Ambarawa Heritage

Поделиться
HTML-код
  • Опубликовано: 9 сен 2024
  • Ambarawa adalah Kota Militer pada masa Hindia Belanda.
    Pada tahun 1840-an ketika VOC berkuasa di Jawa, Ambarawa merupakan titik sumbu strategis antara Semarang dan Surakarta.
    Pada awal abad 18, VOC membangun benteng benteng di sepanjang jalur Semarang - Oenarang (sekarang Ungaran) - Salatiga - Surakarta (Solo).
    Rancangan ini dimaksudkan untuk pengembangan hubungan dengan Kerajaan Mataram.
    Kamp-kamp militer juga dibangun di kota kota yang dilalui, tak terkecuali Ambarawa.
    Pada masa kekuasaan Kolonel Hoorn, tahun 1827-1830, sempat ada barak militer dan penyimpanan logistik militer, dan pada tahun 1834 dibangunlah sebuah benteng modern di Ambarawa yang kemudian diberi nama Benteng Fort Willem 1 yang pembangunannya berakhir pada tahun 1845.
    Pada tahun 1853 sampai tahun 1927 digunakan sebagai barak militer KNIL yang terhubung ke Magelang, Yogyakarta, dan Semarang melalui jalur kereta api.
    Pada umumnya benteng dibangun dengan prinsip defensif dan kuat yang dimaksudkan untuk pertahanan dari serangan musuh.
    Sering dijumpai pula dibangun parit mengelilingi benteng untuk memaksimalkan pertahanan.
    Benteng Fort Willem 1 atau lebih dikenal dengan nama Benteng Pendem Ambarawa, lokasinya tak jauh dari Museum Kereta Api Ambarawa yang dulunya stasiun.
    Pada masa pendudukan Jepang, Ambarawa memiliki sebuah kamp yang berisikan khusus perempuan dan anak-anak Belanda.
    Seperti diungkap Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Volume I (2004:192), di antara perempuan-perempuan itu dijadikan budak nafsu militer Jepang.
    Data tersebut dipetik Rosihan dari De Japanse bezetting in dagboeken - Vrouwenkamp Ambarawa 6 (2001) yang disusun Mariska Heijmans van Bruggen.
    Buku ini adalah kumpulan catatan harian seorang perempuan di Kamp Ambarawa pada zaman Jepang.
    Sebagai kota yang ada kamp tawanannya, Ambarawa pun didatangi pasukan sekutu setelah Jepang menyerah kalah.
    Mereka datang atas nama Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI), yang tugasnya melakukan rehabilitasi tawanan perang dan internir.
    RAPWI tak melulu datang sebagai tim medis.
    Pasukan bersenjata bersama mereka.
    Pada 19 Oktober 1945, militer Inggris di bawah pimpinan Brigadier R.G. Bethell, “dikirim ke Semarang satu brigade campuran yang diberi nama CRA's Brigade,” tulis R.H.A. Saleh dalam Mari Bung Rebut Kembali (2000: 77).
    CRA's Brigade bukan kesatuan organik, melainkan campuran dari satuan-satuan infanteri.
    Brigadier Bethell sendiri sejatinya Komandan Satuan Artileri Divisi 23 militer Inggris.
    Pasukan inilah yang ikut mengurusi pembebasan tawanan di sekitar Semarang, Ambarawa, dan Magelang.
    Tak hanya Ambarawa yang menjadi sasaran RAPWI, mereka merangsek lebih dalam lagi ke tengah pulau Jawa.
    “Kesatuan-kesatuan kecil dari pasukan Gurkha bergerak ke suatu tempat di selatan Ambarawa, dan Magelang, di mana lebih dari 10.000 tahanan, terutama wanita dan anak-anak, sedang menunggu,” catat Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (1988: 174).
    Dalam Ignatius Slamet Rijadi: dari mengusir Kempeitai sampai menumpas RMS (2008:35), Julius Pour mengutip kesaksian Komodor Tull dari tim RAPWI.
    “Pertempuran Ambarawa sangat mengerikan. Setiap jengkal tanah dipertahankan secara mati-matian oleh kedua belah pihak. Ini benar-benar Total War,” aku Tull (hlm. 35).
    Sampai-sampai, 75 orang bekas tawanan perang pun harus ikut bertempur melawan tentara Republik.
    Dengan semboyan “Rawe-rawe rantas malang-malang putung, patah tumbuh hilang berganti”, pasukan TKR memiliki tekad bulat membebaskan Ambarawa atau dengan pilihan lain gugur di pangkuan ibu pertiwi.
    Untuk menggempur serdadu-serdadu Inggris yang sudah terkepung di Ambarawa, “Kolonel Sudirman merencanakan akan melancarkan serangan serentak. Rencana itu disetujui oleh komandan-komandan yang lain,” tulis Amrin Imran dalam Panglima Besar Sudirman (2001: 30).
    TKR berusaha tak memberi celah pada militer Sekutu untuk mundur.
    Kepungan itu berakhir pada 15 Desember 1945, di mana pasukan Sekutu hanya bisa mundur ke Semarang.
    Pertempuran tersebut dikenang orang Indonesia sebagai Palagan Ambarawa.
    Palagan Ambarawa dianggap sebagai perang darat terbesar dan terdahsyat melawan sekutu Belanda yang ingin menjajah Indonesia lagi pasca diproklamasikannya kemerdekaan negara Indonesia 17 Agustus 1945.
    Lalu, oleh Angkatan Darat setiap tanggal 15 Desember diperingati sebagai Hari Infanteri, dan Berdasar Keputusan Presiden RI No. 163/1999, Hari Infanteri kemudian diganti dengan nama Hari Juang Kartika / Hari Ulang Tahun (HUT) TNI AD.
    ==========================================
    © Danny ELgar Library
    ✡️ Official Website : dannygaidatera...
    ==========================================
    #DannyELgar

Комментарии • 14