Tidak ada keberhasilan tanpa perjuangan.... Petani adalah ujung tombak penghasil hasil pertanian... Bumi harus di manfaatkan supaya ada manfaat....tiap2 perjuangan ada saja rintangan2... Salam semangat & sehat ya pak.
Masyaallah, perjuangn bpk2 yg ikut trans mmg luar biasa. Daerah di sana sekarang sdh rame dulu hutan. Dulu thn 80 an paklik sy pernah merantau ke sana, tdk kuat. Sakit parah kena sakit malaria. Alhamdulillah bs sampai jawa dlm kondisi hidup, dan bisa melanjutkn hidup di jawa lg menggarap sawahnya. Tp beliau sekrg sdh almarhum
wow tdk bisa membayangkan bagaimana dulu begitu tiba di daerah situ di th 68.. sekarang sdh jadi kota.. 30 orang kk pertama yg trans dan membuka hutan.. layak di jadikan pahlawan transmigrasi di distriknya
Sy meragukan tentang tahunnya, ingatloh, Ransiki Orasbare itu basis Opm, kayanya mustahil pemerintah menempatkan Trans Tampa Rumah dan lain sebagainya didalam hutan. Bapak itu bagaimana setelah mendengar kejadian di Prafi.
Setelah Belanda angkat kaki dan kembali ke Eropah, ternyata program ini tetap diteruskan pemerintah Indonesia dengan menggantikannya program transmigrasi di Tanah Papua. Program ini dimulai lima tahun sebelum pelaksanaan Pepera (1969) mendatangkan lagi warga Jawa di Papua dengan nama Pelopor Pembangunan Serba Guna di Kabupaten Manokwari(12KK/30 jiwa); Kumbe Merauke(27 KK); di Dosai Kabupaten Jayapura(9KK).
Mengindonesiakan Papua Konsensus dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 secara resmi memasukkan Papua Barat ke dalam Indonesia. Namun, kondisi yang berangsur baik ini disusul permasalahan baru. Gelombang transmigrasi terarah dalam jumlah tinggi melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) justru memicu kecemburuan sosial. Esther Heidbüchel dalam bukunya The West Papua Conflict in Indonesia: Actors, Issues and Approaches (2007, hlm. 44) menyebut sebagian rakyat setempat menganggap pemerintah pusat berusaha merebut tanah mereka dengan cara mengindonesiakan tanah Papua berserta isinya melalui program transmigrasi. Baca juga: Sejarah Pepera 1969: Upaya Lancung RI Merebut Papua? Pemerintah Orde Baru, lanjut Heidbüchel dianggap secara sepihak menetapkan standar hidup berdasarkan kebudayaan dan cara hidup orang Jawa. Buku-buku sekolah, tata cara menanam padi, bahkan pembangunan rumah semuanya mengikuti apa yang ada di Jawa. Belum lagi, transmigran asal Jawa yang tiba di wilayah rintisan di Papua Barat selalu mendapat posisi yang lebih unggul ketimbang masyarakat lokal. “Transmigran umumnya bermukim di kota-kota baru yang berbatasan dengan Papua Nugini, sementara mereka yang pindah ke Papua atas kesadaran sendiri lebih banyak berdiam di perkotaan. Mereka adalah tenaga-tenaga yang disukai untuk jabatan di kantor-kantor dan perusahaan," tulis Heidbüchel. Kembali mengutip catatan Loekman Soetrisno, sejak 1969, jumlah orang Jawa yang berpartisipasi dalam program transmigrasi jumlahnya selalu naik. Melalui Repelita I sampai II, pemerintah Orde Baru tercatat berhasil menempatkan tidak kurang dari 41.701 transmigran yang terbagi menjadi 9.916 kepala keluarga (hlm. 119). Dalam Repelita IV yang dimulai pada 1984, jumlah tersebut melompat menjadi 137.800 kepala keluarga. Sebagian besar transmigran datang dari etnis Jawa, Buton, Bugis, dan Makassar. Untuk menghidupi pendatang sebanyak itu, harus membuka lahan seluas 689.000 ha.
Setelah Belanda angkat kaki dan kembali ke Eropah, ternyata program ini tetap diteruskan pemerintah Indonesia dengan menggantikannya program transmigrasi di Tanah Papua. Program ini dimulai lima tahun sebelum pelaksanaan Pepera (1969) mendatangkan lagi warga Jawa di Papua dengan nama Pelopor Pembangunan Serba Guna di Kabupaten Manokwari(12KK/30 jiwa); Kumbe Merauke(27 KK); di Dosai Kabupaten Jayapura(9KK).
Setelah Belanda angkat kaki dan kembali ke Eropah, ternyata program ini tetap diteruskan pemerintah Indonesia dengan menggantikannya program transmigrasi di Tanah Papua. Program ini dimulai lima tahun sebelum pelaksanaan Pepera (1969) mendatangkan lagi warga Jawa di Papua dengan nama Pelopor Pembangunan Serba Guna di Kabupaten Manokwari(12KK/30 jiwa); Kumbe Merauke(27 KK); di Dosai Kabupaten Jayapura(9KK).
Mengindonesiakan Papua Konsensus dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 secara resmi memasukkan Papua Barat ke dalam Indonesia. Namun, kondisi yang berangsur baik ini disusul permasalahan baru. Gelombang transmigrasi terarah dalam jumlah tinggi melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) justru memicu kecemburuan sosial. Esther Heidbüchel dalam bukunya The West Papua Conflict in Indonesia: Actors, Issues and Approaches (2007, hlm. 44) menyebut sebagian rakyat setempat menganggap pemerintah pusat berusaha merebut tanah mereka dengan cara mengindonesiakan tanah Papua berserta isinya melalui program transmigrasi. Baca juga: Sejarah Pepera 1969: Upaya Lancung RI Merebut Papua? Pemerintah Orde Baru, lanjut Heidbüchel dianggap secara sepihak menetapkan standar hidup berdasarkan kebudayaan dan cara hidup orang Jawa. Buku-buku sekolah, tata cara menanam padi, bahkan pembangunan rumah semuanya mengikuti apa yang ada di Jawa. Belum lagi, transmigran asal Jawa yang tiba di wilayah rintisan di Papua Barat selalu mendapat posisi yang lebih unggul ketimbang masyarakat lokal. “Transmigran umumnya bermukim di kota-kota baru yang berbatasan dengan Papua Nugini, sementara mereka yang pindah ke Papua atas kesadaran sendiri lebih banyak berdiam di perkotaan. Mereka adalah tenaga-tenaga yang disukai untuk jabatan di kantor-kantor dan perusahaan," tulis Heidbüchel. Kembali mengutip catatan Loekman Soetrisno, sejak 1969, jumlah orang Jawa yang berpartisipasi dalam program transmigrasi jumlahnya selalu naik. Melalui Repelita I sampai II, pemerintah Orde Baru tercatat berhasil menempatkan tidak kurang dari 41.701 transmigran yang terbagi menjadi 9.916 kepala keluarga (hlm. 119). Dalam Repelita IV yang dimulai pada 1984, jumlah tersebut melompat menjadi 137.800 kepala keluarga. Sebagian besar transmigran datang dari etnis Jawa, Buton, Bugis, dan Makassar. Untuk menghidupi pendatang sebanyak itu, harus membuka lahan seluas 689.000 ha.
Para transmigran pejuang pembangunan,,
Salam dariku,kebetulan akupun asli kelahiran Cicalengka. Selamat dan sukseslah slalu lur🙏
Amin sdh makmur
Tidak ada keberhasilan tanpa perjuangan....
Petani adalah ujung tombak penghasil hasil pertanian...
Bumi harus di manfaatkan supaya ada manfaat....tiap2 perjuangan ada saja rintangan2...
Salam semangat & sehat ya pak.
salam kang teman seperjuangan.
Perjuangan yang terbayarkan
benar...byk transmigran yg sukses
Masyaallah, perjuangn bpk2 yg ikut trans mmg luar biasa. Daerah di sana sekarang sdh rame dulu hutan. Dulu thn 80 an paklik sy pernah merantau ke sana, tdk kuat. Sakit parah kena sakit malaria. Alhamdulillah bs sampai jawa dlm kondisi hidup, dan bisa melanjutkn hidup di jawa lg menggarap sawahnya. Tp beliau sekrg sdh almarhum
sallam selamat malam ......yimak kawan
Perjuangan yg luar biasa untuk bisa seperti itu،،
Perjuangan Trann jaman dulu berat banget...
Kisah yg menginspirasi👍🏻👍🏻
jadi ingat orasbari,sempat mau jadi menantu org oransbari
Kisah sukses transmigran.. Semoga sehat sehat saja pak.. 🙏
Alhamdulilah sodara kita semua pada berhasil
Kisah yanh mantaaappp kawan..
Main krumah yaaa👍👍👍
nyimak kisah sukses transmigran
Hadirrrr bos ... Nyimak kisah sukses transmigran
sudah ramai bagus ya kami harapkan semua trasmigran seperti ini semoga terkabul amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinn
aamiin
wow tdk bisa membayangkan bagaimana dulu begitu tiba di daerah situ di th 68.. sekarang sdh jadi kota.. 30 orang kk pertama yg trans dan membuka hutan.. layak di jadikan pahlawan transmigrasi di distriknya
sdh spt di Jawa,Alhamdulillah
Jadi tau tentang manok wari mantap bang👍
Semoga semakin sukses kawanku...
Alhmdulillah sukses ..
Griyo Alit = Rumah Kecil
(Bahasa jawa)
semoga sukses trasmigrasi asal pulo jawa amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinn
Griyo alit itu bhs jawa artiny rumah kecil
Kisah sukses semangat ya kak 😍🙏🙏🙏🙏
Sy meragukan tentang tahunnya, ingatloh, Ransiki Orasbare itu basis Opm, kayanya mustahil pemerintah menempatkan Trans Tampa Rumah dan lain sebagainya didalam hutan. Bapak itu bagaimana setelah mendengar kejadian di Prafi.
Setelah Belanda angkat kaki dan kembali ke Eropah, ternyata program ini tetap diteruskan pemerintah Indonesia dengan menggantikannya program transmigrasi di Tanah Papua. Program ini dimulai lima tahun sebelum pelaksanaan Pepera (1969) mendatangkan lagi warga Jawa di Papua dengan nama Pelopor Pembangunan Serba Guna di Kabupaten Manokwari(12KK/30 jiwa); Kumbe Merauke(27 KK); di Dosai Kabupaten Jayapura(9KK).
Mengindonesiakan Papua
Konsensus dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 secara resmi memasukkan Papua Barat ke dalam Indonesia. Namun, kondisi yang berangsur baik ini disusul permasalahan baru. Gelombang transmigrasi terarah dalam jumlah tinggi melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) justru memicu kecemburuan sosial.
Esther Heidbüchel dalam bukunya The West Papua Conflict in Indonesia: Actors, Issues and Approaches (2007, hlm. 44) menyebut sebagian rakyat setempat menganggap pemerintah pusat berusaha merebut tanah mereka dengan cara mengindonesiakan tanah Papua berserta isinya melalui program transmigrasi.
Baca juga: Sejarah Pepera 1969: Upaya Lancung RI Merebut Papua?
Pemerintah Orde Baru, lanjut Heidbüchel dianggap secara sepihak menetapkan standar hidup berdasarkan kebudayaan dan cara hidup orang Jawa. Buku-buku sekolah, tata cara menanam padi, bahkan pembangunan rumah semuanya mengikuti apa yang ada di Jawa. Belum lagi, transmigran asal Jawa yang tiba di wilayah rintisan di Papua Barat selalu mendapat posisi yang lebih unggul ketimbang masyarakat lokal.
“Transmigran umumnya bermukim di kota-kota baru yang berbatasan dengan Papua Nugini, sementara mereka yang pindah ke Papua atas kesadaran sendiri lebih banyak berdiam di perkotaan. Mereka adalah tenaga-tenaga yang disukai untuk jabatan di kantor-kantor dan perusahaan," tulis Heidbüchel.
Kembali mengutip catatan Loekman Soetrisno, sejak 1969, jumlah orang Jawa yang berpartisipasi dalam program transmigrasi jumlahnya selalu naik. Melalui Repelita I sampai II, pemerintah Orde Baru tercatat berhasil menempatkan tidak kurang dari 41.701 transmigran yang terbagi menjadi 9.916 kepala keluarga (hlm. 119).
Dalam Repelita IV yang dimulai pada 1984, jumlah tersebut melompat menjadi 137.800 kepala keluarga. Sebagian besar transmigran datang dari etnis Jawa, Buton, Bugis, dan Makassar. Untuk menghidupi pendatang sebanyak itu, harus membuka lahan seluas 689.000 ha.
griyo alit itu bahasa Jawa artinya rumah kecil
Kisah sukses para transmigrasi....
Pak udin....
gurunya ya ?
Daftarnya bgaimna ya pak teus diberi lahan apa ya kebon nya
saat ini program transmigrasi di Papua sdh ditiadakan/ditutup
Mohon maaf betulkah trans pertama di Orasbare itu tahun 1968, apa tdk salah? Coba deh baca lagi sejarah Irian kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Setelah Belanda angkat kaki dan kembali ke Eropah, ternyata program ini tetap diteruskan pemerintah Indonesia dengan menggantikannya program transmigrasi di Tanah Papua. Program ini dimulai lima tahun sebelum pelaksanaan Pepera (1969) mendatangkan lagi warga Jawa di Papua dengan nama Pelopor Pembangunan Serba Guna di Kabupaten Manokwari(12KK/30 jiwa); Kumbe Merauke(27 KK); di Dosai Kabupaten Jayapura(9KK).
Th'68 ...itu transmigran atau tapol.....
Setelah Belanda angkat kaki dan kembali ke Eropah, ternyata program ini tetap diteruskan pemerintah Indonesia dengan menggantikannya program transmigrasi di Tanah Papua. Program ini dimulai lima tahun sebelum pelaksanaan Pepera (1969) mendatangkan lagi warga Jawa di Papua dengan nama Pelopor Pembangunan Serba Guna di Kabupaten Manokwari(12KK/30 jiwa); Kumbe Merauke(27 KK); di Dosai Kabupaten Jayapura(9KK).
Mengindonesiakan Papua
Konsensus dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 secara resmi memasukkan Papua Barat ke dalam Indonesia. Namun, kondisi yang berangsur baik ini disusul permasalahan baru. Gelombang transmigrasi terarah dalam jumlah tinggi melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) justru memicu kecemburuan sosial.
Esther Heidbüchel dalam bukunya The West Papua Conflict in Indonesia: Actors, Issues and Approaches (2007, hlm. 44) menyebut sebagian rakyat setempat menganggap pemerintah pusat berusaha merebut tanah mereka dengan cara mengindonesiakan tanah Papua berserta isinya melalui program transmigrasi.
Baca juga: Sejarah Pepera 1969: Upaya Lancung RI Merebut Papua?
Pemerintah Orde Baru, lanjut Heidbüchel dianggap secara sepihak menetapkan standar hidup berdasarkan kebudayaan dan cara hidup orang Jawa. Buku-buku sekolah, tata cara menanam padi, bahkan pembangunan rumah semuanya mengikuti apa yang ada di Jawa. Belum lagi, transmigran asal Jawa yang tiba di wilayah rintisan di Papua Barat selalu mendapat posisi yang lebih unggul ketimbang masyarakat lokal.
“Transmigran umumnya bermukim di kota-kota baru yang berbatasan dengan Papua Nugini, sementara mereka yang pindah ke Papua atas kesadaran sendiri lebih banyak berdiam di perkotaan. Mereka adalah tenaga-tenaga yang disukai untuk jabatan di kantor-kantor dan perusahaan," tulis Heidbüchel.
Kembali mengutip catatan Loekman Soetrisno, sejak 1969, jumlah orang Jawa yang berpartisipasi dalam program transmigrasi jumlahnya selalu naik. Melalui Repelita I sampai II, pemerintah Orde Baru tercatat berhasil menempatkan tidak kurang dari 41.701 transmigran yang terbagi menjadi 9.916 kepala keluarga (hlm. 119).
Dalam Repelita IV yang dimulai pada 1984, jumlah tersebut melompat menjadi 137.800 kepala keluarga. Sebagian besar transmigran datang dari etnis Jawa, Buton, Bugis, dan Makassar. Untuk menghidupi pendatang sebanyak itu, harus membuka lahan seluas 689.000 ha.
Jd kasian dgn suku asli, tidak diberi tanah grats
Kalo mau sekarang ada omnibus law kalo mau urus sendiri ada program konsesi lahan perseorangan itupun kalo mau kerja
Wkwkwk
Usir transmigran penjajah!
ya usir aja kok susah
Pemalas selalu iri dan dengki kalo liat orang sukses
PROVOKATOR TENGIK
Sukses adalah milik orang yang mau berproses bukan untuk orang yang selalu protes
Sirik