Makasih laekku telah menambah wawasan tentang desa desa yg ada di pinggiran danau toba dan sungguh indah.semoga sehat selalu ya laekku na burju...contennya jangan kasih kendor....lanjut.....
kampung kami itu .....itu tadi akkang Pahotan yg katanya tinggal sendiri lagi .......salam rindu dari Perawang ( Pak Tondi Siallagan ) Sehat dan Panjang Umur akkang ❤🙏💪💪
Itulah enaknya kita yg cm nonton tnp harus naik turun tangga 😄. Thanks buat liputannya ya ito, sllu excited buat lihat kampung2 disana. Lumayan padat jg pemukiman yg ito liput Kali ini. Horas
Jadi rindu sm kampung halaman bapak,dimenit 29 kelihatan jelas tugu op sidabutar,tepat dibelakang rumah orang ku,gereja HKBP Horsik. mantap video nya lae❤
Boru ni namboruku (apa ya istilahnya), tinggal di sana, dialap marga sialagan. Dulu pas kami ke sana, sering diajak mancing ikan pora2 dan panen kemiri.
Horas Abangda 🙏 ahu Manurung sihutagaol .. kebetulan pas ma di Tugu Hobul i ima huta hatubuan i amongku .. Mauliate bah Abangda nga ro Abangda tu huta hatubuan amongkhi.. sombu siholhi ❤❤ Horas
Bagaimana warga sekitarnya untuk memperoleh air bersih ? Apakah langsung ambil via pompa dari danau atau manual atau menampung dari curahan dari gunung ?
KARO BUKAN BATAK hanya SUKU KARO 👍 Nama Batak sebagai identitas etnik ternyata tidak berasal dari orang Batak sendiri, tapi diciptakan atau dikonstruksi para musafir barat. Hal ini kemudian dikukuhkan misionaris Jerman yang datang ke tanah Batak sejak tahun 1860-an. Simpulan ini dikemukakan sejarahwan Unversitas Negeri Medan (Unimed) Ichwan Azhari yang baru usai melakukan penelitian di Jerman. Di Jerman, sejarahwan bergelar doktor ini memeriksa arsip-arsip yang ada di Wuppertal, Jerman. Dalam sumber-sumber lisan dan tertulis, terutama di dalam pustaha, atau tulisan tangan asli Batak, tidak ditemukan kata Batak untuk menyebut diri sebagai orang atau etnik Batak. Jadi dengan demikian nama Batak tidak asli berasal dari dalam kebudayaan Batak, tetapi diciptakan dan diberikan dari luar. "Kata Batak awalnya diambil para musafir yang menjelajah ke wilayah Pulau Sumatera dari para penduduk pesisir untuk menyebut kelompok etnik yang berada di pegunungan dengan nama bata. Tapi nama yang diberikan penduduk pesisir ini berkonotasi negatif bahkan cenderung menghina untuk menyebut penduduk pegunungan itu sebagai kurang beradab, liar, dan tinggal di hutan," kata Ichwan Azhari di Medan, Minggu (14/11/2010). Dalam penelitiannya yang dimulai sejak September lalu, selain memeriksa arsip-arsip di Jerman, Ichwan juga melengkapi datanya dengan mendatangi KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde atau the Royal Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) di Belanda. Dia juga mewawancari sejumlah pakar ahli Batak di Belanda dan Jerman seperti Johan Angerler dan Lothar Schreiner. Hasilnya, pada sumber-sumber manuskrip Melayu klasik yang ditelusurinya, seperti manuskrip abad 17 koleksi Leiden, memang ditemukan kata Batak di kalangan orang Melayu di Malaysia, tetapi sebagai label untuk penduduk yang tinggal di rimba pedalaman semenanjung Malaka. Dalam manuskrip itu, saat Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, Puteri Gunung Ledang yang sangat dihina dan direndahkan oleh teks ini, melarikan diri ke hulu sungai dan dalam teks itu disebut, "... masuk ke dalam hutan rimba yang amat besar hampir dengan negeri Batak. Maka diambil oleh segala menteri Batak itu, dirajakannya Puteri Gunung Ledang itu dalam negeri Batak itu." Tidak hanya di Malaysia, di Filipina juga penduduk pesisir menyebut penduduk pedalaman dengan streotip atau label negatif sebagai Batak. Untuk itu menurut Ichwan, cukup punya alasan dan tidak mengherankan kalau peneliti Batak terkenal asal Belanda bernama Van der Tuuk pernah risau dan mengingatkan para misionaris Jerman agar tidak menggunakan nama Batak untuk nama etnik karena imej negatif yang terkandung pada kata itu. "Di Malaysia dan Filipina penduduk yang diberi label Batak tidak mau menggunakan label merendahkan itu menjadi nama etnik mereka. Di Sumatera Utara label itu terus dipakai karena peran misionaris Jerman dan pemerintah kolonial Belanda yang memberi konstruksi dan makna baru atas kata itu," katanya. Disebutkan Ichwan, para misionaris itu sendiri awalnya ragu-ragu menggunakan kata Batak sebagai nama etnik, karena kata Batak tidak dikenal oleh orang Batak itu sendiri ketika para misionaris datang dan melakukan penelitian awal. Para misionaris awalnya menggunakan kata bata sebagai satu kesatuan dengan lander, jadi bata lander yang berarti tanah Batak, merupakan suatu nama yang lebih menunjuk ke kawasan geografis dan bukan kawasan budaya atau suku. Di arsip misionaris yang menyimpan sekitar 100 ribu dokumen berisi informasi penting berkaitan dengan aktivitas dan pemikiran di tanah Batak sejak pertengahan abad ke-19 itu, Ichwan menemukan dan meneliti puluhan peta, baik peta bata lander yang dibuat peneliti Jerman Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn, maupun peta-peta lain sebelum dan setelah peta Junghuhn dibuat. "Peta-peta itu memperlihatkan adanya kebingungan para musafir barat dan misionaris Jerman untuk meletakkan dan mengkonstruksi secara pas sebuah kata Batak dari luar untuk diberikan kepada nama satu kelompok etnik yang heterogen yang sesungguhnya tidak mengenal kata ini dalam warisan sejarahnya," tukas Ichwan. Dalam peta-peta kuno itu, kata bata lander hanya digunakan sebagai judul peta tapi di dalamnya hanya nampak lebih besar dari judulnya nama-nama seperti Toba, Silindung, Rajah, Pac Pac, Karo, dan tidak ada nama batak sama sekali. Dalam salah satu peta kata Batak di dalam peta digunakan sebagai pembatas kawasan Aceh dengan Minangkabau. Kebingungan para misionaris Jerman untuk mengkonstruksi kata Batak sebagai nama suku juga nampak dari satu temuan Ichwan terhadap peta misionaris Jerman sendiri yang sama sekali tidak menggunakan judul bata lander sebagai judul peta dan membuang semua kata Batak yang ada dalam edisi penerbitan peta itu di dalam laporan tahunan misionaris. Padahal sebelumnya mereka telah menggunakan kata Batak itu. Kata Batak yang semula nama ejekan negatif penduduk pesisir kepada penduduk pedalaman, kemudian menjadi nama kawasan geografis penduduk dataran tinggi Sumatera Utara yang heterogen dan memiliki nama-namanya sendiri pada awal abad 20, bergeser menjadi nama etnik dan sebagai nama identitas yang terus mengalami perubahan. "Setelah misionaris Jerman berhasil menggunakan nama Batak sebagai nama etnik, pihak pemerintah Belanda juga menggunakan konsep Jerman itu dalam pengembangan dan perluasan basis-basis kolonialisme mereka. Nama Batak juga digunakan sebagai nama etnik para elit yang bermukim di Tapanuli Selatan yang beragama Islam," tukasnya. Bujur ras mejuah-juah man kita kerina Kalak KARO tanpa embel-embel pembatak2kan dgn logika dan fakta 🙏 BPS tahun 2020 Sebutan Batak Mandailing sudah diganti dengan MANDAILING. Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencantumkan Mandailing sebagai nama suku di dalam Sensus Penduduk 2020. Itu diungkapkan Kepala BPS RI, Dr. Suhariyanto, saat menjawab wartawan via aplikasi WhatsApp, Kamis (13/02). Pencantuman nama Mandailing ini merupakan perubahan dari sebutan "Batak Mandailing" yang terlanjur dicantumkan dalam kolom nama suku di Sensus Penduduk tahun 2010 untuk kawasan Sumatera Utara. Sebelumnya, pemuka pemuka etnis Mandailing di Sumatera Utara meminta pemerintah melalui BPS RI untuk menukar sebutan "Batak Mandailing" yang terlanjur dicantumkan di SP2010 menjadi "Mandailing" saja di SP2020 dalam kolom nama etnis. Permintaan pemuka pemuka etnis Mandailing itu dituangkan dalam Surat Penolakan tanggal 11 Pebruari 2020 ditujukan kepada BPS RI. "Kami menegaskan bahwa pelabelan Batak Mandailing yang menimbulkan persepsi bahwa Mandailing merupakan sub-etnis Batak dengan istilah Batak Mandailing adalah sebuah kekeliruan yang fatal dalam memahami sejarah, identitas dan budaya orang Mandailing," demikian bunyi salah satu poin di surat penolakan itu. Kepala BPS RI, Dr. Suhariyanto menyatakan bahwa untuk SP2020 ini sebutan Mandailing telah menggantikan sebutan Batak Mandailing. Perubahan itu berdasar hasil diskusi BPS dengan pihak LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). "Saya sudah menerima info tersebut dan sudah mendiskusikan dengan LIPI. Daftar suku SP2020 sudah diperbaiki. Yang muncul adalah Mandailing," kata Suhariyanto. Dia juga menyatakan terimakasih kepada pemuka pemuka etnis Mandailing atas masukan yang disampaikan kepada BPS .Bujur ras mejuah-juah man kita kerina Kalak KARO tanpa embel-embel pembatak2kan dgn logika dan fakta 🙏
Batak,, etimologi,dari Karo,, dibata,,,, Toba,,debata,,,, Nama sesembahan nenek moyang ,, orang yang bermukim di pinggiran danau Toba,,,,, Karena ,, adanya perdagangan penduduk pedalaman Karo,, Dan Toba,, yang masih menganut ajaran sesembahan bernama debata ataupun dibata,,,, dengan pesisir Melayu ,,, dimana Melayu sudah beragama Islam,,,, karena perdagangan Dan Melayu mengatakan orang orang yang beragama Batak,,,,, Dapat dibuktikan,,,, Batak hanya di sematkan kepada Gereja,,,,, HKBP, dan GBKP,,,, Kosa kata debata , Dan di abadikan di Bibel berbahasa Toba,, Dan dibata Bibel berbahasa Karo,,, untuk nama Tuhan pencipta langit dan bumi,,,,, Berbudaya Batak,,, Dipastikan bermarga,,, Berbudaya Batak Dipastikan garis keturunan ayah,,, Berbudaya Batak dipastikan Menerapkan filosopi 3 tungku,,,,
@@fransiskasimatupang7384 Suku KARO secara genetik: Berdasarkan DNA (ilmu genetika yang keabsahannya diakui oleh PBB) Suku Karo sudah mendiami Pulau Sumatera sejak 8.300 tahun lampau dan jauh sebelum Raja-raja Batak datang ke Pulau Sumatera dari sabang sampai lampung (berdasarkan genetika DNA ini mengartikan Suku Karo bukan suku batak dan bukan juga sub suku batak). Orang Karo terutama merupakan campuran dari 4 (empat) penutur bahasa, yaitu: 1. Orang Negrito (Masa Mesolitik: 10.000 - 6.000 tahun lalu). 2. Penutur Austroasiatik (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu). 3. Penutur Austronesia (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu). 4. Orang Tamil dari India Selatan (Masa periode tahun masehi). Di dalam DNA Karo (dan Gayo) ada ditemukan unsur: Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil, sehingga kesamaan inilah yang membuat Karo dan Gayo berkerabat sangat dekat. Sementara Orang Karo merupakan keturunan dari campuran Orang Negrito yang datang pada masa Mesolitik, penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia yang datang pada masa Neolitik, serta Orang Tamil. Maka, jelas berbeda kedatangannya yang jauh lebih dulu kedatangan dari Orang Negrito, penutur Austroasiatik, dan penutur Austronesia dibanding Si Raja Batak yang diperkirakan datang sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu. dikonfirmasi oleh hasil analisa DNA Orang Toba oleh Mark Lipson (2014:87) dengan menyimpulkan bahwa DNA Orang Toba terdiri dari: Austronesia 55%, Austroasiatik 25%, dan Negrito 20%. Maka, jelas bahwa Orang Toba bukan hanya Orang Taiwan (Austronesia+Austroasitik), tetapi campuran Orang Taiwan dan Orang Negrito. Orang Negrito sudah ada mendiami Humbang sebelum Si Raja Batak datang ke Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Buhit, Negeri Toba, sehingga pernyataan bahwa Sianjur Mula-mula merupakan awal persebaran manusia bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos. Orang Karo bukanlah Orang Taiwan seperti Si Raja Batak yang Orang Taiwan, melainkan campuran Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa Orang Karo bukan keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Orang Karo lebih dulu sampai di Tanah Karo yang sudah datang pada masa prasejarah daripada Si Raja Batak yang sampai di Sianjur Mula-mula sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu, sehingga migrasi Orang Toba ke Tanah Karo tidak menjadikan Orang Karo menjadi keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Jelas bahwa tidak ada hubungan genealogis Si Raja Batak dengan Orang Karo, sementara bahasa Toba dan bahasa Karo termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Akhirnya, pernyataan bahwa Orang Karo adalah keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos! Kenapa orang Karo tidak mau disebut Batak. Dalam buku "Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia (1995)" karya Kol (Purn) Sempa Sitepu menuliskan dengan tegas jika Suku Karo bukan berasal dari si Raja Batak. Sehingga penyebutan Batak Karo jelas mengubah sejarah. Dalam penjelasannya, dia pun mencantumkan sisilan suku Karo yang dirangkum dari cerita para leluhurnya. Dituliskan jika leluhur etnis Karo dari India Selatan yang berbatasan Myanmar Dahulunya, ada seorang raja hidup dengan permaisurinya di seberang laut. Sang raja rupanya memiliki panglima bernama Karo yang merupakan orang keturunan India. sang raja mengatakan pada Panglima Karo ingin pergi ke lokasi baru untuk mendirikan kerajaan. Sang putri raja Si Miansari ikut serta. Miansari yang sudah menyimpan rasa kepada Karo memilih ikut rombongan dengan pasukan yang dipimpin sang panglima. Pasukan pun berlayar hingga tiba di Pulau Pinang. Konon mereka tinggal beberapa bulan di pulau itu hingga sang Raja kepincut dengan pulau yang lebih luas di sebelah selatan. Dengan semangat raja pun akhirnya meminta pasukan bersiap untuk menyeberang. Nahas, di tengah laut, mereka diterjang ombak besar hingga pasukan terpencar. Beruntung putri Miansari dengan rombongan Panglima Karo terdampar. Sementara keberadaan sang raja tak diketahui. akhirnya Putri Miansari dengan Panglima Karo pun sepakat pergi dengan membawa dua dayang dan tiga pengawal. Dalam pencarian tempat baru itu, akhirnya Miansari dan panglima menikah. Rombongan pun akhirnya tiba di pulau Perca (Sumatera). Saat ini, tempat tersebut dinamakan Belawan. Masih belum ingin menetap, rombongan pun menelusuri aliran sungai hingga tiba di tempat yang kini dinamakan Durin Tani. Di tepat itu diketahui ada gua yang disebut gua Umang. Dianggap tak aman, Panglima Karo dengan rombongan pergi hingga sampai ke tempat bernama Buluhawar, Bukum. Mereka pun tinggal di kaki gunung kini bernama Sikeben yang berdekatan dengan Bandarbaru. Masih mencari tempat yang lebih nyaman, Karo kembali berpindah hingga tiba di kaki Gunung Barus. Meski pemandangan dan udara di tempat tersebut sangat disukai rombongannya, Karo tetap ingin mencari tempat lain yang mirip dengan tanah kelahirannya. Saat beristirahat di bawah pohon beringin, Karo mengutus anjing untuk menyusuri sungai yang kini disebut Sungai Lau Biang. Beruntung anjing itu kembali dengan selamat. Karo dan rombongan pun kembali melakukan perjalanan hingga tiba di daratan tinggi bernama Mulawari atau berseberangan dengan si Capah (Seberaya). Daratan tinggi kini ini sebut Tanah Karo. Pernikahan Putri Miansari-Karo dikaruniani tujuh anak. Anak pertama hingga keenam semuanya perempuan. 1. Corah 2. Unjuk 3. Tekang 4. Girik 5. Pagit 6. Jile 7. Meherga Anak ketujuh berjenis kelamin laki-laki. Lantaran disebut sebagai penerus, anak ketujuh ini diberi nama Meherga (berharga)/Merga(mahal) Terciptanya Merga dari Suku Karo Lahir anak ketujuh Karo ini juga menjadi cikal bakal terciptanya merga di Suku Karo. Merga pun akhirnya menikah dengan anak Tarlon (saudara bungsu dari Miansari) bernama Cimata. Merga dan Cimata pun memiliki lima anak laki-laki yang namanya menjadi induk merga Suku Karo. Anak pertama yakni Karo (sebagai leluhur agar diingat para keturunannya). Anak keduanya yakni Ginting. Anak ketiga yakni Sembiring. Nama itu diambil kata kata Si Mbiring yang artinya hitam. Konon, Sembiring ini paling hitam di antara saudaranya. Anak ke empat Peranginangin. Dia diceritakan lhahir saat angin puting beliung. Sementara anak kelima atau bungsu diberi nama Tarigan. Itulah sejarah kenapa orang Karo tidak mau disebut orang Batak. Mereka tidak ingin menghapus sejarah leluhurnya hingga disebut suku Batak padahal mereka berbeda asal usul nenek moyang dan mereka telah membentuk identitas mereka yaitu" Suku Karo dgn Merga Silima" dgn salam Mejuah-juah. Dikutip dari website resmi Pemerintah Kabupaten Karo, berikut daftar 5 marga induk suku Karo atau Merga Silima beserta sub merganya. 1. KARO-KARO: · Barus · Bukit · Gurusinga · Kaban · Kacaribu · Ketaren · Kemit · Jung · Purba · Sinulingga · Sinukaban · Sinubulan · Sinuraya · Sitepu · Sinuhaji · Surbakti · Samura · Sekali 2. GINTING: · Ajartambun · Babo · Beras · Cabap · Gurupatih · Garamata · Jandibata · Jawak · Manik · Munte · Pase · Seragih · Suka · Sugihen · Sinusinga · Tumangger 3. SEMBIRING: · Berahmana · Busuk · Depari · Colia · Keloko · Kembaren · Muham · Meliala · Maha · Bunuaji · Gurukinayan · Pandia · Keling · Pelawi · Pandebayang · Sinukapur · Sinulaki · Sinupayung · Tekang 4. Perangin-angin · Bangun · Keliat · Kacinambun · Namohaji · Nano · Menjerang · Uwir · Pinem · Pancawan · Panggarun · Ulun Jandi · Laksa · Perbesi · Sukatendel · Singarimbun · Sinurat · Sebayang · Tanjung 5. TARIGAN: · Bondong · Gana-gana · Gersang · Gerneng · Jampang · Purba · Pekan · Sibero · Tua · Tegur · Tambak · Tambun · Silangit · Tendang Suku Karo tak mengenal MARGA tapi MERGA yang berasal dari kata MEHERGA/ MERGA yang berarti mahal karena anak laki-laki itu penerus keluarga.Suku Karo punya MERGA SILIMA yaitu KARO-KARO,GINTING, SEMBIRING PERANGINANGIN dan TARIGAN dimana ada 2 merga berbeda atau mendapat pengecualian yaitu merga PERANGINANGIN boleh menikah sesama cabang merga PERANGINANGIN dan satu lagi merga SEMBIRING yang terbagi menjadi dua yaitu yang makan b1/anjing tidak boleh menikah sesama cabang merga SEMBIRING dan yang pantang makan b1/anjing boleh menikah sesama cabang merga SEMBIRING. Bujur ras mejuah-juah man kita kerina Kalak KARO tanpa embel-embel pembatak2kan dgn logika dan fakta 🙏
@@fransiskasimatupang7384 KARO BUKAN BATAK hanya SUKU KARO.Fakta GBKP pertama: Gereja Batak Karo Protestan (disingkat GBKP) adalah sebuah kelompok gereja Protestan di Indonesia yang berdiri di Tanah Karo, Sumatera Utara dan melayani masyarakat Karo. GBKP adalah gereja Kristen Protestan yang beraliran Calvinis. Dimana, dulu pada awalnya sudah ada Gereja Karo, gedungnya dibangun di Buluhawar, kalau tidak salah gedung gereja tersebut dibangun tahun 1889. Pada waktu itu namanya adalah Karosche Kerk, atau belakangan ditulis dengan Gereja Karo Protestan ataupun Karosche Protestantse Kerk, walaupun nama aslinya sebenarnya adalah Karosche Kerk (Gereja Karo). Tahun 1941, maka digantilah nama gereja tersebut menjadi Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), dan pada tahun 1943 GBKP menyatakan diri independen (njayo) dari organisasi zending. Berdasarkan analisa para ahli, waktu itu ada upaya mengaitkan antara gereja ini dengan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), karena saat itu (tahun 1941), Belanda sudah dikuasai oleh Jerman di Perang Dunia II. Adanya campur tangan HKBP di peralihan nama itu terlihat dalam posisi ketua Moderamen GBKP yang pertama pada Sidang Sinode yang pertama di Sibolangit tahun 1941 yang dijabat oleh Pdt. J. van Muylwijk. Seperti diketahui van Muylwijk, sebelumnya bekerja di HKBPS (Simalungun) dan kalau tidak salah merupakan ketua klasis HKBP Simalungun pada waktu itu. Meski van Muylwijk berasal dari Belanda, sebenarnya dia bekerja untuk Reinisch Mission Geselsalf (RMG) atau organisasi misi Jerman dan bukan untuk Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) yang merupakan organisasi zending Belanda yang mendirikan Karosche Kerk di Buluhawar. Pastinya mengapa diubah namanya menjadi GBKP dan mengapa ditambahkan Bataknya di tahun 1941 tersebut, maka untuk lebih jelasnya silahkan ditanyakan kepada yang berkompeten mewakili gereja itu. Tulisan ini hanya menghadirkan analisas berdasarkan data-data yang terkuak ke publik. Dari analisa para ahli, bahwa besar dugaan perubahan nama Gereja Karo (GK) menjadi Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) disebabkan karena ada campur tangan HKBP setelah Belanda dikuasai Jerman di Perang Dunia II. Demikianlah sekilas sejarah penamaan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) pada tahun 1941, dimana pada awalnya Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) yang merupakan organisasi zending Belanda menamakan gereja ini dengan nama Karosche Kerk (Gereja Karo). bujur ras mejuah-juah man kita kerina Kalak KARO tanpa embel-embel pembatak2kan dgn logika dan fakta 🙏 KARO BUKAN BATAK hanya SUKU KARO.fakta GBKP kedua: Karo Kerk (bahasa Indonesia: Gereja Karo) adalah sebutan bagi gereja pertama yang berdiri untuk melayani masyarakat Batak Karo. Pertama kali berdiri di Buluh Awar. Bangunan pertamanya juga berdiri di Buluh Awar, di tahbiskan pada tanggal 24 Desember 1899 oleh Meint Joustra, seorang guru injil berkebangsaan Belanda yang dikirim oleh Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) untuk misi Pekabaran Injil bagi masyarakat Batak Karo. Dikatakan "sebutan" bagi gereja untuk melayani masyarakat Batak Karo, karena pada saat pertama kali penginjilan dilakukan bagi masyarakat Batak Karo yang dipelopori oleh NZG dari tahun 1890 hingga tahun 1941, tidak ada sebuah sinode atau denominasi gereja yang didirikan. Tetapi semua pelayanan yang dinaungi oleh NZG tersebut dinamai dengan Karo Kerk atau Karo Zending. Akibat kekalahan Belanda terhadap Jerman pada tahun 1941 di Perang Dunia, semua aset-aset tanah jajahan Belanda diambil alih oleh Jerman, tak terkecuali lahan zending garapan NZG (lembaga misionaris Belanda) yang kemudian beralih kepada Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) (lembaga misionaris Jerman). Kontroversi Banyak kalangan yang menterjemahkan secara liar Karo Kerk ke dalam berbagai nama. Misalkan menjadi Gereja Kristen Karo, Gereja Protestan Karo, Gereja Kristen Protestan Karo, Gereja Batak Karo Protestan, dsb. Padahal, secara harafiah, Karo Kerk cukup diterjemahkan dengan Gereja Karo. Ada lagi yang beranggapan kalau GBKP adalah gereja Karo Pertama yang dulu pertama berdiri di Buluhawar, sehingga terjadi salah tafsir dan perubahan dari yang harusnya Peringeten sehna Berita Simeriah man Kalak Karo atau dalam Bahasa Indonesia-nya "Peringatan Pekabaran Injil bagi Suku Karo" menjadi "Peringatan berdirinya GBKP" atau "ulangtahun GBKP", ini jelas keliru! Sebab 14 April 1890 itu hari dimana Pdt. H. C. Krujt dan Nicolas Pontoh utusan dari Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) (Lembaga Zending Belanda) untuk pertamakalinya menginjakkan kaki di Buluhawar (lokasi penginjilan pertama bagi Suku Karo) dan 24 Desember 1899 bangunan gereja pertama ditahbiskan oleh Pdt. Meint Joustra di Buluhawar. Sedangkan GBKP baru muncul pada tahun 1941. Jadi, peringatan 1890 lebih tepat adalah sebagai Peringatan Pekabaran Injil Bagi Suku KARO .Bujur ras mejuah-juah man kita kerina Kalak KARO tanpa embel-embel pembatak2kan dgn logika dan fakta 🙏
@@fransiskasimatupang7384 Tanah Karo dalam Pengertian sebenarnya bukan hanya mencakup orang Karo yang berdiam di daerah Kabupaten Karo saja. Melainkan mencakup kepada orang-orang Karo yang sudah lama berdiam atau menetap di daerah-daerah garis besar Karo, jauh sebelum kolonial Belanda menjajah wilayah asli suku Karo seperti kabupaten Deli Serdang, Langkat, Simalungun, Dairi, Aceh Tenggara, Kotamadya Binjai dan ibu kota Medan. Seluruh perpaduan suku Karo diikatkan oleh suatu dialek (bahasa) yang dapat dimengerti dimulai dari daerah Langkat, Deli Serdang, dataran tinggi Karo sampai ke Tanah Alas. Banyak bukti yang menjelaskan bahwa kehidupan masyarakat Karo dipengaruhi oleh ideologi, kepercayaan dan praktek yang lazim dilakukan oleh bangsa India atau Hindu. Pengamatan penting mengenai agama asli Karo yang dinamakan " Kniteken Sipemena" mendeskripsikan bahwa agama tersebut tidak diekspresikan dengan cara sistematis. Tidak ada kitab suci dan tidak ada ajaran teologis yang sistematis bahkan tidak ada dogma di dalamnya. Begitu pula akan musik dan tarian tradisional Karo yang memiliki dimensi, makna religius, artistik, budaya dan hiburan tersendiri. Cerita dan pantun Karo, Seni Ukir dan pakaian Karo, seluruhnya ini telah kami rangkum dengan cermat dan padat dalam buku ini. Sangat bermartabat apabila khazanah lokal lebih dikenal lagi, digali, diteliti, dikaji dan dipublikasikan. Jika tidak harta budaya itu akan tetap tersembunyi dan terpendam. Untuk Bumi Turang, Tanah Karo Simalem...
@@fransiskasimatupang7384 BPS tahun 2020 Sebutan Batak Mandailing sudah diganti dengan MANDAILING. Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencantumkan Mandailing sebagai nama suku di dalam Sensus Penduduk 2020. Itu diungkapkan Kepala BPS RI, Dr. Suhariyanto, saat menjawab wartawan via aplikasi WhatsApp, Kamis (13/02). Pencantuman nama Mandailing ini merupakan perubahan dari sebutan "Batak Mandailing" yang terlanjur dicantumkan dalam kolom nama suku di Sensus Penduduk tahun 2010 untuk kawasan Sumatera Utara. Sebelumnya, pemuka pemuka etnis Mandailing di Sumatera Utara meminta pemerintah melalui BPS RI untuk menukar sebutan "Batak Mandailing" yang terlanjur dicantumkan di SP2010 menjadi "Mandailing" saja di SP2020 dalam kolom nama etnis. Permintaan pemuka pemuka etnis Mandailing itu dituangkan dalam Surat Penolakan tanggal 11 Pebruari 2020 ditujukan kepada BPS RI. "Kami menegaskan bahwa pelabelan Batak Mandailing yang menimbulkan persepsi bahwa Mandailing merupakan sub-etnis Batak dengan istilah Batak Mandailing adalah sebuah kekeliruan yang fatal dalam memahami sejarah, identitas dan budaya orang Mandailing," demikian bunyi salah satu poin di surat penolakan itu. Kepala BPS RI, Dr. Suhariyanto menyatakan bahwa untuk SP2020 ini sebutan Mandailing telah menggantikan sebutan Batak Mandailing. Perubahan itu berdasar hasil diskusi BPS dengan pihak LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). "Saya sudah menerima info tersebut dan sudah mendiskusikan dengan LIPI. Daftar suku SP2020 sudah diperbaiki. Yang muncul adalah Mandailing," kata Suhariyanto. Dia juga menyatakan terimakasih kepada pemuka pemuka etnis Mandailing atas masukan yang disampaikan kepada BPS .Bujur ras mejuah-juah man kita kerina Kalak KARO tanpa embel-embel pembatak2kan dgn logika dan fakta 🙏
Kenapa orang Karo tidak mau disebut Batak. Dalam buku "Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia (1995)" karya Kol (Purn) Sempa Sitepu menuliskan dengan tegas jika Suku Karo bukan berasal dari si Raja Batak. Sehingga penyebutan Batak Karo jelas mengubah sejarah. Dalam penjelasannya, dia pun mencantumkan sisilan suku Karo yang dirangkum dari cerita para leluhurnya. Dituliskan jika leluhur etnis Karo dari India Selatan yang berbatasan Myanmar Dahulunya, ada seorang raja hidup dengan permaisurinya di seberang laut. Sang raja rupanya memiliki panglima bernama Karo yang merupakan orang keturunan India. sang raja mengatakan pada Panglima Karo ingin pergi ke lokasi baru untuk mendirikan kerajaan. Sang putri raja Si Miansari ikut serta. Miansari yang sudah menyimpan rasa kepada Karo memilih ikut rombongan dengan pasukan yang dipimpin sang panglima. Pasukan pun berlayar hingga tiba di Pulau Pinang. Konon mereka tinggal beberapa bulan di pulau itu hingga sang Raja kepincut dengan pulau yang lebih luas di sebelah selatan. Dengan semangat raja pun akhirnya meminta pasukan bersiap untuk menyeberang. Nahas, di tengah laut, mereka diterjang ombak besar hingga pasukan terpencar. Beruntung putri Miansari dengan rombongan Panglima Karo terdampar. Sementara keberadaan sang raja tak diketahui. akhirnya Putri Miansari dengan Panglima Karo pun sepakat pergi dengan membawa dua dayang dan tiga pengawal. Dalam pencarian tempat baru itu, akhirnya Miansari dan panglima menikah. Rombongan pun akhirnya tiba di pulau Perca (Sumatera). Saat ini, tempat tersebut dinamakan Belawan. Masih belum ingin menetap, rombongan pun menelusuri aliran sungai hingga tiba di tempat yang kini dinamakan Durin Tani. Di tepat itu diketahui ada gua yang disebut gua Umang. Dianggap tak aman, Panglima Karo dengan rombongan pergi hingga sampai ke tempat bernama Buluhawar, Bukum. Mereka pun tinggal di kaki gunung kini bernama Sikeben yang berdekatan dengan Bandarbaru. Masih mencari tempat yang lebih nyaman, Karo kembali berpindah hingga tiba di kaki Gunung Barus. Meski pemandangan dan udara di tempat tersebut sangat disukai rombongannya, Karo tetap ingin mencari tempat lain yang mirip dengan tanah kelahirannya. Saat beristirahat di bawah pohon beringin, Karo mengutus anjing untuk menyusuri sungai yang kini disebut Sungai Lau Biang. Beruntung anjing itu kembali dengan selamat. Karo dan rombongan pun kembali melakukan perjalanan hingga tiba di daratan tinggi bernama Mulawari atau berseberangan dengan si Capah (Seberaya). Daratan tinggi kini ini sebut Tanah Karo. Pernikahan Putri Miansari-Karo dikaruniani tujuh anak. Anak pertama hingga keenam semuanya perempuan. 1. Corah 2. Unjuk 3. Tekang 4. Girik 5. Pagit 6. Jile 7. Meherga Anak ketujuh berjenis kelamin laki-laki. Lantaran disebut sebagai penerus, anak ketujuh ini diberi nama Meherga (berharga). Terciptanya Merga dari Suku Karo Lahir anak ketujuh Karo ini juga menjadi cikal bakal terciptanya merga di Suku Karo. Merga pun akhirnya menikah dengan anak Tarlon (saudara bungsu dari Miansari) bernama Cimata. Merga dan Cimata pun memiliki lima anak laki-laki yang namanya menjadi induk merga Suku Karo. Anak pertama yakni Karo (sebagai leluhur agar diingat para keturunannya). Anak keduanya yakni Ginting. Anak ketiga yakni Sembiring. Nama itu diambil kata kata Si Mbiring yang artinya hitam. Konon, Sembiring ini paling hitam di antara saudaranya. Anak ke empat Peranginangin. Dia diceritakan lhahir saat angin puting beliung. Sementara anak kelima atau bungsu diberi nama Tarigan. Itulah sejarah kenapa orang Karo tidak mau disebut orang Batak. Mereka tidak ingin menghapus sejarah leluhurnya hingga disebut suku Batak padahal mereka berbeda asal usul nenek moyang dan mereka telah membentuk identitas mereka yaitu" Suku Karo dgn Merga Silima" dgn salam Mejuah-juah. Suku Karo tak mengenal MARGA tapi MERGA yang berasal dari kata MEHERGA/ MERGA yang berarti mahal karena anak laki-laki itu penerus keluarga.Suku Karo punya MERGA SILIMA yaitu Karokaro, Tarigan, Ginting, Peranginangin dan Sembiring dimana ada 2 merga berbeda yaitu merga Peranginangin boleh menikah sesama cabang merga Peranginangin dan satu lagi merga Sembiring yang terbagi menjadi dua yaitu yang makan b1/anjing tidak boleh menikah sesama cabang merga Sembiring dan yang pantang makan b1/anjing boleh menikah sesama cabang merga Sembiring.bujur ras mejuah-juah man kita kerina Kalak KARO tanpa embel-embel pembatak2kan dgn LOGIKA dan fakta 🙏
@@sirosta471 Karo berdasarkan genetika Y-DNA Haplogroups dari populasi Karo, maka dapatlah ditelusuri mengenai asal-usulnya. Karo Y-DNA Haplogroups terdiri dari: C-RPS4Y*= 19,05%, R-M173= 19,05%, O-M95* = 19:05%, dan O-M119= 42,85%. Seperti itulah Y-DNA Haplogroups dari populasi Karo. C-RPS4Y* merupakan subclade dari Y-DNA C, tetapi masih masih memakai tanda (*) yang artinya masih memerlukan penelitian untuk memperjelasnya lebih jauh. Paragroup C ditemukan dalam populasi kuno di setiap benua kecuali Afrika dan dominan Y-DNA Haplogroup di antara banyak laki-laki milik masyarakat asli di Asia Tengah/Siberia, Amerika Utara dan Oseania. Paragroup C ini tidak langsung lagi berasal dari Afrika, tetapi muncul di luar Afrika setelah bermutasi pada sekitar 60.000 tahun lalu. Kemudian C-RPS4Y* banyak ditemui di Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan suku Aborigin Australia, tetapi Karafet et al. (2010) mengemukakan bahwa C-RPS4Y* ditemukan juga di Indonesia (termasuk bagian Barat) dan Asia Tenggara. Dengan demikian, kemungkinannya C-RPS4Y* bermigrasi ke Tanah Karo adalah dari Asia Daratan. O-M95* diasosiakan sebagai penutur Austroasiatik. Jean A. Trejaut et al. (2014) mengemukakan bahwa O-M95* bermigrasi dari Indochina ke Indonesia Barat. O-M95* bermigrasi melalui Semenanjung Malaka terus ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. O-M95*ditemukan juga pada Karo Y-DNA Haplogroups. O-M95* ini diperkirakan lebih dulu bermigrasi sebelum ekspansi Austronesia di sekitar 4.000 - 6.000 tahun lalu. O-M95* bermigrasi masuk melalui pantai timur Sumatera. Melihat pada beberapa ekskavasi arkeologi atas bukit-bukit kerang yang dilakukan di sepanjang pesisir Timur mulai dari sekitar Medan hingga Lhokseumawe, maka terbukti jelas bahwa para pendukung budaya Hoabinh sudah datang ke sana. Berdasarkan fosil berusia 7.400 tahun lalu (belakangan ditemukan lagi fosil berusia 8.430 tahun lalu) yang dicocokkan DNAnya dengan orang-orang Gayo oleh Eijkman Institute, maka terbukti bahwa Gayo adalah keturunan dari pendukung budaya Hoabinh tersebut, sedang Gayo dengan Karo berkerabat sangat dekat secara genetik. Para pendukung budaya Hoabinh ini datang dari Teluk Tonkin, Vietnam dan kalau melihat kepada daerah asal Hoabinhian ini, maka ada sementara pihak yang menghubungkannya dengan bahasa Austroasiatik dan mereka menduga ada kaitannya dengan O-M95*. Meskipun demikian, terhadap dugaan ini tetap harus dilakukan pembuktian. Hoabinhian adalah kebudayaan yang berkembang di Vietnam Utara, dekat Teluk Tonkin pada sekitar 10.000 - 2.000 SM. Di dekat daerah itu juga berkembang kebudayaan Dongson pada sekitar 5.000 - 2.000 SM (Wikipedia). O-M119 sering ditemukan pada populasi berbahasa Austronesia yang kemudian mendominasi bahasa Karo menjadi termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Karafet et al. (2010) dalam papernya mengemukakan bahwa ekspansi Austronesia telah berlangsung pada periode sekitar 4.000 - 6.000 tahun lalu. “Akan tetapi”, seperti disampaikan oleh Gludhug A. Purnomo dari Eijkman Institute (02/03-2016), “terdapat hipotesis bahwa beberapa sub clades dari Haplogroup O (O-M119 dan O-M122) diduga berasosiasi dengan Ekspansi Austronesia pada masa Plestocene.” Populasi O-M119 yang berbahasa Austronesia ini datang dari Asia Daratan dan masuk dari pantai timur Sumatera. R-M173 paling kuat berasal dari Asia Selatan, menurut Soares (2010). Dari sejarahnya, bahwa penutur Dravida dari India, Asia Selatan memang banyak datang ke Tanah Karo terutama pada millennium kedua masehi. Mereka ini masuk melalui pantai timur Sumatera. Akhirnya, populasi C-RPS4Y*, populasi O-M95*,populasi O-M119, dan populasi R-M173 datang ke Tanah Karo dari pantai timur Sumatera dengan masing-masing rombongan dalam waktu berbeda-beda yang didahului C-RPS4Y*. Di Tanah Karo, keempat populasi ini kemudian bercampur membentuk sebuah populasi besar dengan KARO Y-DNA Haplogroups seperti yang dikemukakan di awal dan mereka inilah yang sekarang menjadi populasi Karo. Jadi, pada dasarnya Etnis Karo itu terbentuk sendiri. (*) Oleh: Edward Simanungkalit
@@sirosta471 Karo berdasarkan genetika Y-DNA Haplogroups dari populasi Karo, maka dapatlah ditelusuri mengenai asal-usulnya. Karo Y-DNA Haplogroups terdiri dari: C-RPS4Y*= 19,05%, R-M173= 19,05%, O-M95* = 19:05%, dan O-M119= 42,85%. Seperti itulah Y-DNA Haplogroups dari populasi Karo. C-RPS4Y* merupakan subclade dari Y-DNA C, tetapi masih masih memakai tanda (*) yang artinya masih memerlukan penelitian untuk memperjelasnya lebih jauh. Paragroup C ditemukan dalam populasi kuno di setiap benua kecuali Afrika dan dominan Y-DNA Haplogroup di antara banyak laki-laki milik masyarakat asli di Asia Tengah/Siberia, Amerika Utara dan Oseania. Paragroup C ini tidak langsung lagi berasal dari Afrika, tetapi muncul di luar Afrika setelah bermutasi pada sekitar 60.000 tahun lalu. Kemudian C-RPS4Y* banyak ditemui di Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan suku Aborigin Australia, tetapi Karafet et al. (2010) mengemukakan bahwa C-RPS4Y* ditemukan juga di Indonesia (termasuk bagian Barat) dan Asia Tenggara. Dengan demikian, kemungkinannya C-RPS4Y* bermigrasi ke Tanah Karo adalah dari Asia Daratan. O-M95* diasosiakan sebagai penutur Austroasiatik. Jean A. Trejaut et al. (2014) mengemukakan bahwa O-M95* bermigrasi dari Indochina ke Indonesia Barat. O-M95* bermigrasi melalui Semenanjung Malaka terus ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. O-M95*ditemukan juga pada Karo Y-DNA Haplogroups. O-M95* ini diperkirakan lebih dulu bermigrasi sebelum ekspansi Austronesia di sekitar 4.000 - 6.000 tahun lalu. O-M95* bermigrasi masuk melalui pantai timur Sumatera. Melihat pada beberapa ekskavasi arkeologi atas bukit-bukit kerang yang dilakukan di sepanjang pesisir Timur mulai dari sekitar Medan hingga Lhokseumawe, maka terbukti jelas bahwa para pendukung budaya Hoabinh sudah datang ke sana. Berdasarkan fosil berusia 7.400 tahun lalu (belakangan ditemukan lagi fosil berusia 8.430 tahun lalu) yang dicocokkan DNAnya dengan orang-orang Gayo oleh Eijkman Institute, maka terbukti bahwa Gayo adalah keturunan dari pendukung budaya Hoabinh tersebut, sedang Gayo dengan Karo berkerabat sangat dekat secara genetik. Para pendukung budaya Hoabinh ini datang dari Teluk Tonkin, Vietnam dan kalau melihat kepada daerah asal Hoabinhian ini, maka ada sementara pihak yang menghubungkannya dengan bahasa Austroasiatik dan mereka menduga ada kaitannya dengan O-M95*. Meskipun demikian, terhadap dugaan ini tetap harus dilakukan pembuktian. Hoabinhian adalah kebudayaan yang berkembang di Vietnam Utara, dekat Teluk Tonkin pada sekitar 10.000 - 2.000 SM. Di dekat daerah itu juga berkembang kebudayaan Dongson pada sekitar 5.000 - 2.000 SM (Wikipedia). O-M119 sering ditemukan pada populasi berbahasa Austronesia yang kemudian mendominasi bahasa Karo menjadi termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Karafet et al. (2010) dalam papernya mengemukakan bahwa ekspansi Austronesia telah berlangsung pada periode sekitar 4.000 - 6.000 tahun lalu. “Akan tetapi”, seperti disampaikan oleh Gludhug A. Purnomo dari Eijkman Institute (02/03-2016), “terdapat hipotesis bahwa beberapa sub clades dari Haplogroup O (O-M119 dan O-M122) diduga berasosiasi dengan Ekspansi Austronesia pada masa Plestocene.” Populasi O-M119 yang berbahasa Austronesia ini datang dari Asia Daratan dan masuk dari pantai timur Sumatera. R-M173 paling kuat berasal dari Asia Selatan, menurut Soares (2010). Dari sejarahnya, bahwa penutur Dravida dari India, Asia Selatan memang banyak datang ke Tanah Karo terutama pada millennium kedua masehi. Mereka ini masuk melalui pantai timur Sumatera. Akhirnya, populasi C-RPS4Y*, populasi O-M95*,populasi O-M119, dan populasi R-M173 datang ke Tanah Karo dari pantai timur Sumatera dengan masing-masing rombongan dalam waktu berbeda-beda yang didahului C-RPS4Y*. Di Tanah Karo, keempat populasi ini kemudian bercampur membentuk sebuah populasi besar dengan KARO Y-DNA Haplogroups seperti yang dikemukakan di awal dan mereka inilah yang sekarang menjadi populasi Karo. Jadi, pada dasarnya Etnis Karo itu terbentuk sendiri. (*) Oleh: Edward Simanungkalit
@@sirosta471 Orang Karo Berdasarkan Migrasi Leluhur Orang Karo (Suku Karo) berada di wilayah Sumatera bagian Utara dan untuk dapat mengenal Orang Karo lebih jauh, maka perlu mengetahui asal migrasi leluhurnya. Arkeolog senior, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama ini di Indonesia. Peneliti dan Direktur Center for Prehistoric Austronesian Studies ini memaparkan bahwa pada masa Pleistosen yang terentang mulai dari 2 juta tahun lalu hingga 11.500 tahun lalu, bumi begitu dinamis. Banyak pergerakan lempeng bumi, aktifnya gunung api, dan peng-es-an (glasiasi), sehingga diduga pada masa itulah banyak manusia dan hewan bermigrasi. Di Indonesia, pertanggalan tertua berasal dari situs Song terus, Pacitan, sekitar 45.000 tahun lalu. Lalu, berlanjut dengan berakhirnya zaman es awal Holosen yang menyebabkan kenaikan air laut, sehingga memicu diaspora pada 10.000 - 5.000 SM, kedatangan penutur Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu hingga zaman fajar sejarah alias protosejarah beberapa abad menjelang Masehi (Majalah Arkeologi Indonesia, 16/03-2014). Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak memaparkan, bahwa berdasarkan data arkeologi, etnologi, dan paleontologi, terdeteksi adanya arus migrasi, selain penutur Austronesia dan Papua, yang masuk dari sisi barat melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Mereka adalah penutur Austroasiatik. Penutur Austroasiatik ini tiba di Indonesia pada 4.300-4.100 tahun lalu yang kemudian baru disusul penutur Austronesia pada kisaran 4.000 tahun lalu. Austroasiatik dan Austronesia sebenarnya berasal dari satu rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa Austrik, tetapi kemudian pecah. Bahasa Austroasiatik digunakan di sekitar Asia Tenggara Daratan, sedangkan Austronesia digunakan di wilayah kepulauan, seperti Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, hingga Pulau Paskah. Bahasa Austrik awalnya dimanfaatkan masyarakat Yunan, Cina Selatan. Bahasa ini kemudian pecah menjadi dua, yaitu Austroasiatik dan Austronesia, yang kemudian menjadi penyebutan nama kelompok berdasarkan penggolongan bahasa. Pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu penandanya ialah temuan tembikar-tembikar berhias tali yang bentuknya sama dengan tembikar di selatan Tiongkok hingga Taiwan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014). dalam DNA Orang Karo ada unsur Negrito tersebut. Mengingat bukit kerang ditemukan juga di Deli Serdang dan Langkat yang telah dilakukan penelitian arkeologi, maka sangat mungkin Orang Negrito banyak juga di Tanah Karo pada masa lalu. Kemudian, seperti dikemukakan Harry Truman Simanjuntak sebelumnya, bahwa penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia datang juga ke Sumatera bagian Utara, sehingga bahasa Karo dan Gayo dimenangkan oleh penutur Austronesia. Oleh karena itu, bahasa Karo dan Gayo termasuk rumpun bahasa Austronesia (Adelaar, 1981:55), seperti bahasa Simalungun, Toba, Pakpak, dan Mandailing juga termasuk rumpun bahasa Austronesia. Selain itu, secara khusus, bahwa ada jejak genetika orang-orang Tamil dari India Selatan di Gayo dan Karo. Jejak genetika ini ditemukan selain genetika orang-orang daratan Asia (Kamboja dan Vietnam), yaitu penutur Austroasiatik, yang datang melalui Semenanjung Malaka dan penutur Austronesia melalui Filipina. Migrasi Orang Tamil ke Gayo dan Karo berlangsung secara bertahap pada masa sejarah (Kompas, 02/04-2013). Jadi, dari migrasi yang datang ke Gayo dan Karo terlihat yaitu: Orang Negrito, penutur Austroasiatik, penutur Austronesia, dan Orang Tamil dari India Selatan. Kesamaan ini terlihat ketika penelitian genetika dilakukan oleh Lembaga Eijkman terbukti bahwa genetika Gayo dan Karo berkerabat sangat dekat. Berdasarkan migrasi leluhur tadi, maka Orang Karo terutama merupakan campuran dari 4 (empat) penutur bahasa, yaitu: 1. Orang Negrito (Masa Mesolitik: 10.000 - 6.000 tahun lalu). 2. Penutur Austroasiatik (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu). 3. Penutur Austronesia (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu). 4. Orang Tamil dari India Selatan (Masa periode tahun masehi). Di dalam DNA Karo (dan Gayo) ada ditemukan unsur: Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil, sehingga kesamaan inilah yang membuat Karo dan Gayo berkerabat sangat dekat. Orang Karo merupakan keturunan dari campuran Orang Negrito yang datang pada masa Mesolitik, penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia yang datang pada masa Neolitik, serta Orang Tamil. Maka, jelas berbeda kedatangannya yang jauh lebih dulu kedatangan dari Orang Negrito, penutur Austroasiatik, dan penutur Austronesia. Kemudian dari campuran tadi jelas bahwa Orang Karo berbeda secara genetik dengan Si Raja Batak yang Orang Taiwan tadi. Sehingga, pernyataan bahwa Orang Karo adalah keturunan Si Raja Batak bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos. dikonfirmasi oleh hasil analisa DNA Orang Toba oleh Mark Lipson (2014:87) dengan menyimpulkan bahwa DNA Orang Toba terdiri dari: Austronesia 55%, Austroasiatik 25%, dan Negrito 20%. Maka, jelas bahwa Orang Toba bukan hanya Orang Taiwan (Austronesia+Austroasitik), tetapi campuran Orang Taiwan dan Orang Negrito. Orang Negrito sudah ada mendiami Humbang sebelum Si Raja Batak datang ke Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Buhit, Negeri Toba, sehingga pernyataan bahwa Sianjur Mula-mula merupakan awal persebaran manusia bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos. Kesimpulan Orang Karo bukanlah Orang Taiwan seperti Si Raja Batak yang Orang Taiwan, melainkan campuran Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa Orang Karo bukan keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Orang Karo lebih dulu sampai di Tanah Karo yang sudah datang pada masa prasejarah daripada Si Raja Batak yang sampai di Sianjur Mula-mula sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu, sehingga migrasi Orang Toba ke Tanah Karo tidak menjadikan Orang Karo menjadi keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Jelas bahwa tidak ada hubungan genealogis Si Raja Batak dengan Orang Karo, sementara bahasa Toba dan bahasa Karo termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Akhirnya, pernyataan bahwa Orang Karo adalah keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos! Bujur ras mejuah-juah man kita kerina Kalak KARO tanpa embel-embel pembatak2kan dgn LOGIKA dan fakta 🙏
@@sirosta471 Berdasarkan DNA (ilmu genetika yang keabsahannya diakui oleh PBB) Suku Karo sudah mendiami Pulau Sumatera sejak 8.300 tahun lampau dan jauh sebelum Raja-raja Batak datang ke Pulau Sumatera dari sabang sampai lampung (berdasarkan genetika DNA ini mengartikan Suku Karo bukan suku batak dan bukan juga sub suku batak). Ingin Tahu detailnya? Orang Karo Berdasarkan Migrasi Leluhur: Orang Karo (Suku Karo) berada di wilayah Sumatera bagian Utara dan untuk dapat mengenal Orang Karo lebih jauh, maka perlu mengetahui asal migrasi leluhurnya. Arkeolog senior, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama ini di Indonesia. Peneliti dan Direktur Center for Prehistoric Austronesian Studies ini memaparkan bahwa pada masa Pleistosen yang terentang mulai dari 2 juta tahun lalu hingga 11.500 tahun lalu, bumi begitu dinamis. Banyak pergerakan lempeng bumi, aktifnya gunung api, dan peng-es-an (glasiasi), sehingga diduga pada masa itulah banyak manusia dan hewan bermigrasi. Di Indonesia, pertanggalan tertua berasal dari situs Song terus, Pacitan, sekitar 45.000 tahun lalu. Lalu, berlanjut dengan berakhirnya zaman es awal Holosen yang menyebabkan kenaikan air laut, sehingga memicu diaspora pada 10.000 - 5.000 SM, kedatangan penutur Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu hingga zaman fajar sejarah alias protosejarah beberapa abad menjelang Masehi (Majalah Arkeologi Indonesia, 16/03-2014). Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak memaparkan, bahwa berdasarkan data arkeologi, etnologi, dan paleontologi, terdeteksi adanya arus migrasi, selain penutur Austronesia dan Papua, yang masuk dari sisi barat melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Mereka adalah penutur Austroasiatik. Penutur Austroasiatik ini tiba di Indonesia pada 4.300-4.100 tahun lalu yang kemudian baru disusul penutur Austronesia pada kisaran 4.000 tahun lalu. Austroasiatik dan Austronesia sebenarnya berasal dari satu rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa Austrik, tetapi kemudian pecah. Bahasa Austroasiatik digunakan di sekitar Asia Tenggara Daratan, sedangkan Austronesia digunakan di wilayah kepulauan, seperti Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, hingga Pulau Paskah. Bahasa Austrik awalnya dimanfaatkan masyarakat Yunan, Cina Selatan. Bahasa ini kemudian pecah menjadi dua, yaitu Austroasiatik dan Austronesia, yang kemudian menjadi penyebutan nama kelompok berdasarkan penggolongan bahasa. Pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu penandanya ialah temuan tembikar-tembikar berhias tali yang bentuknya sama dengan tembikar di selatan Tiongkok hingga Taiwan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014). dalam DNA Orang Karo ada unsur Negrito tersebut. Mengingat bukit kerang ditemukan juga di Deli Serdang dan Langkat yang telah dilakukan penelitian arkeologi, maka sangat mungkin Orang Negrito banyak juga di Tanah Karo pada masa lalu. Kemudian, seperti dikemukakan Harry Truman Simanjuntak sebelumnya, bahwa penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia datang juga ke Sumatera bagian Utara, sehingga bahasa Karo dan Gayo dimenangkan oleh penutur Austronesia. Oleh karena itu, bahasa Karo dan Gayo termasuk rumpun bahasa Austronesia (Adelaar, 1981:55), seperti bahasa Simalungun, Toba, Pakpak, dan Mandailing juga termasuk rumpun bahasa Austronesia. Selain itu, secara khusus, bahwa ada jejak genetika orang-orang Tamil dari India Selatan di Gayo dan Karo. Jejak genetika ini ditemukan selain genetika orang-orang daratan Asia (Kamboja dan Vietnam), yaitu penutur Austroasiatik, yang datang melalui Semenanjung Malaka dan penutur Austronesia melalui Filipina. Migrasi Orang Tamil ke Gayo dan Karo berlangsung secara bertahap pada masa sejarah (Kompas, 02/04-2013). Jadi, dari migrasi yang datang ke Gayo dan Karo terlihat yaitu: Orang Negrito, penutur Austroasiatik, penutur Austronesia, dan Orang Tamil dari India Selatan. Kesamaan ini terlihat ketika penelitian genetika dilakukan oleh Lembaga Eijkman terbukti bahwa genetika Gayo dan Karo berkerabat sangat dekat. Berdasarkan migrasi leluhur tadi, maka Orang Karo terutama merupakan campuran dari 4 (empat) penutur bahasa, yaitu: 1. Orang Negrito (Masa Mesolitik: 10.000 - 6.000 tahun lalu). 2. Penutur Austroasiatik (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu). 3. Penutur Austronesia (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu). 4. Orang Tamil dari India Selatan (Masa periode tahun masehi). Di dalam DNA Karo (dan Gayo) ada ditemukan unsur: Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil, sehingga kesamaan inilah yang membuat Karo dan Gayo berkerabat sangat dekat. Orang Karo merupakan keturunan dari campuran Orang Negrito yang datang pada masa Mesolitik, penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia yang datang pada masa Neolitik, serta Orang Tamil. Maka, jelas berbeda kedatangannya yang jauh lebih dulu kedatangan dari Orang Negrito, penutur Austroasiatik, dan penutur Austronesia. Kemudian dari campuran tadi jelas bahwa Orang Karo berbeda secara genetik dengan Si Raja Batak yang Orang Taiwan tadi. Sehingga, pernyataan bahwa Orang Karo adalah keturunan Si Raja Batak bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos. dikonfirmasi oleh hasil analisa DNA Orang Toba oleh Mark Lipson (2014:87) dengan menyimpulkan bahwa DNA Orang Toba terdiri dari: Austronesia 55%, Austroasiatik 25%, dan Negrito 20%. Maka, jelas bahwa Orang Toba bukan hanya Orang Taiwan (Austronesia+Austroasitik), tetapi campuran Orang Taiwan dan Orang Negrito. Orang Negrito sudah ada mendiami Humbang sebelum Si Raja Batak datang ke Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Buhit, Negeri Toba, sehingga pernyataan bahwa Sianjur Mula-mula merupakan awal persebaran manusia bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos. Kesimpulan Orang Karo bukanlah Orang Taiwan seperti Si Raja Batak yang Orang Taiwan, melainkan campuran Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa Orang Karo bukan keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Orang Karo lebih dulu sampai di Tanah Karo yang sudah datang pada masa prasejarah daripada Si Raja Batak yang sampai di Sianjur Mula-mula sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu, sehingga migrasi Orang Toba ke Tanah Karo tidak menjadikan Orang Karo menjadi keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Jelas bahwa tidak ada hubungan genealogis Si Raja Batak dengan Orang Karo, sementara bahasa Toba dan bahasa Karo termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Akhirnya, pernyataan bahwa Orang Karo adalah keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos! Bujur ras mejuah-juah man kita kerina Kalak KARO tanpa embel-embel batak dgn logika dan fakta 🙏
Kampung yg bersih dan lumayan tertata rapi....semangat lae...trus explore kampung kampung sekitar toba dan pinggiran danau toba
Kala saya di kampung ini enak bangat memancing ikan. Salam damai sejahtera 🤝 sehat selalu.
onma konten tu angka pangaranto mantap boi sekedar pelepas rindu lanjut karyanya Lae.
Terimakasih lae
Saya baru nemu chanel ini asyik juga Explorer nya , Siantar hadir
Makasih laekku telah menambah wawasan tentang desa desa yg ada di pinggiran danau toba dan sungguh indah.semoga sehat selalu ya laekku na burju...contennya jangan kasih kendor....lanjut.....
kampung kami itu .....itu tadi akkang Pahotan yg katanya tinggal sendiri lagi .......salam rindu dari Perawang ( Pak Tondi Siallagan ) Sehat dan Panjang Umur akkang ❤🙏💪💪
❤❤❤ wow indahnya danau toba suasananya tenang aman enak tinggal di desa seperti ini
Itulah enaknya kita yg cm nonton tnp harus naik turun tangga 😄. Thanks buat liputannya ya ito, sllu excited buat lihat kampung2 disana. Lumayan padat jg pemukiman yg ito liput Kali ini. Horas
Keindahan alam yg sempurna ...damai selalu penduduk kampung nya ito ada gk home stay disitu kayaknya enak juga tu liburan kesitu
😊
Awesomely ..paten bah !...Hami Sian Lontung Lae.. saya menikmati dialog lae waktu martarombo sebentar dengan Namboru boru manurung .
Nyaman suasana kampung nya, keliatan tenang jauh dari keramaian
mauliate tulang vidionya..Bagus bersih kali kampungnya jarang liat yg gini... kapan mau ke bakkara... 😅😅
Kasihan melihat rumah ga terawat dan banyak yg kosong . Marsiadu halak hita i mangaratto .
Ini kampung cocok nya dikembangkn untuk area wisata, pemandangannya bagus..
Semoga kampung danau toba yang terindah ❤
Mantap x lae....
Alamak lukisan pula dang adong ito.
❤❤❤❤❤ Horasss mahoo Lae Manurung,,,,
Horas hita sude amang
Tugu jadi ngetren ya.
mauliate ma lae bah dibahen lae video ni huta horsik gabe masihol iba naeng mulak tu huta hatubuan...❤mantab sai lam sukses na youtube/channel on..
Sama2 lae ku🥰
Salam horas tu pak sekdes... Polman Siallagan,,, dongan seangkatan sekolah
Jadi rindu sm kampung halaman bapak,dimenit 29 kelihatan jelas tugu op sidabutar,tepat dibelakang rumah orang ku,gereja HKBP Horsik. mantap video nya lae❤
Semangat laeku
Horas lae bah. Mantap sobu sihol tuhuta. Molo boi lae bah explor majo huta nami nga leleng dang ni bereng nga 7 taon. Huta nami hite tano lumbaraba. Ima huta nababan. Ditunggu lae explorna lae ku. Salam sian palembang.
Mantap... 👍👍👍👍
Indah nian danau Toba ❤
Kampung bapakku di lumban suhi ito , tapi orang tua udh tinggal di siantar, tapi kami masih suka jiarah ke lumban suhi
😊
Waoou luar biasa kampungnya bersih dan rumahnya tertata indah..❤❤❤❤❤❤❤
🥰
Boru ni namboruku (apa ya istilahnya), tinggal di sana, dialap marga sialagan. Dulu pas kami ke sana, sering diajak mancing ikan pora2 dan panen kemiri.
Terima kasih infonya
Au pe,par Pangaloan do ito.
Alai Pangaloan Pahae Jae😊😊😊😊
Semangat ya to.
Suatu waktu liput juga ya kampung kami😊
Jadi masihol aku bah kampung mertua sayang rumah tdk terawat lagi mendiami tdk ada lagi ,horas horas semua penduduk desa Horsik .
Horas ito ku
Ho borua manang bawa?
Apakah bisa saya beli rumah yg kosong itu. Krn sy mau jualan disana sate kambing.. salam dr padang
Mantap Tulang.
Ok ambor
Tolong explor lumban julu si onggang kampung dani elbona sendiri ito
Bersih itu sebagian dari iman❤
WOOOWWW....BAGAK NAI DESA HORSIK ON...MOLO DIKEMBANGKAN JADI DESA WISATA YG LBH ASRI LAGI,..AKAN BANYAK TOURIS YG BERDATANGAN,..LANJUTKAN,...!!
Di Sumut ini pariwisata susah maju,karena banyak pungli.
@@tukidinangkamura2354 ABAGOI..MTAHE.. DILAPORA TUBPERESIDEN YG BARU..BANG PRABOWO, ..
Apalagi kulinear mamokkik.
Lanjut ton Torus Lae masihol angka pangaratto marnida huta pasogit
Horas lae...Huta ku bah lae👍👍🤝🤝🤝
Maju terus Lae
Mantap tulang
Bsng explor desa karang gaol lah
Gabe masihol tu Huta hatubuan, mauliate Lae,,
😊
kampung Inangudaku, dari Horsik Lae..
Horaz laeku
Bang tau gak dr mana asalnya marga parapat? Apakah dr kota parapat?
mentang marga nya Parapat 🤣dikira dari parapat kampung halaman nya 🤣
nga mulai mantap lae mangedit bahh..
sukses terus lae
Dooooh jadi kangen sm ajibata
Ini sdh ada akses jln & sdh diaspal. sdh termasuk baguslah dibanding huta yg lain dimana sama sekali blm ada akses jlnnya
Mantap lae kampung opungku...
mauliate abang, horsik on huta nami do,semoga horsik semakin maju
Horas ito.. Au pe sian horsik
martarombo..rupanya msh ada kaitan sodara...
MANTAP BO MANURUNG. ❤❤😂
Sehat suksess
Mantap lae.
Mantap
Mojokerto Jatim hadir bang
Terimakasih mas
Adong do dongakku SMP sian Horsik on tahun 1972-1974
Salam kenal lae paket komplit 🙏🙏
lae, kalo bisa bikin dulu lokasi google mapnya, biar bisa kami liat2 lokasinya setelah menonton.
Rindu tempat.. Ini.. Dari putra asli parapat.. Merantau di bogor
Boasa dang mulak?
Kepingan surga
Kampung ku ini ito
Bang di kampung Lumban Ina Ina bang kec.Pagaran 😁 kangen saudara di sana 😁
Keren Lae..
Onma ateh penting ni marga di halak batak, boi jumpa dongan sahuta nangpe dg marsitandaan ❤
🙂🙂
Horas Abangda 🙏
ahu Manurung sihutagaol .. kebetulan pas ma di Tugu Hobul i ima huta hatubuan i amongku ..
Mauliate bah Abangda nga ro Abangda tu huta hatubuan amongkhi.. sombu siholhi
❤❤
Horas
Huta hatubuan 🤗
Huta simanaetek Huta hatubuan ni da inang❤
Bagaimana warga sekitarnya untuk memperoleh air bersih ? Apakah langsung ambil via pompa dari danau atau manual atau menampung dari curahan dari gunung ?
Air nya dari pegunungan, yg sangat sejuk dan bersih.
Boasa Lae Tugu Lebih bagus , Ia Perumahan Ro A ??? ❤❤❤❤❤❤❤
sukkun lae na mambangun na 🤣
Salam tu namboru siallagan
Bah,,, di dok panggoaran ni bapakku.. ise ma naeng namboru on ate. Dang na Nai Pohotan on naeng??
😁😁
Ido.
Gabe malungun iba mangida huta niba di Tolping Samosir.
Hutan pinus nya kemana ya
Hariara
Mobil bisa masuk horsik..dari ajibata ito?
Bisa kak
Bang admin boleh lah explore pulau Samosir.
Iya bg
Na jolo gadang hian do bona ni kalapa di pinggir ni tao i. Naong di tabai do??
Nunga inna,adong hian na mardakka kan😄 huingot dope i
@@golongan_hitam ido cabang dua songon hurup Y
Airnya surut ya To
Agak gmn ya kalo ngereklamasi danau
Tolong jolo lee fidiokan hosik hariara
Tapi kok sepi ya, padahal indah loh,
Boasa Parapat gabe Prapat ateh, na huboto Parapat do dang Prapat.
Kan lebih bagus lidah Jawa sebutnya.. lebih lembut bang
@@Dicky-u7s oh berarti Jawanisasi ya
@@Dicky-u7s kalau bisa nama² seluruh tempat di dunia diperhalus aja, biar hilang keasliannya.
H O R A S !!!! ❤❤❤❤❤
Jbb
Tunggu op ku itu lae yg dkt gereja hkbp
Orang Batak tdk peduli mau apapun orang karo kami tetap orang Batak .paham ?
kameranya jangan byk gerak lai pusing awak nontonya. harusnya fokus pelan2 sambil cerita gk usah bolak balik kameranya kesana kemari
Goarna pe Parhorsikan ya ngertilah
Aha mai?
Mantab lae
KARO BUKAN BATAK hanya SUKU KARO 👍 Nama Batak sebagai identitas etnik ternyata tidak berasal dari orang Batak sendiri, tapi diciptakan atau dikonstruksi para musafir barat. Hal ini kemudian dikukuhkan misionaris Jerman yang datang ke tanah Batak sejak tahun 1860-an. Simpulan ini dikemukakan sejarahwan Unversitas Negeri Medan (Unimed) Ichwan Azhari yang baru usai melakukan penelitian di Jerman.
Di Jerman, sejarahwan bergelar doktor ini memeriksa arsip-arsip yang ada di Wuppertal, Jerman. Dalam sumber-sumber lisan dan tertulis, terutama di dalam pustaha, atau tulisan tangan asli Batak, tidak ditemukan kata Batak untuk menyebut diri sebagai orang atau etnik Batak. Jadi dengan demikian nama Batak tidak asli berasal dari dalam kebudayaan Batak, tetapi diciptakan dan diberikan dari luar.
"Kata Batak awalnya diambil para musafir yang menjelajah ke wilayah Pulau Sumatera dari para penduduk pesisir untuk menyebut kelompok etnik yang berada di pegunungan dengan nama bata. Tapi nama yang diberikan penduduk pesisir ini berkonotasi negatif bahkan cenderung menghina untuk menyebut penduduk pegunungan itu sebagai kurang beradab, liar, dan tinggal di hutan," kata Ichwan Azhari di Medan, Minggu (14/11/2010).
Dalam penelitiannya yang dimulai sejak September lalu, selain memeriksa arsip-arsip di Jerman, Ichwan juga melengkapi datanya dengan mendatangi KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde atau the Royal Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) di Belanda. Dia juga mewawancari sejumlah pakar ahli Batak di Belanda dan Jerman seperti Johan Angerler dan Lothar Schreiner.
Hasilnya, pada sumber-sumber manuskrip Melayu klasik yang ditelusurinya, seperti manuskrip abad 17 koleksi Leiden, memang ditemukan kata Batak di kalangan orang Melayu di Malaysia, tetapi sebagai label untuk penduduk yang tinggal di rimba pedalaman semenanjung Malaka. Dalam manuskrip itu, saat Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, Puteri Gunung Ledang yang sangat dihina dan direndahkan oleh teks ini, melarikan diri ke hulu sungai dan dalam teks itu disebut, "... masuk ke dalam hutan rimba yang amat besar hampir dengan negeri Batak. Maka diambil oleh segala menteri Batak itu, dirajakannya Puteri Gunung Ledang itu dalam negeri Batak itu."
Tidak hanya di Malaysia, di Filipina juga penduduk pesisir menyebut penduduk pedalaman dengan streotip atau label negatif sebagai Batak. Untuk itu menurut Ichwan, cukup punya alasan dan tidak mengherankan kalau peneliti Batak terkenal asal Belanda bernama Van der Tuuk pernah risau
dan mengingatkan para misionaris Jerman agar tidak menggunakan nama Batak untuk nama etnik karena imej negatif yang terkandung pada kata itu.
"Di Malaysia dan Filipina penduduk yang diberi label Batak tidak mau menggunakan label merendahkan itu menjadi nama etnik mereka. Di Sumatera Utara label itu terus dipakai karena peran misionaris Jerman dan pemerintah kolonial Belanda yang memberi konstruksi dan makna baru atas kata itu," katanya.
Disebutkan Ichwan, para misionaris itu sendiri awalnya ragu-ragu menggunakan kata Batak sebagai nama etnik, karena kata Batak tidak dikenal oleh orang Batak itu sendiri ketika para misionaris datang dan melakukan penelitian awal. Para misionaris awalnya menggunakan kata bata sebagai satu kesatuan dengan lander, jadi bata lander yang berarti tanah Batak, merupakan suatu nama yang lebih menunjuk ke kawasan geografis dan bukan kawasan budaya atau suku.
Di arsip misionaris yang menyimpan sekitar 100 ribu dokumen berisi informasi penting berkaitan dengan aktivitas dan pemikiran di tanah Batak sejak pertengahan abad ke-19 itu, Ichwan menemukan dan meneliti
puluhan peta, baik peta bata lander yang dibuat peneliti Jerman Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn, maupun peta-peta lain sebelum dan setelah peta Junghuhn dibuat.
"Peta-peta itu memperlihatkan adanya kebingungan para musafir barat dan misionaris Jerman untuk meletakkan dan mengkonstruksi secara pas sebuah kata Batak dari luar untuk diberikan kepada nama satu kelompok etnik yang heterogen yang sesungguhnya tidak mengenal kata ini dalam warisan sejarahnya," tukas Ichwan.
Dalam peta-peta kuno itu, kata bata lander hanya digunakan sebagai judul peta tapi di dalamnya hanya nampak lebih besar dari judulnya nama-nama seperti Toba, Silindung, Rajah, Pac Pac, Karo, dan tidak ada nama batak sama sekali. Dalam salah satu peta kata Batak di dalam peta digunakan sebagai pembatas kawasan Aceh dengan Minangkabau.
Kebingungan para misionaris Jerman untuk mengkonstruksi kata Batak sebagai nama suku juga nampak dari satu temuan Ichwan terhadap peta misionaris Jerman sendiri yang sama sekali tidak menggunakan judul bata lander sebagai judul peta dan membuang semua kata Batak yang ada dalam edisi penerbitan peta itu di dalam laporan tahunan misionaris. Padahal sebelumnya mereka telah menggunakan kata Batak itu.
Kata Batak yang semula nama ejekan negatif penduduk pesisir kepada penduduk pedalaman, kemudian menjadi nama kawasan geografis penduduk dataran tinggi Sumatera Utara yang heterogen dan memiliki nama-namanya sendiri pada awal abad 20, bergeser menjadi nama etnik dan sebagai nama identitas yang terus mengalami perubahan.
"Setelah misionaris Jerman berhasil menggunakan nama Batak sebagai nama etnik, pihak pemerintah Belanda juga menggunakan konsep Jerman itu dalam pengembangan dan perluasan basis-basis kolonialisme mereka. Nama Batak juga digunakan sebagai nama etnik para elit yang bermukim di Tapanuli Selatan yang beragama Islam," tukasnya.
Bujur ras mejuah-juah man kita kerina Kalak KARO tanpa embel-embel pembatak2kan dgn logika dan fakta 🙏
BPS tahun 2020 Sebutan Batak Mandailing sudah diganti dengan MANDAILING. Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencantumkan Mandailing sebagai nama suku di dalam Sensus Penduduk 2020.
Itu diungkapkan Kepala BPS RI, Dr. Suhariyanto, saat menjawab wartawan via aplikasi WhatsApp, Kamis (13/02).
Pencantuman nama Mandailing ini merupakan perubahan dari sebutan "Batak Mandailing" yang terlanjur dicantumkan dalam kolom nama suku di Sensus Penduduk tahun 2010 untuk kawasan Sumatera Utara.
Sebelumnya, pemuka pemuka etnis Mandailing di Sumatera Utara meminta pemerintah melalui BPS RI untuk menukar sebutan "Batak Mandailing" yang terlanjur dicantumkan di SP2010 menjadi "Mandailing" saja di SP2020 dalam kolom nama etnis.
Permintaan pemuka pemuka etnis Mandailing itu dituangkan dalam Surat Penolakan tanggal 11 Pebruari 2020 ditujukan kepada BPS RI.
"Kami menegaskan bahwa pelabelan Batak Mandailing yang menimbulkan persepsi bahwa Mandailing merupakan sub-etnis Batak dengan istilah Batak Mandailing adalah sebuah kekeliruan yang fatal dalam memahami sejarah, identitas dan budaya orang Mandailing," demikian bunyi salah satu poin di surat penolakan itu.
Kepala BPS RI, Dr. Suhariyanto menyatakan bahwa untuk SP2020 ini sebutan Mandailing telah menggantikan sebutan Batak Mandailing.
Perubahan itu berdasar hasil diskusi BPS dengan pihak LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
"Saya sudah menerima info tersebut dan sudah mendiskusikan dengan LIPI. Daftar suku SP2020 sudah diperbaiki. Yang muncul adalah Mandailing," kata Suhariyanto.
Dia juga menyatakan terimakasih kepada pemuka pemuka etnis Mandailing atas masukan yang disampaikan kepada BPS .Bujur ras mejuah-juah man kita kerina Kalak KARO tanpa embel-embel pembatak2kan dgn logika dan fakta 🙏
Batak,, etimologi,dari
Karo,, dibata,,,,
Toba,,debata,,,,
Nama sesembahan nenek moyang ,, orang yang bermukim di pinggiran danau Toba,,,,,
Karena ,, adanya perdagangan penduduk pedalaman Karo,, Dan Toba,, yang masih menganut ajaran sesembahan bernama debata ataupun dibata,,,, dengan pesisir Melayu ,,, dimana Melayu sudah beragama Islam,,,, karena perdagangan Dan Melayu mengatakan orang orang yang beragama Batak,,,,,
Dapat dibuktikan,,,,
Batak hanya di sematkan kepada Gereja,,,,,
HKBP, dan GBKP,,,,
Kosa kata debata , Dan di abadikan di Bibel berbahasa Toba,, Dan dibata Bibel berbahasa Karo,,, untuk nama Tuhan pencipta langit dan bumi,,,,,
Berbudaya Batak,,,
Dipastikan bermarga,,,
Berbudaya Batak
Dipastikan garis keturunan ayah,,,
Berbudaya Batak dipastikan
Menerapkan filosopi 3 tungku,,,,
@@fransiskasimatupang7384 Suku KARO secara genetik:
Berdasarkan DNA (ilmu genetika yang keabsahannya diakui oleh PBB) Suku Karo sudah mendiami Pulau Sumatera sejak 8.300 tahun lampau dan jauh sebelum Raja-raja Batak datang ke Pulau Sumatera dari sabang sampai lampung (berdasarkan genetika DNA ini mengartikan Suku Karo bukan suku batak dan bukan juga sub suku batak).
Orang Karo terutama merupakan campuran dari 4 (empat) penutur bahasa, yaitu:
1. Orang Negrito (Masa Mesolitik: 10.000 - 6.000 tahun lalu).
2. Penutur Austroasiatik (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu).
3. Penutur Austronesia (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu).
4. Orang Tamil dari India Selatan (Masa periode tahun masehi).
Di dalam DNA Karo (dan Gayo) ada ditemukan unsur: Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil, sehingga kesamaan inilah yang membuat Karo dan Gayo berkerabat sangat dekat.
Sementara Orang Karo merupakan keturunan dari campuran Orang Negrito yang datang pada masa Mesolitik, penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia yang datang pada masa Neolitik, serta Orang Tamil. Maka, jelas berbeda kedatangannya yang jauh lebih dulu kedatangan dari Orang Negrito, penutur Austroasiatik, dan penutur Austronesia dibanding Si Raja Batak yang diperkirakan datang sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu.
dikonfirmasi oleh hasil analisa DNA Orang Toba oleh Mark Lipson (2014:87) dengan menyimpulkan bahwa DNA Orang Toba terdiri dari: Austronesia 55%, Austroasiatik 25%, dan Negrito 20%. Maka, jelas bahwa Orang Toba bukan hanya Orang Taiwan (Austronesia+Austroasitik), tetapi campuran Orang Taiwan dan Orang Negrito. Orang Negrito sudah ada mendiami Humbang sebelum Si Raja Batak datang ke Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Buhit, Negeri Toba, sehingga pernyataan bahwa Sianjur Mula-mula merupakan awal persebaran manusia bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos.
Orang Karo bukanlah Orang Taiwan seperti Si Raja Batak yang Orang Taiwan, melainkan campuran Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa Orang Karo bukan keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Orang Karo lebih dulu sampai di Tanah Karo yang sudah datang pada masa prasejarah daripada Si Raja Batak yang sampai di Sianjur Mula-mula sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu, sehingga migrasi Orang Toba ke Tanah Karo tidak menjadikan Orang Karo menjadi keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Jelas bahwa tidak ada hubungan genealogis Si Raja Batak dengan Orang Karo, sementara bahasa Toba dan bahasa Karo termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Akhirnya, pernyataan bahwa Orang Karo adalah keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos!
Kenapa orang Karo tidak mau disebut Batak.
Dalam buku "Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia (1995)" karya Kol (Purn) Sempa Sitepu menuliskan dengan tegas jika Suku Karo bukan berasal dari si Raja Batak. Sehingga penyebutan Batak Karo jelas mengubah sejarah.
Dalam penjelasannya, dia pun mencantumkan sisilan suku Karo yang dirangkum dari cerita para leluhurnya. Dituliskan jika leluhur etnis Karo dari India Selatan yang berbatasan Myanmar
Dahulunya, ada seorang raja hidup dengan permaisurinya di seberang laut. Sang raja rupanya memiliki panglima bernama Karo yang merupakan orang keturunan India.
sang raja mengatakan pada Panglima Karo ingin pergi ke lokasi baru untuk mendirikan kerajaan. Sang putri raja Si Miansari ikut serta. Miansari yang sudah menyimpan rasa kepada Karo memilih ikut rombongan dengan pasukan yang dipimpin sang panglima.
Pasukan pun berlayar hingga tiba di Pulau Pinang. Konon mereka tinggal beberapa bulan di pulau itu hingga sang Raja kepincut dengan pulau yang lebih luas di sebelah selatan.
Dengan semangat raja pun akhirnya meminta pasukan bersiap untuk menyeberang. Nahas, di tengah laut, mereka diterjang ombak besar hingga pasukan terpencar. Beruntung putri Miansari dengan rombongan Panglima Karo terdampar. Sementara keberadaan sang raja tak diketahui. akhirnya
Putri Miansari dengan Panglima Karo pun sepakat pergi dengan membawa dua dayang dan tiga pengawal. Dalam pencarian tempat baru itu, akhirnya Miansari dan panglima menikah. Rombongan pun akhirnya tiba di pulau Perca (Sumatera). Saat ini, tempat tersebut dinamakan Belawan.
Masih belum ingin menetap, rombongan pun menelusuri aliran sungai hingga tiba di tempat yang kini dinamakan Durin Tani. Di tepat itu diketahui ada gua yang disebut gua Umang. Dianggap tak aman, Panglima Karo dengan rombongan pergi hingga sampai ke tempat bernama Buluhawar, Bukum. Mereka pun tinggal di kaki gunung kini bernama Sikeben yang berdekatan dengan Bandarbaru.
Masih mencari tempat yang lebih nyaman, Karo kembali berpindah hingga tiba di kaki Gunung Barus. Meski pemandangan dan udara di tempat tersebut sangat disukai rombongannya, Karo tetap ingin mencari tempat lain yang mirip dengan tanah kelahirannya.
Saat beristirahat di bawah pohon beringin, Karo mengutus anjing untuk menyusuri sungai yang kini disebut Sungai Lau Biang. Beruntung anjing itu kembali dengan selamat. Karo dan rombongan pun kembali melakukan perjalanan hingga tiba di daratan tinggi bernama Mulawari atau berseberangan dengan si Capah (Seberaya). Daratan tinggi kini ini sebut Tanah Karo.
Pernikahan Putri Miansari-Karo dikaruniani tujuh anak. Anak pertama hingga keenam semuanya perempuan.
1. Corah
2. Unjuk
3. Tekang
4. Girik
5. Pagit
6. Jile
7. Meherga
Anak ketujuh berjenis kelamin laki-laki. Lantaran disebut sebagai penerus, anak ketujuh ini diberi nama Meherga (berharga)/Merga(mahal)
Terciptanya Merga dari Suku Karo
Lahir anak ketujuh Karo ini juga menjadi cikal bakal terciptanya merga di Suku Karo. Merga pun akhirnya menikah dengan anak Tarlon (saudara bungsu dari Miansari) bernama Cimata.
Merga dan Cimata pun memiliki lima anak laki-laki yang namanya menjadi induk merga Suku Karo. Anak pertama yakni Karo (sebagai leluhur agar diingat para keturunannya). Anak keduanya yakni Ginting.
Anak ketiga yakni Sembiring. Nama itu diambil kata kata Si Mbiring yang artinya hitam. Konon, Sembiring ini paling hitam di antara saudaranya. Anak ke empat Peranginangin. Dia diceritakan lhahir saat angin puting beliung. Sementara anak kelima atau bungsu diberi nama Tarigan.
Itulah sejarah kenapa orang Karo tidak mau disebut orang Batak. Mereka tidak ingin menghapus sejarah leluhurnya hingga disebut suku Batak padahal mereka berbeda asal usul nenek moyang dan mereka telah membentuk identitas mereka yaitu" Suku Karo dgn Merga Silima" dgn salam Mejuah-juah.
Dikutip dari website resmi Pemerintah Kabupaten Karo, berikut daftar 5 marga induk suku Karo atau Merga Silima beserta sub merganya.
1. KARO-KARO:
· Barus
· Bukit
· Gurusinga
· Kaban
· Kacaribu
· Ketaren
· Kemit
· Jung
· Purba
· Sinulingga
· Sinukaban
· Sinubulan
· Sinuraya
· Sitepu
· Sinuhaji
· Surbakti
· Samura
· Sekali
2. GINTING:
· Ajartambun
· Babo
· Beras
· Cabap
· Gurupatih
· Garamata
· Jandibata
· Jawak
· Manik
· Munte
· Pase
· Seragih
· Suka
· Sugihen
· Sinusinga
· Tumangger
3. SEMBIRING:
· Berahmana
· Busuk
· Depari
· Colia
· Keloko
· Kembaren
· Muham
· Meliala
· Maha
· Bunuaji
· Gurukinayan
· Pandia
· Keling
· Pelawi
· Pandebayang
· Sinukapur
· Sinulaki
· Sinupayung
· Tekang
4. Perangin-angin
· Bangun
· Keliat
· Kacinambun
· Namohaji
· Nano
· Menjerang
· Uwir
· Pinem
· Pancawan
· Panggarun
· Ulun Jandi
· Laksa
· Perbesi
· Sukatendel
· Singarimbun
· Sinurat
· Sebayang
· Tanjung
5. TARIGAN:
· Bondong
· Gana-gana
· Gersang
· Gerneng
· Jampang
· Purba
· Pekan
· Sibero
· Tua
· Tegur
· Tambak
· Tambun
· Silangit
· Tendang
Suku Karo tak mengenal MARGA tapi MERGA yang berasal dari kata MEHERGA/ MERGA yang berarti mahal karena anak laki-laki itu penerus keluarga.Suku Karo punya MERGA SILIMA yaitu KARO-KARO,GINTING, SEMBIRING PERANGINANGIN dan TARIGAN dimana ada 2 merga berbeda atau mendapat pengecualian yaitu merga PERANGINANGIN boleh menikah sesama cabang merga PERANGINANGIN dan satu lagi merga SEMBIRING yang terbagi menjadi dua yaitu yang makan b1/anjing tidak boleh menikah sesama cabang merga SEMBIRING dan yang pantang makan b1/anjing boleh menikah sesama cabang merga SEMBIRING.
Bujur ras mejuah-juah man kita kerina Kalak KARO tanpa embel-embel pembatak2kan dgn logika dan fakta 🙏
@@fransiskasimatupang7384 KARO BUKAN BATAK hanya SUKU KARO.Fakta GBKP pertama: Gereja Batak Karo Protestan (disingkat GBKP) adalah sebuah kelompok gereja Protestan di Indonesia yang berdiri di Tanah Karo, Sumatera Utara dan melayani masyarakat Karo. GBKP adalah gereja Kristen Protestan yang beraliran Calvinis.
Dimana, dulu pada awalnya sudah ada Gereja Karo, gedungnya dibangun di Buluhawar, kalau tidak salah gedung gereja tersebut dibangun tahun 1889.
Pada waktu itu namanya adalah Karosche Kerk, atau belakangan ditulis dengan Gereja Karo Protestan ataupun Karosche Protestantse Kerk, walaupun nama aslinya sebenarnya adalah Karosche Kerk (Gereja Karo).
Tahun 1941, maka digantilah nama gereja tersebut menjadi Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), dan pada tahun 1943 GBKP menyatakan diri independen (njayo) dari organisasi zending.
Berdasarkan analisa para ahli, waktu itu ada upaya mengaitkan antara gereja ini dengan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), karena saat itu (tahun 1941), Belanda sudah dikuasai oleh Jerman di Perang Dunia II. Adanya campur tangan HKBP di peralihan nama itu terlihat dalam posisi ketua Moderamen GBKP yang pertama pada Sidang Sinode yang pertama di Sibolangit tahun 1941 yang dijabat oleh Pdt. J. van Muylwijk.
Seperti diketahui van Muylwijk, sebelumnya bekerja di HKBPS (Simalungun) dan kalau tidak salah merupakan ketua klasis HKBP Simalungun pada waktu itu.
Meski van Muylwijk berasal dari Belanda, sebenarnya dia bekerja untuk Reinisch Mission Geselsalf (RMG) atau organisasi misi Jerman dan bukan untuk Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) yang merupakan organisasi zending Belanda yang mendirikan Karosche Kerk di Buluhawar.
Pastinya mengapa diubah namanya menjadi GBKP dan mengapa ditambahkan Bataknya di tahun 1941 tersebut, maka untuk lebih jelasnya silahkan ditanyakan kepada yang berkompeten mewakili gereja itu. Tulisan ini hanya menghadirkan analisas berdasarkan data-data yang terkuak ke publik.
Dari analisa para ahli, bahwa besar dugaan perubahan nama Gereja Karo (GK) menjadi Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) disebabkan karena ada campur tangan HKBP setelah Belanda dikuasai Jerman di Perang Dunia II.
Demikianlah sekilas sejarah penamaan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) pada tahun 1941, dimana pada awalnya Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) yang merupakan organisasi zending Belanda menamakan gereja ini dengan nama Karosche Kerk (Gereja Karo). bujur ras mejuah-juah man kita kerina Kalak KARO tanpa embel-embel pembatak2kan dgn logika dan fakta 🙏
KARO BUKAN BATAK hanya SUKU KARO.fakta GBKP kedua: Karo Kerk (bahasa Indonesia: Gereja Karo) adalah sebutan bagi gereja pertama yang berdiri untuk melayani masyarakat Batak Karo. Pertama kali berdiri di Buluh Awar.
Bangunan pertamanya juga berdiri di Buluh Awar, di tahbiskan pada tanggal 24 Desember 1899 oleh Meint Joustra, seorang guru injil berkebangsaan Belanda yang dikirim oleh Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) untuk misi Pekabaran Injil bagi masyarakat Batak Karo.
Dikatakan "sebutan" bagi gereja untuk melayani masyarakat Batak Karo, karena pada saat pertama kali penginjilan dilakukan bagi masyarakat Batak Karo yang dipelopori oleh NZG dari tahun 1890 hingga tahun 1941, tidak ada sebuah sinode atau denominasi gereja yang didirikan. Tetapi semua pelayanan yang dinaungi oleh NZG tersebut dinamai dengan Karo Kerk atau Karo Zending.
Akibat kekalahan Belanda terhadap Jerman pada tahun 1941 di Perang Dunia, semua aset-aset tanah jajahan Belanda diambil alih oleh Jerman, tak terkecuali lahan zending garapan NZG (lembaga misionaris Belanda) yang kemudian beralih kepada Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) (lembaga misionaris Jerman).
Kontroversi
Banyak kalangan yang menterjemahkan secara liar Karo Kerk ke dalam berbagai nama. Misalkan menjadi Gereja Kristen Karo, Gereja Protestan Karo, Gereja Kristen Protestan Karo, Gereja Batak Karo Protestan, dsb. Padahal, secara harafiah, Karo Kerk cukup diterjemahkan dengan Gereja Karo.
Ada lagi yang beranggapan kalau GBKP adalah gereja Karo Pertama yang dulu pertama berdiri di Buluhawar, sehingga terjadi salah tafsir dan perubahan dari yang harusnya Peringeten sehna Berita Simeriah man Kalak Karo atau dalam Bahasa Indonesia-nya "Peringatan Pekabaran Injil bagi Suku Karo" menjadi "Peringatan berdirinya GBKP" atau "ulangtahun GBKP", ini jelas keliru! Sebab 14 April 1890 itu hari dimana Pdt. H. C. Krujt dan Nicolas Pontoh utusan dari Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) (Lembaga Zending Belanda) untuk pertamakalinya menginjakkan kaki di Buluhawar (lokasi penginjilan pertama bagi Suku Karo) dan 24 Desember 1899 bangunan gereja pertama ditahbiskan oleh Pdt. Meint Joustra di Buluhawar.
Sedangkan GBKP baru muncul pada tahun 1941. Jadi, peringatan 1890 lebih tepat adalah sebagai Peringatan Pekabaran Injil Bagi Suku KARO .Bujur ras mejuah-juah man kita kerina Kalak KARO tanpa embel-embel pembatak2kan dgn logika dan fakta 🙏
@@fransiskasimatupang7384 Tanah Karo dalam Pengertian sebenarnya bukan hanya mencakup orang Karo yang berdiam di daerah Kabupaten Karo saja. Melainkan mencakup kepada orang-orang Karo yang sudah lama berdiam atau menetap di daerah-daerah garis besar Karo, jauh sebelum kolonial Belanda menjajah wilayah asli suku Karo seperti kabupaten Deli Serdang, Langkat, Simalungun, Dairi, Aceh Tenggara, Kotamadya Binjai dan ibu kota Medan. Seluruh perpaduan suku Karo diikatkan oleh suatu dialek (bahasa) yang dapat dimengerti dimulai dari daerah Langkat, Deli Serdang, dataran tinggi Karo sampai ke Tanah Alas.
Banyak bukti yang menjelaskan bahwa kehidupan masyarakat Karo dipengaruhi oleh ideologi, kepercayaan dan praktek yang lazim dilakukan oleh bangsa India atau Hindu. Pengamatan penting mengenai agama asli Karo yang dinamakan " Kniteken Sipemena" mendeskripsikan bahwa agama tersebut tidak diekspresikan dengan cara sistematis. Tidak ada kitab suci dan tidak ada ajaran teologis yang sistematis bahkan tidak ada dogma di dalamnya. Begitu pula akan musik dan tarian tradisional Karo yang memiliki dimensi, makna religius, artistik, budaya dan hiburan tersendiri. Cerita dan pantun Karo, Seni Ukir dan pakaian Karo, seluruhnya ini telah kami rangkum dengan cermat dan padat dalam buku ini. Sangat bermartabat apabila khazanah lokal lebih dikenal lagi, digali, diteliti, dikaji dan dipublikasikan. Jika tidak harta budaya itu akan tetap tersembunyi dan terpendam.
Untuk Bumi Turang, Tanah Karo Simalem...
@@fransiskasimatupang7384 BPS tahun 2020 Sebutan Batak Mandailing sudah diganti dengan MANDAILING. Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencantumkan Mandailing sebagai nama suku di dalam Sensus Penduduk 2020.
Itu diungkapkan Kepala BPS RI, Dr. Suhariyanto, saat menjawab wartawan via aplikasi WhatsApp, Kamis (13/02).
Pencantuman nama Mandailing ini merupakan perubahan dari sebutan "Batak Mandailing" yang terlanjur dicantumkan dalam kolom nama suku di Sensus Penduduk tahun 2010 untuk kawasan Sumatera Utara.
Sebelumnya, pemuka pemuka etnis Mandailing di Sumatera Utara meminta pemerintah melalui BPS RI untuk menukar sebutan "Batak Mandailing" yang terlanjur dicantumkan di SP2010 menjadi "Mandailing" saja di SP2020 dalam kolom nama etnis.
Permintaan pemuka pemuka etnis Mandailing itu dituangkan dalam Surat Penolakan tanggal 11 Pebruari 2020 ditujukan kepada BPS RI.
"Kami menegaskan bahwa pelabelan Batak Mandailing yang menimbulkan persepsi bahwa Mandailing merupakan sub-etnis Batak dengan istilah Batak Mandailing adalah sebuah kekeliruan yang fatal dalam memahami sejarah, identitas dan budaya orang Mandailing," demikian bunyi salah satu poin di surat penolakan itu.
Kepala BPS RI, Dr. Suhariyanto menyatakan bahwa untuk SP2020 ini sebutan Mandailing telah menggantikan sebutan Batak Mandailing.
Perubahan itu berdasar hasil diskusi BPS dengan pihak LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
"Saya sudah menerima info tersebut dan sudah mendiskusikan dengan LIPI. Daftar suku SP2020 sudah diperbaiki. Yang muncul adalah Mandailing," kata Suhariyanto.
Dia juga menyatakan terimakasih kepada pemuka pemuka etnis Mandailing atas masukan yang disampaikan kepada BPS .Bujur ras mejuah-juah man kita kerina Kalak KARO tanpa embel-embel pembatak2kan dgn logika dan fakta 🙏
Kenapa orang Karo tidak mau disebut Batak.
Dalam buku "Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia (1995)" karya Kol (Purn) Sempa Sitepu menuliskan dengan tegas jika Suku Karo bukan berasal dari si Raja Batak. Sehingga penyebutan Batak Karo jelas mengubah sejarah.
Dalam penjelasannya, dia pun mencantumkan sisilan suku Karo yang dirangkum dari cerita para leluhurnya. Dituliskan jika leluhur etnis Karo dari India Selatan yang berbatasan Myanmar
Dahulunya, ada seorang raja hidup dengan permaisurinya di seberang laut. Sang raja rupanya memiliki panglima bernama Karo yang merupakan orang keturunan India.
sang raja mengatakan pada Panglima Karo ingin pergi ke lokasi baru untuk mendirikan kerajaan. Sang putri raja Si Miansari ikut serta. Miansari yang sudah menyimpan rasa kepada Karo memilih ikut rombongan dengan pasukan yang dipimpin sang panglima.
Pasukan pun berlayar hingga tiba di Pulau Pinang. Konon mereka tinggal beberapa bulan di pulau itu hingga sang Raja kepincut dengan pulau yang lebih luas di sebelah selatan.
Dengan semangat raja pun akhirnya meminta pasukan bersiap untuk menyeberang. Nahas, di tengah laut, mereka diterjang ombak besar hingga pasukan terpencar. Beruntung putri Miansari dengan rombongan Panglima Karo terdampar. Sementara keberadaan sang raja tak diketahui. akhirnya
Putri Miansari dengan Panglima Karo pun sepakat pergi dengan membawa dua dayang dan tiga pengawal. Dalam pencarian tempat baru itu, akhirnya Miansari dan panglima menikah. Rombongan pun akhirnya tiba di pulau Perca (Sumatera). Saat ini, tempat tersebut dinamakan Belawan.
Masih belum ingin menetap, rombongan pun menelusuri aliran sungai hingga tiba di tempat yang kini dinamakan Durin Tani. Di tepat itu diketahui ada gua yang disebut gua Umang. Dianggap tak aman, Panglima Karo dengan rombongan pergi hingga sampai ke tempat bernama Buluhawar, Bukum. Mereka pun tinggal di kaki gunung kini bernama Sikeben yang berdekatan dengan Bandarbaru.
Masih mencari tempat yang lebih nyaman, Karo kembali berpindah hingga tiba di kaki Gunung Barus. Meski pemandangan dan udara di tempat tersebut sangat disukai rombongannya, Karo tetap ingin mencari tempat lain yang mirip dengan tanah kelahirannya.
Saat beristirahat di bawah pohon beringin, Karo mengutus anjing untuk menyusuri sungai yang kini disebut Sungai Lau Biang. Beruntung anjing itu kembali dengan selamat. Karo dan rombongan pun kembali melakukan perjalanan hingga tiba di daratan tinggi bernama Mulawari atau berseberangan dengan si Capah (Seberaya). Daratan tinggi kini ini sebut Tanah Karo.
Pernikahan Putri Miansari-Karo dikaruniani tujuh anak. Anak pertama hingga keenam semuanya perempuan.
1. Corah
2. Unjuk
3. Tekang
4. Girik
5. Pagit
6. Jile
7. Meherga
Anak ketujuh berjenis kelamin laki-laki. Lantaran disebut sebagai penerus, anak ketujuh ini diberi nama Meherga (berharga).
Terciptanya Merga dari Suku Karo
Lahir anak ketujuh Karo ini juga menjadi cikal bakal terciptanya merga di Suku Karo. Merga pun akhirnya menikah dengan anak Tarlon (saudara bungsu dari Miansari) bernama Cimata.
Merga dan Cimata pun memiliki lima anak laki-laki yang namanya menjadi induk merga Suku Karo. Anak pertama yakni Karo (sebagai leluhur agar diingat para keturunannya). Anak keduanya yakni Ginting.
Anak ketiga yakni Sembiring. Nama itu diambil kata kata Si Mbiring yang artinya hitam. Konon, Sembiring ini paling hitam di antara saudaranya. Anak ke empat Peranginangin. Dia diceritakan lhahir saat angin puting beliung. Sementara anak kelima atau bungsu diberi nama Tarigan.
Itulah sejarah kenapa orang Karo tidak mau disebut orang Batak. Mereka tidak ingin menghapus sejarah leluhurnya hingga disebut suku Batak padahal mereka berbeda asal usul nenek moyang dan mereka telah membentuk identitas mereka yaitu" Suku Karo dgn Merga Silima" dgn salam Mejuah-juah.
Suku Karo tak mengenal MARGA tapi MERGA yang berasal dari kata MEHERGA/ MERGA yang berarti mahal karena anak laki-laki itu penerus keluarga.Suku Karo punya MERGA SILIMA yaitu Karokaro, Tarigan, Ginting, Peranginangin dan Sembiring dimana ada 2 merga berbeda yaitu merga Peranginangin boleh menikah sesama cabang merga Peranginangin dan satu lagi merga Sembiring yang terbagi menjadi dua yaitu yang makan b1/anjing tidak boleh menikah sesama cabang merga Sembiring dan yang pantang makan b1/anjing boleh menikah sesama cabang merga Sembiring.bujur ras mejuah-juah man kita kerina Kalak KARO tanpa embel-embel pembatak2kan dgn LOGIKA dan fakta 🙏
Prindavan
@@sirosta471 Karo berdasarkan genetika Y-DNA Haplogroups dari populasi Karo, maka dapatlah ditelusuri mengenai asal-usulnya. Karo Y-DNA Haplogroups terdiri dari: C-RPS4Y*= 19,05%, R-M173= 19,05%, O-M95* = 19:05%, dan O-M119= 42,85%. Seperti itulah Y-DNA Haplogroups dari populasi Karo.
C-RPS4Y* merupakan subclade dari Y-DNA C, tetapi masih masih memakai tanda (*) yang artinya masih memerlukan penelitian untuk memperjelasnya lebih jauh. Paragroup C ditemukan dalam populasi kuno di setiap benua kecuali Afrika dan dominan Y-DNA Haplogroup di antara banyak laki-laki milik masyarakat asli di Asia Tengah/Siberia, Amerika Utara dan Oseania. Paragroup C ini tidak langsung lagi berasal dari Afrika, tetapi muncul di luar Afrika setelah bermutasi pada sekitar 60.000 tahun lalu. Kemudian C-RPS4Y* banyak ditemui di Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan suku Aborigin Australia, tetapi Karafet et al. (2010) mengemukakan bahwa C-RPS4Y* ditemukan juga di Indonesia (termasuk bagian Barat) dan Asia Tenggara. Dengan demikian, kemungkinannya C-RPS4Y* bermigrasi ke Tanah Karo adalah dari Asia Daratan.
O-M95* diasosiakan sebagai penutur Austroasiatik. Jean A. Trejaut et al. (2014) mengemukakan bahwa O-M95* bermigrasi dari Indochina ke Indonesia Barat. O-M95* bermigrasi melalui Semenanjung Malaka terus ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. O-M95*ditemukan juga pada Karo Y-DNA Haplogroups. O-M95* ini diperkirakan lebih dulu bermigrasi sebelum ekspansi Austronesia di sekitar 4.000 - 6.000 tahun lalu. O-M95* bermigrasi masuk melalui pantai timur Sumatera.
Melihat pada beberapa ekskavasi arkeologi atas bukit-bukit kerang yang dilakukan di sepanjang pesisir Timur mulai dari sekitar Medan hingga Lhokseumawe, maka terbukti jelas bahwa para pendukung budaya Hoabinh sudah datang ke sana. Berdasarkan fosil berusia 7.400 tahun lalu (belakangan ditemukan lagi fosil berusia 8.430 tahun lalu) yang dicocokkan DNAnya dengan orang-orang Gayo oleh Eijkman Institute, maka terbukti bahwa Gayo adalah keturunan dari pendukung budaya Hoabinh tersebut, sedang Gayo dengan Karo berkerabat sangat dekat secara genetik. Para pendukung budaya Hoabinh ini datang dari Teluk Tonkin, Vietnam dan kalau melihat kepada daerah asal Hoabinhian ini, maka ada sementara pihak yang menghubungkannya dengan bahasa Austroasiatik dan mereka menduga ada kaitannya dengan O-M95*. Meskipun demikian, terhadap dugaan ini tetap harus dilakukan pembuktian. Hoabinhian adalah kebudayaan yang berkembang di Vietnam Utara, dekat Teluk Tonkin pada sekitar 10.000 - 2.000 SM. Di dekat daerah itu juga berkembang kebudayaan Dongson pada sekitar 5.000 - 2.000 SM (Wikipedia).
O-M119 sering ditemukan pada populasi berbahasa Austronesia yang kemudian mendominasi bahasa Karo menjadi termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Karafet et al. (2010) dalam papernya mengemukakan bahwa ekspansi Austronesia telah berlangsung pada periode sekitar 4.000 - 6.000 tahun lalu. “Akan tetapi”, seperti disampaikan oleh Gludhug A. Purnomo dari Eijkman Institute (02/03-2016), “terdapat hipotesis bahwa beberapa sub clades dari Haplogroup O (O-M119 dan O-M122) diduga berasosiasi dengan Ekspansi Austronesia pada masa Plestocene.” Populasi O-M119 yang berbahasa Austronesia ini datang dari Asia Daratan dan masuk dari pantai timur Sumatera.
R-M173 paling kuat berasal dari Asia Selatan, menurut Soares (2010). Dari sejarahnya, bahwa penutur Dravida dari India, Asia Selatan memang banyak datang ke Tanah Karo terutama pada millennium kedua masehi. Mereka ini masuk melalui pantai timur Sumatera.
Akhirnya, populasi C-RPS4Y*, populasi O-M95*,populasi O-M119, dan populasi R-M173 datang ke Tanah Karo dari pantai timur Sumatera dengan masing-masing rombongan dalam waktu berbeda-beda yang didahului C-RPS4Y*. Di Tanah Karo, keempat populasi ini kemudian bercampur membentuk sebuah populasi besar dengan KARO Y-DNA Haplogroups seperti yang dikemukakan di awal dan mereka inilah yang sekarang menjadi populasi Karo. Jadi, pada dasarnya Etnis Karo itu terbentuk sendiri. (*)
Oleh: Edward Simanungkalit
@@sirosta471 Karo berdasarkan genetika Y-DNA Haplogroups dari populasi Karo, maka dapatlah ditelusuri mengenai asal-usulnya. Karo Y-DNA Haplogroups terdiri dari: C-RPS4Y*= 19,05%, R-M173= 19,05%, O-M95* = 19:05%, dan O-M119= 42,85%. Seperti itulah Y-DNA Haplogroups dari populasi Karo.
C-RPS4Y* merupakan subclade dari Y-DNA C, tetapi masih masih memakai tanda (*) yang artinya masih memerlukan penelitian untuk memperjelasnya lebih jauh. Paragroup C ditemukan dalam populasi kuno di setiap benua kecuali Afrika dan dominan Y-DNA Haplogroup di antara banyak laki-laki milik masyarakat asli di Asia Tengah/Siberia, Amerika Utara dan Oseania. Paragroup C ini tidak langsung lagi berasal dari Afrika, tetapi muncul di luar Afrika setelah bermutasi pada sekitar 60.000 tahun lalu. Kemudian C-RPS4Y* banyak ditemui di Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan suku Aborigin Australia, tetapi Karafet et al. (2010) mengemukakan bahwa C-RPS4Y* ditemukan juga di Indonesia (termasuk bagian Barat) dan Asia Tenggara. Dengan demikian, kemungkinannya C-RPS4Y* bermigrasi ke Tanah Karo adalah dari Asia Daratan.
O-M95* diasosiakan sebagai penutur Austroasiatik. Jean A. Trejaut et al. (2014) mengemukakan bahwa O-M95* bermigrasi dari Indochina ke Indonesia Barat. O-M95* bermigrasi melalui Semenanjung Malaka terus ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. O-M95*ditemukan juga pada Karo Y-DNA Haplogroups. O-M95* ini diperkirakan lebih dulu bermigrasi sebelum ekspansi Austronesia di sekitar 4.000 - 6.000 tahun lalu. O-M95* bermigrasi masuk melalui pantai timur Sumatera.
Melihat pada beberapa ekskavasi arkeologi atas bukit-bukit kerang yang dilakukan di sepanjang pesisir Timur mulai dari sekitar Medan hingga Lhokseumawe, maka terbukti jelas bahwa para pendukung budaya Hoabinh sudah datang ke sana. Berdasarkan fosil berusia 7.400 tahun lalu (belakangan ditemukan lagi fosil berusia 8.430 tahun lalu) yang dicocokkan DNAnya dengan orang-orang Gayo oleh Eijkman Institute, maka terbukti bahwa Gayo adalah keturunan dari pendukung budaya Hoabinh tersebut, sedang Gayo dengan Karo berkerabat sangat dekat secara genetik. Para pendukung budaya Hoabinh ini datang dari Teluk Tonkin, Vietnam dan kalau melihat kepada daerah asal Hoabinhian ini, maka ada sementara pihak yang menghubungkannya dengan bahasa Austroasiatik dan mereka menduga ada kaitannya dengan O-M95*. Meskipun demikian, terhadap dugaan ini tetap harus dilakukan pembuktian. Hoabinhian adalah kebudayaan yang berkembang di Vietnam Utara, dekat Teluk Tonkin pada sekitar 10.000 - 2.000 SM. Di dekat daerah itu juga berkembang kebudayaan Dongson pada sekitar 5.000 - 2.000 SM (Wikipedia).
O-M119 sering ditemukan pada populasi berbahasa Austronesia yang kemudian mendominasi bahasa Karo menjadi termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Karafet et al. (2010) dalam papernya mengemukakan bahwa ekspansi Austronesia telah berlangsung pada periode sekitar 4.000 - 6.000 tahun lalu. “Akan tetapi”, seperti disampaikan oleh Gludhug A. Purnomo dari Eijkman Institute (02/03-2016), “terdapat hipotesis bahwa beberapa sub clades dari Haplogroup O (O-M119 dan O-M122) diduga berasosiasi dengan Ekspansi Austronesia pada masa Plestocene.” Populasi O-M119 yang berbahasa Austronesia ini datang dari Asia Daratan dan masuk dari pantai timur Sumatera.
R-M173 paling kuat berasal dari Asia Selatan, menurut Soares (2010). Dari sejarahnya, bahwa penutur Dravida dari India, Asia Selatan memang banyak datang ke Tanah Karo terutama pada millennium kedua masehi. Mereka ini masuk melalui pantai timur Sumatera.
Akhirnya, populasi C-RPS4Y*, populasi O-M95*,populasi O-M119, dan populasi R-M173 datang ke Tanah Karo dari pantai timur Sumatera dengan masing-masing rombongan dalam waktu berbeda-beda yang didahului C-RPS4Y*. Di Tanah Karo, keempat populasi ini kemudian bercampur membentuk sebuah populasi besar dengan KARO Y-DNA Haplogroups seperti yang dikemukakan di awal dan mereka inilah yang sekarang menjadi populasi Karo. Jadi, pada dasarnya Etnis Karo itu terbentuk sendiri. (*)
Oleh: Edward Simanungkalit
@@sirosta471 Orang Karo Berdasarkan Migrasi Leluhur
Orang Karo (Suku Karo) berada di wilayah Sumatera bagian Utara dan untuk dapat mengenal Orang Karo lebih jauh, maka perlu mengetahui asal migrasi leluhurnya. Arkeolog senior, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama ini di Indonesia. Peneliti dan Direktur Center for Prehistoric Austronesian Studies ini memaparkan bahwa pada masa Pleistosen yang terentang mulai dari 2 juta tahun lalu hingga 11.500 tahun lalu, bumi begitu dinamis. Banyak pergerakan lempeng bumi, aktifnya gunung api, dan peng-es-an (glasiasi), sehingga diduga pada masa itulah banyak manusia dan hewan bermigrasi. Di Indonesia, pertanggalan tertua berasal dari situs Song terus, Pacitan, sekitar 45.000 tahun lalu. Lalu, berlanjut dengan berakhirnya zaman es awal Holosen yang menyebabkan kenaikan air laut, sehingga memicu diaspora pada 10.000 - 5.000 SM, kedatangan penutur Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu hingga zaman fajar sejarah alias protosejarah beberapa abad menjelang Masehi (Majalah Arkeologi Indonesia, 16/03-2014).
Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak memaparkan, bahwa berdasarkan data arkeologi, etnologi, dan paleontologi, terdeteksi adanya arus migrasi, selain penutur Austronesia dan Papua, yang masuk dari sisi barat melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Mereka adalah penutur Austroasiatik. Penutur Austroasiatik ini tiba di Indonesia pada 4.300-4.100 tahun lalu yang kemudian baru disusul penutur Austronesia pada kisaran 4.000 tahun lalu. Austroasiatik dan Austronesia sebenarnya berasal dari satu rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa Austrik, tetapi kemudian pecah. Bahasa Austroasiatik digunakan di sekitar Asia Tenggara Daratan, sedangkan Austronesia digunakan di wilayah kepulauan, seperti Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, hingga Pulau Paskah. Bahasa Austrik awalnya dimanfaatkan masyarakat Yunan, Cina Selatan. Bahasa ini kemudian pecah menjadi dua, yaitu Austroasiatik dan Austronesia, yang kemudian menjadi penyebutan nama kelompok berdasarkan penggolongan bahasa. Pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu penandanya ialah temuan tembikar-tembikar berhias tali yang bentuknya sama dengan tembikar di selatan Tiongkok hingga Taiwan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014).
dalam DNA Orang Karo ada unsur Negrito tersebut. Mengingat bukit kerang ditemukan juga di Deli Serdang dan Langkat yang telah dilakukan penelitian arkeologi, maka sangat mungkin Orang Negrito banyak juga di Tanah Karo pada masa lalu. Kemudian, seperti dikemukakan Harry Truman Simanjuntak sebelumnya, bahwa penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia datang juga ke Sumatera bagian Utara, sehingga bahasa Karo dan Gayo dimenangkan oleh penutur Austronesia. Oleh karena itu, bahasa Karo dan Gayo termasuk rumpun bahasa Austronesia (Adelaar, 1981:55), seperti bahasa Simalungun, Toba, Pakpak, dan Mandailing juga termasuk rumpun bahasa Austronesia. Selain itu, secara khusus, bahwa ada jejak genetika orang-orang Tamil dari India Selatan di Gayo dan Karo. Jejak genetika ini ditemukan selain genetika orang-orang daratan Asia (Kamboja dan Vietnam), yaitu penutur Austroasiatik, yang datang melalui Semenanjung Malaka dan penutur Austronesia melalui Filipina. Migrasi Orang Tamil ke Gayo dan Karo berlangsung secara bertahap pada masa sejarah (Kompas, 02/04-2013).
Jadi, dari migrasi yang datang ke Gayo dan Karo terlihat yaitu: Orang Negrito, penutur Austroasiatik, penutur Austronesia, dan Orang Tamil dari India Selatan. Kesamaan ini terlihat ketika penelitian genetika dilakukan oleh Lembaga Eijkman terbukti bahwa genetika Gayo dan Karo berkerabat sangat dekat. Berdasarkan migrasi leluhur tadi, maka Orang Karo terutama merupakan campuran dari 4 (empat) penutur bahasa, yaitu:
1. Orang Negrito (Masa Mesolitik: 10.000 - 6.000 tahun lalu).
2. Penutur Austroasiatik (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu).
3. Penutur Austronesia (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu).
4. Orang Tamil dari India Selatan (Masa periode tahun masehi).
Di dalam DNA Karo (dan Gayo) ada ditemukan unsur: Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil, sehingga kesamaan inilah yang membuat Karo dan Gayo berkerabat sangat dekat.
Orang Karo merupakan keturunan dari campuran Orang Negrito yang datang pada masa Mesolitik, penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia yang datang pada masa Neolitik, serta Orang Tamil. Maka, jelas berbeda kedatangannya yang jauh lebih dulu kedatangan dari Orang Negrito, penutur Austroasiatik, dan penutur Austronesia.
Kemudian dari campuran tadi jelas bahwa Orang Karo berbeda secara genetik dengan Si Raja Batak yang Orang Taiwan tadi. Sehingga, pernyataan bahwa Orang Karo adalah keturunan Si Raja Batak bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos.
dikonfirmasi oleh hasil analisa DNA Orang Toba oleh Mark Lipson (2014:87) dengan menyimpulkan bahwa DNA Orang Toba terdiri dari: Austronesia 55%, Austroasiatik 25%, dan Negrito 20%. Maka, jelas bahwa Orang Toba bukan hanya Orang Taiwan (Austronesia+Austroasitik), tetapi campuran Orang Taiwan dan Orang Negrito. Orang Negrito sudah ada mendiami Humbang sebelum Si Raja Batak datang ke Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Buhit, Negeri Toba, sehingga pernyataan bahwa Sianjur Mula-mula merupakan awal persebaran manusia bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos.
Kesimpulan
Orang Karo bukanlah Orang Taiwan seperti Si Raja Batak yang Orang Taiwan, melainkan campuran Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa Orang Karo bukan keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Orang Karo lebih dulu sampai di Tanah Karo yang sudah datang pada masa prasejarah daripada Si Raja Batak yang sampai di Sianjur Mula-mula sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu, sehingga migrasi Orang Toba ke Tanah Karo tidak menjadikan Orang Karo menjadi keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Jelas bahwa tidak ada hubungan genealogis Si Raja Batak dengan Orang Karo, sementara bahasa Toba dan bahasa Karo termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Akhirnya, pernyataan bahwa Orang Karo adalah keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos! Bujur ras mejuah-juah man kita kerina Kalak KARO tanpa embel-embel pembatak2kan dgn LOGIKA dan fakta 🙏
@@sirosta471 Berdasarkan DNA (ilmu genetika yang keabsahannya diakui oleh PBB) Suku Karo sudah mendiami Pulau Sumatera sejak 8.300 tahun lampau dan jauh sebelum Raja-raja Batak datang ke Pulau Sumatera dari sabang sampai lampung (berdasarkan genetika DNA ini mengartikan Suku Karo bukan suku batak dan bukan juga sub suku batak). Ingin Tahu detailnya?
Orang Karo Berdasarkan Migrasi Leluhur:
Orang Karo (Suku Karo) berada di wilayah Sumatera bagian Utara dan untuk dapat mengenal Orang Karo lebih jauh, maka perlu mengetahui asal migrasi leluhurnya. Arkeolog senior, Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Arkeologi Nasional telah malang-melintang melakukan penelitian arkeologi prasejarah selama ini di Indonesia. Peneliti dan Direktur Center for Prehistoric Austronesian Studies ini memaparkan bahwa pada masa Pleistosen yang terentang mulai dari 2 juta tahun lalu hingga 11.500 tahun lalu, bumi begitu dinamis. Banyak pergerakan lempeng bumi, aktifnya gunung api, dan peng-es-an (glasiasi), sehingga diduga pada masa itulah banyak manusia dan hewan bermigrasi. Di Indonesia, pertanggalan tertua berasal dari situs Song terus, Pacitan, sekitar 45.000 tahun lalu. Lalu, berlanjut dengan berakhirnya zaman es awal Holosen yang menyebabkan kenaikan air laut, sehingga memicu diaspora pada 10.000 - 5.000 SM, kedatangan penutur Austronesia sekitar 4.000 tahun lalu hingga zaman fajar sejarah alias protosejarah beberapa abad menjelang Masehi (Majalah Arkeologi Indonesia, 16/03-2014).
Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak memaparkan, bahwa berdasarkan data arkeologi, etnologi, dan paleontologi, terdeteksi adanya arus migrasi, selain penutur Austronesia dan Papua, yang masuk dari sisi barat melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Mereka adalah penutur Austroasiatik. Penutur Austroasiatik ini tiba di Indonesia pada 4.300-4.100 tahun lalu yang kemudian baru disusul penutur Austronesia pada kisaran 4.000 tahun lalu. Austroasiatik dan Austronesia sebenarnya berasal dari satu rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa Austrik, tetapi kemudian pecah. Bahasa Austroasiatik digunakan di sekitar Asia Tenggara Daratan, sedangkan Austronesia digunakan di wilayah kepulauan, seperti Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, hingga Pulau Paskah. Bahasa Austrik awalnya dimanfaatkan masyarakat Yunan, Cina Selatan. Bahasa ini kemudian pecah menjadi dua, yaitu Austroasiatik dan Austronesia, yang kemudian menjadi penyebutan nama kelompok berdasarkan penggolongan bahasa. Pada 4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austroasiatik bermigrasi ke Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Salah satu penandanya ialah temuan tembikar-tembikar berhias tali yang bentuknya sama dengan tembikar di selatan Tiongkok hingga Taiwan. Kemudian, pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera (Kompas, 27/11-2014).
dalam DNA Orang Karo ada unsur Negrito tersebut. Mengingat bukit kerang ditemukan juga di Deli Serdang dan Langkat yang telah dilakukan penelitian arkeologi, maka sangat mungkin Orang Negrito banyak juga di Tanah Karo pada masa lalu. Kemudian, seperti dikemukakan Harry Truman Simanjuntak sebelumnya, bahwa penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia datang juga ke Sumatera bagian Utara, sehingga bahasa Karo dan Gayo dimenangkan oleh penutur Austronesia. Oleh karena itu, bahasa Karo dan Gayo termasuk rumpun bahasa Austronesia (Adelaar, 1981:55), seperti bahasa Simalungun, Toba, Pakpak, dan Mandailing juga termasuk rumpun bahasa Austronesia. Selain itu, secara khusus, bahwa ada jejak genetika orang-orang Tamil dari India Selatan di Gayo dan Karo. Jejak genetika ini ditemukan selain genetika orang-orang daratan Asia (Kamboja dan Vietnam), yaitu penutur Austroasiatik, yang datang melalui Semenanjung Malaka dan penutur Austronesia melalui Filipina. Migrasi Orang Tamil ke Gayo dan Karo berlangsung secara bertahap pada masa sejarah (Kompas, 02/04-2013).
Jadi, dari migrasi yang datang ke Gayo dan Karo terlihat yaitu: Orang Negrito, penutur Austroasiatik, penutur Austronesia, dan Orang Tamil dari India Selatan. Kesamaan ini terlihat ketika penelitian genetika dilakukan oleh Lembaga Eijkman terbukti bahwa genetika Gayo dan Karo berkerabat sangat dekat. Berdasarkan migrasi leluhur tadi, maka Orang Karo terutama merupakan campuran dari 4 (empat) penutur bahasa, yaitu:
1. Orang Negrito (Masa Mesolitik: 10.000 - 6.000 tahun lalu).
2. Penutur Austroasiatik (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu).
3. Penutur Austronesia (Masa Neolitik: 6.000 - 2.000 tahun lalu).
4. Orang Tamil dari India Selatan (Masa periode tahun masehi).
Di dalam DNA Karo (dan Gayo) ada ditemukan unsur: Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil, sehingga kesamaan inilah yang membuat Karo dan Gayo berkerabat sangat dekat.
Orang Karo merupakan keturunan dari campuran Orang Negrito yang datang pada masa Mesolitik, penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia yang datang pada masa Neolitik, serta Orang Tamil. Maka, jelas berbeda kedatangannya yang jauh lebih dulu kedatangan dari Orang Negrito, penutur Austroasiatik, dan penutur Austronesia.
Kemudian dari campuran tadi jelas bahwa Orang Karo berbeda secara genetik dengan Si Raja Batak yang Orang Taiwan tadi. Sehingga, pernyataan bahwa Orang Karo adalah keturunan Si Raja Batak bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos.
dikonfirmasi oleh hasil analisa DNA Orang Toba oleh Mark Lipson (2014:87) dengan menyimpulkan bahwa DNA Orang Toba terdiri dari: Austronesia 55%, Austroasiatik 25%, dan Negrito 20%. Maka, jelas bahwa Orang Toba bukan hanya Orang Taiwan (Austronesia+Austroasitik), tetapi campuran Orang Taiwan dan Orang Negrito. Orang Negrito sudah ada mendiami Humbang sebelum Si Raja Batak datang ke Sianjur Mula-mula di kaki Pusuk Buhit, Negeri Toba, sehingga pernyataan bahwa Sianjur Mula-mula merupakan awal persebaran manusia bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos.
Kesimpulan
Orang Karo bukanlah Orang Taiwan seperti Si Raja Batak yang Orang Taiwan, melainkan campuran Negrito, Austroasiatik, Austronesia, dan Tamil. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa Orang Karo bukan keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Orang Karo lebih dulu sampai di Tanah Karo yang sudah datang pada masa prasejarah daripada Si Raja Batak yang sampai di Sianjur Mula-mula sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu, sehingga migrasi Orang Toba ke Tanah Karo tidak menjadikan Orang Karo menjadi keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula. Jelas bahwa tidak ada hubungan genealogis Si Raja Batak dengan Orang Karo, sementara bahasa Toba dan bahasa Karo termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Akhirnya, pernyataan bahwa Orang Karo adalah keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mula-mula bukanlah fakta, melainkan hanyalah mitos!
Bujur ras mejuah-juah man kita kerina Kalak KARO tanpa embel-embel batak dgn logika dan fakta 🙏
anjingnya galak bagat
jangan dekati Lang bahaya.