BEDAWANGNALA
HTML-код
- Опубликовано: 18 ноя 2024
- • BEDAWANGNALA
BEDAWANGNALA
#KuraKuraSuciDalamHindu
#MengapaBangunanSuciBerisiBedawangnala
#KisahBedawangnalaTerdapatPadaKitabAdiparwa
Bangunan suci umat Hindu umumnya disertai hiasan dalam berbagai wujudnya di antaranya berbentuk tumbuh-tumbuhan, binatang, dan makhluk-makhluk keramat. Salah satu hiasan adalah ornament berbentuk kura-kura yang dililit naga. Hiasan ini disebut bedawangnala. Ornamen ini selalu ditempatkan di bagian dasar sebuah palinggih, namun tidak semua bangunan suci umat Hindu diisi ornamen bedawangnala. Lalu palinggih apa saja yang boleh diisi hiasan bedawangnala. Apakah makna hiasan bedawangnala pada palinggih dimaksud ? Kata bedawangnala dalam bahasa Jawa Kuno maupun bahasa Sanskerta terdiri dari badawang dan nala atau anala. Badawang artinya kura-kura sedangkan nala artinya tangkai atau batang berongga, juga berarti api. Jadi bedawangnala dapat diartikan sebagai kura-kura api disebut juga kurmagni. Bedawangnala juga berarti sebagai kura-kura yang dililit tangkai berongga, maksudnya kura-kura dililit ular atau naga. Di Bali ornamen bedawangnala diwujudnyatakan sebagai kura-kura raksasa bermoncong api dililit naga. Naga yang melilit berjumlah satu atau dua ekor. Jika naganya hanya satu ia adalah naga Basuki, jika dua: Basuki dan Anantaboga. Tampak depannya memperlihatkan kepala kura-kura diapit dua naga, badan kura-kura dibelit naga, punggungnya mengusung palinggih sedangkan ketiga ekor binatang suci ini berada di bagian belakang bangunan. Palinggi yang diberi ornamen bedawangnala selalu bangunan yang merupakan simbol bhuana, alam semesta misalnya: padmasana, meru, palinggih dasar, lebuh, jempana, bade, dan dangsil. Cerita suci yang umum dikenal umat Hindu adalah mitos pemutaran gunung Mandara atas kerja-sama para Dewa dan Raksasa untuk memperoleh tirta amerta. Dalam kitab Adi Parwa dijelaskan bedawang diyakini sebagai Awatara II Dewa Wisnu turun ke dunia untuk menyelamatkan dunia. Adiparwa menceriterakan “para sura (dewa) dan para asura (raksasa) berunding untuk mendapatkan tirta amerta. Mereka sepakat bekerja sama lalu dicabutlah gunung Mandara oleh Naga Anantaboga. Gunung dengan segala isinya ini digunakan sebagai tongkat pengaduknya. Kura-kura raksasa (kurmaraja) jelmaan Dewa Wisnu sebagai penyangga gunung agar tidak tenggelam. Naga Basuki melilit lereng gunung dan Sanghyang Indra duduk di puncaknya agar gunung tidak melambung. Para sura memegang ekor Naga Basuki sedangkan kelompok asura memegang kepalanya. Pekerjaan dimulai dengan menarik ekor dan kepala naga secara bergantian sehingga gunung Mandara berputar mengaduk lautan susu, yang pada akhirnya muncullah Dhanwantari (tabib sorga) membawa çwetakamandalu berisi tirta amerta. Çwetakamandalu lalu dipungut asura. Oleh karena amerta sudah didapatkan maka pekerjaan dihentikan. Amerta ini menjadi perebutan para sura dan asura karena kasiatnya yang sakti, yaitu bagi yang minum amerta bisa hidup abadi. Berdasarkan gambaran ceritera suci itu dikaitkan dengan bentuk dan fungsi palinggih-nya, ternyata palinggih yang dasarnya diisi ornament bedawangnala merupakan palinggih yang menyimbolkan bhuana agung (alam semesta). Maknanya bahwa hidup ini dinamika dari kerja-sama antara kebaikan dan keburukan. Manusia tak boleh pasif, sepanjang kesehatannya memungkinkan mereka patut selalu beraktivitas guna mengisi kehidupan ini. Tersembunyi tuntunan etos kerja, di Bali diejawantahkan dengan slogan ”ganggangang sipahĕ apang pelenganĕ makebetan” artinya angkatlah tangan agar ketiak kelihatan sehingga pelipis bergerak, maknanya: rajin-rajinlah bekerja sehingga mendapat hasil berupa makanan lalu dikunyah untuk menyambung hidup agar tidak mati (amerta). Etos kerja agar rajin bekerja itu juga disarikan dalam kalimat yang sangat populer “Tong ngelah karang sawah karang awake tandurin” sebagaimana dinyatakan oleh Ida Padanda Made Sidemen, Sanur. Menurut lontar Tattwa Jňãna struktur bhuana agung terdiri ats tiga bagian yaitu Sapta Loka di bagian atas, Sapta Pãtãla di bagian bawah, dan di bawahnya lagi terdapat Balagardhabha Mahã-naraka yaitu alam neraka dengan api berkobar-kobar 100.000 yojana nyalanya. Di Bali alam Mahã-naraka ini digambarkan dengan kura-kura api (kurmagni) ditempatkan di dasar palinggih, simbol bhuana agung misalnya bangunan suci padmasana, meru, palinggih dasar, jempana, dangsil, dan bade. Dengan demikian bedawangnala dengan moncong api itu merupakan simbol alam terbawah dari struktur bhuana agung yakni alam Mahã-naraka sesuai struktur palinggih dengan papalihan 7 atau paling tidak papalihan 5; tetapi jika menggunakan pepalihan 3 tidak berisi ornamen bedawangnala atau bebaturan.
Bagaimana penjelasan selanjutnya, silahkan simak sesuluh Yudha Triguna melalui Yudha Triguna Channel pada RUclips, juga pada Dharma wacana agama Hindu.
Untuk mendapatkan video-video terbaru silahkan Subscribe
www.youtube.co...
Facebook: yudhatriguna
Instagram: / yudhatrigunachannel
Suksma Prof, atas wejangannya, singkat, padat dan jelas. Suksma Nara sumber
Suksma pak Wayan
Om swastyastu, terima kasih bapak narasumber Dr. Ketut Rupawan, M.Si atas pencerahannya yang sangat bagus tentang "Bedawangnala" dan terima aksih juga untuk Ratu Aji Prof. Dr. IBG Yudha Trigina, M.S., atas sesuluhnya yang sangat inovatif🙏👍
Suksma Prof. Ardhi
Matur Suksma Prof
Suksma
Suksme atu atas pencerahan yg sangat bergunasekali🙏
Suksma