Quo Vadis Pendidikan Tinggi Beberapa pokok pikiran tentang Pendidikan Tinggi di Indonesia saat ini. Semoga menjadi sumbangsih anak bangsa dr tepi jauh kekuasaan. Pendidikan adalah ibarat sebuah gambar pazel raksasa dg ribuan orang yg bersama2 bekerja untuk menyelesaikan gambar akhirnya. Setiap bagian berpikir sdg menyusun bagian2 puzzle dg benar dan itu sah2 saja. Namun, ketika gambar utuhnya dilihat dari cakrawala, ternyata kita akan bingung melihat gambar apa sesungguhnya. 1. Masih relevankah dikotomi pendidikan Vokasi vs Akademik? Jika kita telusuri dari sisi aspek legal, hampir tidak ada kita temukan perbedaan konseptual yg esensial antara pendidikan akademik vs vokasi. Ada sedikit perbedaan hanya bersifat administratif dan dalam proses pembelajarannya. Jika pemerintah menganut OBE (Outcome Based Education) dan salah satu outcome penting adalah employibility, yg berarti pendidikan untuk menyiapkan tenaga kerja, apa lagi yg mau kita bedakan pendidikan akademik dari pendidikan vokasi? Kita dari pendidikan vokasi hrs menyikapinya scr progessif; hrs mulai menepis bhw pendidikan vokasi adalah satu hal yg berbeda dari pendidikan lain di Indonesia. Hampir tdk ada guna lagi label politiknik dan vokasi kecuali hanya sekadar nama. Employibility is what will count hrs menjadi sasaran utama jika ingin membranding institusi pendidikan saat ini. Jika memang dikotomi tsb msh perlu dipertahankan, diperlukan definisi konseptual yg tdk saja distingtif tetapi juga operasional pada tataran praktis yg berdampak legal. 2. Ambivalensi kebijakan dg pengelolaan; Mana Vokasi vs mana Akademik? Kebijakan pendidikan OBE yg akhirnya menekankan employibility sbg indikator kesuksesan proses pendidikan di semua bentuk pendidikan tinggi pada hakikatnya by definition by policy telah menghilangkan perbedaan konseptual hakikat pendidikan akademik dg vokasi. Perbedaan label yg ada antara Vokasi dgn Akademik oleh karena itu sdh kehilangan makna. Namun, di saat yg sama pemerintah justru membuat Pendidikan Tinggi dalam dua dirjen yg berbeda, Akademik vs Vokasi. Ada sebuah ketidakruntutan dlm sebuah alur. Secara mudah kita bisa bayangkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan dlm pengelolaan pendidikan tinggi. Pendidikan Vokasi pada tingkat sekolah menengah lebih jelas dpt dibedakan dari pendidikan umum (SMK vs SMU). Mereka memiliki perbedaan ontogenesis dalam byk aspek sbg realisasi perbedaan filosofis di baliknya. Pengelolaan dlm direktorat berbwda dapat dipahami baik secara rasional maupun konseptual. Bagaimana dg Pendidikan Tinggi Vokasi? 3. Dua karung dalam satu ikatan Permasalahan lama yg masih kabur akan semakin kabur jika tdk ada yng menyuarakan adalah permasalahan terkait karir dosen vokasi vs dosen akademis. Selama ini, Politeknik sbg pendidikan vokasi by definion dlm peraturan (kita abaikan kesimpangsiuran definisi konseptual pendidikan vokasi) diberi amanat yg berbeda, setidaknya dg 70% praktik 30% teori. Secara konseptual tentunya dosen yg berkarir di ranah ini memiliki track karir yg berbeda. Dulu... Perbedaan itu diwujudkan dlm bentuk ketidakbisaan dosen Politeknik ke jabatan fungsional professor. Ini tentu saja melanggar azas kesetaraan. Maklum jika timbul protes krn semua dosen ingin jd profesor (terlepas dari motivasi pribadi masing2 unt dapat jafung tersebut). Akhirnya, track karir dosen pendidikan vokasi disamakan dg trak karir dosen pendidikan akademik. Ini kan sama artinya dengan seperti mengakui ada dua perlombaan berbeda, misal MotoGP di satu sisi dan TraiGP, tetapi standing ridernya hanya diukur menggunakan ukuran satu saja, misalnya hanya memakai aturan MotoGP. Aneh bukan? Hingga saat ini permasalahan msh kabur, atau memang tdk ada yg menganggap masalah. Jika yg terakhir adalah faktanya, analisis ini yg menjadi salah tempat. 4. Masa depan pendidikan vokasi, cq Politeknik Jika kebijakan pendidikan saat ini dijadikan batu pijakan untuk melihat masa depan, sdh selayaknya institusi pendidikan vokasi mulai menentukan sikapnya. Ini penting untuk menggambar peta masa depannnya. Jika kebijakan pendidikan saat ini an sich sbg pertimbangannya, Politeknik pasti akan membuat peta untuk bermetamorfosa menjadi Universitas spt yg banyak terjadi dg Politeknik2 di byk negara. Atau, kembali hanya fokus ke program diploma dan profesonal spt byk pendidikan2 vokasi di eropa. Atau, menjadi ini dan itu. Akhirnya, apapun ceritanya: 1. employibility sdh dijadikan sbg indikator kesuksesan program pendidikan. Forget pendidikan vokasi vs akademik. 2. Bola kebijakan pendidikan sdh digulirkan, tinggal kepiwaian kita menggiring bolanya, keberanian mengecoh lawan, dan mengarahkan serta melesakkan menjadi sebuah goal. 3. Kredo tidak ada yg berubah kecuali perubahan itu sendiri hrs kembali menjadi Moto. Selalu siap untuk belajar hal baru, termotivasi untuk adaptif dg perubahan, dan senantiasa berpikiran dinamis merupakan kunci untuk survive dg masa depan yg penuh dg kejutan krn ketidakpastian.
Mantap materinya, terimakasih atas materinya, SMKN 10 Semarang hadir, bismillah SMKN 10 Semarang juara
Terima kasih telah diizinkan bergabung...
Alhamdulillah. Trm kasih kpd Humas Kemenperin, BPSDMIN, yg telah fasilitasi, seluruh pemateri, dan seluruh peserta
Selamat dan sukses
hadir
tabarakallah..
Terima kasih
masyaallah
Quo Vadis Pendidikan Tinggi
Beberapa pokok pikiran tentang Pendidikan Tinggi di Indonesia saat ini. Semoga menjadi sumbangsih anak bangsa dr tepi jauh kekuasaan.
Pendidikan adalah ibarat sebuah gambar pazel raksasa dg ribuan orang yg bersama2 bekerja untuk menyelesaikan gambar akhirnya. Setiap bagian berpikir sdg menyusun bagian2 puzzle dg benar dan itu sah2 saja. Namun, ketika gambar utuhnya dilihat dari cakrawala, ternyata kita akan bingung melihat gambar apa sesungguhnya.
1. Masih relevankah dikotomi pendidikan Vokasi vs Akademik?
Jika kita telusuri dari sisi aspek legal, hampir tidak ada kita temukan perbedaan konseptual yg esensial antara pendidikan akademik vs vokasi. Ada sedikit perbedaan hanya bersifat administratif dan dalam proses pembelajarannya.
Jika pemerintah menganut OBE (Outcome Based Education) dan salah satu outcome penting adalah employibility, yg berarti pendidikan untuk menyiapkan tenaga kerja, apa lagi yg mau kita bedakan pendidikan akademik dari pendidikan vokasi?
Kita dari pendidikan vokasi hrs menyikapinya scr progessif; hrs mulai menepis bhw pendidikan vokasi adalah satu hal yg berbeda dari pendidikan lain di Indonesia. Hampir tdk ada guna lagi label politiknik dan vokasi kecuali hanya sekadar nama. Employibility is what will count hrs menjadi sasaran utama jika ingin membranding institusi pendidikan saat ini.
Jika memang dikotomi tsb msh perlu dipertahankan, diperlukan definisi konseptual yg tdk saja distingtif tetapi juga operasional pada tataran praktis yg berdampak legal.
2. Ambivalensi kebijakan dg pengelolaan; Mana Vokasi vs mana Akademik?
Kebijakan pendidikan OBE yg akhirnya menekankan employibility sbg indikator kesuksesan proses pendidikan di semua bentuk pendidikan tinggi pada hakikatnya by definition by policy telah menghilangkan perbedaan konseptual hakikat pendidikan akademik dg vokasi. Perbedaan label yg ada antara Vokasi dgn Akademik oleh karena itu sdh kehilangan makna.
Namun, di saat yg sama pemerintah justru membuat Pendidikan Tinggi dalam dua dirjen yg berbeda, Akademik vs Vokasi. Ada sebuah ketidakruntutan dlm sebuah alur. Secara mudah kita bisa bayangkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan dlm pengelolaan pendidikan tinggi.
Pendidikan Vokasi pada tingkat sekolah menengah lebih jelas dpt dibedakan dari pendidikan umum (SMK vs SMU). Mereka memiliki perbedaan ontogenesis dalam byk aspek sbg realisasi perbedaan filosofis di baliknya. Pengelolaan dlm direktorat berbwda dapat dipahami baik secara rasional maupun konseptual. Bagaimana dg Pendidikan Tinggi Vokasi?
3. Dua karung dalam satu ikatan
Permasalahan lama yg masih kabur akan semakin kabur jika tdk ada yng menyuarakan adalah permasalahan terkait karir dosen vokasi vs dosen akademis.
Selama ini, Politeknik sbg pendidikan vokasi by definion dlm peraturan (kita abaikan kesimpangsiuran definisi konseptual pendidikan vokasi) diberi amanat yg berbeda, setidaknya dg 70% praktik 30% teori. Secara konseptual tentunya dosen yg berkarir di ranah ini memiliki track karir yg berbeda.
Dulu... Perbedaan itu diwujudkan dlm bentuk ketidakbisaan dosen Politeknik ke jabatan fungsional professor. Ini tentu saja melanggar azas kesetaraan. Maklum jika timbul protes krn semua dosen ingin jd profesor (terlepas dari motivasi pribadi masing2 unt dapat jafung tersebut). Akhirnya, track karir dosen pendidikan vokasi disamakan dg trak karir dosen pendidikan akademik. Ini kan sama artinya dengan seperti mengakui ada dua perlombaan berbeda, misal MotoGP di satu sisi dan TraiGP, tetapi standing ridernya hanya diukur menggunakan ukuran satu saja, misalnya hanya memakai aturan MotoGP. Aneh bukan?
Hingga saat ini permasalahan msh kabur, atau memang tdk ada yg menganggap masalah. Jika yg terakhir adalah faktanya, analisis ini yg menjadi salah tempat.
4. Masa depan pendidikan vokasi, cq Politeknik
Jika kebijakan pendidikan saat ini dijadikan batu pijakan untuk melihat masa depan, sdh selayaknya institusi pendidikan vokasi mulai menentukan sikapnya. Ini penting untuk menggambar peta masa depannnya. Jika kebijakan pendidikan saat ini an sich sbg pertimbangannya, Politeknik pasti akan membuat peta untuk bermetamorfosa menjadi Universitas spt yg banyak terjadi dg Politeknik2 di byk negara. Atau, kembali hanya fokus ke program diploma dan profesonal spt byk pendidikan2 vokasi di eropa. Atau, menjadi ini dan itu.
Akhirnya, apapun ceritanya:
1. employibility sdh dijadikan sbg indikator kesuksesan program pendidikan. Forget pendidikan vokasi vs akademik.
2. Bola kebijakan pendidikan sdh digulirkan, tinggal kepiwaian kita menggiring bolanya, keberanian mengecoh lawan, dan mengarahkan serta melesakkan menjadi sebuah goal.
3. Kredo tidak ada yg berubah kecuali perubahan itu sendiri hrs kembali menjadi Moto. Selalu siap untuk belajar hal baru, termotivasi untuk adaptif dg perubahan, dan senantiasa berpikiran dinamis merupakan kunci untuk survive dg masa depan yg penuh dg kejutan krn ketidakpastian.
Sugeng Prianto, MA. STIT Madani Yogyakarta. Hadir
Warni diange SMPN 1 Buntulia kab. Pohuwato hadir
Backsoundnya lagu anging mammiri💙
Indocement hadir
menjadi agen perubahan menjadi New Normal
A.mulki.mtsn 8 indramayu
Saya telah mengikuti webinar ini tapi sampai sekarang kok belum ada e certicate nya? Bagaimana cara untuk mendapatkannya?
kapan saya mendapatkan sertifikat webinar ini, mohon dibantu..
TQ Ginanjar Sukma Wijaya, A.Md
Sertifikat akan tersedia di portal login ini paling cepat 1 hari setelah acara selesai. Sampai hari ini belum ada, kapan ya?
Hi, boleh tau apakah webinar ini diedit lagi dengan premiere pro? Atau langsung live? Thank you
Bagaimana cara mndptkan esertifikatnya ya? Saya di web sdh status hadir?
sama pak, saya juga menunggu kabar mengenai sertifikat untuk kegiatan ini
Sertifikat nya belum juga muncul?
Untuk akses Sertifikat gmn yaa, maksih
terima kasih