara gara tontonan pemikirannya ngikutin apa yang ditonton, dan ada juga yang mereka teguh dengan dengan pendiriannya walaupun dia menonton suatu tontonan. itu semua tergantung seberapa kuat dan teguhnya orang, analoginya, kalo pohon akarnya engga merambah ketempat yang luas dengan gampang pohon itu lepas dari tanah akibat anginlah, hujanlah, badailah. menurut gua ini. mari berdiskusi :)
Buat pertanyaan pertama 0:46 mungkin dia nanya kayak gitu karena filsafat, seperti yang bang Eno bilang, mempelajari cara berpikir kita dimana disini dimaksudkan memperluas 'sudut pandang' kita terhadap sesuatu sehingga memungkinkan pengenalan diksi yang lebih banyak, sehingga memungkinkan retorikanya bagus. Tapi konteksnya emang salah, karena yang retorikanya bagus bukan cuman orang yang belajar filsafat. 8:11 Mungkin menurut gua aja karena filsafat berdasarkan pada 'keraguan akan sesuatu'. Para filsuf dulu selalu meragukan hal-hal yang diberitahu oleh pendahulu mereka, contohnya peristiwa terciptanya manusia untuk pertama kali mereka meragukan bahwa itu tercipta begitu saja ( makanya muncul teori evolusi Darwin, karena dia menyangkal itu ) cuman kebanyakan 'hal yang diragukan' itu adalah memang belum ada kejelasan. CMIIW
tergantung masing masing individunya. Cara pandang seseorang bisa terbentuk dari media. gimana media mem framing sesuatu supaya terbentuk opini publik yg di mau. jadi kalo kita bisa mencerna sesuatu dr media dengan baik, dan bisa kritis terhadap media, gaakan terpengaruh sihh Btw video nya keren
Untuk menjawab pertanyaan Eno Bening daya pikir kita tidak cuma di bentuk dari media cetak ataupun mass media, tapi yang disebut media ini juga bisa disebut tongkrongan kita; ini yang bisa disebut media pembentuk moral. Jadi mungkin ini makanya ada yang suka bilang "hati hati jangan nongkrong sama orang yang salah" karena mereka bisa melihat daya pikir teman, kerabat, atau keluarga mereka semakin hari ber evolusi. Hal nya sama juga tentang media karena ada istilah "sphere of influence" yang pertama kali digunakan dalam konteks politik dan imperialisme. Topik ini juga sudah dibahas oleh sastrawan Inggris Kazuo Ishiguro dan sastrawan Nigeria Ben Okri lewat karya novel mereka. Okri dan Ishiguro juga sering membahas tentang dunia yang berubah di zaman millenial ini.
Gw pengen jawab soal diakhir videonya nih. Menurut gw dan berdasarkan pengalaman gw. Apakah kita masih bisa bebas buat milih 'selera' atau 'keinginan' kita tanpa dipengaruhi media? Menurut gw, jawabannya masih bisa. Ini tergantung sama diri kita aja, apakah kita mw msih bebas atau kita terlalu males bwt nyari informasi sampe sampe medianya yang ngebentuk pemikiran kita. Intinya, It is up to you. Tapi, nggak bisa dipungkiri juga banyak orang-orang yang pemikirannya sudah terlanjur dibentuk sama media karena kurangnya edukasi. Sama, seperti Eno yang dibilang tadi, kekuatan untuk berpikir kritis mereka sudah nggak ada, jadinya tu informasi main masuk aja. Kurang lebih, seperti itulah pendapat gw.
Menurut gua sih pemikiran seseorang didapatkan dari informasi yang individu tersebut dapatkan, entah dari mananya, namun informasi tersebut dapat mempengaruhi pola pikir individu tersebut, yang membedakan hanya bagaimana individu tersebut dapat memfilter informasi yang didapat
17:5 menurut gw vang kita masi bebas untuk memilih selera kita tanpa tergantung media, coba ambil dari jaman blum ada yutub, facebook, tv, radio mereka memilih selera mereka dengan aktivitas yang mereka lakukan bukan media yang mereka liat. Itu pendapat saya bang
Jawaban untuk pertanyaan terakhir menurut gue : Menurut gua masih bisa sih, buktinya ada orang yg sadar ttg masalah ini. Karena permasalahan kontrol media masih belum parah misalnya kayak yg ada di novel 1984 karya George Orwell. "klo lho sadar ada sesuatu yg salah, lo langsung diuapkan wkwkwk". Klo semakin susah utk berdikari dalam berpikir iya, tapi apakah tidak mungkin saya rasa tidak, kuncinya sekali lagi di hal yang paling mendasar yakni pendidikan. Dan menurut gue, dari zaman dulu kala kebebasan selalu diperjuangkan, ex : kebebasan ilmu pengetahuan dari gereja, kebebasan dari imperial/kolonial, kebebasan dari perbudakan, dll. Klo kita cuman diam dan menginginkan kebebasan berpikir tanpa mau belajar, misalnya belajar mengkritisi, argumentasi, logical fallacy (atau klo di barat itu digabung jadi satu dan disebut liberal art) yaa kita gk akan sepenuhnya bebas, kita terus jdi warga negara yg disuapi informasi bohong shg punya tenaga utk diadudomba mewujudkan kepentingan satu pihak saja. Mari berdialektika 😄😄 Saya bangga dengan timeline youtube saya yg bisa menghadirkan konten ini wkwkwkwk
Menurut saya, perihal selera itu bisa ditentukan oleh media-media yang kita nikmati, dan bisa juga tidak. Semua itu bergantung kepada kedewasaan cara berpikir tiap individu untuk menyikapi hal-hal yang mereka nikmati. Contoh sederhananya, kita bisa menikmati satu hal tanpa membenci hal lain yang menjadi saingannya sekalipun mayoritasnya berpikir begitu. Suka Marvel ga harus berarti benci DC meskipun mayoritas fans Marvel (lebih tepatnya MCU only) berpikir bahwa mereka harus auto benci DC padahal ada value tersendiri yang bisa diambil dari genre-genre berbeda dari pop culture yang kita nikmati. Tapi ya gitu, gak bisa kita sangkal kalau apa yang kita nikmati juga membentuk diri kita, karena seperti saya udah sebut tadi, semua orang pasti menyerap value atau nilai berbeda dari informasi apa pun yang mereka dapat, karena sejatinya tidak ada hal di dunia ini yang bebas nilai.
Filsafat dari joy stick adalah jembatan yang menghubungi antara manusia dalam dunia nyata dengan manusia dalam dunia game (character game) sehingga secara tidak langsung kita sedang mengendalikan orang lain (character game) di universe yang berbeda.
tontonan, bacaan yg kita dpet, yang kita serap itu menurut gua ttp berpengaruh bang, tpi ga besar utk kehidupan sehari hari. kecuali emg org itu yang mengarahkan dirinya utk ga analisis lagi dan mempertanyakan apa yang mereka lihat dan mereka baca atau nerima mentah mentah aja. tetep yang paling berpengaruh itu kita nya sendiri, perjalanan/pengalaman hidup atau empiris sih biasanya yg jdi mendorong orang punya pemikiran. kedua, orang yg berada di sekitar kita dan berinteraksi sama kita, krn kita dpt ide, gagasan, jalan, cara, itu dri kita sendiri dulu yang ngalamin dan baaru lah dari org lain sbg faktor pendukung. tontonan dan bacaan itu jdi sumber refrensi gitu kali bang bahasanya, jadi kita msih bebas bgt mau ngarahin kita mau punya pemikiran kyk apa tanpa harus di cekokin yg gitu gitu dulu. krn klo tontonan dan bacaan itu berpengaruh bgt, terus org org yg di pelosok(yang ga ada tontonan, youtube, dan sumber bacaan yg kurang bnyk) tapi pemikirannya lebih maju dri kita dpt tontonan/bacaan drimana, makanya pengalaman pribadi yg banyak pengaruhnya ke kita utk mikir lbih jauh, maju. panjang ya. kalo ga masuk/ga jelas sama pertanyaannya maap yak
apakah persepsi kita dibentuk oleh tontonan atau sebenarnya kita sendiri itu dapat memilih referensi media yang kita tonton, kalau menurut gw sendiri sih kita itu melakukan keduanya, jadi kita dapat memilih tontonan kita dan juga pola pikir kita sebenarnya juga dibentuk atas tontonan yang kita pilih tersebut.kalau dalam komunikasi sih ini ada teori yang menjelaskan pertanyaan ini. yang pertama apakah persepsi kita itu terbentuk atau terkonstruksi melalui tontonan kita > ini merujuk ke teori jarum hipodermik yang mana kita sebagai audiens, pikiran kita atau cara pandang kita dibentuk oleh tontonan media, jadi media sangat powerfull dan audiens pasif. yang kedua apakah sebenarnya kita dapat memilih tontonan atau jenis media kita > ini terdapat teorinya di komunikasi, yang dikenal dengan uses and gratification yang mana teori ini berasumsi bahwa kita sebagai audiens itu sebenarnya bersikap aktif, kita sebagai audiens memiliki kekuatan penuh atas tontonan kita sesuai dengan kebutuhan kita seperti untuk memenuhi kebutuhan emosi, kita akan memilih tontonan yang bersifat hiburan. jadi intinya kita itu sebenarnya dapat memilih tontonan sesuai dengan kebutuhan kita, dan juga tontonan tersebut membentuk persepsi dalam pikiran kita dan cara pandang kita akan suatu hal. itu sih kalau dari aku, mungking ada pendapat lain atau kritik
Apakah pikiran orang terbentuk karena media atau orang masih bisa bebas membentuk pikirannya sendiri? Bagi gua, keduanya sama sama pilihan, karena pada kenyataannya orang tuh memilih untuk membiarkan media membentuk pikirannya, ada juga orang yang memilih untuk membentuk pikirannya sendiri tanpa andil media, dan ada orang yang memilih untuk membentuk pikirannya dengan cara menentukan media mana yang dapat membentuk pikirannya. Jadi seharusnya mahasiswa filsafat penggembala singham ini tidak bertanya "apakah pikiran kita terbentuk oleh media atau kita masih bisa bebas memilih untuk membentuk pikiran kita sendiri?" Seakan akan orang yang membiarkan media membentuk pikirannya tuh ngga memilih dan ngga bebas, padahal keduanya sama sama pilihan, ngga berarti bahwa orang yang membiarkan media membentuk pikirannya artinya dia ngga bebas, orang itu juga bebas, karena ia merasa bebas, makanya ia memilih untuk membiarkan media tertentu membentuk pikirannya. beda ceritanya kalo kita hidup di negara otoriter, misalnya tidak ada media pengkritik pemerintah karna semua media didomestifikasi oleh kekuasaan, itu baru orang ngga bebas karna ia ngga bisa memilih mau mengonsumsi media dan tayangan yang mana, ya karna adanya cuma media dan tayangan yang itu itu aja. Yang menarik dan seharusnya ditanyakan adalah 1. "Lalu siapa yang membentuk pikiran orang yang ada di balik media? Apakah benar ia membuat media untuk mempengaruhi pikiran orang? Kalau iya, untuk apa?" 2. "Kalau bukan melalui media, lalu orang membentuk pikirannya melalui apa? Apakah cara dia membentuk pikirannya berbeda dengan cara orang itu (orang yang memilih untuk membiarkan media membentuk pikirannya) dengan cara ditonton, dibaca, didengar, dll? Kalau ternyata caranya sama, lalu buat apa ia memilih untuk membentuk pikirannya sendiri?"
2:03 stik : walaupun selalu ditekan pengguna, tetep bekerja sesuai fungsinya yang ditekan. oleh sebab itu walau selalu ditekan orang lain. jalanilah dirimu sebagaimana fungsimu
gw sebenernya pengen debat dibawah, cuma kenapa pendapat saya dgn yg lain sama? kenapa pola pikir kita sama? apa karena media kita sama? atau tontonan kita sama? apakah eno sudah menggiring cara berpikir kita? apakah kita masih bisa percaya eno? *yg 2 kalimat terakhir canda bg.
FILOSOFI SEBUAH JOYSTICK ADALAH Sebuah benda yang dapat dianalogikan sebagai sebuah uang Dimana uang tersebut dipakai oleh Kapitalisme ,lalu kapitalisme sendiri adalah produk ideologi yang seharusnya bisa kita kontrol bisa kita kendalikan tapi dia yang malah mengendalikan perilaku manusia menggunakan sebuah alat yang dinamakan uang tersebut Karena hal itu joystick dapat di ibaratkan dengan uang sementara Game dapat diibaratkan dengan kapitalisme itu sendiri Game yang seharusnya kita kendalikan tapi malah mengendalikan kita dengan perintah2 yang ada di dalamnya Joystick hadir sebagai salah satu alat /produk yg digunakan game untuk mengendalikan itu~ Itulah filosofi dari joystick tsb menurut saya~
Pendapat gw dr pertanyaan bang eno gini bang, pas masih kecil, cara pandangan kita sangat terpengaruh sama lingkungan sekitar kita, mulai dr tontonan kita sampe perilaku orang disekitar kita. Tapi saat udh cukup dewasa, lama kelamaan kita punya cara pandang kita sendiri (yang sebenernya berasal dari masa kecil kita) yang lebih kokoh (dalam arti ga gampang terpengaruh) karena udh tertanam dari kecil. Walaupun begitu, orang dewasa tetap bs terpengaruh cara pandangannya karena manusia terus berubah-ubah/beradaptasi, maka pandangan kita juga bs berubah-ubah tetapi perbuhannya tidak terlalu drastis.
Imo, untuk menjawab pertanyaan eno yang diakhir, memang sih kita bakal naif buat bilang "nggak kok, kita masih bisa pilah pilih mana yang bagus buat gw dan yang nggak", but at the end of the day pasti kita bakal ke influence sedikit2 dari yg kita temui atau encounter sehari-hari, baik itu menurut lo hal yg baik jadi lo memutuskan untuk terima atau sebaliknya juga. Jadi ya, disini memang diperluin peran media yg jadi "tembok pertama" untuk memilah mana2 info yg harus diterima di masyarakat Kecuali lo bisa nyerap semua informasi yang ada di dunia ini, which is u can't, karena keterbatasan oleh waktu itu sendiri
Wah gila no, ilmu baru dari lu, tentang chomsky, gua baru denger pertama kali, alhasil gua harus dengerin itu 2 sampai 3 kali buat sedikit paham tentang apa lu yang bilang. Tapi gua kepikiran sesuatu setelah denger lu di sekitar menit 11:50 - 12:15 Kalau bisa aja, media di indonesia ngegiring opini masyarakat kalau pemerintah itu ngendaliin media, membuat seolah olah kita kembali ke zaman otoriter. Yaa balik lagi untuk kepentingan kelompok tertentu.
Menurut gua itu bergantung pada individunya sih, kalo si individu tipikalnya ga punya pendirian ya bakal di bawa ombang ambing ama media, sebaliknya klo tipikalnya teguh dengan prinsip...mereka sih biasanya menerima dlu masukan dr media lalu memilih mana yang paling sesuai dengan dirinya
Bang bahas filsafat dari anime Hyouka. Kan tu anime memecahkan kasus dari sebuah pemikiran seseorang. Contohnya ada suatu kasus di anime itu, kasusnya mengapa seseorang menciptakan suatu buku yang berjudul "Hyouka".
Petinggi petinggi media bisa mengatur ruang publik yang ada di masyarakat bang. contohnya, banyak masyarakat terpecah belah menjadi beberapa golongan karena di kambing hitamkan oleh kepentingan politik dan dampaknya masyarakat berseteru di ruang publik (cth kolom komentar di medsos)
Kalau manurut saya nih bang eno dari pertanyaannya saya sendiri masih mempunyai kebebasan dari selera yang saya ikuti dari sosial media itu, karena saya sudah bisa memfilter mana yang benar dan mana yang salah. Akan tetapi kalau kita berbicara realitas skrng orang-orang terbentuk tidak melalui selera atau kebebasan nya dia sendiri melainkan dengan apa yg telah di sajikan platform sosial media itu, sehingga orang-orang tidak memikirkan mana hal yang baik atau buruk dan berpengaruh cara pandang dan berpikirnya juga.
Tentang pertanyaan mentidak jelaskan hal yg jelas itu adalah argumen orang orang ketika kita mengritisi orang yang didewakan(dipuja puja, dan semua yang dikatakan olehnya dianggap benar oleh pengikutnya) untuk menghentikan pengkritisan bang.
Pertanyaan eno akan saya jawab dengan sebuah teori psikologi yang dikemukakan oleh seorang penganut Behaviorisme bernama Albert Bandura. Bandura, melalui Social Learning Theorynya pernah bilang bahwa manusia akan mempelajari dari apa yang kita lihat. kita kemudian akan berusaha melakukan reka ulang alias 'modeling'. modeling ini, dikembalikan ke penilaian masyarakat dimana jika masyarakat mendukung, suatu perilaku baru terbentuk dan jika masyarakat menolak, maka suatu perilaku kemudian hilang. so, yeah. perilaku, pola pikir, dan cara pandang sangat dipengaruhi oleh apa yang kita lihat dan bagaimana sosial melihatnya juga
Mau ngejawab pertanyaan bang Eno Kalo menurut gw sih pemikiran kita banyak yang terbentuk melalui hal-hal yang kita alami, dalam kasus ini media massa yang dimana banyak sekali hal-hal yang bisa menarik perhatian kita. Contohnya ketika gw nonton video "apa itu filsafat" bang Eno bikin gw tertarik dan akhirnya mencoba nonton konten bang Eno yang lain. Dari sini gw belajar banyak dari bang Eno, gw mulai mencoba untuk mengkritisi berbagai hal dan hasilnya benar-benar mengubah cara gw untuk memahami suatu hal. Jadi ya... gw setuju kalo pemikiran manusia dibentuk oleh media massa bahkan tanpa butuh persetujuan kita untuk diubah pemikiran kita sedemikian rupa. Itu pendapat gw sih
Kalo gue, lebih milih jadi authentic aja bang. Ga mau kebawa media. Walau pun, resiko gue dianggap aneh, anti sosial, temen pun dikit. Gue bisa nya gini karena selalu ikutin intuisi gue. Gue suka musik rock dan metal. That's me. Walau cewek yang gue deketin bilang "I dont like it". Dan gue ga merubah hal itu malah gue kirimin dia lagu band rock. Supaya dia bisa ngerasain feel yang gue rasain juga. Justru sekarang gue rasa mulai jarang orang yang bisa authetic dalam berfikir. Ga kebawa media. Apa lagi sekarang ada bahasa " google ga selalu benar". Ya bener juga mungkin 10 tahun lalu orang percaya aja sama apa yang google bilang. Tapi malah sekarang google di jadikan agama baru wkwwk. You are what you eat. You are what you read. You are what you listen. But, you must filter it before you speak. Disini kayak Bang Eno bilang. Kritis itu penting.
Menurut gw sih bang,kita sendiri yg menentukan cara berfikir kita dan,media adalah alat kita untuk mempelajari/menyalurkan cara berfikir kita karena kan pada akhirnya kita sendiri yg milih2 mau nonton apa dan mau liat apa,"kalau dia berfikir begitu karena terpengaruh gimana?" ya berarti memang itu saluran media yg tepat bagi dia utk carsa berfikirnya,toh pasti gk semua info kan yg disimpin di otaknya
keren no, nambah ilmu. lebih asik bikin segmen baru, misal ini filsafat atau ini filsuf yang dimana ngebahas tentang filsuf dan pemikiran yang dikemukakan, sekedar yang lu tau aja tentang si filsuf yang dibahas
17:05 menurut aku itu tergantung orangnya. Contoh kalo aku sendiri itu yakin sama pola pikir sendiri. Tapi sebelumnya' aku ngeliat berbagai macam pola pikir di youtube atau pun media lainnya. Nah disana aku ngeliat mana pola pikir yang menurut aku bener walaupun pola pikir tersebut masih jarang terpikirkan orang lain.
17:05 Jawaban gw bang : Pertama. Pada dasarnya pikiran manusia bebas karena adanya ide dan imajinasi juga kapasitas untuk menentukan baik atau buruk pada bagian otak PFC. Jadi sudah barang tentu manusia bisa ber-opini dan kebebasan untuk berfikir juga menentukan selera. Jangan jauh jauh... Contohnya bang Eno aja. Bang Eno sendiri bisa mengeluarkan pendapat pribadi dan bebas ber-opini. Sehingga kalau bang Eno bisa kenapa yang lain tidak?? Ke dua. Untuk kemungkinan yang dikendalikan oleh media, menurut gw, orang itu hanya tidak memiliki kemungkinan kemungkinan terhadap informasi yang dimunculkan oleh media sehingga orang tersebut "dibentuk" oleh media karena tidak punya pilihan atau alternatif lainnya. Sekian dan mohon untuk dikritisi :)
Tambahan.... Kurangnya edukasi tentang kritisisme jadi masyarakat kurang bisa kritis dan tajam dalam menganalisa. Sehingga kurangnya kemampuan untuk mendatangkan probilitas
Filosofi di balik joystick joystick sbagai alat pengganti mouse , keyboard untuk mempermudah seseorang dalam bermain game , sama halnya dengan laptop pc dengan pc desktop , laptop pc sebagai alat mempermudah kita untuk di bawa k mana mana
kalau gua yah, kan pernah baca buku filosofi teras yang isinya itu menjelaskan sedikit tentang stoicism dan kalau disitu itu ada yang namanya dikotomi kendali. jadi ada hal yang dibawah kendali kita sama ada hal yang diluar kendali kita. nah kalau pertanyaan bang Eno kayak gitu, menurut gua kita punya kebebasan sepenuhnya atas bagaimana cara kita berpikir, pola berpikir kita, bagaimana kita merespon informasi yang kita dapat. karena berdasarkan buku itu pikiran, perkataan, dan perbuatan kita berada dibawah kendali kita dan kita memiliki kebebasan sepenuhnya atas mereka CMIIW
Bagian yang sama antara matematika dan filsafat adalah didalam memelihara keruntunan penalaran. salah bernalar dalam matematika dan salah bernalar dalam filsafat itu fatal.
Menurut gw kita masih bisa milih sih kita mau punya pola berpikir seperti apa kalau kita mau belajar kritis ama berpegang teguh ama prinsip tapi karena pengaruh sosial dimana segala hal pasti dipengaruhi oleh media kita cenderung kebawa arus buat ngikutin hal tersebut. Ya alasannya karena ada sangsi sosial kalau punya pola berpikir berbeda atau berbeda dari orang kebanyakan ya pasti dikucilin dibilang anehlah, ga open mindedlah.
Kalo gua pribadi merasa bahwa gua masih sangat bisa menentukan apa yang gua mau liat atau tonton, dan ya itu sangat membentuk diri gua saat ini, karena menurut gua informasi yang bakalan masuk ke otak kita dan kita pahami betul itu adalah informasi yang kita ingin tahu, gua berfikir seperti ini karena gua menyadari bahwa hal2 yang gw pelajari dulu saat SD, SMP, SMK itu banyak yang nggak nempel sampe sekarang, dan yang nempel di otak gw itu ya yang gua suka doang
"Logic of mind" this a good video i like discus 👍 Ya sekarang kan tetap sama saja sih media sekarang di dalam nya orang yang punya power di pemerintah jadi ya sama aja pemerintah menggunakan media publik untuk kepentingan juga jadinya.
Sekarang gw idealis sih bang dibanding diri gw yg sebelumnya, yg dahulu kala atau beberapa tahun silam, itu masih stuck di pikiran doktrinasi atau stigma yg beredardan pada saat itu gw sngat jelas materialis sekali, lingkungan ug sangat mempengaruhi gw, smpai pda proses gw mempelajari filsafat timur atau pun barat gtu dan sekarang gw idealis sih dengan apapun yg media massa beritakan dan jgaa sedikit kisah, dlu gw saking materialisnya terhadap lingkungan atau media maassa .. itu jaman pesta pemilu gw ampe kena stir dogma masyarakat ttg capres dan cawapres yg mereka suka dan bahkan membuat gw gabisaa purely memilih capres secara real kalkulasi atau kriteria yg gw mau dan ternyata ortu gw pun kesetir media . .. . . Itu sedikit pengalaman gw boss kuhhh
mau jawab pertanyaan di akhir video dunia kan sekarang dikuasain sama 2 kelompok besar yaitu sama kelompok pemerintah dan sama kelompok yang punya kepentingan yang bermodal. Kita, "kadang" merasa kala mengambil keputusan saat ini adalah keputusan pribadi padahal secara tidak sadar keputusan tersebut ditentukan oleh media massa yang dibaca. Kedua, kita bersikap kritis terhadap media massa, harus mau mencari sumber-sumber lain (second opinion), harus menggunakan akal sehat dalam menyimpulkan informasi atau berita yang didapat ditimbang mengikuti apa yang menjadi tren dalam media massa. jadi asumsi gw ya kita secara gak sadar dikendalikan oleh media dan sikap berpikir kritisnya tergantung orangnya masing-masing sehingga menghasilkan spekulasi yang berbeda-beda
Ia, maenurut gw cara pandang kita selera kita sangat bisa di pengaruhi oleh media massa ataupun dari sosmed dan tontonan youtube. Ntah pngaruhnya dari cara bicara kita, gaya hidup kita, sedikit tidaknya pasti berpengaruh. Dan itu bisa tak prhatikan di ank gw yg umurnya masih 5 thnan. Yg waktu itu gw dpt kecolongan waktu dia ntn youtube tanpa pngawasan dari gw. Yg entah itu dia niru cra bicara atau kata yg di ucapkan oleh youtuber yg ia tonton.
Klo soal bohong filsuf lebih membuat fallacy. Klo soal semua ilmu, sprtny mksndy gini, bisa lbh cpt bljr apapun. Terjamin mngkin mksdny tdk mudaj dibohongi. Susah cari kerja. Itu krn disini pemikiran kritis kurang dihargai. Disini untuk bisa berhasil, celahnya kecurangan, bkn perbaikan/kebaikan. Bkn menidakjelaskan, tp menggali kebawah definisi yg jd dasar dr sesuatu. Kdg dlm suatu masalah saat kita buntu, kita harus cari jalan lain, termasuk mendefinisikan ulang sesuatu supaya relevan dgn masalah yg ada sehingga jalan keluarnya ditemukan. Ini mungkin sprt siapa tuh yg blg " ga ada yg namanya kebenaran, yg ada hanyalah kesalahan yg tertunda". Nah jika definisi atas sesuatu saat ini kita anggap kebenaran, mk dgn filsafat kita bisa gali lbh dlm dan temukan kesalahan definisinya sehingga yg tdnya buntu skrg jd dpt jln keluarnya.
Entah kenapa pertanyaan lu itu ngingetin gw soal pemikiran Boethius ttg kehendak bebas. Gw ga yakin ini bisa ngejawab atau engga, gw cuma kepikiran aja. So biar gw jelasin dulu kalau salah kasih tau gw. Boethius bicara tentang solusi atas pertanyaan " Jika Tuhan sudah tau apa yang akan kita lakukan, gmana bisa itu disebut sebagai kehendak bebas" buat selanjutnya gmna"nya silahkan caritau sendiri soalnya bakal panjang. Gw ngerasa teori ini bisa dipake disini. Jadi intinya pemikiran Boethius itu ngomong kalo hal yang sama dapat diketahui dengan cara yang berbeda, tergantung dari sifat daripada subjek masing-masing. Contohnya, kucing bisa tau kalo matahari itu entitas yang bisa dia rasakan, tapi manusia lebih advance lagi dia bisa tau jarak ke matahari, suhunya berapa, dsb. Nah kalo dianalogikan media kita bisa terus mengikuti media dan menelan informasinya sebagai hal yang membentuk pribadi kita, tapi kalo kita bisa keluar dari batasan-batasan yang terbentuk oleh media, kita bisa jadi apa yang kita mau. Jadi kalo ditanya "kita terbentuk atas media yang kita ikuti atau kita masih bisa menentukan kebebasan selera kita sendiri" sama aja kek lu lagi baca comment gw ini skrg, tapi itu kan ga menghalangi lu buat baca comment yang lain. Media itu "seolah-olah" ada untuk membentuk lu tapi itu tidak menghalangi lu untuk jadi bebas. Mungkin gitu, maaf bgt kalo membingungkan dan berbelit-belit. Gw juga ga yakin kalian paham soalnya gw juga ga terlalu bisa ngejabarin dengan bener. Tapi pointnya ada di akhir.
Pribadi itu berpengaruh bang,ambil contoh dari gw nonton anime.Beberapa genre misal psikologi sering kali masalah yang didalemnya hampir mirip mirip dgn masalah yang gw adepin di dunia nyata.Scene/masalah di dalem anime bisa jadi referensi pemikiran,tapi lingkungan juga berpengaruh dengan pikiran.Misal di lingkungan orang agamis,bisa jadi pikiran ikut jadi agamis. Gak 100% tontonan mempengaruhi pikiran,totonan bisa jadi referensi & masalah dilingkungan sekitar pun sama.Tinggal pilih mana pikiran yang sekiranya logis atau cocok sama masalah yang diadepin. *Maaf g pake bahasa Indonesia yang baik sesuai KBBI
Jadi bang eno, contoh filsafat yang ditawarkan oleh chomsky itu contohnya bisa kita lihat di Indonesia pada saat ini, seperti media kita yang melebih-lebihkan dan menyudutkan kaum Yahudi sebagai umat Iblis dan musuh bersama yang harus dibantai, sehingga masyarakat terbentuk pemikiran bahwa pantas kalau yahudi itu harus dibantai dan dijahatin tanpa melihat sisi kemanusiaan, apakah itu termasuk penggiringan opini oleh media yang dikatakan chomsky?
Ohh itu membuat opini publik yg menyudutkan suatu aliran kepercayaan dan ada suatu kelompok aliran kepercayaan lain yg mmbuat seolah" (kepercayaan ini buruk) secara menyeluruh. Pdhal bisa opini ini digiring dalam konteks kemanusiaan bukan kepercayaan.
Pertanyaan yang sangat menarik untuk "Apakah TASTE kita SANGAT dipengaruhi oleh media2 yang kita konsumsi atau kita bisa memilih dan menentukan TASTE kita tanpa pengaruh media sama sekali?" Gua mau coba jawab karena mau latih cara pikir gua, well gua bukan ahli psikolog, filsafat, media, dll jadi jawaban gua itu belum tentu benar dan ini hanya pendapat gua oke
.
.
Pertama gua bahas dulu gimana sih cara kita bisa punya "kuasa untuk bebas memilih selera/taste sesuai dengan kehendak kita" (Pilihan kedua di pertanyaan tadi). Menurut gua, cara lu mempunyai kehendak untuk menentukan taste lo itu adalah dengan "proses pembentukan preferensi pribadi". Nah yang menurut gw menarik lagi adalah, pembentukan preferensi pribadi itu pastinya dengan cara proses "Penyerapan informasi secara eksternal" secara terus menerus, contoh: mungkin dari faktor keluarga, faktor lingkungan pertemanan , bahkan MEDIA itu sendiri. Nah, "penyerapan informasi secara eksternal" itu sangat bekerja efektif disaat kita masih masa anak-anak sampai masa remaja. Jadi di masa tersebut, "proses pembentukan preferensi pribadi" itu berpengaruh LEBIH kuat, dan proses tersebut pastinya membutuhkan INFORMASI2 EKSTERNAL (yang mungkin diserap secara terus menerus) untuk membentuk suatu preferensi pribadi tersebut, yang salah satu faktor nya adalah "INFORMASI MEDIA", Yakni pilihan pertama di dalam pertanyaan bang Eno tersebut. Ya semoga pada mengerti apa yang gua ketik barusan.
.
.
Dan ini JAWABAN dari pertanyaan mas Eno yang tadi: Kalo gua pribadi, gua bisa memilih dan menentukan TASTE gua tanpa dipengaruhi oleh media, karena mungkin gua dididik ortu, menjadi seperti itu, bergaul di lingkungan yang membuat gua seperti itu, atau mungkin MEDIA yang gua baca atau gua tonton pada saat itu secara terus menerus yang membuat gua mempunyai preferensi pribadi yang kuat. Yang dimana gua jadi gak sengaja menyetujui juga pilihan mas Eno yang pertama (Kita dipengaruhi oleh media2 yang kita konsumsi).
Tolong dibenarkan, para ahli2 di bidang nya thankyou udah buat gua latian menjawab pertanyaan!
Suka gua nih sama argumennya. Argumen kita nggak jauh beda, cuma beda di beberapa poin dan kesimpulan akhir aja nih bang (kurang lebihnya). Cuma kalau gua lebih setuju sama argumen pertamanya eno, kalau "selera dan taste kita itu terpengaruhi sama media" dan gua percayanya kalau kemampuan kita cuma buat kontrol "siapa" yang mempengaruhi kita. Bukan apa "selera" kita.
Ini ujung-ujungnya masalah "kehendak bebas" wkwkwk
Bukannya yang berperan sebagai "media" disini ortu masnya sendiri ya? Jadi yang mas pilih disini itu hasil dari pengaruh ortu masnya sendiri
kalo suatu individu ini memang mempunyai keinginan kuat untuk menentang preferensi yang masuk dari orangtua, lingkungan, dan pola pendidikan dia sejak dini? menjadi seperti punya preferensi sendiri begitu? atau mempunyai keinginan untuk menyerap semua informasi dan preferensi untuk "hanya ingin tahu" dan tidak mengikutinya?
Gak ada yang bebas. Seseorang adalah hasil "bentukan" dari apa-apa yang di "sekitarnya"
*Moga ngerti yg gw "omongin"
fix ini bukan eno, karena gak bilang 'hey singham'.
kemungkinan dia adalah alien yg telah menyamar sebagai eno, karena eno yg asli telah ditangkap, karena telah membuat org-org sadar bahwa alien itu ada.
@@makbarr1976 epico
Big brain
Lucu?
Plot twist
Elit Global Ini Mah
Menurut gua tontonan itu mungkin berpengaruh besar dalam cara kita berfikir tapi ga cmn tontonan aja, faktor lingkungan dan tingkat kekritisan berfikir seseorang juga nentuin kearah mana yg dia pilih. Contohnya tontonan dia "ngedroktrin" A tapi lingkungan sekitar dia malah ga percaya dan percaya dengan B tentu itu bakal jadi bahan berpikir dia untuk percaya yang mana. Dan orang orang yang memiliki kapabilitas dalam berfikir kritis akan menganalisa dulu semua informasi sebelum dia menentukan hal apa yang di percaya. -duh belibet banget gua ngomong
Emang pengaruh lingkungan cukup besar sih bang, seperti yang althusser bilang bahwa penanaman ideologi dimulai dari unsur terkecil yaitu keluarga, dan itu ditanamkan sejak kita lahir. Jadi persoalan kritisnya manusia terhadap media menurut gw ada 2 hal yang paling berperan, lingkungan dan buku bacaan
Nobody:
Eno at 9:43 : _"finally there is someone whose questions deserve to be answered ... I'm very excited"_
Setengah video jawab 1 pertanyaan wkwk
Eno itu tipe orang yang ngejawab 15 pertanyaan
*meskipun lu nanya 1 doang*
It's called efficient answer
Filsafat mesti ngejawab dan memikirkan secara skeptis jadi, kalo lu nanya sesuatu gk di jawab secara harfiah aj
jangan dianggap serius,this joke is just for fun
Bg, bahas filsafat dari anime Fullmetal Alchemist - Brotherhood dong😊😊
Up
Up
Up
Up
Up
"Filsafat dari sebuah Stick"
Q: Mengapa stick itu diciptakan ?
A: untuk membantu kita mengkontrol permainan dalam video game.
Q: Game adalah hal fana.. jadi stick bisa mengontrol hal2 di dunia yang fana itu ?
A: semua itu bergantung dari pikiran si pemainnya.. di adalah otak yg mengatur dunia fana itu.
Q : Apakah kita hidup di dunia yang fana juga ? Yg dimana kita dikendalikan oleh stick di dunia lainnya ?
A: Bisa jadi... dunia itu misterius dan bisa saja dunia kita ini tak nyata
Cheatengine
Ketimbang filsafat malah lebih ke senja wkwk
Eno Says "Hai Teman-teman"
Singham:"Something wrong i can feel it"
9:18 setuju sama lu bang, filsafat itu bukan mentidakjelaskan tapi mempertanyakan sebuah kebenaran, karena pada dasarnya kebenaran itu tergantung dari perspektif individu itu sendiri, apakah kebenaran menurut kaum kapitalis sama dengan kebenaran menurut kaum sosialis?, filsafat mempertanyakan kebenaran yg tidak final, contohnya ada yg bilang akhir dari manusia adalah pada saat dia mati Jawaban nya pasti benar karena lu liat sendiri bahwa ada orang yg mati dan itu final, terus ada yg bilang orng yg belajar di jurusan akuntansi akan menjadi akuntan di perusahaan, nah kalo ini nggak final dan lu bisa membantah, karena fakta nya orang yg menjabat direktur ada kok yg dari jurusan akuntansi, kira kira seperti itu
"Kebenaran itu subjektif"-Gua😀
Oh yea? Explain Deleuze now
@@akseleratiovren62 kebenaran itu sesuatu yang terkait dengan situasi pembentuk, syarat pembuatan dan pembangunan gak sih bang kalau kata deleuze?
17:05 menurut gw dua duanyabenar. Tergantung orangnya. Tergantung lingkungannya. Orang bisa memilih dia ingin menjadi apa. Dia bebas pola pikirnya mengikuti media atau membentuk pola pikirnya sendiri. Menurut gw juga media adalah senjata yang op banget karena bisa memengaruhi pola pikir seseorang. Jadi orang yang tidak memasang filter di otaknya akan terpengaruh oleh media dan menentukan orang itu menjadi orang dengan pola pikir yang seperti apa.
Maap kalo ada salah.....
Kalo bisa kritik :)
Setuju! Pendapat kita sama.
Tambahan bang...
Orang yang "dibentuk" oleh media, tidak memiliki kemungkinan untuk ber-opini karena ia tidak ada alternatif sebelumnya terhadap info info yang akan didatangkan oleh media.
Klo kurang mohon kritik juga ya bang👍
menurut gua sih sebenarnya orang masih bisa menentukan pilihan seleranya tersebut ...
I think, secara sadar ga sadar.. Faktor eksternal itu tetap berpengaruh walaupun semisal impact nya cmn bbrp persen.. But at least apa yg kita lihat, dengar, dan merasakan. Itu semua bakalan ada dampak nya mau lu filter kaya apapun. Itu karena rekap nya ttp ada, karna lu udh pernah pass away sama keadaan itu tadi... Contoh gampang, "anak dibawah umur yg merokok krn meniru ayahnya" dlm hal ini, rekap yg diterima anak ini telah dia ikuti 100% sesuai apa yg dia lihat..... Contoh ke 2 "budi menjadi sedikit temperamen dikarenakan sering dibentak ayah nya 10 tahun lalu" dlm case seperti ini dia secara gak langsung mendapatkan dampak yg dia ga sadari (sifat temperamen) itu dri apa yg dia dengar dan rekap itu menetap didalam si budi..... Tapi pengaruh yg ku maksud di awal ga selalu buruk dn akan ku jelaskan lagi di contoh ke 3.. "eno menjadi skeptis terhadap suatu media masa, dikarenakan kebanyakan media itu selalu menjadi senjata politik oknum sepihak yg selalu menyudutkan lawannya" nah di contoh ke tiga ini eno secara gk langsung mendapatkan benefit berupa pikiran yg mempertanyakan kebenaran itu sendiri yah simply kedewasaan dan ga gampang di boongin.. Inti pernyataan ku itu "ttp bakalan ada dampak maupun lu filter kea gimanapun, entah itu secara sadar / ga sadar
Point lingkungan, gw setuju. Kita dari kecil sudah menerima informasi yang tidak bisa dihitung lagi sumbernya. dari pengalaman gw, bang eno telah mengubah pandangan gw terhadap meme. Dan ketika gw menerima pandangan dari sumber lain, gw tetap memegang pandangan dari eno yang lebih kuat di dalam pikiran ku. Gw mengambil kesimpulan, bahwa mungkin pikiran kita dipengaruhi pers dengan argumen terkuat dan terjelas yang pernah kita terima dan selalu berubah ketika pandangan yang lebih kuat datang.
Argumen gw memang kedengaran edgy atau cuma perasaan gw aja?
Gua jawab menit 17:05
Gua setuju sama statement pertama eno. Selera kita, cara pandang kita secara gk sadar bakal kebentuk sama pengaruh apa yang berhasil kita indrai. Dan itu pasti. Baik itu bentuknya bacaan, tayangan, atau sebagainya. Kendali yang kita punya bukan untuk menentukan selera kita, tapi kendali yang kita punya adalah untuk menentukan, kita mau di doktrin sama media yang mana. Kebebasan kita cuma sebatas itu. Semua pola pikir kita, dan lain lainnya pasti di pengaruhi sama apa yang kita indrai.
Kalo selera kita tanpa sadar terpengaruh karena media mungkin bakal ada namanya mediaisme, yang pandangan hidupnya selalu ke media tanpa mengikuti alur pikiran sendiri dan mengkritisi hal yang di pertontonkan oleh media.
Contoh Pilpres.
Media bebas membesar besarkan no 1 atau 2 dan memberi fakta fakta berlebihan ke nomor 1 atau 2 atau 2 2 nya.
Sehingga masyarakat yang menitik pusatkan seleranya ke media pun akan mengikuti media tersebut, dan parahnya lagi kalo influencer sudah ikut²an.
Coba selera kita masih bisa dibentuk dan membuat selera sendiri terhadap media, kita bisa melakukan apa yang seharusnya sesuai daripada yang diberitakan oleh media.
(Mediaisme cuma bercanda kita berandai² saja jika beneran ada namanya mediaisme yang lahir sebagai komedi)
Intinya ya kalian buat lah selera terhadap media sendiri tanpa keikutan.
numpang berargumen disini ya kak hehehekalo menurut gua pribadi bukan media yang menentukan selera dan cara pandang kita, tapi selera kita sendiri lah yang menentukan media apa yang akan kita baca/cari/tonton atau telusuri. contoh mudahnya misalnya kalian suka atau tertarik sama suatu bidang nih, pasti kalian bakal penasaan dan bakalan mencari bahan tontonan/ bacaan tersebutkan, tapi gasemuanya juga kalian suka kan? dalam satu bidang tersebut pasti ada yang jadi favorit kalian ada juga yang bahkan kalian gasuka. kalian pasti akan cenderung memilah hal tersebut, apa yg kalian beneran suka dan sesuai sama kalian akan kalian tonton dan kalo kurang ya gaakan kalian telusuri.
@@silviazarda1381 tapi kalau lu suka ama konten filsafat... Dan karena menonton video ini,lu ngefans ama Eno. Apa lu nggak nonton video eno yang lain diluar topik filsafat? *seperti rabu cringe atau meme reaction.
Jadi menurut gw media juga mengambil alih sih terhadap pola pemikiran kita,namun tidak 100%
@@silviazarda1381
setuju bgt, kita memilih jenis informasi dan media yg kita suka.
Tapi, menurut gw, setelah kita ketemu satu media yg "cocok" sm kemauan kita, nantinya media itulah yg bisa ngerubah pola pikir kita pelan2.
Akhirnya kita -misal- condong ke 1 pihak, atau memandang kasus sebelah mata, itu karena kita udah percaya sm media favorit kita.
@@silviazarda1381 jika memang bukan media yang menentukan tetapi selera kita sendiri, bagaimana jika informasi dari media yang kita cari atau telusuri adalah informasi yang dikehendaki oleh media itu sendiri untuk disebarkan? kita masih punya kendali atas apa yang mau kita cari, tapi media punya kendali atas informasi informasi yang beredar. sehingga media dapat membangun tembok yang mengitari kita untuk membatasi informasi yang kita seharusnya tau. dan kita akhirnya tidak menyadari bahwa media telah mengurung kita di ruang kuasa media, karena perhatian kita tertuju pada apa yang kita suka saja. jadi kayak, "gw kasih informasi yang lu suka, gw simpen informasi lain rapat rapat tanpa lu ketahui".
@@silviazarda1381 kalau menurut gue media sendiri lah yang membentuk selera masyarakst luas karena jalur keluar masuknya informasi tuh mayoritas dari media, contoh positifnta bisa lu liat kayak skrg banyak media mencoba menyisipkan pemikiran lgbt bahwa mereka sebenernya bukan penyakit dkk dari situ terbentuk lah pemikiran masyarakat bahwa sebenernya lgbt itu bukan penyakit ada kok dokumenter yang ngejelasin bahwa selama ini selera masyarakat
Joy stik adalah alat ukur masyarakat untuk memainkan otak manusia dlm suatu permainan tertentu👍
Ha? Alat ukur?
Jawabannya masuk logika banget ya
Yang ditanyain filsafatnya, bukan definisi ngarang.
Trian Prabowo awoakwok, gagal deh dapet gelar
Logikanya w g nyampe nih
17:05 kalo menurut gw semua orang pasti udah memilih media apa yang ingin dipilih dan dinikmati
namun, semisal sudah memilih tontonan via Media mainstream semacam TV swasta kan disana menurut gw menerapkan template "Hiburan yang yang harus ditonton semua orang"
sedangkan media seperti RUclips menerapkan template "Hiburan untuk semua orang "
Yang dimana media seperti youtube menyajikan berbagai hiburan yang siapapun,umur berapapun,strata sosial apapun dapat menikmatinya
Tapi bener kata Eno, gk setiap orang bisa kritis, mereka lebih suka pendapat populer😢
Gua malah gk pernah lagi nonton TV, gk seru😂
Tapi pernah dibongkar sama documentary out of shadow dimana semua hiburan dan informasi yang kita dapat udah diatur oleh pemerintah amerika karena emg udah ada kesepakatan dari semenjak kelar perang dunia 2 pemerintah meminta untuk mengatur media apapun dari berupa hiburan maupun media informasi lainnya untuk membentuk karakter masyarakat mereka tetapi karena hiburan mereka udah masuk jadi konsumsi internasional jadi yagitu makannya bermunculan orang2 seperti chomsky mungkin rada kedengeran kaya teori konspirasi sih
@@martabakman2193 itu memang terdengar ke konspirasi. Bukti mreka menyepakati itu saja tidak pernah terekspos ke media.
Keadaan dilema dimana kita tidak bisa mendapat info hanya dari 1 sumber dn dimana 1 sumber diantara banyaknya telah menjadi alat politik.. kalu pun kita dibentu oleh pemikiran kita sendiri, apakah akan ke jalan yg penuh kontra atau pro ?. Toh kita juga harus menghargai fakta yg diberi oleh petinggi negara.
Dari pengalaman sendiri dan orang-orang terdekat. Bisa dibilang, media sendiripun telah menjadi pengatur pendapat, pola pikir orang-orang. Baik orangnya itu sadar, ataupun secara tidak sadar. Bahkan saat orang-orang ini berusaha untuk membuat pendapatnya atau pola pikir sendiri. Sebenarnya, tanpa sadar yang mereka sampaikan atau pkirkan, hanya pendapat atau pola pikir yang mereka dapat dari media, dan dikembangkan begitu saja sama mereka. Singkatnya, sebagaimana apapun pendapat atau pola pikirnya seseorang, sebenarnya pendapat dan pola pikir mereka itu hanyalah apa yang didapat mereka dari media yang biasa mereka lihat dan ikuti selama ini.
Joystick adalah manifestasi fisik dari sebuah jiwa,raga dan pikiran yg disatukan dalam bentuk hardware supaya kita bisa merealisasikan koneksi pada proses input kehendak kita dalam bermain game
Normies : Joystick Adalah Alat Untuk Bermain Game
Filsafat adalah seluruh bentangan episode perjuangan dan pengorbanan seorang anak manusia yang hanya bisa ditutup oleh tirai kematian.Filsafat adalah sebuah dambaan dan dambaan (kerinduan) hanya mungkin hadir jika masih ada sesuatu yang belum selesasi; masih ada sesuatu yang belum tuntas; masih ada sesuatu yang dicari; masih afa sesuatu kekurangan atau defisit. yang paripurna tidak akan pernah mendamba karena tidak ada lagi yang dicari, semuanya sudah utuh dan lengkap. Namun, yang defisit dan yang senantiasa merasa kekurangan selalu merindukan karena masih ada rongga di dalamnya yang membuatnya tidak penuh, tidak utuh dan tidak cukup.
Yang aku dapati adalah selera/preferensi itu bisajadi dibentuk pada masa kecil melalui influencer dominan seperti ortu. Sebenernya di SMA sendiri kalo yang nyicip sosiologi, kan ada bahasan soal sosialisasi atau pendidikan ya, nah ortu sendiri adalah yang pertama(pada umumnya) kasih nyam-nyam ke kita, entah itu berupa kehadiran atau kasih sayang dengan berbagaimacam bentuk.
Contoh kecil, seorang pria(straight) melihat wajah ibu sebagai bentuk wanita ideal yang muncul pertama kali, saat dewasa bentuk ideal itu akan menuntun kita untuk memilih pasangan yang serupa dengan ibu, mungkin pernah denger juga jodoh itu mirip sama ortu kita.. karena mungkin secara gak sadar kita mencari kenyamanan yang sama dengam orang tua kita. Atau dalam menentukan selera makanan dan gaya berpakaian... Namun variable influencer sendiri bisa berubah-ubah.. dan media lain seperti media masa dewasa ini cenderung lebih dominan. Media sosial terutama, dimana dengan segala kontennya menjadi realitas sendiri, celakanya ortu yang lalai malah membiarkan anaknya bermain dengan bebas di realitas tersebut, realitas maya, yang tentunya tidak nyata. Akhirnya anak tumbuh menjadi orang yang asing di keluarganya.. dan punya selera sendiri dalam hidup... Kalo keluarganya baik-baik aja pasti selera orang gk beda jauh dari ortunya.
Nih mungkin kesimpulan kasarnya, manusia punya selera dasar dalam menentukan pilihannya. Selera tersebut berasal dari influence saat kecil(mungkin golden age ya? Koreksi kalo salah), contohnya ortu, atau yutuber 1M bebas... Nah udah melewati masa kecil itu mereka gak bakal jauh jauh.
Jadi inget quotes "orang itu gak berubah, tapi berkembang" lupa dari siapa... Tapi yaitu deh.
gw terbentuk dr ntn lu no... perbedaan nya dulu ama skrng krasa bgt. karena yaitu itu td seperti yg lu bilang. lu menggetarkan pikiran gw untuk berubah scr pola pikir. gw gak tau mau berterimakasih atau tidak, tp jd seorang yg kritis itu malah banyak kepikiran sesuatu. dan tiap nonton sesuatu gk bs enjoy 100% pasti ada aja yg ngerasa kurang sreg.
media tidak mempengaruhi sepenuhnya, karena kita yang memilih dan menfilter media seperti apa yang layak dan cocok untuk konsumsi kita. Jadi semuannya balik ke orangnya masing masing dan tontonanya
17:05 1. Ga cuma media aja sih tapi dari lingkungan juga bisa memengaruhi pemikiran seseorang 2. Menurut gue bisa, tapi media bisa membantu kita untuk mengelola informasi sama buat nambah wawasan baru. Seenggaknya kita ada gambaran akan sesuatu, ini sesuai dengan keinginan atau enggak, trus membentuk opini juga sih
Siapa kita itu terbentuk dengan informasi dan latarbelakang yang membentuk kita. Ketika beranjak dewasa kita baru bisa berpikir dan jika ingin mengetahui sesuatu kita mencarinya. Tapi, apakah yang kita dapatkan dari pencarian kita itu kebenaran? Belom tentu. Semakin sering kita mencari, semakin banyak variabel yang muncul. Oleh sebab itu, kita tak pernah punya kebebasan yang benar2 bebas. Hal ini juga didukung dengan media elektronik (seperti RUclips) yang membuat kita terkurung dalam filter bubble. Hal ini yang kemudian sangat besar pengaruhnya sebab kita hanya mengikuti dan dipaksa secara algoritma untuk menikmati informasi yang hanya dari satu sisi (contohnya informasi dibagian mana kita mengambil sisi, apakah pro, atau kontra terhadap suatu hal) itu dipengaruhi oleh algoritma dan filter bubble.
Jadi kita dengan tidak sadar hanya menikmati yang sepandangan dengan kita. Analoginya, kita hanya mendengarkan gema dari teriakan kita sendiri.
F. Joystick menurut gw
Joystick merupakan sebuah alat yang kita gunakan utk ngendaliin game
Kita analogikan dalam hidup, kita masing masing memiliki joystik/alat yang kita gunakan untuk mengendalikan atau mengontrol kehendak kita (free will), bebas menggunakan banyak tombol pergerakan, analog arah mau kemana hidup kita
Kita bebas apakah ingin menjalankan sesuai dengan misi
Atau menyimpang dan game over secepatnya
Konektor joystick
Semakin berkembang dari dulu yang hanya menggunakan kabel hingga sekarang non kabel
Sama halnya dengan kehidupan tentunya ada perkembangan dari alat kita untuk menjalani misi hidup dari yang semulanya terbatas asal kabelnya nyampe hingga sekarang menghadap kemana saja dan dimana saja asal tetap terkoneksi kekehidupan yang ingin kita jalani
Bentuk joystick pun berbeda dan memiliki kelebihan dan kekurangan masing masing ada yang dapat digunakan untuk seluruh game, ada yang lebih spesifik untuk beberapa game saja, begitu pula dalam hidup kita
Alat ini tergantung mau kemana arah tujuan dan konteks kehidupan kita
Alat kita mau ke semuanya tanpa hal yang dikhususkan bisa saja
Alat kita maunya yang spesifik ke ekonomi / politik / budaya saja bisa
Alat itu adalah PIKIRAN kita yang perkembangannya dulu terbatas hingga sekarang yang lebih bebas
Kita bebas mengontrol hidup kita dengan arah, tujuan, pergerakan yang kita inginkan tanpa menafikkan segala perbedaan
Pada dasarnya kita dapat memilih media mana yang kita sukai. Kita pasti lebih memilih media yang memiliki pola pikir dan pandangan yang sama dengan kita hanya untuk membuat kita memenuhi hasrat kepuasan dan pembenaran dalam diri kita. Jadi bukan media yang membentuk pola pikir tapi kita yang membuat diri kita terjebak dalam pola pikir media.
Pola pikiran manusia itu bersifat dinamis, jadi akan berubah ubah dengan apa yang ada di sekitarnya. Ketika kita baru lahir, kita memiliki pola pikiran yang sama tapi akan berubah menyesuaikan dengan lingkungan sekitar.
Contoh : lu lahir di lingkungan yang kurang baik, orang tua lu gak bolehin buat keluar. Maka lu bisa jadi Introvert. Nah ketika lu udah beranjak dewasa di SD - SMP - SMA, lu mulai menemukan kelompok sosial yang bisa lu gunakan untuk media pengembangan paradigma lu. Dan dengan ditambahnya fitur fitur dari Era 4.0 ini, lu jg bisa memodif paradigma lu dengan hal hal yang menurut lu menarik sesuai dengan pengembangan paradigma lu dari Bayi sampai lu saat ini.
Nah dari situ, juga bisa dilihat kalau Paradigma kita itu sebenarnya dinamis, jadi bebas dirubah semau kita.
So The Simple Answer is : Bebas
17:26 menurut q kebebasan itu tidak terjadi ketika kita tidak terikat dengan apapun tapi kesadaran tentang apa yang mengikat kita dan kendali penuh terhadap reaksi kita terhadap ikatan tersebut...
Jadi kalau kamu suka sebuah lagu entah karena pengaruh media atau zaman atau lainnya. .. Dan tetap menganggap lagu itu bagus walau sudah lewat jaman atau ampe bosen kmu dengerin itu berarti kmu memilih dengan kebebasan...
Tapi kalau kamu suka lagu lalu setelah zaman nya lewat kmu bilang lagu itu kuno atau bilang lagu itu jelek... Artinya kmu menyukai lagu tersebut karena ada pengaruh external yg tidak kamu ketahui mempengaruhi pilihan mu.. Jadi setelah pengaruh external itu hilang makan kesukaan kmu pada lagu tersebut juga hilang
Menurutku, kita bebas menentukan mau kemana arah pemikiran kita, ya dengan menentukan apa saja yang kita sukai dan itu sejalan dengan kehendak kita sebagai manusia.
Klo menurut gw, data pertama kita saat mulai search sesuatu di suatu platform (Google Search, RUclips, dll) menjadi acuan untuk si platform membentuk selera kita.
Jadi, awalnya, selera itu ada.
Tapi, seiring berjalannya waktu & collect data dari si platform terhadap si individu tersebut, memunculkan algoritma khusus yg menjadikan kolom recommended menjadi alat untuk menggiring selera dari seorang individu sesuai dengan apa yg disuguhin si platform.
Tapi, kalo ditelisik lebih kompleks lagi, bisa aja si individu tersebut seleranya uda digiring berdasarkan lingkungan keluarga atau lingkaran pertemanan.
Bisa aja sih selera itu gak kebentuk secara sadar.
Tapi, hasil dari interaksi yg buanyuak banget.
Sampai akhirnya membentuk selera, yg dirasa, sesuai dengan si individu.
Long-short story, selera itu ilusi.
Yg nyata cuma interaksi antar individu atau individu dengan platform.
Sangat dibentuk oleh media. Karena, selera dan pola pikir terbentuk dari informasi yang sering kita dapat setiap hari.
Dan, media memiliki kuasa atas informasi apa yang ingin disebarkan.
Menurut gue sih cara pandang, pola pikir serta selera kita, bergantung dengan apa yg kita terima dri media soalnya, aku pernah diskusi dengan teman sekelas, nah seluruh acuan dan sumber yg dia gunakan dalam argumennya itu berdasarkan influencer yang dia tonton dan yang informasi yang di keluarkan oleh dia, ada yang bertentangan dengan pemikiranku dan pengalamanku dan ditambah tontonan, selera dan informasi yang aku terima berbeda dengan temanku itu.
Hai teman teman gw eno bening
Singham : a'ight imma out now
Menurut saya itu kembali kepada apa yang kita percayai, pola pikir kita terbentuk oleh adanya informasi yang diperoleh oleh Otak kita dan di proses olehnya, tapi untuk dapat di proses kita harus percaya bahwa informasi itu benar, darimana hal tersebut, dari alat informasi yang kita percayai seperti panca indera, panca indera adalah hal yang paling di percayai oleh Otak karena berdasarkan pada informasi yang ada di sekitar kita dan dialami langsung tapi bagaimana jika salah satu panca indera salah dalam menyampaikan sebuah informasi seperti fatamorgana, tentunya itu akan di cover oleh panca indera yang lain untuk menilai apakah pengelihatan salah dalam menyampaikan informasi ke otak dan disini lah terjadi cara berfikir bahwa itu adalah fatamorgana.
Jadi cara berfikir kita berdasarkan informasi yang didapat dan tidak dapat memilihnya, tapi kita dapat mempercayai alat informasi yang memberikan informasi yang dapat dipercaya sehingga mempengaruhi bagaimana kita berfikir.
menurutku setiap manusia sebenernya bisa memilih apa yang ingin dikonsumsi dari media. karena pada dasarnya orang yang mengikuti pola pikir yang sudah dibentuk media di lingkungannya juga termasuk pilihan. kalo kita mengkerucutkan ke dasar diri kita, sebenarnya kita punya kebebasan untuk memilih. hanya saja, mereka memilih untuk mengikuti media yang dikonsumsi secara "umum" saja atau memilih untuk mencari media atau informasi yang ingin dikonsumsi sesuai keingginannya. tolong diralat jika penjelasan saya ada yang kurang.
Menurut ku pada dasarnya kebebasan cara pandang dan selera orang itu ada, dan itu terlihat dari pelaku media apa yang dia ikuti. Namun masalahnya beberapa orang memiliki kefanatikkannya sendiri, sehingga sangat percaya pada suatu media (namun sampai disini dia masih berhak untuk merubah selera).
Hingga pada akhirnya pelaku media yang bekerja berdasarkan uang, akan membuat konten-konten sedemikian rupa yang menguntungkan si pelaku media ini (menguntungkan pada konteks ini bisa tidak melulu tentang uang) Konten yang menguntungkan itu bisa berupa konten yang jauh dari konsep awalnya.
Hal ini lah yang menurutku mempengaruhi perubahan cara pandang dan selera orang-orang yang memiliki fanatisme terhadap pelaku media. Di sisi lain orang-orang ini daya kritisnya hampir tidak ada, dan tidak open minded lagi dengan perspektif lain (atau hanya sekedar tau aja).
Dan hal ini tergeneralisir sehingga memunculkan stereotype yang sedemikian rupa.
17:05 apakah selera kita, cara pandang, cara pikir kita sangat2 dibentuk tonton kita, youtube yang kita tonton, tweet yang kita baca ?
apakah kita memiliki kebebasan untuk menentukan kita itu mau selera apa atau cara pandang tanpa harus terpengaruh media ?
menjawab pertanyaan ini, masih ingatkah bagaimana selera kita pertama kali dibentuk ? apakah dari media atau tidak. misal dari media itu terbentuk maka bisa dicounter jika ada sebuah media yang tertentu dan itu berbeda dengan selera anda (seperti sebuah perasaan tidak senang) dan malah benci berarti masih ada kebebasan dalam menentukan selera anda. silahkan dicounter
DISKUSI YUK
Kalau menurut gua pribadi, gua setuju sama pilihan ke-1. Karena emang bener pola pikir kita terbentuk lewat pergaulan, tontonan, dan kualitas pendidikan. Contoh sederhana yang gua alamin adalah, Kalau gua ketemu sama orang yang masih nonton acara " RUMAH UYA dan mereka anggap itu beneran dan bukan settingan " maka gua bisa simpulkan mereka orang yang jarang menyaring informasi, bahkan malas membaca. Atau mereka hanya membaca dari 1 sumber informasi terus langsung percaya gitu aja, tanpa mencari informasi tambahan lainnya. Karena bisa gua maklumin, kualitas tontonan televisi kita masih kurang mendidik karena mereka juga butuh makan jadi mikirin rating. Kenapa dampak tontonan di televisi lebih berpengaruh padahal RUclips di Indonesia udah bukan hal asing lagi ? Ya karena acara di televisi lebih murah dan lebih mudah di jangkau dari pada RUclips. Dan menurut gua pilihan di RUclips lebih luas dari pada acara di televisi. Hal ini yang gua sadari setelah gua kuliah. Menurut gua Kampus itu adalah tempat diskusi paling bagus, apalagi kampus yang punya akreditasi bagus, kenapa begitu ? Karena lu bisa mulai bergaul dengan banyak banget orang dari jurusan yang berbeda-beda dan kultur yang berbeda. Gua gak bilang kalau semua orang yang kuliah, pola pikirnya bakalan lebih bagus dari yang gak kuliah. Tapi minimal orang yang kuliah pola pikirnya akan lebih di pacu untuk lebih kritis. Jadi kita minimal bisa lebih melek untuk mencari tahu dan menyaring informasi yang akan kita dapatkan.
Jadi kesimpulannya gua lebih setuju sama pilihan ke-1, karena memang di Indonesia mayoritas masih seperti ini. Tapi kalau lebih baik mana ? Gua pilih ke-2, karena pilihan ke-2 itu bisa bikin negara kita maju dengan rakyatnya yang emang udah mulai peduli sama yang namanya menyaring informasi.
Bahasa ini seperti bensin moral untuk manusia.
17:06 manusia tidak bisa bebas menentukan pola pikirnya, karena manusia belajar dari apa yg di dengar, di lihat, di rasa, atau semuanya sekaligus. Bahkan dari kecil/bayi, pengalaman sekecil apapun, dapat menggiring pola pikir terhadap sesuatu sesuai pengalaman itu, termasuk juga video di youtube, influencer atau selebtwit favorit kita. Kita mungkin merasa kita telah membuat pola pikir kita yg sendiri, utuh tanpa pengaruh orang lain, tapi secara tidak sadar, pemikiran tadi sudah merupakan hasil dari pembentukan pola pikir dari apa yg kita tonton. Contohnya ya saya sendiri, nonton Eno Bening, Pewdiepie dan youtuber ngomong di depan kamera lainnya, semua kalimat yg saya buat diatas, sebagiannya merupakan pembentukan pola pikir dari nonton mereka di youtube, bagian lain ya mungkin orangtua, temen, saudara, acara TV, bahkan anime.
Sekian dari saya, dan untuk kita semua
Ste klin en son
Agak muter muter ya?
intinya gada yg original ya
menurut saya si bang, output pemikiran kita akan sesuai dengan apa yang kita tonton/konsumsi. Karena bukti kejadian empirisnya sudah banyak, sepertinya yg bang eno sering contohkan dengan kolom trending youtube dimana isinya rerata "sampah" dicerminkan pula dengan pola pikir masyarakat kebanyakan yang rancu ketika mendapati suatu masalah/drama terutama di sosial media. Untuk kebebasan sendiri saya lebih berpikir kalo kebebasan itu telah dipakai diawal ketika menentukan jenis tontonan kita. Kesimpulannya kita tidak memiliki kebebasan berfikir yang 100% bebas karena pasti diplintir oleh media dan lingkungan, namun kebebasan sesungguhnya adalah ketika proses memilih media dan lingkungan tsb.
maaf jika terlalu berbelit-belit hehe
Sebelumnya mohon maaf kalo aku salah bang, silahkan dibenahi.
PERTANYAAN:
Apakah selera, cara pandang dan cara pikir kita sangat dibentuk oleh media ataukah kita bisa menentukannya sendiri tanpa dipengaruhi oleh media?
.
Klo menurut aku bang, selalu ada suatu patokan sebagai dasar bagi diri kita sendiri untuk menentukan jalan berpikir kita, yang akan mempengaruhi cara pandang kita. Cara pandang kita terhadap sesuatu mempengaruhi cara berpikir kita untuk mencerna hal tersebut dan menghasilkan suatu persepsi. Dengan persepsi yang kita miliki, itu akan menciptakan suatu kesimpulan bagaimana kita menanggapi hal tersebut.
.
Kalau mengenai selera, itu tercipta karena dipengaruhi oleh persepsi kita terhadap suatu hal.
.
Sedangkan peran media bagi diri kita adalah kita menggunakan cara pandang kita untuk menilai hal tersebut, kemudian cara berpikir kita akan menentukan bentuk persepsi kita, dan dari persepsi itu selera kita akan tercipta atau muncul.
Akan tetapi media yang pengaruhnya lebih besar dapat mengubah patokan menjadi berbeda dari yang sebelumnya, sehingga otomatis cara pandang kita pun akan ikut berubah, tetapi jika pengaruhnya tidak terlalu kuat itu takkan mengubah pandangan kita.
Jadi, segala hal yg kita dengar dan/atau lihat bahkan yang kita rasakan atau alami akan mempengaruhi cara pandang kita, tetapi kitalah yang menentukan cara berpikir kita sendiri.
JAWABAN AKU:
Suatu hal yang kita jadikan patokan (yg kita pilih sbg patokan) akan mempengaruhi cara pandang kita kemudian cara berpikir kita, lalu selera kita. Dan kitalah yang menentukan cara pandang dan cara berpikir kita, tetapi jika suatu media mampu memberikan pengaruh yang besar, itu (bisa saja) dapat menggantikan patokan kita yg sudah ada sehingga mempengaruhi cara pandang kita dan semuanya. Intinya mana yang pengaruhnya lebih besar akan menentukan patokan yang akan digunakan.
Peace. Salam damai, tolong dibenahi ya bang.
"Media selalu membohongi anda"-Media
Kuda:"wah diluar hujan"
Eno:"or is it?"
is that vsUs reference?
hey vsauce! eno here
I think, secara sadar ga sadar.. Faktor eksternal itu tetap berpengaruh walaupun semisal impact nya cmn bbrp persen.. But at least apa yg kita lihat, dengar, dan merasakan. Itu semua bakalan ada dampak nya mau lu filter kaya apapun. Itu karena rekap nya ttp ada, karna lu udh pernah melalui keadaan itu tadi... Contoh gampang, "anak dibawah umur yg merokok krn meniru ayahnya" dlm hal ini, rekap yg diterima anak ini telah dia ikuti 100% sesuai apa yg dia lihat..... Contoh ke 2 "budi menjadi sedikit temperamen dikarenakan sering dibentak ayah nya 10 tahun lalu" dlm case seperti ini dia secara gak langsung mendapatkan dampak yg dia ga sadari (sifat temperamen) itu dri apa yg dia dengar dan rekap itu menetap didalam si budi..... Tapi pengaruh yg ku maksud di awal ga selalu buruk dn akan ku jelaskan lagi di contoh ke 3.. "eno menjadi skeptis terhadap suatu media masa, dikarenakan kebanyakan media itu selalu menjadi senjata politik oknum sepihak yg selalu menyudutkan lawannya" nah di contoh ke tiga ini eno secara gk langsung mendapatkan benefit berupa pikiran yg mempertanyakan kebenaran itu sendiri yah simply kedewasaan dan ga gampang di boongin...
Agak sulit ya untuk menentukan pilihan kita bagaimana di era saat ini , apa lagi orang orang yg sejak kecil menyerap informasi2 negatif dan tak masuk akal sehingga pada saat sudah besar mereka akan menerima informasi apa saja dan ikut ikutan saja sesuai keinginan mereka masing2 jadi sang penyebar/pembuat informasi ini sangat berperan besar dalam mengendalikan pola pikir kita dan mengharuskan kita untuk menyerap informasi tersebut
Buat yang pertanyaan tadi, jawaban gw, kita emang terbentuk dari media, lebih tepatnya kita terbentuk karna masyarakat. Selera kita, pola pikir, obsesi dsb, mau gamau emang dipengaruhi oleh orang lain. Tapi asal kita punya kendali, dan sadar mau terpengaruh pemikiran siapa, dan gamau terpengaruh selera siapa, kita masih bisa punya wewenang untuk memilih sesuatu, bukan yang tanpa sadar ikut2an mayoritas atau trend, dan tanpa sadar ikut omongan orang.
Btw, kemarin gw abis bikin tulisan tentang "buat gw influencer itu gaada."
Gaada yang pure influencer bagi gw, selain kalo gw (secara akal sehat dan perasaan) memperbolehkan orang tersebut menjadi influencer.
Itu si.
Kalau kata guruku, sampai seberapa jauh karya sastramu bisa membohongi banyak orang, sampai sejauh itulah karya sastramu bisa menjadi karya sastra.
Menurut saya pola pikir seseorang itu dibentuk oleh apa yang dia tonton atau baca dari sebuah media, tapi dalam waktu bersamaan dia juga dapat memilih media mana yang ditonton atau dibaca sebagai referensi untuk berpikir.
Menarik sih kalau bahas filsafat
Apalagi tentang Chomsky yg seerti mengingatkan kita jangan hanya percaya ada suatu media tanpa memahaminya 👍
Tapi bener kata Eno, gk tiap orang bisa "kritis"
Menurutku sih apa yg disajiin media belum tentu membuat kita jadi nyerap mentah2 apa yang dikasih. Tergantung ke orangnya juga, apa dia punya pendirian yg kuat sejak awal, atau mudah buat digoncangin gitu. Tiap orang masih bisa menentukan apa yg mau ia percayai dan pikirkan, tapi kalo ada yg terbentuk krn suguhan informasi media ya.. balik2 lagi informasi pasti dari media. Tapi ini beda dari topik agama ya bruhh
menurut saya bang eno....
beberapa orang, ada yang cara pandang nya dipengaruhi media dan
ada juga yang karena cara pandang nya, dia memilih media mana yang dia ikuti.
contoh nya : pengaruh konsumtif seseorang yang juga bisa dipengaruhi iklan/media yang ia tonton.
ada juga orang" yang seperti beberapa kami, memilih mendengar dari sumber seperti channel ini.
karena enjoy dan 1 suara, dengan apa yang anda sampaikan.
jadi, orang" bisa menjadi keduanya -> yang ditentukan dan yang menentukan.
tergantung sudah seberapa paham mengenai cara kerja media.
kaya yang bang eno sampein di video.
Tentang Chomsky, sebenernya udah sedikit dijelaskan di Mazhab Frankfurt kalo yang pada belajar di ilmu komunikasi, di ilmu komunikasi juga belajar teori-teori media. Dan bener apa yang Eno bilang tentang media yang menanamkan pemahaman kepada publik. Mereka punya power dan framing tertentu untuk mengontrol selera masyarakat. Duh ini gua pelajarin semua di Ilkom pas semester 4-6, sekarang mah lagi nyusun skripsi. Doain ya skripsi urang lancar hehe. Jujur urang seneng banget dengan #FilsafatMenjawab, karena selama ini urang belajar filsafat, tapi masih di bidang komunikasi, jadi butuh perspektif dari anak filsafat beneran. Keep up bang!
kalo menurut gua sih, gimana orangnya itu teguh dengan pemikirannya/keputusannya/karakternya. karena menurut pengalamab gua, ada yang emng gara gara tontonan yang ditonton membentuk pemikiran baru, ada yang gara gara tontonan pemikirannya ngikutin apa yang ditonton, dan ada juga yang mereka teguh dengan dengan pendiriannya walaupun dia menonton suatu tontonan. itu semua tergantung seberapa kuat dan teguhnya orang, analoginya, kalo pohon akarnya engga merambah ketempat yang luas dengan gampang pohon itu lepas dari tanah akibat anginlah, hujanlah, badailah. menurut gua ini. mari berdiskusi :)
Buat pertanyaan pertama 0:46 mungkin dia nanya kayak gitu karena filsafat, seperti yang bang Eno bilang, mempelajari cara berpikir kita dimana disini dimaksudkan memperluas 'sudut pandang' kita terhadap sesuatu sehingga memungkinkan pengenalan diksi yang lebih banyak, sehingga memungkinkan retorikanya bagus. Tapi konteksnya emang salah, karena yang retorikanya bagus bukan cuman orang yang belajar filsafat.
8:11 Mungkin menurut gua aja karena filsafat berdasarkan pada 'keraguan akan sesuatu'. Para filsuf dulu selalu meragukan hal-hal yang diberitahu oleh pendahulu mereka, contohnya peristiwa terciptanya manusia untuk pertama kali mereka meragukan bahwa itu tercipta begitu saja ( makanya muncul teori evolusi Darwin, karena dia menyangkal itu ) cuman kebanyakan 'hal yang diragukan' itu adalah memang belum ada kejelasan.
CMIIW
tergantung masing masing individunya. Cara pandang seseorang bisa terbentuk dari media. gimana media mem framing sesuatu supaya terbentuk opini publik yg di mau. jadi kalo kita bisa mencerna sesuatu dr media dengan baik, dan bisa kritis terhadap media, gaakan terpengaruh sihh
Btw video nya keren
Untuk menjawab pertanyaan Eno Bening daya pikir kita tidak cuma di bentuk dari media cetak ataupun mass media, tapi yang disebut media ini juga bisa disebut tongkrongan kita; ini yang bisa disebut media pembentuk moral. Jadi mungkin ini makanya ada yang suka bilang "hati hati jangan nongkrong sama orang yang salah" karena mereka bisa melihat daya pikir teman, kerabat, atau keluarga mereka semakin hari ber evolusi. Hal nya sama juga tentang media karena ada istilah "sphere of influence" yang pertama kali digunakan dalam konteks politik dan imperialisme. Topik ini juga sudah dibahas oleh sastrawan Inggris Kazuo Ishiguro dan sastrawan Nigeria Ben Okri lewat karya novel mereka. Okri dan Ishiguro juga sering membahas tentang dunia yang berubah di zaman millenial ini.
Gw pengen jawab soal diakhir videonya nih. Menurut gw dan berdasarkan pengalaman gw. Apakah kita masih bisa bebas buat milih 'selera' atau 'keinginan' kita tanpa dipengaruhi media? Menurut gw, jawabannya masih bisa. Ini tergantung sama diri kita aja, apakah kita mw msih bebas atau kita terlalu males bwt nyari informasi sampe sampe medianya yang ngebentuk pemikiran kita. Intinya, It is up to you. Tapi, nggak bisa dipungkiri juga banyak orang-orang yang pemikirannya sudah terlanjur dibentuk sama media karena kurangnya edukasi. Sama, seperti Eno yang dibilang tadi, kekuatan untuk berpikir kritis mereka sudah nggak ada, jadinya tu informasi main masuk aja. Kurang lebih, seperti itulah pendapat gw.
Menurut gua sih pemikiran seseorang didapatkan dari informasi yang individu tersebut dapatkan, entah dari mananya, namun informasi tersebut dapat mempengaruhi pola pikir individu tersebut, yang membedakan hanya bagaimana individu tersebut dapat memfilter informasi yang didapat
17:5 menurut gw vang kita masi bebas untuk memilih selera kita tanpa tergantung media, coba ambil dari jaman blum ada yutub, facebook, tv, radio mereka memilih selera mereka dengan aktivitas yang mereka lakukan bukan media yang mereka liat. Itu pendapat saya bang
Jawaban untuk pertanyaan terakhir menurut gue :
Menurut gua masih bisa sih, buktinya ada orang yg sadar ttg masalah ini. Karena permasalahan kontrol media masih belum parah misalnya kayak yg ada di novel 1984 karya George Orwell. "klo lho sadar ada sesuatu yg salah, lo langsung diuapkan wkwkwk". Klo semakin susah utk berdikari dalam berpikir iya, tapi apakah tidak mungkin saya rasa tidak, kuncinya sekali lagi di hal yang paling mendasar yakni pendidikan. Dan menurut gue, dari zaman dulu kala kebebasan selalu diperjuangkan, ex : kebebasan ilmu pengetahuan dari gereja, kebebasan dari imperial/kolonial, kebebasan dari perbudakan, dll. Klo kita cuman diam dan menginginkan kebebasan berpikir tanpa mau belajar, misalnya belajar mengkritisi, argumentasi, logical fallacy (atau klo di barat itu digabung jadi satu dan disebut liberal art) yaa kita gk akan sepenuhnya bebas, kita terus jdi warga negara yg disuapi informasi bohong shg punya tenaga utk diadudomba mewujudkan kepentingan satu pihak saja.
Mari berdialektika 😄😄
Saya bangga dengan timeline youtube saya yg bisa menghadirkan konten ini wkwkwkwk
Menurut saya, perihal selera itu bisa ditentukan oleh media-media yang kita nikmati, dan bisa juga tidak.
Semua itu bergantung kepada kedewasaan cara berpikir tiap individu untuk menyikapi hal-hal yang mereka nikmati. Contoh sederhananya, kita bisa menikmati satu hal tanpa membenci hal lain yang menjadi saingannya sekalipun mayoritasnya berpikir begitu.
Suka Marvel ga harus berarti benci DC meskipun mayoritas fans Marvel (lebih tepatnya MCU only) berpikir bahwa mereka harus auto benci DC padahal ada value tersendiri yang bisa diambil dari genre-genre berbeda dari pop culture yang kita nikmati.
Tapi ya gitu, gak bisa kita sangkal kalau apa yang kita nikmati juga membentuk diri kita, karena seperti saya udah sebut tadi, semua orang pasti menyerap value atau nilai berbeda dari informasi apa pun yang mereka dapat, karena sejatinya tidak ada hal di dunia ini yang bebas nilai.
Filsafat dari joy stick adalah jembatan yang menghubungi antara manusia dalam dunia nyata dengan manusia dalam dunia game (character game) sehingga secara tidak langsung kita sedang mengendalikan orang lain (character game) di universe yang berbeda.
tontonan, bacaan yg kita dpet, yang kita serap itu menurut gua ttp berpengaruh bang, tpi ga besar utk kehidupan sehari hari. kecuali emg org itu yang mengarahkan dirinya utk ga analisis lagi dan mempertanyakan apa yang mereka lihat dan mereka baca atau nerima mentah mentah aja. tetep yang paling berpengaruh itu kita nya sendiri, perjalanan/pengalaman hidup atau empiris sih biasanya yg jdi mendorong orang punya pemikiran. kedua, orang yg berada di sekitar kita dan berinteraksi sama kita, krn kita dpt ide, gagasan, jalan, cara, itu dri kita sendiri dulu yang ngalamin dan baaru lah dari org lain sbg faktor pendukung. tontonan dan bacaan itu jdi sumber refrensi gitu kali bang bahasanya, jadi kita msih bebas bgt mau ngarahin kita mau punya pemikiran kyk apa tanpa harus di cekokin yg gitu gitu dulu. krn klo tontonan dan bacaan itu berpengaruh bgt, terus org org yg di pelosok(yang ga ada tontonan, youtube, dan sumber bacaan yg kurang bnyk) tapi pemikirannya lebih maju dri kita dpt tontonan/bacaan drimana, makanya pengalaman pribadi yg banyak pengaruhnya ke kita utk mikir lbih jauh, maju.
panjang ya. kalo ga masuk/ga jelas sama pertanyaannya maap yak
apakah persepsi kita dibentuk oleh tontonan atau sebenarnya kita sendiri itu dapat memilih referensi media yang kita tonton, kalau menurut gw sendiri sih kita itu melakukan keduanya, jadi kita dapat memilih tontonan kita dan juga pola pikir kita sebenarnya juga dibentuk atas tontonan yang kita pilih tersebut.kalau dalam komunikasi sih ini ada teori yang menjelaskan pertanyaan ini. yang pertama apakah persepsi kita itu terbentuk atau terkonstruksi melalui tontonan kita > ini merujuk ke teori jarum hipodermik yang mana kita sebagai audiens, pikiran kita atau cara pandang kita dibentuk oleh tontonan media, jadi media sangat powerfull dan audiens pasif. yang kedua apakah sebenarnya kita dapat memilih tontonan atau jenis media kita > ini terdapat teorinya di komunikasi, yang dikenal dengan uses and gratification yang mana teori ini berasumsi bahwa kita sebagai audiens itu sebenarnya bersikap aktif, kita sebagai audiens memiliki kekuatan penuh atas tontonan kita sesuai dengan kebutuhan kita seperti untuk memenuhi kebutuhan emosi, kita akan memilih tontonan yang bersifat hiburan. jadi intinya kita itu sebenarnya dapat memilih tontonan sesuai dengan kebutuhan kita, dan juga tontonan tersebut membentuk persepsi dalam pikiran kita dan cara pandang kita akan suatu hal. itu sih kalau dari aku, mungking ada pendapat lain atau kritik
Apakah pikiran orang terbentuk karena media atau orang masih bisa bebas membentuk pikirannya sendiri?
Bagi gua, keduanya sama sama pilihan, karena pada kenyataannya orang tuh memilih untuk membiarkan media membentuk pikirannya, ada juga orang yang memilih untuk membentuk pikirannya sendiri tanpa andil media, dan ada orang yang memilih untuk membentuk pikirannya dengan cara menentukan media mana yang dapat membentuk pikirannya. Jadi seharusnya mahasiswa filsafat penggembala singham ini tidak bertanya "apakah pikiran kita terbentuk oleh media atau kita masih bisa bebas memilih untuk membentuk pikiran kita sendiri?" Seakan akan orang yang membiarkan media membentuk pikirannya tuh ngga memilih dan ngga bebas, padahal keduanya sama sama pilihan, ngga berarti bahwa orang yang membiarkan media membentuk pikirannya artinya dia ngga bebas, orang itu juga bebas, karena ia merasa bebas, makanya ia memilih untuk membiarkan media tertentu membentuk pikirannya. beda ceritanya kalo kita hidup di negara otoriter, misalnya tidak ada media pengkritik pemerintah karna semua media didomestifikasi oleh kekuasaan, itu baru orang ngga bebas karna ia ngga bisa memilih mau mengonsumsi media dan tayangan yang mana, ya karna adanya cuma media dan tayangan yang itu itu aja. Yang menarik dan seharusnya ditanyakan adalah
1. "Lalu siapa yang membentuk pikiran orang yang ada di balik media? Apakah benar ia membuat media untuk mempengaruhi pikiran orang? Kalau iya, untuk apa?"
2. "Kalau bukan melalui media, lalu orang membentuk pikirannya melalui apa? Apakah cara dia membentuk pikirannya berbeda dengan cara orang itu (orang yang memilih untuk membiarkan media membentuk pikirannya) dengan cara ditonton, dibaca, didengar, dll? Kalau ternyata caranya sama, lalu buat apa ia memilih untuk membentuk pikirannya sendiri?"
2:03 stik : walaupun selalu ditekan pengguna, tetep bekerja sesuai fungsinya yang ditekan. oleh sebab itu walau selalu ditekan orang lain. jalanilah dirimu sebagaimana fungsimu
gw sebenernya pengen debat dibawah, cuma kenapa pendapat saya dgn yg lain sama? kenapa pola pikir kita sama? apa karena media kita sama? atau tontonan kita sama? apakah eno sudah menggiring cara berpikir kita? apakah kita masih bisa percaya eno?
*yg 2 kalimat terakhir canda bg.
FILOSOFI SEBUAH JOYSTICK ADALAH
Sebuah benda yang dapat dianalogikan sebagai sebuah uang
Dimana uang tersebut dipakai oleh Kapitalisme ,lalu kapitalisme sendiri adalah produk ideologi
yang seharusnya bisa kita kontrol bisa kita kendalikan tapi dia yang malah mengendalikan perilaku manusia menggunakan sebuah alat yang dinamakan uang tersebut
Karena hal itu joystick dapat di ibaratkan dengan uang sementara Game dapat diibaratkan dengan kapitalisme itu sendiri
Game yang seharusnya kita kendalikan tapi malah mengendalikan kita dengan perintah2 yang ada di dalamnya
Joystick hadir sebagai salah satu alat /produk yg digunakan game untuk mengendalikan itu~
Itulah filosofi dari joystick tsb menurut saya~
Uang hasil kapitalisme. Belajar di mana bro ?
@@alfonsoqueres198 .-. tapi kan erat sama merkantilisme yg menjadi cikal bakal kapitalisme?
Pendapat gw dr pertanyaan bang eno gini bang, pas masih kecil, cara pandangan kita sangat terpengaruh sama lingkungan sekitar kita, mulai dr tontonan kita sampe perilaku orang disekitar kita. Tapi saat udh cukup dewasa, lama kelamaan kita punya cara pandang kita sendiri (yang sebenernya berasal dari masa kecil kita) yang lebih kokoh (dalam arti ga gampang terpengaruh) karena udh tertanam dari kecil. Walaupun begitu, orang dewasa tetap bs terpengaruh cara pandangannya karena manusia terus berubah-ubah/beradaptasi, maka pandangan kita juga bs berubah-ubah tetapi perbuhannya tidak terlalu drastis.
Imo, untuk menjawab pertanyaan eno yang diakhir, memang sih kita bakal naif buat bilang "nggak kok, kita masih bisa pilah pilih mana yang bagus buat gw dan yang nggak", but at the end of the day pasti kita bakal ke influence sedikit2 dari yg kita temui atau encounter sehari-hari, baik itu menurut lo hal yg baik jadi lo memutuskan untuk terima atau sebaliknya juga. Jadi ya, disini memang diperluin peran media yg jadi "tembok pertama" untuk memilah mana2 info yg harus diterima di masyarakat
Kecuali lo bisa nyerap semua informasi yang ada di dunia ini, which is u can't, karena keterbatasan oleh waktu itu sendiri
Wah gila no, ilmu baru dari lu, tentang chomsky, gua baru denger pertama kali, alhasil gua harus dengerin itu 2 sampai 3 kali buat sedikit paham tentang apa lu yang bilang.
Tapi gua kepikiran sesuatu setelah denger lu di sekitar menit 11:50 - 12:15
Kalau bisa aja, media di indonesia ngegiring opini masyarakat kalau pemerintah itu ngendaliin media, membuat seolah olah kita kembali ke zaman otoriter. Yaa balik lagi untuk kepentingan kelompok tertentu.
Kangen kuda laper dipentok pake palu ama eno:"
Wkwkwkkw, sama
This is so sad. Alexa play despacito
Aristoteles
@@mouse5520 sukineko's words
Besok kayaknya
Menurut gua itu bergantung pada individunya sih, kalo si individu tipikalnya ga punya pendirian ya bakal di bawa ombang ambing ama media, sebaliknya klo tipikalnya teguh dengan prinsip...mereka sih biasanya menerima dlu masukan dr media lalu memilih mana yang paling sesuai dengan dirinya
Bang bahas filsafat dari anime Hyouka. Kan tu anime memecahkan kasus dari sebuah pemikiran seseorang. Contohnya ada suatu kasus di anime itu, kasusnya mengapa seseorang menciptakan suatu buku yang berjudul "Hyouka".
Petinggi petinggi media bisa mengatur ruang publik yang ada di masyarakat bang. contohnya, banyak masyarakat terpecah belah menjadi beberapa golongan karena di kambing hitamkan oleh kepentingan politik dan dampaknya masyarakat berseteru di ruang publik (cth kolom komentar di medsos)
Kalau manurut saya nih bang eno dari pertanyaannya saya sendiri masih mempunyai kebebasan dari selera yang saya ikuti dari sosial media itu, karena saya sudah bisa memfilter mana yang benar dan mana yang salah. Akan tetapi kalau kita berbicara realitas skrng orang-orang terbentuk tidak melalui selera atau kebebasan nya dia sendiri melainkan dengan apa yg telah di sajikan platform sosial media itu, sehingga orang-orang tidak memikirkan mana hal yang baik atau buruk dan berpengaruh cara pandang dan berpikirnya juga.
Tentang pertanyaan mentidak jelaskan hal yg jelas itu adalah argumen orang orang ketika kita mengritisi orang yang didewakan(dipuja puja, dan semua yang dikatakan olehnya dianggap benar oleh pengikutnya) untuk menghentikan pengkritisan bang.
Pertanyaan eno akan saya jawab dengan sebuah teori psikologi yang dikemukakan oleh seorang penganut Behaviorisme bernama Albert Bandura. Bandura, melalui Social Learning Theorynya pernah bilang bahwa manusia akan mempelajari dari apa yang kita lihat. kita kemudian akan berusaha melakukan reka ulang alias 'modeling'. modeling ini, dikembalikan ke penilaian masyarakat dimana jika masyarakat mendukung, suatu perilaku baru terbentuk dan jika masyarakat menolak, maka suatu perilaku kemudian hilang. so, yeah. perilaku, pola pikir, dan cara pandang sangat dipengaruhi oleh apa yang kita lihat dan bagaimana sosial melihatnya juga
Mau ngejawab pertanyaan bang Eno
Kalo menurut gw sih pemikiran kita banyak yang terbentuk melalui hal-hal yang kita alami, dalam kasus ini media massa yang dimana banyak sekali hal-hal yang bisa menarik perhatian kita.
Contohnya ketika gw nonton video "apa itu filsafat" bang Eno bikin gw tertarik dan akhirnya mencoba nonton konten bang Eno yang lain. Dari sini gw belajar banyak dari bang Eno, gw mulai mencoba untuk mengkritisi berbagai hal dan hasilnya benar-benar mengubah cara gw untuk memahami suatu hal.
Jadi ya... gw setuju kalo pemikiran manusia dibentuk oleh media massa bahkan tanpa butuh persetujuan kita untuk diubah pemikiran kita sedemikian rupa.
Itu pendapat gw sih
Kalo gue, lebih milih jadi authentic aja bang. Ga mau kebawa media. Walau pun, resiko gue dianggap aneh, anti sosial, temen pun dikit. Gue bisa nya gini karena selalu ikutin intuisi gue. Gue suka musik rock dan metal. That's me. Walau cewek yang gue deketin bilang "I dont like it". Dan gue ga merubah hal itu malah gue kirimin dia lagu band rock. Supaya dia bisa ngerasain feel yang gue rasain juga.
Justru sekarang gue rasa mulai jarang orang yang bisa authetic dalam berfikir. Ga kebawa media. Apa lagi sekarang ada bahasa " google ga selalu benar". Ya bener juga mungkin 10 tahun lalu orang percaya aja sama apa yang google bilang. Tapi malah sekarang google di jadikan agama baru wkwwk.
You are what you eat. You are what you read. You are what you listen. But, you must filter it before you speak. Disini kayak Bang Eno bilang. Kritis itu penting.
Pemikiran chomsky terbantahkan kalau orang bisa memahami ciri berfikir filsafat.
Pernah bahas tentang ini pas kuliah ekonomi: socialism for the rich, capitalism for the poor
Ini satu2nya pemikiran chomsky yg pernah gw pelajari 😁
Menurut gw sih bang,kita sendiri yg menentukan cara berfikir kita dan,media adalah alat kita untuk mempelajari/menyalurkan cara berfikir kita karena kan pada akhirnya kita sendiri yg milih2 mau nonton apa dan mau liat apa,"kalau dia berfikir begitu karena terpengaruh gimana?" ya berarti memang itu saluran media yg tepat bagi dia utk carsa berfikirnya,toh pasti gk semua info kan yg disimpin di otaknya
keren no, nambah ilmu. lebih asik bikin segmen baru, misal ini filsafat atau ini filsuf yang dimana ngebahas tentang filsuf dan pemikiran yang dikemukakan, sekedar yang lu tau aja tentang si filsuf yang dibahas
17:05 menurut aku itu tergantung orangnya. Contoh kalo aku sendiri itu yakin sama pola pikir sendiri. Tapi sebelumnya' aku ngeliat berbagai macam pola pikir di youtube atau pun media lainnya. Nah disana aku ngeliat mana pola pikir yang menurut aku bener walaupun pola pikir tersebut masih jarang terpikirkan orang lain.
17:05 Jawaban gw bang :
Pertama. Pada dasarnya pikiran manusia bebas karena adanya ide dan imajinasi juga kapasitas untuk menentukan baik atau buruk pada bagian otak PFC. Jadi sudah barang tentu manusia bisa ber-opini dan kebebasan untuk berfikir juga menentukan selera.
Jangan jauh jauh... Contohnya bang Eno aja. Bang Eno sendiri bisa mengeluarkan pendapat pribadi dan bebas ber-opini. Sehingga kalau bang Eno bisa kenapa yang lain tidak??
Ke dua. Untuk kemungkinan yang dikendalikan oleh media, menurut gw, orang itu hanya tidak memiliki kemungkinan kemungkinan terhadap informasi yang dimunculkan oleh media sehingga orang tersebut "dibentuk" oleh media karena tidak punya pilihan atau alternatif lainnya.
Sekian dan mohon untuk dikritisi :)
Tambahan....
Kurangnya edukasi tentang kritisisme jadi masyarakat kurang bisa kritis dan tajam dalam menganalisa. Sehingga kurangnya kemampuan untuk mendatangkan probilitas
Filosofi di balik joystick
joystick sbagai alat pengganti mouse , keyboard untuk mempermudah seseorang dalam bermain game , sama halnya dengan laptop pc dengan pc desktop , laptop pc sebagai alat mempermudah kita untuk di bawa k mana mana
intinya joystick sebagai alat subsitusi , dan mempermudah seseorang
kalau gua yah, kan pernah baca buku filosofi teras yang isinya itu menjelaskan sedikit tentang stoicism dan kalau disitu itu ada yang namanya dikotomi kendali. jadi ada hal yang dibawah kendali kita sama ada hal yang diluar kendali kita. nah kalau pertanyaan bang Eno kayak gitu, menurut gua kita punya kebebasan sepenuhnya atas bagaimana cara kita berpikir, pola berpikir kita, bagaimana kita merespon informasi yang kita dapat. karena berdasarkan buku itu pikiran, perkataan, dan perbuatan kita berada dibawah kendali kita dan kita memiliki kebebasan sepenuhnya atas mereka
CMIIW
Bagian yang sama antara matematika dan filsafat adalah didalam memelihara keruntunan penalaran. salah bernalar dalam matematika dan salah bernalar dalam filsafat itu fatal.
Menurut gw kita masih bisa milih sih kita mau punya pola berpikir seperti apa kalau kita mau belajar kritis ama berpegang teguh ama prinsip tapi karena pengaruh sosial dimana segala hal pasti dipengaruhi oleh media kita cenderung kebawa arus buat ngikutin hal tersebut. Ya alasannya karena ada sangsi sosial kalau punya pola berpikir berbeda atau berbeda dari orang kebanyakan ya pasti dikucilin dibilang anehlah, ga open mindedlah.
Human:"exists"
Philosopher:I have several question
CMIIW
Wrong, it must be
_Exists *exists_
Thing exists
Nyolong dr memenade wkwk
@@sagittariusa1708 ooooooo
ooooooooooooo
Kalo gua pribadi merasa bahwa gua masih sangat bisa menentukan apa yang gua mau liat atau tonton, dan ya itu sangat membentuk diri gua saat ini, karena menurut gua informasi yang bakalan masuk ke otak kita dan kita pahami betul itu adalah informasi yang kita ingin tahu, gua berfikir seperti ini karena gua menyadari bahwa hal2 yang gw pelajari dulu saat SD, SMP, SMK itu banyak yang nggak nempel sampe sekarang, dan yang nempel di otak gw itu ya yang gua suka doang
7:55 Yes, He said the A-Word
🐴
Aristoteles
Bro, lu nama ignya @my_name_is_reff kan
@@rexxyguava ya, terus?
"Logic of mind" this a good video i like discus 👍
Ya sekarang kan tetap sama saja sih media sekarang di dalam nya orang yang punya power di pemerintah jadi ya sama aja pemerintah menggunakan media publik untuk kepentingan juga jadinya.
Sekarang gw idealis sih bang dibanding diri gw yg sebelumnya, yg dahulu kala atau beberapa tahun silam, itu masih stuck di pikiran doktrinasi atau stigma yg beredardan pada saat itu gw sngat jelas materialis sekali, lingkungan ug sangat mempengaruhi gw, smpai pda proses gw mempelajari filsafat timur atau pun barat gtu dan sekarang gw idealis sih dengan apapun yg media massa beritakan dan jgaa sedikit kisah, dlu gw saking materialisnya terhadap lingkungan atau media maassa .. itu jaman pesta pemilu gw ampe kena stir dogma masyarakat ttg capres dan cawapres yg mereka suka dan bahkan membuat gw gabisaa purely memilih capres secara real kalkulasi atau kriteria yg gw mau dan ternyata ortu gw pun kesetir media
.
..
.
.
Itu sedikit pengalaman gw boss kuhhh
mau jawab pertanyaan di akhir video
dunia kan sekarang dikuasain sama 2 kelompok besar yaitu sama kelompok pemerintah dan sama kelompok yang punya kepentingan yang bermodal.
Kita, "kadang" merasa kala mengambil keputusan saat ini adalah keputusan pribadi padahal secara tidak sadar keputusan tersebut ditentukan oleh media massa yang dibaca. Kedua, kita bersikap kritis terhadap media massa, harus mau mencari sumber-sumber lain (second opinion), harus menggunakan akal sehat dalam menyimpulkan informasi atau berita yang didapat ditimbang mengikuti apa yang menjadi tren dalam media massa.
jadi asumsi gw ya kita secara gak sadar dikendalikan oleh media dan sikap berpikir kritisnya tergantung orangnya masing-masing sehingga menghasilkan spekulasi yang berbeda-beda
Ia, maenurut gw cara pandang kita selera kita sangat bisa di pengaruhi oleh media massa ataupun dari sosmed dan tontonan youtube.
Ntah pngaruhnya dari cara bicara kita, gaya hidup kita, sedikit tidaknya pasti berpengaruh.
Dan itu bisa tak prhatikan di ank gw yg umurnya masih 5 thnan.
Yg waktu itu gw dpt kecolongan waktu dia ntn youtube tanpa pngawasan dari gw.
Yg entah itu dia niru cra bicara atau kata yg di ucapkan oleh youtuber yg ia tonton.
Sory klok slah tangep.
Klo soal bohong filsuf lebih membuat fallacy.
Klo soal semua ilmu, sprtny mksndy gini, bisa lbh cpt bljr apapun.
Terjamin mngkin mksdny tdk mudaj dibohongi.
Susah cari kerja. Itu krn disini pemikiran kritis kurang dihargai. Disini untuk bisa berhasil, celahnya kecurangan, bkn perbaikan/kebaikan.
Bkn menidakjelaskan, tp menggali kebawah definisi yg jd dasar dr sesuatu.
Kdg dlm suatu masalah saat kita buntu, kita harus cari jalan lain, termasuk mendefinisikan ulang sesuatu supaya relevan dgn masalah yg ada sehingga jalan keluarnya ditemukan.
Ini mungkin sprt siapa tuh yg blg " ga ada yg namanya kebenaran, yg ada hanyalah kesalahan yg tertunda".
Nah jika definisi atas sesuatu saat ini kita anggap kebenaran, mk dgn filsafat kita bisa gali lbh dlm dan temukan kesalahan definisinya sehingga yg tdnya buntu skrg jd dpt jln keluarnya.
Entah kenapa pertanyaan lu itu ngingetin gw soal pemikiran Boethius ttg kehendak bebas.
Gw ga yakin ini bisa ngejawab atau engga, gw cuma kepikiran aja. So biar gw jelasin dulu kalau salah kasih tau gw.
Boethius bicara tentang solusi atas pertanyaan " Jika Tuhan sudah tau apa yang akan kita lakukan, gmana bisa itu disebut sebagai kehendak bebas" buat selanjutnya gmna"nya silahkan caritau sendiri soalnya bakal panjang.
Gw ngerasa teori ini bisa dipake disini.
Jadi intinya pemikiran Boethius itu ngomong kalo hal yang sama dapat diketahui dengan cara yang berbeda, tergantung dari sifat daripada subjek masing-masing.
Contohnya, kucing bisa tau kalo matahari itu entitas yang bisa dia rasakan, tapi manusia lebih advance lagi dia bisa tau jarak ke matahari, suhunya berapa, dsb.
Nah kalo dianalogikan media kita bisa terus mengikuti media dan menelan informasinya sebagai hal yang membentuk pribadi kita, tapi kalo kita bisa keluar dari batasan-batasan yang terbentuk oleh media, kita bisa jadi apa yang kita mau.
Jadi kalo ditanya "kita terbentuk atas media yang kita ikuti atau kita masih bisa menentukan kebebasan selera kita sendiri" sama aja kek lu lagi baca comment gw ini skrg, tapi itu kan ga menghalangi lu buat baca comment yang lain. Media itu "seolah-olah" ada untuk membentuk lu tapi itu tidak menghalangi lu untuk jadi bebas.
Mungkin gitu, maaf bgt kalo membingungkan dan berbelit-belit.
Gw juga ga yakin kalian paham soalnya gw juga ga terlalu bisa ngejabarin dengan bener.
Tapi pointnya ada di akhir.
Pribadi itu berpengaruh bang,ambil contoh dari gw nonton anime.Beberapa genre misal psikologi sering kali masalah yang didalemnya hampir mirip mirip dgn masalah yang gw adepin di dunia nyata.Scene/masalah di dalem anime bisa jadi referensi pemikiran,tapi lingkungan juga berpengaruh dengan pikiran.Misal di lingkungan orang agamis,bisa jadi pikiran ikut jadi agamis.
Gak 100% tontonan mempengaruhi pikiran,totonan bisa jadi referensi & masalah dilingkungan sekitar pun sama.Tinggal pilih mana pikiran yang sekiranya logis atau cocok sama masalah yang diadepin.
*Maaf g pake bahasa Indonesia yang baik sesuai KBBI
Jadi bang eno, contoh filsafat yang ditawarkan oleh chomsky itu contohnya bisa kita lihat di Indonesia pada saat ini, seperti media kita yang melebih-lebihkan dan menyudutkan kaum Yahudi sebagai umat Iblis dan musuh bersama yang harus dibantai, sehingga masyarakat terbentuk pemikiran bahwa pantas kalau yahudi itu harus dibantai dan dijahatin tanpa melihat sisi kemanusiaan, apakah itu termasuk penggiringan opini oleh media yang dikatakan chomsky?
Bener soalnya bisa kita lihat kan kebanyakan masyarakat indo udah memukul sama rata semua kaum yahudi
Menurut gua itu pengaruh gabungan dari agama & media yg bias
Ohh itu membuat opini publik yg menyudutkan suatu aliran kepercayaan dan ada suatu kelompok aliran kepercayaan lain yg mmbuat seolah" (kepercayaan ini buruk) secara menyeluruh. Pdhal bisa opini ini digiring dalam konteks kemanusiaan bukan kepercayaan.