Kerap Berselisih dengan Bung Karno, Terkuak Alasan Moh Hatta Mundur dari Kursi Wakil Presiden RI

Поделиться
HTML-код
  • Опубликовано: 8 сен 2024
  • TRIBUN-VIDEO.COM - Hubungan Soekarno dan Hatta kerap dipandang kompak dan saling mendukung.
    Keduanya dijuluki dwitunggal, karena merupakan simbol kepemimpinan Indonesia di awal kemerdekaan RI.
    Kedwitunggalan itu bisa dipandang sebagai prolog kebersamaan mereka dalam menempuh berbagai kesulitan untuk melahirkan dan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    Namun jalinan keduanya sempat retak dengan mundurnya Moh Hatta dari kursi wakil presiden RI.
    Tak jarang Soekarno-Hatta terlibat perdebatan lantaran memiliki pandangan berbeda dalam hal pemerintahan.
    Perdebatan bermula dari perbedaan pandangan politik Bung Karno dan Bung Hatta.
    Dalam otobiografi Hatta berjudul 'Untuk Negeriku: Berjuang dan Dibuang', konflik besar pertama terjadi saat Soekarno dan tiga rekannya, Gatot Mangkupraja, Soepriadinata dan Maskun Sumadiredja ditangkap Belanda.
    Seusai penangkapan tersebut Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikannya bubar.
    Para petinggi partai membentuk partai baru bernama Partai Indonesia (Partindo).
    Hatta sebenarnya menyesalkan hal ini, karena ia berharap banyak dari PNI.
    Akan tetapi politik agitasi ala Soekarno malah berakibat antiklimaks.
    Dalam bukunya, Hatta mengatakan pembubaran PNI memalukan dan perbuatan itu melemahkan pergerakan rakyat.
    Meskipun kerap tak sependapat, Soekarno dan Hatta mampu mengesampingkan ego demi kepentingan bersama.
    Bung Karno sadar, ia membutuhkan sosok Hatta sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa.
    Seusai memproklamikran kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, keduanya pun ditahbiskan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama.
    Puncak keretakan hubungan Soekarno-Hatta terjadi pada 1956, kala Bung Karno menawarkan sistem politik baru, demokrasi terpimpin.
    Alasannya, pemerintahan parlementer saat itu tidak bisa menghasilkan kabinet pemerintahan yang stabil.
    Bertolak belakang dengan prinsipnya, Hatta menilai gagasan demokrasi terpimpin dari Soekarno justru melenceng dari dasar-dasar demokrasi.
    Sebabnya dalam gagasan demokrasi terpimpin, segala keputusan strategis berada di tangan presiden.
    Kritikan kepada Soekarno tersebut dituangkan Moh Hatta dalam buku Demokrasi Kita.
    Mohammad Hatta membuat pernyataan bahwa bila parlemen dan konstituante pilihan rakyat sudah terbentuk, dia akan mengundurkan diri sebagai wakil presiden.
    Menurutnya, dalam negara yang mempunyai kabinet parlementer, Kepala Negara adalah sekadar simbol saja, sehingga Wakil Presiden tidak diperlukan lagi.
    Di akhir tahun 1956 juga, Hatta tidak sejalan lagi dengan Bung Karno karena dia tidak ingin memasukkan unsur komunis dalam kabinet pada waktu itu.
    Hatta memilih hengkang dari Istana dan berhenti dari jabatan Wakil Presiden RI pada 1 Desember 1956.
    Pada awalnya, DPR menolak pengunduran diri Hatta tersebut dengan tidak membalas surat tersebut.
    Sebelumnya, Hatta juga pernah mengirimkan surat serupa pada 1955.
    Setelah Hatta mengundurkan diri, dengan gagasan demokrasi terpimpinnya melalui Dekrit Presiden 1959, Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu 1955.
    Soekarno kemudian membentuk DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang anggotanya ia tunjuk langsung.
    Bung Hatta pun mengkritik habis-habisan tindakan Bung Karno itu.
    Sejak pengunduran diri Bung Hatta, terjadi kekosongan kursi wakil presiden hingga 1973.
    Meski saling mengkritik secara keras, di luar urusan politik Soekarno tetap bersahabat dengan Hatta.(*)
    VO: Saradita
    VP: Ika Vidya
    #mohammadhatta #hatta #bunghatta #bunghattamuda #soekarno #kemerdekaan #proklamasi #wakilpresiden #proklamator #proklamasi

Комментарии • 20